• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Tinjauan Model Usahatani Berbasis Bagi Hasil

Pola bagi hasil antara pemilik modal (investor) dan pengusaha (entrepreneur) dalam kegiatan ekonomi banyak diterapkan, untuk mengatasi keterbatasan modal individu dalam memenuhi pembiayaan usaha. Pembiayaan usaha dengan pola bagi hasil, umumnya untuk kegiatan usaha yang belum dapat dipenuhi sektor pembiayaan resmi. Permodalan dengan pola bagi hasil sebagai alternatif bagi masyarakat atau pengusaha untuk menghindari modal pinjaman bank yang mengharuskan membayar bunga.

Sebagian besar masyarakat meyakini pola bagi hasil merupakan merupakan model kerjasama usaha yang dianggap lebih memenuhi nilai agama, dengan model pembagian resiko kegagalan usaha atau pembagian keuntungan yang lebih adil dan terbuka (Jusmaliani, 2006)

Penerapan pola bagi hasil telah dilaksanakan dalam berbagai pola kemitraan dari lembaga pembiayaan dengan pengusaha. Kemitraan antara pelaku usaha besar dengan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Contoh model kemitraan seperti pola bagi hasil antara perusahaan BUMN dengan perusahaan UMKM binaannya. Selain tersebut pola bagi hasil sepeti model pembiayaan Syariah antara perusahaan modal Ventura dengan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UKM).

Menurut Siddiqi dalam Jusmaliani (2006) konsep bagi hasi dapat dibedakan dengan pola :

1) Pembagian hasil produksi (Production sharing)

2) Pembagian penjualan hasil usaha/produksi (revenue sharing).

3) Pembagian nilai keuntungan dari hasil usaha (profit sharing) atau disebut pembagi- an resiko keuntungan (loss profit sharing).

Dalam konsep syariah pola bagi hasil dibedakan atas yaitu :

1) Pola Mudharabah adalah pola bagi hasil antara satu pihak yang menyediakan modal (sebagai investor dana), dengan banyak pihak lain yang memanfaatkan dana terse- but untuk kegiatan usaha. Hasil keuntungan usaha kemudian dibagi sesuai proporsi yang disepakati.

2) Pola Musyarakah adalah pola bagi hasil antara beberapa pihak yang menyediakan modal (sebagai investor dana), dengan satu pihak sebagai pengelola usaha. Hasil keuntungan usaha kemudian dibagi sesuai proporsi yang disepakati (Syahyuti, 2009).

Pola bagi hasil penjualan (revenue sharing) atau pola bagi keuntungan (profit sharing atau loss profit sharing) sangat umum diterapkan dalam kegiatan usaha disek- tor pertanian, kehutanan dan perikanan serta usaha lain dalam skala kecil. Dalam sektor pertanian, perkebunan dan perikanan pola bagi hasil yang sudah banyak diterap- kan adalah model kemitraan usaha antara nelayan atau petani pengelola lahan usaha dengan pihak investor atau usaha besar (investasi dana, bibit atau obat-obatan), yang disebut pola plasma - inti. Proporsi bagi hasil antara investor dengan pengelola usaha lazim menggunakan pola 50 : 50 atau 60 : 40 atau 70 : 30 atau 80 : 20 (Jusmaliani, 2006).

Pada usahatani bagi hasil padi di Jawa misalnya dikenal sistem ”kedokan”, yaitu upah menanam, menyiang dan memanen yang dibayar secara natura saat panen dengan nisbah tertentu yang disebut bawon. Model usaha bagi hasil disektor peter- nakan, seperti usaha mengembangbiakan ternak dan usaha pengemukan ternak. Polanya investor menitipkan hewan ternak kepada petani peternak, ternak dipelihara dan dikembangkanbiakan oleh peternak. Pada waktu yang telah disepakati ternak dijual atau diuangkan. Hasil penjualan kemudian dibagi sesuai proporsi yang disepa- kati. Sering pula dengan pola pembagian jumlah hewan ternak yang telah berkembang biak, atau ternak yang dititipkan boleh dimanfaatkan petani untuk menerima upah membajak di sawah orang lain (Syahyuti, 2009).

Pengelolaan usaha pola bagi hasil yang dilaksanakan Unit Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabhakti Nusantara (UBH-KPWN), mencakup pengelolaan dana Investor yang digunakan untuk biaya operasional kegiatan penyediaan bibit, penanam- an, pemeliharaan tanaman dan biaya pemanenan tegakan pohon jati. Saat pemanenan pada tahun kelima yang telah disepakati. Manajemen UBH-KPWN akan membayar- kan kembali dana hasil penjualan pohon jati kepada para pihak sesuai proporsi bagi hasil yang telah disepakati.

Para Pihak tersebut adalah pihak-pihak yang terikat hubungan kerjasama usaha bagi hasil tanaman jati unggul nusantara, yang terdiri atas pihak investor, Petani Penggarap, pemilik lahan tanam, dan pihak UBH-KPWN. Proporsi bagi hasil masing-masing pihak tersebut seperti pada Tabel 4.

Tabel 4: Proporsi bagi hasil masing-masing pihak dari kegiatan UBH-KPWN

Para Pihak Beban Resiko

Kegagalan

Bagian hasil para pihak pada tingkat resiko kematian/hilang (%) TK 0% TK 10% TK 20 % TK 30% TK 40% TK 50% Petani Penggarap 25% - (0,5 x TK%) 25 20 15 10 5 0 Investor 0 % 40 40 40 40 40 40 Pemilik Lahan 0 % 10 10 10 10 10 10 Pamong Kelurahan 10% - (0,2 x TK%) 10 8 6 4 2 0 UBH-KPWN 15% - (0,3 x TK%) 15 12 9 6 3 0 Jumlah 100 90 80 70 60 50

Sumber : UBH – KPWN, 2008. Keterangan TK = Tingkat kematian tanaman, tabel telah disesuaikan

Sesuai tabel tersebut masing-masing pihak disamping akan memperoleh hak bagi hasil, juga akan mendapat resiko dari kematian tanaman. Pihak UBH-KPWN, petani dan pihak pamong desa, yang melaksanakan langsung kegiatan pengelolaan penanaman jati unggul tersebut, akan menerima resiko dari prosentasi kematian yang mengurangi hak penerimaan bagi hasilnya. Bagi pihak investor dan pemilik lahan sebagai pihak yang tidak dibebani resiko kematian, sampai maksimal tingkat kematian 40%.

Proporsi bagi hasil masing-masing pihak tersebut yaitu :

1) Pihak Investor setelah masa lima tahun, akan mendapatkan bagian hasil sebesar 40% dari hasil penjualan tanaman jati sesuai jumlah investasi yang disetorkannya.

2) Pihak Petani Penggarap setelah masa lima tahun akan mendapat bagian hasil sebesar 25% dari hasil penjualan tanaman jati, sesuai jumlah nilai tanaman yang dikelolanya dan setelah dikurangi proporsi resiko kematian tenaman.

3) Pihak Pemilik Lahan atau tanah sebagai lokasi tanaman, setelah masa lima tahun akan menerima sebesar 10% dari hasil penjualan tanaman jati, sesuai jumlah nilai tanaman yang ditanam dilokasi tanahnya.

4) Pihak Pamong Kelurahan yang menjadi lokasi tanaman, setelah masa lima tahun akan mendapat bagian hasil sebesar 10% dari hasil penjualan kayu jati yang ditanam pada lokasi Kelurahannya, setelah dikurangi proporsi beban resiko kematian tanaman.

5) Pihak Pengelola UBH-KPWN akan mendapat manajemen fee, setelah masa lima tahun 15% dari hasil penjualan tanaman jati sesuai jumlah nilai tanaman jati yang dikelolanya pada masa tebang tersebut, dan setelah dikurangi proporsi resiko kematian tanaman.

Pengembangan usaha bagi hasil penanaman JUN akan sangat tergantung pada ketersediaan dan kesesuaian lahan. Ketersediaan lahan ditentukan oleh adanya pemilik lahan yang bersedia lahannya dikelola selama minimal lima tahun, dan memenuhi persyaratan kesesuaian lahan sesuai sifat pertumbuhan tanaman JUN.

Untuk melaksanakan penanaman dalam satu wilayah, harus tersedia lahan yang dapat dapat ditanami minimal untuk 100.000 batang pohon atau setara dengan luas 100 Ha. Persyaratan lokasi lahan harus tersedia sarana jalan untuk dapat diakses calon investor. Sarana jalan juga untuk memudahkan akses transportasi saat pemasar- an. Sesuai bisnis plan UBH-KPWN ditargetkan penanaman 500.000 pohon/tahun atau setara 500 Ha/tahun. Dalam jangka lima tahun diharapkan tercapai 2,5 juta pohon JUN yang ditanam atau setara 2500 ha. Untuk periode lima tahun pertama (2007 s/d 2011) realisasi tanam ditargetkan 2000 Ha atau setara 2 juta pohon JUN yang harus tertanam (UBH-KPWN, 2007).

Strategi pendanaan pada tahap awal, UBH-KPWN menyediakan modal awal Rp.3,25 milyar untuk pembiayaan penanaman tahun pertama dan untuk pembelian benih JUN selama satu tahun. Pembiayaan tahun kedua hingga tahun kelima di tawarkan kepada pihak investor, dengan investasi tiap investor minimal 100 pohon dengan nilai harga Rp 60.000 per pohon. Sesuai jumlah minimal tanaman tersebut,

maka investasi tiap investor minimal Rp 6.000.000 (enam juta rupiah). Investor yang telah membayar biaya investasi, sesuai perjanjian didasarkan akte notaris akan memiliki hak investasi bagi hasil pada UBH-KPWN. Selama masa lima tahun investor tidak dibebani lagi dengan kenaikan biaya pengelolaan, hingga masa pema- nenan pohon JUN untuk dijual (UBH-KPWN 2007).

Sampai tahun 2009 UBH KPWN telah merealisasikan penanaman di delapan kabupaten sebanyak 638.000.000 batang pohon atau seluas lebih kurang 638. Ha. Jumlah investor yang terlibat 796 pihak (perorangan atau lembaga), dengan jumlah investasi yang telah diterima lebih kurang 20 milyar rupiah (UBH-KPWN 2010.A).

Khusus di wilayah Kabupaten Bogor telah direalisasikan penanaman sebanyak 112.000 batang setara luas tanam lebih kurang 112 Ha, yang melibatkan 30 investor (perorangan dan lembaga). Pohon JUN yang telah ditanam terdiri atas tanaman usia tanam satu tahun hingga usia tanam tiga tahun.

Untuk lokasi tanaman usia tiga tahun terdapat di Kelurahan Cogreg, Kecamat- an Parung Bogor, dengan jumlah awal tanaman 7120 pohon atau setara lebih kuran 7,1 ha. Pengelolaan tanaman tersebut melibatkan sebanyak 16 investor yang terdiri atas perorangan dan lembaga dan melibatkan 24 orang petani penggarap (UBH-KPWN 2010.B).