• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Fiqh Muamalah terhadap pelaksanaan Solang-manyolang (pinjam-meminjam) Tampian Padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Tinjauan Fiqh Muamalah terhadap pelaksanaan Solang-manyolang (pinjam-meminjam) Tampian Padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing

Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwasanya pelaksanaan solang-manyolang (pinjam-meminjam) tampian padi merupakan bagian dari bermuamalah, dimana Islam tidak mengatur secara rinci dan detail terhadap permasalahan yang ada, hal itu dikarenakan bahwasanya bidang bermuamalah semakin hari semakin berkembang, oleh sebab itu Islam hanya memberikan landasan-landasan pokok (secara global) sedangkan untuk penjabaranya diserahkan kepada manusia itu sendiri dengan catatan apa yang dilakukan itu sesuai dengan syariat Islam.

Kerjasama dalam usaha membutuhkan akad sebagai media perjanjian untuk komitmen serta menjadi tolong-menolong bersifat timbal balik. Maka dalam bermuamalah diharuskan adanya kejelasan akad, agar dapat menyelaraskan tujuan demi kepentingan individu maupun bersama dengan kerelaan.

Akad berasal dari bahasa Arab artinya perikatan, perjanjian, dan permufakatan (Hasan M. A, 2003:101). Sedangkan akad secara istilah suatu

perikatan ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan oleh syara‟ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya (Basyir, 2000:56).

Sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas mengenai akad, bahwasanya akad yang dilafazkan dalam penggunaan tampian padi adalah akad pinjam atau ariyah seperti „‟uni solang tampian padi sahari ni‟‟ (kakak pinjam tampian padi). Bahwasanya pinjam-meminjam disebut dengan ariyah, ariyah adalah membolehkan kepada orang lain untuk mengambil manfaat suatu barang yang halal dengan tidak merusak zatnya secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan suatu imbalan, hal itu tidak dapat disebut dengan ariyah (Suhendi H, 2010:93).

Ungkapan solang dalam penelitian ini adalah sewa-menyewa atau ijarah dikarenakan adanya imbalan terhadap pemanfaatanya. Ijarah berasal dari bahasa Arab yang berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan (Nasroen Haroen, 2000: 228). Sewa menyewa diistilahkan dengan ijarah yang berarti upah, ganti atau imbalan dalam istilah umum disebut dengan sewa-menyewa, oleh karena itu ijarah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah dan imbalan atas penmafaatan barang dalam suatu kegiatan (Karim, 1997:29).

Sewa menyewa perbolehkan dalam Islam karena sewa-menyewa mengandung unsur tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Hal ini sesuai dengan firman Allah surah al-Maidah ayat 2:



















“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-nya”.

Jadi menurut analisa penulis dari penelitian ini adalah lafadz yang dipratekkan masyarakat Jorong Kinawai Nagari Balimbing dalam perjanjian antara pemilik tampian padi dengan orang yang menggunakan tampian padi adalah akad solang-manyolang atau yang disebut dengan ariyah atau pinjam meminjam, namun pinjam-meminjam disini dikategorikan dengan sewa atau

ijarah. Meski dalam lafadznya adalah solang (pinjam) maka pinjam di sini diartikan dengan sewa-menyewa, dikarenakan adanya imbalan atau upah terhadap penmafaatan dalam penggunaan tampian padi. Hal ini berdasarkan kaidah fikih tentang niat yaitu :

يَ ابًن ا ٔ ظ افن لَن لا يَ اعًن ا ٔ ذص اقًهن د ٕقنا يف ة ربعن ا

„‟Pengertian diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata

dan ungkapan” (Djazuli, 2006:39)

Dari kaidah fikih di atas, meskipun dalam lafadznya pinjam atau ariyah, tapi dengan adanya imbalan berupa upah maka akad tersebut bukan ariyah tapi disebut dengan ijarah.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pemilik tampian padi, dan peminjam tampian padi, penulis melihat akad dan pelaksanaan solang-manyolang tampian padi ini tidak terpenuhinya syarat-syarat dan rukun dalam akad ariyah, bahwasanya rukun dari suatu akad „ariyah adalah orang yang meminjamkan, peminjam, barang yang dipinjamkan adalah milik orang yang meminjamkan, bukan milik orang lain, shighat yaitu bentuk ungkapan pemberian pinjaman, baik lisan maupun tulisan (Khosyi‟ah S, 2014:141)

Rukun di atas jelas bhawasanya dalam akad „ariyah harus jelas ungkapan pinjaman dan barang yang dipinjamkan adalah milik orang yang meminjamkan, dan bukan milik orang lain. Sedangkan dalam praktek solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing, banyaknya petani yang meminjamkan tampian padi tersebut kepada orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Hal ini merupakan meminjamkan yang bukan miliknya tetapi milik orang.

Sedangkan syarat sah suatu akad ialah bertemunya mu‟ir (orang yang meminjamkan) dan musta‟ir (orang memimjam) serta benda yang dipinjamkan atau mu‟ar. Sedangkan syarat secara adalah orang yang meminjamkan adalah pemilik yang berhak untuk memberi pinjaman, Barang

yang dipinjamkan dapat diambil manfaatnya tanpa mengalami perubahan, manfaat yang diambil dari barang yang dipinjam sesuatu yang dibolehkan oleh syara‟.

Akad „ariyah yang dilakukan dalam solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing ini, banyaknya orang-orang yang menggunakan tampian padi tidak sepengetahuan dari pemiliknya, dan adanya orang itu langsung mengambil tampian padi di pondok pemilik tampian padi tersebut. Hal ini bedasarkan wawancara dengan ibu Haflinar pemilik tampian padi ia mengatakan:

“kalau musim manongkang tampian etek acok di bao dek urang, ndak tau urang mambaonyo, kadang-kadang lah tigo hari baru balik” (Kalau sudah musim panen tampian ibu sering dibawa oleh orang lain, dan tidak tau siapa membawanya, bahkan sudah tiga hari baru dipulangkan)”

Dalam praktek mengambil barang seseorang tanpa seizin pemiliknya merupakan merupakan suatu hal yang dilarang agama, terutama dalam fikih muamalah, Hal ini sesuaikan dengan kaidah fikih yaitu :

َّ ر ا لَب ِ ريغ كهي يف ف رصتي ٌ ا ذح لا ز ٕجي لا

“Tiada seseorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang

lain tanpa seizin si pemilik harta” (Djazuli, 2006:131)

Atas dasar kaidah di atas, seseorang tidak boleh memanfaatkan barang barang seseorang tanpa izin dari pemiliknya. Namun apabila seseorang dikemudian hari meminta izin kepada pemiliknya dan pemiliknya mengizinkan maka hal tersebut dibolehkan. Hal ini berdasarkan wawancara dengan pemilik tampian padi dan peminjam tampian padi yaitu ibu Haflinar dan ibu Nurhaida. Ibu Nurhaida memakai tampian padi ibu Haflinar tanpa sepengetahuan dari ibu Haflinar, ibu Nurhaida meminta izin kepada ibu Haflinar setelah panenya selesai.

Dari wawancara penulis di atas dengan pemilik tampian padi atau orang yang meminjamkan tampian padi dan orang yang meminjam tampian padi, bahwasanya orang yang memakai tampian padi meminta izin kepada

pemiliknya setelah pemakaian selesai. Hal ini diperbolehkan dalam hukum Islam, sesuai dengan kaidah fikih yaitu :

تقب اطن ا تن اك ٕن اك تقح لَن ا ة ز اج لا ا