• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Tinjauan Prospek Kebutuhan Kayu Jati Untuk Industri

Sektor industri kehutanan pada pada periode tahun 1985 - 2002 telah memberi- kan kontribusi yang sangat besar bagi pendapatan nasional. Namun sejak tahun 2003 sektor industri perkayuan mengalami penurunan kontribusi yang cukup signifikan. Sampai akhir tahun 2003, secara global produk industri kehutanan hanya memberikan kontribusi kurang dari 10%. Penurunan produktivitas industri kehutanan tersebut sejalan makin berkurangnya produksi kayu dari hutan alam, sementara produksi kayu dari hutan tanaman tidak dapat menggantikan secara langsung terhadap kebutuhan bahan baku kayu (Ditjen IKA, 2005) .

Produk industri perkayuan mencakup kelompok industri kayu hulu dan industri kayu hilir. Industri kayu hulu terdiri atas produk plywood, sawn timber, veneer, chipwood, moulding dan industri pulp. Industri kayu hilir terdiri atas produk perme- belan atau furniture, partikel board, parquet board, MDF, industri kertas dan produk kerajinan berbahan baku kayu.

Secara umum semua jenis kayu dapat dimanfaatkan dalam industri kayu, termasuk jenis kayu jati yang banyak dimanfaatkan untuk berbagai produk dari Indus- tri kayu. Nilai manfaat kayu jati secara teknis ditentukan komposisi bagian kayu teras (bagian tengah/inti) dan bagian kayu gubal (bagian lapisan luar inti).

Kayu teras mempunyai nilai lebih dibandingkan kayu gubal karena sifat warna dan keawetan alaminya yang tinggi, sedangkan kayu gubal tersusun atas sel-sel yang masih hidup dan terletak di sebelah dalam kambium yang berfungsi sebagai saluran cairan dan sebagai tempat penimbunan zat-zat makanan. Secara fisiologis kayu teras tidak berfungsi untuk menunjang pohon secara mekanis (Padlinurjaji dan Rahayu, 2009).

Proses pembentukan kayu teras dan kayu gubal ditentukan dari kondisi peru- bahan kayu juvenil (fase muda) menuju fase dewasa. Sesuai hasil pengujian pada sampel tanaman yang terdiri atas lima kelas umur, menunjukkan proses pembentukan kayu jati dewasa dimulai padaumur tanaman kayu antara tahun ke 11 dan tahun ke 12. Sampel pengujian tersebut dianalis pada posisi penampang melintang dari batang kayu Jati (Darwis et al., 2005).

Secara umum dari sampel lima kelas umur tersebut, pembentukan kayu gubal dan kayu teras terjadi secara seimbang pada periode kelas umur III atau pada usia tanaman 25 tahun. Pada kelas umur III tersebut terbentuk kayu teras 48,73% dan kayu gubal 51,27%. Pada kelompok tanaman kelas umur I (usia kurang dari sepuluh tahun), pembentukan kayu dewasa rata-rata pada usia tanaman sembilan tahun. Pada usia tersebut terjadi pembentukan kayu teras 9,09%, dan kayu gubal 90,91%. (Darwis et al., 2005).

Pembentukan kayu teras salah satunya disebabkan oleh proses penuaan kayu (aging process). Semakin tua usia suatu pohon jati, maka persentase kayu teras yang terbentuk juga semakin besar. Pembentukan kayu teras yang besar akan menambah

keawetan kayu. Pada kayu teras jati terdapat zat ekstraktif tectaquinon, yang bersifat racun bagi serangga, sehingga menjadi daya awet bagi kayu jati (sifat preservative)

Untuk memenuhi kebutuhan pasokan industri kayu, hasil penanaman kayu jati seharusnya mempertimbangkan masa kelas umur tersebut guna menentukan masa panen. Kayu jati yang dipanen sesuai pertimbangan kelas umurnya, akan memberikan manfaat bagi nilai teknis kayu (kelas kuat dan kelas awet kayu) untuk kebutuhan industri.

Kebutuhan pasar internasional akan produk kayu jati baru terpenuhi lebih kurang 20% dari total kebutuhan yang dapat dipasok Indonesia. Hal tersebut merupa- kan potensi pasar yang sangat prospektif bagi upaya penanaman kayu jati secara intensif (Juanda, 2007).

Kebutuhan riel kayu jati untuk industri permebelan diIndonesia sebesar 2.500.000 m3/tahun. Sesuai kebutuhan tersebut baru dipenuhi dari pasokan Perum Perhutani sebesar 1.750.000 m3/tahun. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut diperlu- kan penanaman baru pohon jati, yang dapat tumbuh relatif lebih cepat untuk dipanen. Untuk penanaman tersebut diperhitungkan kebutuhan lahan untuk penanaman pohon jati seluas 29.000 ha/tahun (Juanda, 2007).

Penjualan produk kayu jati untuk industri mebel atau furniture, sebagian besar dipasok dari tanaman Perum Perhutani dalam bentuk kayu jeblosan (batang kayu bentuk persegi empat) atau produk kayu gergajian (sawn timber). Sebagian dipasok dalam bentuk kayu balok yang sudah dibuang cacat alaminya (trimming), dengan berbagai ukuran sortimen (tebal, lebar dan panjang kayu).

Untuk penjualan produk kayu jati tujuan eksport umumnya berbentuk produk flooring atau disebut produk RST (Ring Size Timber). Hasil pengolahannya berben- tuk produk Plint Skirting, Lampaquet, Solid Flooring, Finger joint laminating flooring (FJL), Parquet Block, Parquet Stock, Reng dan bentuk Lis reng.

Harga pasar kedua produk tersebut umumnya ditentukan oleh Direktorat Pemasaran Perum Perhutani, yang berlaku pada setiap tempat-tempat penjualan kayu (TPK) Perum Perhutani, pada seluruh wilayah pengelolaan hutan Perum Perhutani.

Harga penjualan kayu jati bentuk Jeblosan ditentukan kriteria kelas mutu kayu, perlakuan pemotongan cacat alaminya (trimming) serta ukuran sortimen lebar, tebal

dan panjang produk kayu jati. Kelas mutu kayu terdiri atas kelas utama/Top (U), kelas satu (P) sampai kelas empat (M).

Untuk penjualan kayu jati bentuk Flooring ditentukan kriteria kelas mutu dan ukuran sortimen kayu. Kelas mutu terdiri atas kelas utama/Top (UT), kelas satu (P) sampai kelas empat (M). Untuk kelompok produk Lampaquet, Block Parquet dan Reng ukuran ditentukan sesuai sortimen kayu (lebar, tebal dan panjang kayu). Penen- tuan harga dari berbagai kelompok produk tersebut seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 : Harga dasar kayu jati Jeblosan Non Trimming Kualitas Utama.

Ukuran Sortimen (mm) Harga Kayu jati pada berbagai ukuran panjang (Rp/m3) Tebal (mm) Lebar (mm) 700 - 850 (cm) 900 – 1850 (cm) 1900 – 2350 (cm) > 2400 (cm) < 20 126 - 175 12.405.000 12.777.000 13.160.000 13.555.000 176 - 225 12.653.000 13.033.000 13.424.000 13.826.000 226 - 275 12.905.000 13.294.000 13.692.000 14.103.000 276 - 325 13.166.000 13.558.000 13.967.000 14.386.000 > 326 13.426.000 13.830.000 14.245.000 14.672.000 20 - 39 X 70 - 125 12.769.000 13.152.000 13.546.000 13.953.000 126 - 175 13.026.000 13.416.000 13.818.000 14.233.000 176 - 225 13.287.000 13.684.000 14.094.000 14.519.000 226 - 275 13.552.000 13.959.000 14.376.000 14.808.000 276 - 325 13.823.000 14.237.000 14.664.000 15.103.000 > 326 14.099.000 14.521.000 14.957.000 15.406.000 Sumber : Biro Pemasaran Perum Perhutani (2009). Keterangan : Ukuran Sortimen ketebalan tertinggi

80 mm.

Selain pembelian produk kayu jati dari sumber pasokan Perum Perhutani, kayu jati dapat pula dibeli dari kayu yang berasal dari tegakan hutan rakyat atau petani pemilik tegakan jati. Untuk mendapatkan pasokan produk kayu jati dari non Perhutani dapat diperoleh melalui enam saluran pemasaran (Tukan et al., 2001) yaitu: 1) Pasokan dari tanaman petani yang langsung dijual ke rumah tangga lokal atau

konsumen akhir

2) Pasokan dari tanaman petani yang dijual kepenebang, kemudian penebang menjual kekonsumen akhir

3) Pasokan dari dari tanaman petani yang dijual kepenebang, kemudian di jual kepada IKM pembuat mebel atau kerajinan.

4) Pasokan dari petani dijual ke industri penggergajian, kemudian di jual ke pedagang kayu, selanjutnya dijual konsumen akhir atau kepedagang industri mebel atau pembuat kerajinan kayu jati.

5) Pasokan dari petani untuk dijual kepenebang kayu, kemudian JUN dijual ke pedagang untuk industri mebel dan pembuat kerajinan kayu. selanjutnya dijual ke konsumen akhir pembeli produk mebel atau kerajinan kayu

6) Pasokan kayu dari petani, kemudian langsung dijual ke pedagang kayu antara di Jakarta

Sesuai alternatif model pemasaran kayu tersebut, tingkat harga jual tertinggi yang dapat diterima petani pemasok adalah melalui alternatif penjualan langsung kepada pedagang kayu jati di Jakarta. Hasil penelitian rantai pemasaran menunjukkan jika produk kayu jati dapat dipasok langsung dari petani kepasar kayu jati di Jakarta, maka petani dan pedagang kayu akan berpeluang mendapatkan keuntungan sampai sebesar 35 persen dari harga belinya dari petani (Tukan et al., 2001).