• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Literatur .1 Nilai Perusahaan

Menurut Weston and Copeland (1999) Nilai perusahaan dapat didefinisikan sebagai nilai wajar perusahaan yang menggambarkan persepsi investor terhadap emiten bersangkutan. Dalam hal ini ini konsep dasar nilai perusahaan dapat dijelaskan sebagai berikut : V= B + S dimana V adalah nilai perusahaan, B adalah nilai pasar dari liability dan S adalah nilai pasar dari equity (Weston and Copeland, 1999). Nilai perusahaan merupakan penjumlahan nilai pasar hutang dan nilai pasar ekuitas, sehingga jika tujuan manajemen ingin menaikan nilai perusahaan maka manajemen harus memilih komposisi liability terhadap equity yang menghasilkan nilai perusahaan yang maksimum.

Menurut Fama (1978, dalam Samisi 2013: 454) nilai perusahaan akan tercermin dari harga sahamnya. Harga saham didasarkan penilaian eksternal terhadap asset perusahaan serta pertumbuhan pasar saham. Harga pasar saham yang terbentuk disebut nilai pasar perusahaan karena mencerminkan nilai asset perusahaan sesungguhnya. Semakin tinggi harga suatu saham maka semakin tinggi nilai perusahaan, karena nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan tersebut dikaitkan dengan harga saham.

Dendrawijaya (2009, dalam putri 2013:4) mengemukakan dampak dari keberadaaan NPL yang tidak wajar salah satunya adalah hilangnya kesempatan memperoleh income dari kredit yang diberikan sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk terhadap profitabilitas perusahaan. Nilai profitabilitas yang negatif dapat menurunkan nilai perusahaan. Karena pihak eksternal akan menilai perusahaan melalui kinerja keuangan perusahaan tersebut.

Menurut Mogdiliani dan Miller (dalam Nugroho, 2013:13) Nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dari asset perusahaan. Earning yang positive berarti perusahaan mampu menghasilkan laba dengan menggunakan keseluruhan asset yang dimiliki. Semakin tinggi earning yang diperoleh perusahaan maka semakin tinggi nilai perusahaan.

Menurut Harnanto (1984: 174, dalam Gunawan 2011:32) bagi pemilik perusahaan, perusahaan yang tidak/kurang likuid berarti mengurangi kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar atau kehilangan kontrol terhadap sebagian atau keseluruhan modal yang diinvestasikan. Kehilangan kesempatan memperoleh laba perusahaan berarti menurunkan persepsi investor terhadap nilai perusahaan.

Ada beberapa rasio yang digunakan untuk mengukur nilai perusahaan, yang paling popular di kalangan investor adalah dengan menggunakan Price to Book Value (PBV). Dalam penelitian ini rasio yang digunakan untuk memproksikan nilai perusahaan adalah Price to Book Value (PBV).

Menurut Sartono (2001:120) rasio harga saham terhadap nilai buku perusahaan atau Price to Book Value (PBV), menunjukkan tingkat kemampuan perusahaan menciptakan nilai relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. Nilai Price to Book Value (PBV) menggambarkan berapa kali nilai pasar suatu saham di hargai pada nilai bukunya, atau untuk mengukur tingkat kemahalan dari suatu saham. Semakin tinggi nilai Price to Book Value (PBV) menunjukkan nilai perusahaan yang semakin meningkat. Begitu pula sebaliknya.

Menurut Brigham (2010:151) Rasio harga pasar suatu saham terhadap nilai bukunya memberikan indikasi pandangan investor terhadap nilai perusahaan. Perusahaan yang dipandang baik oleh investor dijual dengan rasio nilai buku yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan dengan pengembalian yang rendah. Keberadaan nilai Price to Book Value (PBV) sangat penting bagi investor untuk menilai saham-saham mana yang overvalued atau undervalued dalam perencanaan investasi saham perbankan. Semakin tinggi nilai rasio ini semakin tinggi tingkat kepercayaan pasar terhadap prospek perusahaan, begitu juga sebaliknya semakin rendah rasio ini kepercayaan publik terhadap prospek perusahaan menurun yang berakibat pada menurunnya permintaan terhadap saham perusaaan yang berimbas pada penurunan harga saham.

Price to Book Value (PBV) dapat dirumuskan sebagai berikut:

PBV= H P P L

2.1.2 Rasio-Rasio Keuangan Yang Digunakan

Rasio-rasio yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: a. Capital Adequacy Ratio (CAR)

Modal bank terdiri atas dua macam, yaitu modal inti dan modal pelengkap. Modal dalam penelitian ini diproksikan oleh Capital Adequacy Ratio (CAR). Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio untuk mengukur permodalan dan cadangan penghapusan dalam menanggung perkreditan, terutama risiko terjadi karena bunga gagal ditagih (Kasmir, 2008:295). Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) diperoleh dengan membandingkan jumlah modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Menurut Abdullah (2005:60) melalui rasio ini akan diketahui kemampuan menyanggah aktiva bank terutama kredit yang disalurkan dengan sejumlah modal bank. Semakin tinggi Capital Adequacy Ratio (CAR) semakin baik suatu perusahaan karena modal yang cukup dapat digunakan perusahaan untuk penyaluran kredit yang dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan.

Kecukupan modal bank terkait dengan peranan bank sebagai financial intermediary. Semakin baik kemampuan bank dalam mencapai kecukupan modal semakin tinggi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Sehingga bank dapat menghimpun dana untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perusahaannya.

Capital Adequacy Ratio (CAR) dapat dirumuskan sebagai berikut:

b. Non Performing Loan (NPL)

Risk Profile dalam penelitian ini diproksikan oleh Non Performing Loan (NPL). Non Performing Loan (NPL) merupakan salah satu kunci untuk menilai kualitas kinerja bank. Menurut Kasmir (2008:292), Credit Risk Ratio / NPL merupakan rasio untuk mengukur risiko terhadap kredit yang disalurkan dengan membandingkan kredit macet dengan kredit yang disalurkan.

Menurut Riyadi (2006:161) semakin besar tingkat NPL menunjukkan bahwa bank tersebut tidak professional dalam pengelolaan kreditnya sekaligus memberikan indikasi bahwa tingkat resiko atas pemberian kredit pada bank tersebut cukup tinggi searah dengan tingginya NPL yang dihadapi bank. Jadi, Non Performing Loan (NPL) dapat mengindikasikan adanya masalah dalam bank. Meningkatnya Non Performing Loan (NPL) dapat berpengaruh negatif terhadap bank. Salah satu dampak tersebut adalah berkurangnya modal yang dimiliki oleh bank. Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet juga merupakan salah satu indikator untuk mengukur kemampuan bank mengkover resiko kegagalan pengembalian kredit oleh debitur. Semakin kecil Non Performing Loan (NPL) semakin kecil pula resiko kredit macet yang ditanggung pihak bank.

Pembayaran kredit oleh debitur merupakan suatu keharusan agar operasional perbankan dapat berjalan dengan baik. Jika terjadi penunggakan pembayaran kredit oleh debitur maka bank dapat mengalami masalah permodalan, yang dapat berpengaruh terhadap masalah kinerja perbankan dan dapat berdampak terhadap turunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank.

Didalam laporan keuangan bank, Non Performing Loan (NPL) ada 2 macam, yaitu Non Performing Loan (NPL) groos dan Non Performing Loan (NPL) net. Non Performing Loan (NPL) gross adalah Non Performing Loan (NPL) yang membandingkan jumlah kredit berstatus kurang lancar, diragukan, dan macet yang disatukan, dengan total kredit yang disalurkan. Sedangkan Non Performing Loan (NPL) net hanya membandingkan kredit berstatus macet dengan total kredit yang disalurkan (Hidayat, 2010). NPL yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non Performing Loan (NPL) gross karena telah menghitung seluruh resiko kredit.

Non Performing Loan (NPL) dirumuskan sebagai berikut:

c. Return on Assets (ROA)

Earning dalam penelitian ini diproksikan oleh Return on Assets (ROA). Return on Assets (ROA) menurut Kasmir (2012:201) adalah rasio yang menunjukkan hasil (return) atas jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan.

Menurut Mogdiliani dan Miller (dalam Nugroho, 2013:13) Nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dari asset perusahaan. Return on Assets (ROA) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan atas pengembalian perusahaan dari seluruh pendanaan (aktiva) yang diberikan kepada perusahaaan. Rasio ini dihitung dengan cara membandingkan antara laba bersih dengan total aktiva. Rasio yang positif menggambarkan kemampuan perusahaan

menghasilkan laba dari total aktiva perusahaan. Sebaliknya Return on Assets (ROA) yang negative menggambarkan dari keselurahan aktiva perusahaan, perusahaan mengalami kerugian. Semakin tinggi nilai rasio ini semakin baik perusahaan, begitu juga sebaliknya semakin rendah nilai ini semakin menurun kinerja suatu perusahaan. Return on Assets (ROA) mampu mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan di masa lampau untuk kemudian diproksikan di masa depan.

Semakin besar Return on Assets (ROA) menunjukkan kinerja suatu perusahaan semakin baik, karena adanya tingkat pengembalian atas investasi yang semakin tinggi. Return on Assets (ROA) juga merupakan perkalian antara faktor net income margin dengan assets turnover. Net income margin menggambarkan seberapa besar laba yang dapat dihasilkan dari setiap penjualan yang di ciptakan, sedangkan assets turnover menggambarkan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan penjualan dari aktiva yang dimiliki. Apabila salah satu dari rasio tersebut meningkat maka Return on Assets (ROA) juga akan meningkat.

Return on Assets (ROA) dapat dirumuskan sebagai berikut:

d. Loan to Deposit Ratio (LDR)

Liquidity dalam penelitian ini di proksikan oleh Loan to Deposit Ratio (LDR). Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio untuk mengukur

komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana dari masyarakat dan modal sendiri yang digunakan (Kasmir 2008:290).

Tujuan perhitungan Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah untuk mengetahui seberapa jauh suatu bank memiliki kondisi sehat dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Bank dikatakan likuid jika bank tersebut dapat memenuhi kewajiban hutang-hutangnya dan dapat membayar kembali semua dana yang diterima dari pihak ketiga.

Menurut Taswan (2006:114) semakin tinggi LDR mengindikasikan semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, kondisi ini yang disebabkan karena jumlah yang di perlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin besar. Jadi, Loan to Deposit Ratio (LDR) yang meningkat menggambarkan besarnya kredit yang disalurkan dengan tujuan memperoleh laba. Jika bank tersebut tidak mampu menyalurkan dana yang dihimpun (idle cash) bank tersebut dapat mengalami kerugian. Loan to Deposit Ratio (LDR) juga dapat digunakan untuk menilai strategi manajemen. Manajemen yang bersifat konservatif memiliki nilai rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) yang rendah, karena adanya pembatasan pemberian kredit. Begitu juga sebaliknya manajemen bank yang agresif memiliki nilai rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) yang tinggi.

Loan to Deposit Ratio (LDR) dapat dirumuskan sebagai berikut:

Dokumen terkait