• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP PRAKTIK SOLANG-MANYOLANG TAMPIAN PADI DI JORONG KINAWAI NAGARI BALIMBING KECAMATAN RAMBATAN KABUPATEN TANAH DATAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP PRAKTIK SOLANG-MANYOLANG TAMPIAN PADI DI JORONG KINAWAI NAGARI BALIMBING KECAMATAN RAMBATAN KABUPATEN TANAH DATAR"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP PRAKTIK

SOLANG-MANYOLANG TAMPIAN PADI

DI JORONG KINAWAI NAGARI BALIMBING

KECAMATAN RAMBATAN KABUPATEN TANAH DATAR

SKIRPSI

Ditulis Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

Oleh : YELSA MALIYA NIM : 15301300067

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Alhamdulillahi rabbil‟alamin, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga skripsi yang yang berjudul “Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Praktik Solang-manyolang Tampian Padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar”, dapat di selesaikan.

Salawat serta salam penulis ucapkan kepada allah SWT semoga di sampaikan kepada junjungan ummat baginda muhammad SAW. Sebagai pembawa risalah yang benar dan telah meninggalkan pedoman hidup untuk manusia sebagai petunjuk ke jalan yang benar.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Hukum pada jurusan Hukum Ekonomi Syariah Institut Agama Islam Negri ( IAIN ) Batusangkar, penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Ayahanda Junaidi ibunda Erdawati, mamak Afrizal Efendi dan Syarial Efendi, serta pihak keluarga besar ABS Family yang telah memberikan dukungan secara moril dan materil dan motivasi yang tidak henti kepada penulis.

Ucapan terimakasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Kasmuri, M.A selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

2. Bapak Dr. Zainuddin, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah Institut Agama islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

3. Ibu Yustiloviani, S.Ag. M.Ag. Selaku ketua jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES) yang telah meluangkan banyak waktu untuk mengarahkan dan menasehati penulis..

4. Drs. H. Emirizal, selaku dosen penasehat akademik (PA) penulis yang telah meluangkan banyak waktu untuk mengarahkan dan menasehati penulis..

(6)

ii

telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta nasehat kepada penulis dalm penulisan ini.

6. Ibuk Dr. Irma Suryani, M.H selaku penguji I peneliti dalam penelitian skripsi ini yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta nasehat kepada peneliti dalm penelitian ini.

7. Bapak Afrian Raus, S.H.I., M.H selaku penguji II peneliti dalam penelitian skripsi ini yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta nasehat kepada peneliti dalam penelitian ini.

8. Seluruh civitas akademik baik dosen maupun staff yang tidak bisa di sebutkan satu per satu yang berperan aktif selama berada di perkuliahan IAIN Batusangkar

9. Seluruh anggota Resimen Mahasiswa satuan 126 Muhawarman IAIN Batusangkar.

10. Teman-teman kepengurusan HMJ Hukum Ekonomi Syariah periode 2017 11. Seluruh Sahabat seperjuangan, jurusan Hukum Ekonomi Syariah BP. 2015

terutama HES B‟15

12. Seluruh Adik-adik (BP. 2016, 2017) dan Kakak-kakak (BP. 2014, 2013) jurusan Hukum Ekonomi Syariah yang tidak mungkin disebutkan satu persatu yang telah memberikan motivasi dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu dengan sukarela telah memberikan bantuannya dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT. Berkenan menerima jasa-jasa mereka sebagai amal kebaikan bagi yang bersangkutam. Amin Ya Rabbal „Alamin.

(7)
(8)

iv

YELSA MALIYA, NIM. 15301300067. Judul Skripsi “Tinjauan Fiqh

Muamalah Terhadap Praktik Solang-manyolang Tampian Padi di Jorong

Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar, 2019.

Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana menurut fiqh muamalah terhadap pelaksanaan solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan akad solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar, Sistem upah dalam solang-manyolang solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar, dan pelaksanaan solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar menurut fiqh muamalah.

Jenis penelitian ini adalah (field research) atau penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan tentang pelaksanaan solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing. Sumber data primer yaitu orang yang menyolangkan (meminjamkan) tampian padi dan para petani yang menyolang (meminjam) tampian padi kepada pemilik tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing dan sumber data sekunder yaitu referensi buku-buku perpustakaan IAIN Batusangkar yang berkaitan dengan akad solang-manyolang (pinjam-meminjam) tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar. Teknik pengumpulan data adalah melalui wawancara dan dokumentasi yang penulis lakukan dengan pemilik tampian padi, pemakai tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing.

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan dapat disimpulkan bahwa, (1) Pelaksanaan akad solang-manyolang alat tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing dapat disimpulkan bahwa, Akad solang-manyolang (pinjam-meminjam) dalam penggunaan tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing tersebut dikategorikan ke dalam akad sewa-menyewa (ijarah), dikarenakan adanya imbalan atau upah terhadap pemanfaatannya. Pengembalian tampian padi tidak orang pertama menyewa, tetapi yang mengembalikan adalah orang lain. (2) Sistem upah dalam solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing, menggunakan sistem dengan cara menghitung jumlah hasil panen dan bukan dengan cara perhari. Hal ini membuat tidak jelasnya jangka waktu orang tersebut memanfaatkan tampian padi dan pemilik tampian padi juga tidak mengetahui jumlah hasil panen orang yang memanfaatkan tampian padi. Akibatnya banyaknya orang yang membayar upah tidak sesuai dengan jumlah hasil panen. (3) Pelaksanaan solang-manyolang tampian padi yang dilakukan oleh sebagian petani di Jorong Kinawai Nagari Balimbing tersebut, tidak sesuai dengan fiqh muamalah. Karena pemilik mempunyai kekuasaan untuk men-tasharruf-kan hartanya. Oleh karena itu, orang yang bukan pemilik dari tampian padi dilarang ber-tasharruf-kan harta orang lain (tampian padi).

(9)

v DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI

HALAMAN PERSEMBAHAN BIODATA KATA PENGANTAR ... i ABSTRAK ... iv DAFTAR ISI ... v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Fokus Penelitian ... 5 C. Rumusan Masalah ... 5 D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat dan Luaran Penelitian ... 6

F. Defenisi Operasional ... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori 1. Akad ... 8

a. Pengertian Akad ... 8

b. Dasar Hukum Akad ... 9

c. Rukun Akad ... 11

d. Syarat-syarat Akad ... 11

(10)

vi

f. Berakhirnya Suatu Akad... 15

g. Bebas Mengemukakan Syarat dalam Akad ... 16

h. Asas Perjanjian dalam Islam ... 20

i. Hikmah Akad... 22

j. Prinsip-prinsip Akad ... 23

k. Subtansi Akad ... 23

2. „Arriyah ... 24

1. Pengertian „Arriyah ... 24

2. Dasar Hukum „Arriyah ... 25

3. Rukun dan Syarat „Arriyah ... 26

4. Macam-macam „Arriyah ... 28

3. Ijarah ... 29

1. Pengertian Ijarah ... 29

2. Dasar Hukum Ijarah ... 30

3. Rukun dan Syarat Ijarah ... 31

4. Sifat Akad Ijarah ... 34

5. Pembatalan dan Berakhirnya Sewa-menyewa Ijarah... 34

6. Pengembalian Objek Sewa-menyewa ... 36

7. Kerusakan Barang Sewa ... 37

8. Menyewakan barang Sewaan ... 38

4. Ujrah ... 39

1. Pengertian Ujrah ... 39

2. Syarat-syarat Ujrah ... 40

3. Hak Menerima Ujrah ... 40

4. Hikmah disyariatkan Upah ... 42

5. Pembatalan dan Berakhirnya Upah ... 43

6. Persyaratan Pembayaran Upah di Muka atau di Akhir ... 45

B. Penelitian Relevan ... 46

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 48

(11)

vii

C. Instrumen Penelitian ... 49

D. Sumber Data... 49

E. Teknik Pengumpulan Data ... 50

F. Teknik Analisis Data... 50

G. Teknik Penjamin Keabsahan Data ... 51

BAB IV TEMUAN/HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kondisi dan Potensi Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar. ... 53

1. Sejarah Singkat Nagari Balimbing ... 53

2. Kondisi Nagari Balimbing ... 54

3. Potensi Nagari Balimbing ... 55

B. Akad Solang-manyolang Tampian Padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar ... 59

C. Sistem Upah dalam Sewa-menyewa Tampian Padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar ... 65

D. Tinjauan Fiqh Muamalah terhadap Sewa-menyewa Tampian Padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar... 69

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)

1

Islam merupakan agama yang mengatur semua aspek kehidupan manusia. Manusia adalah mahluk sosial, yaitu mahluk yang berkhodrat hidup dalam bermasyarakat. Sebagai mahluk sosial, dalam hidupnya manusia memerlukan adanya manusia lain untuk mencukupi hidupnya (Ahmad Azhar Baysir, 2000: 11).

Untuk menjalankan kehidupan sehari-hari dalam mencukupi dan menjalankan kehidupan bermasyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam atau hubungan muamalah. Kata muamalah berasal dari bahasa Arab secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa‟alah (sering berbuat) (Nasroen Haroen, 2000: vii).

Bermuamalah membutuhkan akad sebagai media perjanjian untuk komitmen serta menjadi tali tolong menolong bersifat timbal balik. Maka dalam bermuamalah mengharuskan adanya kejelasan akad, agar dapat menyelaraskan tujuan demi kepentingan individu maupun bersama dengan kerelaan.

Akad dalam bahasa Arab artinya perikatan, perjanjian, dan pemufakatan (M. Ali Hasan, 2003: 101). Sedangkan Akad secara istilah yaitu suatu perikatan ijab dan qabul dengan cara dibenarkan oleh syara‟ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya (Basyir, 2000: 56).

Pada zaman yang sudah berkembang ini penggunaan alat-alat pertanian sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian. Di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar, mempunyai beberapa alat yang digunakan untuk pertanian. Ada alat yang berbentuk mesin seperti mesin bajak dan alat yang berbentuk manual seperti tampian padi.

Tampian padi adalah alat yang digunakan di Nagari Balimbing dimana fungsinya untuk membersihkan padi yang sudah dipanen dan memisahkan

(13)

padi yang berisi dengan yang kosong. Namun tidak semua petani di Jorong Kinawai Nagari Balimbing yang memiliki tampian padi sendiri, dan hal ini timbullah akad solang-manyolang (pinjam-meminjam) antara petani di Jorong Kinawai Nagari Balimbing.

Dalam fiqh muamalah pinjam meminjam diistilahkan dengan ariyah. „Ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu ada imbalanya, hal itu tidak dapat disebut ariyah namun disebut dengan ijarah (sewa-menyewa) (Suhendi, 2010:93).

Sewa menyewa diistilahkan dengan ijarah yang berarti upah, ganti atau imbalan dalam istilah umum disebut dengan sewa menyewa, oleh karena itu ijarah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah dan imbalan atas penmafaatan barang dalam suatu kegiatan (Karim, 1997:29).

Menurut Al-Kasani sebagaimana yang dikutip oleh Farida Arianti dalam buku Fikih Muamalah I, menjelaskan tentang konsep ijarah yang dikemukakan oleh para ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan :

ِعِفاًَُُنا ىَهَع ٌذْقَع ض َْٕعِب

„‟Transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan‟‟

Pada hakikatnya sewa menyewa diperbolehkan dalam Islam karena mengandung unsur tolong menolong dalam kebaikan antara sesama manusia hal ini sesuai dengan firman Allah surah al- Qashash ayat 26 :

           

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".”

Maksud dari ayat di atas adalah salah satu bentuk aktvitas antara dua belah pihak yang berakad guna meringankan salah satu pihak serta termasuk tolong menolong yang diajarkan oleh agama.

(14)

Adapun syarat-syarat akad ijarah adalah sebagai berikut :

1. Untuk kedua belah pihak yang berakad (al-muta‟aqidain), menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah, diisyaratkan telah baliq dan berakal. 2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk

melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah.

3. Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan penjelasan berapa manfaat di tangan penyewa.

4. Obyek al-ijarah itu yang boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak cacat.

5. Obyek al-ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara‟.

6. Obyek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang bisa disewakan . 7. Yang disewakan bukan suatu kewajiban bagi penyewa.

8. Upah atau sewa dalam akad al-ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.

9. Ulama hanafiyah mengatakan upah/ sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa (Haroen N, 2000: 232-235).

Pelaksanaan akad solang-manyolang (pinjam-meminjam) tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing, petani yang sudah memanfaatkan tampian padi harus membayar upah terhadap penmanfaatan tampian padi tersebut. Dimana yang menjadi kebiasaan di masyarakat tersebut bahwasanya upah tergantung dari banyak padi yang dihasilkan. Berikut paparan upah tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan :

(15)

Tabel 1.1

Hasil Panen Upah (Ujrah)

Skala Satuan Skala Satuan

1 – 10 Karung 5 Gantang

11 - 20 Karung 10 Gantang

21 - 30 Karung 15 Gantang

31 - 40 Karung 20 Gantang

41 – 50 Karung 25 Gantang

Keterangan : 1 karung padi = 30 gantang padi

Catatan : Hasil wawancara tanggal 01 Maret 2019 dengan narasumber ibu Ratnawilis warga Jorong Kinawai

Berdasarkan wawancara penulis lakukan pada tanggal 02 Maret 2019 dengan ibu Laili warga Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan, menjelaskan bahwa Pada saat musim panen para petani banyak yang melakukan solang-manyolang (pinjam-meminjam) tampian padi. Dimana setiap harinya tampian padi tersebut selalu digunakan dari sawah kesatu kesawah yang lain dan dari seseorang kepada orang berikutnya. Dalam hal ini kebiasaan masyarakat sering memakai tampian padi tanpa seizin pemilik. Misalnya A pemilik tampian padi, A meminjamkan tampian padi kepada B. Satu hari panen B menyerahkan tampian padi kepada C, dan C menyerahkan tampian padi tersebut kepada D dan begitulah seterusnya, sampai musim panen berakhir. Dalam hal ini biasanya yang membayar upah adalah orang yang pertama memakai tampian padi dan orang yang rumahnya dekat dengan pemilik tampian padi.

Kepemilikan adalah suatu ikatan seseorang dengan hak miliknya yang disahkan oleh syariah (sebagai jelmaan hukum Allah di muka bumi).

(16)

Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan pemilik sehingga ia mempunyai hak menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis syariah (Nabahan M F, 2000: 42). Dengan kepemilikan, pihak yang tidak memiliki tidak berhak menggunakan tanpa izin dari pemilik resmi (Nabahan M F, 2000: 38).

Bedasarkan permasalahan ini, maka penulis tertarik untuk membahas masalah tersebut kedalam bentuk karya ilmiah yang bejudul „‟Tinjauan Fiqh

Muamalah Terhadap Praktik Solang-manyolang Tampian Padi di Jorong

Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar”.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus masalah dari penelitian yang penulis lakukan adalah Bagaimana menurut fiqh muamalah terhadap pelaksanaan solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar ?

C. Rumusan Masalah

Dalam rangkain keterangan diatas membuktikan bahwa dalam pelaksanaan solang-manyolang tampian padi tersebut, terkadang tidak sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam fiqh muamalah oleh karena itu, Penulis ingin menganalisa peristiwa tersebut dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana akad solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar ? 2. Bagaimana sistim upah yang dilaksanakan dalam solang-manyolang

tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar ?

(17)

3. Bagaimana tinjauan fiqh muamalah terhadap pelaksanaan solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar.

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan akad solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan sistim upah dalam pelaksanaan solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan tinjauan fiqh muamalah terhadap pelaksanaan solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar.

E. Manfaat dan Luaran Penelitian 1. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian dari penulisan skripsi ini adalah : a. Manfaat Praktis

1) Memberikan masukan bagi para pihak yang terkait dalam hal solang-manyolang tampian padi.

2) Bermanfaat bagi masyarakat luas yang berkepentingan berupa masukan dan wawancara mengenai solang-manyolang tampian padi yang benar menurut fiqh muamalah.

b. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis yang berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum ekonomi syariah, khusunya yang berkaitan dengan solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar dengan menurut fiqh muamalah.

(18)

2. Luaran Penelitian

a. Dapat diplukasikan pada jurnal kampus IAIN Batusangkar

b. Materi ini dapat menjadi materi yang berguna dan bermanfaat oleh masyarakat.

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dari judul skripsi ini maka penulis akan mencoba menguraikan secara singkat mengenai maksud dari proposal ini :

Fiqh Muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan

tindakan manusia dalam persoalan kedunian (Arianti, 2013: 1). sebagai aturan-aturan syara‟ yang bersifat amaliah atau hubungan manusia dengan manusia baik yang berhubungan dengan kepemilikan harta, jual beli, dan lainya (Kasmidin, 2015. P. 3). Sedangkan yang penulis maksud dalam fiqh muamalah adalah hukum-hukum Islam yang mengatur tentang solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar bedasarkan Al-qur‟an, Sunnah dan Ijma‟ para ulama.

Solang-manyolang adalah bahasa dari Minang Kabau yang artinya

pinjam-meminjam, pinjam meminjam dalam bahasa Arab disebut dengan „ariyah. ‟Ariyah adalah „Ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Sedangkan solang-manyolang disini adalah akad yang digunakan oleh masyarat petani di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar dalam menggunakan alat tampian padi.

Tampian Padi merupakan istilah di Jorong Kinawai Nagari

Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar, dimana pemahaman yang dipahami adalah alat yang digunakan oleh para petani untuk membersihkan dan memisahkan antara padi yang berisi dengan padi yang kosong.

(19)

Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami maksud judul penelitian ini adalah tinjauan Fiqh Muamalah terhadap praktik solang-manyolang tampian padi di Jorong Kinawai Nagari Balimbing Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar menurut Fiqh Muamalah.

(20)

9 BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori 1. Akad a. Pengertian Akad

Akad dalam bahasa Arab artinya perikatan, perjanjian, dan pemufakatan (Hasan M. A, 2003: 101) Sedangkan Akad secara istilah suatu perikatan ijab dan qabul dengan cara dibenarkan oleh syara‟ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya (Basyir, 2000:56).

Semua perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan syariat. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi yang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang (Hasan M. A, 2003:101).

Menurut Mustafa az-Zarqa‟, dalam pandangan syara‟ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk meningkatkan diri.Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati, karena itu untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu pernyataan.Pernyataan itulah yang disebut dengan ijab dan Kabul.Pelaku (pihak) pertama disebut dengan mujib dan pelaku (pihak) kedua disebut dengan qabil (Hasan M. A, 2003: 102).

Secara terminologi fikih, akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikat) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Maksud dari kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat adalah bahwa seluruh perikatan (akad) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dikatakan tidak sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara‟, misalnya kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu

(21)

orang lain atau merampok kekayaan orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat berpengaruh pada objek perikatan dalam defenisi di atas adalah terjadinya perpindahan pemilikan atau manfaat dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan qabul) (Elimartati, 2010, hal. 13)

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 20 (1) mendefinisikan bahwa akad kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua piak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu,

Jadi akad adalah perikatan ijab dan qabul yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan hukum tertentu.

b. Dasar Hukum Akad 1. Al-Quran

Adapun yang menjadi dasar dalam akad ini pertama adalah firman Allah dalam al-Qur‟an Surat al-Maidah ayat 1 yang berbunyi:

                         

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (Qs. al-Maidah [5]: 1)

Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah bahwa setiap mukmin berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan atau akadkan, baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal (Suhendi, 2008, hal. 45)

(22)

Dasar kedua adalah firman Allah dalam al-Qur‟an Surat an-Nisa‟ ayat 29 yang berbunyi:

                         

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Qs. an-Nisa‟ [4]: 29)

Ayat di atas, menegaskan bahwa dalam transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkan dengan „an taradhin minkum. Kendati kerelaan itu sesuatu yang abstrak, namun indikator dan tandanya dapat terlihat. Indikator dan tanda-tanda tersebut dapat berupa ijab qabul dan adanya serah terima di antara kedua belah pihak.

2. Hadist َُّاللّ َي ِض َر شاَّبَع ٍُْبا َلاَق راَُيِد ٍُْب ٔ ُرًَْع َلاَق جْي َرُج ٍُْبا اََ َرَبْخَأ ِىَثْيَْٓنا ٍُْب ٌُاًَْثُع اََُثَّذَح ُْ ِرَك ْىَََُّٓأَك ُو َلَْضِ ْلْا َءاَج اًََّهَف ِتَّيِهِْاَجْنا يِف ِشاَُّنا َرَجْتَي ٌظاَكُع َٔ ِزاَجًَْنا ُٔر ٌَاَك آًََُُْع إ َكِنَر ْتَن َسََ ىَّتَح } ْىُكِّب َر ٍِْي الَْضَف إُغَتْبَت ٌَْأ ٌحاَُُج ْىُكْيَهَع َصْيَن { ِّجَحْنا ِىِضا ََٕي يِف

“Telah menceritakan kepada kami 'Utsman bin Al Haitsam telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij telah berkata, 'Amru bin Dinar berkata, Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma: "Dzul Majaz dan Ukazh adalah tempat berdagang orang-orang pada masa jahiliyah. Ketika Islam datang seakan-akan mereka membenci tempat itu, hingga turunlah QS AL Baqarah ayat 195 yang artinya: ("Tidak ada dosa bagi kalian jika kalian mencari karunia (rezeqi hasil perniagaan) dari Rabb kalian"), yaitu pada musim haji (Kitab Shahih Bukhari)

c. Rukun Akad

Menurut Jumhur (mayoritas) fukaha, rukun akad terdiri dari : 1) Pernyataan untuk meningkatkan diri (sighah al-aqd) 2) Pihak-pihak yang berakad

(23)

3) Obyek Akad

d. Syarat-syarat Akad

Para ulama fikih menetapkan, ada beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad, disamping setiap akad juga mempunyai syarat-syarat khusus. Umpamanya: akad jual beli memiliki syarat-syarat tersendiri. Demikian juga halnya dengan akad wadi‟ah, hibah, dan ijarah (sewa-menyewa). Syarat-syarat umum suatu akad adalah :

1) Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hokum (mukallaf). Apabila belum mampu, harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad yang dilakukan oleh orang yang kurang waras (gila) atau anak kecil yang belum mukallaf secara langsung hukumnya tidak sah. 2) Obyek akad itu diakui oleh syara‟. Obyek ajad ini harus

memenuhi syarat : a) Berbentuk harta b) Dimiliki seseorang

c) Bernilai harta menurut syara‟

3) Akad itu tidak dilarang oleh nash syara‟ (Hasan M. A, 2003:105 -107).

4) Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan, disamping harus memenuhi syarat-syarat umum, yang termasuk kedalam syarat-syarat umum yaitu rukun-rukun yang harus ada pada setiapa akad, seperti orang yang berakad, objek akad, objek tersebut bermanfaat dan tidak dilarang oleh syara‟, sedangkan yang dimaksud dengan syarat khusus yaitu syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad yang tidak disyariatkan pada bagian lainya, seperti syarta harus adanya saksi pada akad nikah („aqd al-jawaz) dan keharusan penyerahan barang/ objek pada al-uqud al-„ainiyyah (Mardani, 2013:53).

(24)

5) Akad itu bermanfaat.

6) Ijab tetap utuh sampai terjadinya Kabul.

7) Ijab dan Kabul dilakukan dalam suatu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi.

8) Tujuan akad itu harus jelas dan diakui oleh syara‟ (Hasan M. A, 2003: 108).

e. Macam- macam Akad

Menurut ulama fikih, akad dapat dibagi dari bebagai segi, apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara‟ akad dibagi dua, yaitu :

1) Akad Sahih, yaitu akad yang telah memenuhi dan rukun. Dengan demikian, segala akibat hokum yang ditimbulkan oleh akad itu, berlaku kepada kedua belah pihak. Akad shahih dibagi oleh para ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu :

a) Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksankan)

Adalah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakan.

b) Akad Mawquf

Adalah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang dilangsungkanoleh anak kecil yang mumayiz.

Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya jual beli yang sahih itu, para ulama fikih membaginya kepada dua macam yaitu :

a) Akad yang bersifat yang mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak tidak boleh

(25)

membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad jual beli dan sewa-menyewa.

b) Akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti akad al-wakalah (perwakilan), al-ariyah (pinjam-meminjam), dan al-wadhi‟ah (barang titipan). 2) Akad yang tidak Sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan

pada rukun dan syaratnya, sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang melakukan akad itu (Hasan M. A, 2003: 110-111). Akad yang tidak shahih di bagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu :

1) Akad Batil

Akad batil adalah akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya ada larangan langsung dari syara‟. Misalnya, objek jaul beli itu tidak jelas. Atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan, atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.

2) Akad Fasid

Akad fasid adalah akad pada dasarnya disyariatkan, akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang tidak ditunjukan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang akan dijual, atau tidak disebut brand kendaraan yang dijual, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli.

Ulama fikih menyatakan bahwa akad batil dan fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apapun.

Ahmad Azhar Baysir dalam bukunya Asas-asas hukum muamalat, akad dibedakan dalam berbagai penggolongan dilihat dari beberapa sudut pandang yaitu :

(26)

1) Akad dilihat dari sifat dan hukumnya

Dari segi sifat dan hukumnya, akad dibagi menjadi beberapa bagian :

a) Akad Sah

Akad sah adalah suatu akad dinamakan akad sah apabila terjadi pada orang-orang yang bercakapan. Objeknya dapat menerima hukum akad, dan akad itu tidak terdapat hal-hal yang menjadikan dilarang syarak. Dengan kata lain, akad sah adalah akad yang dibenarkan syarak ditinjau dari rukun-rukunya maupun pelaksanaanya.

Dalam akad sah, ketentuan-ketentuan yang menjadi akibat hukumnya terjadi dengan seketika, kecuali jika ada syarat lain. Akad sah dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu akad sah yang dapat dilaksanakan tanpa bergantungan kepada hal-hal lain disebut akad nafiz, dan akad sah yang pelaksanaanya bergantung kepada hal lain disebut akad mauquf.

b) Akad Batal

Akad batal adalah suatu akad dinamakan akad batal apabila terjadi orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat kecakapan atau objeknya tidak dapat menerima hukum akad hingga dengan demikian pada akad itu terdapat hal-hal menjadikan dilarang syara‟. Dengan kata lain, akad batal adalah akad yang tidak dibenarkan syara‟ ditinjau dari rukun-rukunnya maupun cara pelaksanaanya. c) Akad Rusak

Akad rusak adalah suatu akad rusak apabila dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat kecakapan terhadap objek yang dapat menerima hukum akad, tetapi padanya ada yang tidak dibenarkan syara‟.

(27)

Misalnya dua orang melakukan akad atas barang yang tidak dapat diketahui dengan pasti, seperti orang menjual salah satu dari rumah-rumah miliknya, tanpa diketahui dengan pasti rumah yang mana.

d) Akad Bersandar Kepada Waktu Mendatang

Jika suatu akad tidak dilaksanakan seketika, ada dua kemungkinan yaitu bersandar kepada waktu mendatang atau bergantung atas adanya syarat.

e) Akad Bersyarat

Akad bersyarat adalah suatu akad yang digantungkan atas adanya syarat tertentu.

f) Akad Fauri dan Mustamir

Akad fauri yaitu akad yang dapat segera dilaksanakan setelah tujuan akad tercapainya dan setelah terjadinya ijab dan kabul. Sedangkan yang dimaksud dengan akad mustamir adalah akad yang pelaksanaanya memerlukan waktu yang panjang dan tujuan akad baru tercapainya setelah memerlukan waktu tertentu.

f. Berakhirnya Suatu Akad

Ulama fikih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir, apabila terjadi hal-hal berikut : (Elimartati, 2010:20)

1) Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.

2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.

3) Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir apabila :

a) Akad itu fasid

b) Berlaku khiyar syarat, khiyar „aib

(28)

d) Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna

4) Wafat salah satu pihak yang berakad (Hasan M. A, 2003:112).

g. Bebas mengemukakan Syarat dalam Akad

Para ulama fikih menetapkan, bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syarat, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad (transaksi)

Setiap manusia mempunyai kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad, dan sebagai akibatnya wajib memenuhi ketentuan hukum yang ditimbulkan oleh akad tersebut sebagaimana firman Allah Surah al-Maidah ayat 1 :

                         

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” Pada saat ini, Transaksi itu adakalanya dalam jumlah yang sangat besar, puluhan, ratusan, bahkan ribuan ton. Biasanya antara pembeli dan penjual membuat persyaratan-persyaratan dalam akad seperti barangnya diterima di tempat penjual dan pembeli. Pengirimannya bertahap atau sekaligus dan sebagainya.

Menurut ulama Mazhab az-Zahiri semua syarat yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad, apabila tidak sesuai dengan Al-qur‟an dan Sunnah Rasulullah adalah batal. Sedangkan menurut jumhur ulama fikih, selain Mazhab az-Zahiri, pada dasarnya pihak-pihak yang berakad itu mempunyai kebebasan untuk menentukan syarat-syarat tersendiri dalam suatu akad. Namun, hendaknya diingat, bahwa kebebasan menentukan syarat-syarat dalam

(29)

suatu akad tersebut, adalah bersifat mutlak, tanpa batas selama tidak ada larangan didalam al-Qur‟an dan Sunnah, sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanbali dan Mazhab Maliki. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi dan Syafi‟i, sekalipun pihak-pihak yang berakad mempunyai kebebasan dalam menentukan syarat, tetapi kebebasanya mempunyai batas (terbatas). Umpamanya seorang suami mensyaratkan dia tidak memberi nafkah kepada istrinya sesudah berumah tangga. Syarat ini batal, karena tidak sesuai dengan kehendak syara‟, karena suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya sesuai dengan kemampuanya (Hasan M. A, 2004:108-109).

Mayoritas ulama fiqh sepakat bahwa keridaan (kerelaan) merupakan dasar berdirinya sebuah akad (kontrak). Hal ini bedasarkan pada firman Allah Q. S an-Nisa ayat 29. Selain itu, kesepakatan ulama tersebut juga bedasarkan hadis Nabi dari sa‟id al Khudlri bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka...”. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Majah ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum.

Menurut Wahbah Zuhaili, hadis ini terbilang hadist yang panjang, namun demikian hadist ini mendapatkan pengakuan keshahihanya dari Ibnu Hibban. Hadis ini memberikan persyaratan bahwa akad jual beli harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing piha ketika melakukan transaksi. Imam Syafi‟I menyatakan, secara asal usul jual beli diperbolehkan ketika dilaksanakan dengan adanya kerelaan/keridhaan kedua pihak atas transaksi yang dilakukan, dan sepanjang tidak bertentangan dengan apa yang dilarang oleh syariah.

Bedasarkan atas kedua dalil di atas, dapat dikatakan bahwa keridaan merupakan dasar terbentuknya sebuah akad (kontrak). Pelaku

(30)

bisnis diberikan kebebasan yang luas untuk membangun sebuah akad sepanjang terdapat unsur keridaan. Namun demikian, ulama berbeda pendapat terkait dengan kebebasan untuk melakukan akad.

1) Madzhab Adz-Dzahiriyah

Menurut madzhab ini, hukum asal dalam membentuk akad adalah dilarang sampai ditemukan dalil yang memperbolehkannya. Dalam arti, setiap akad atau syarat untuk ditetapkan dalam akad yang tidak terdapat nash syar‟i atau ijma ulama, maka akad tersebut batal dan dilarang. Pendapat ini setidaknya didukung oleh dalil-dalil sebagai berikut :

a) Syariah Islam bersifat komprehensif dan telah memberikan penjelasan semua aspek kehidupan manusia yang menyangkut kemaslahatan umat, diantaranya adalah akad (kontrak) kesemuanya itu didasarkan pada aspek keadilan, maka tidak adil jika manusia diberi kebebasan penuh dalam berkontrak, kecuali hal itu akan meruntuhkan ajaran syariah. b) Rasulullah SAW bersabdah : “Barang siapa melakukan

amalan yang tidak adil ada perintah kami, maka amalan itu ditolak”. Setiap akad atau syarat yang tidak diisyaratkanoleh syara dengan nash dan ijma‟, maka akad tersebut batal. Karena jika mansia melakukan akad yang tidak ada nashnya, maka dimungkinkan ia akan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu yang bertentangan dengan syariah. 2) Mazhab Hanabalah dan Mayoritas Ulama menurut ulama ini,

hukum asal dalam akad adalah diperbolehkan sepanjang tidak ditemukan syara yang melarangnya atau bertentangan dengannya. Pendapat ini didukung oleh dalil berikut ini :

a) Ayat dan hadist sebagaimana telah disebutkan hanyalah mensyaratkan adanya unsur kerelaan (keridaan) dalam akad, bukan yang lain. Manusia diberi kebebasan untuk

(31)

berkontrak demi mengwujudkan kemaslahatan dirinya. Dengan demikian, mengharamkan sesuatu atas syarat atau akad yang digunakan manusia tanpa menggunakan dalil syar‟i, sama halnya dengan mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan Allah. Hukum asal dalam akad dan menentukan syarat yang melekat di dalamnya adalah mubah (diperbolehkan)

b) Kegiatan muamalah sangat berbeda dengan ibadah, dalam konteks ibadah, harus terdapat nash yang memerintahkannya, kita tidak bisa beribadah tanpa adanya nash syar‟i. Berbeda dengan muamalah, sepanjang tidak ditemukan nash yang melarangnya, maka hukumnya diperbolehkan. Setiap akad yang dibentuk oleh pihak yang melakukan transaksi, memiliki tujuan dasar yang ingin diwujudkan. Seperti perpindahan kepemilikan dalam akad jual beli, kepemilikan manfaat dalam akad ijarah (sewa-menyewa), hak untuk menahan barang dalam akad rahn, dan lainya.

Dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Dalam jual beli misalnya, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai harga atas objek transaksi dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang dan berhak menerima uang sebagai kompensasi barang. Skripsi (Aslinur, 2016:34-38).

h. Asas Perjanjian dalam Hukum Islam 1) Asas Ibahah (Mabda‟ al-Ibahah)

Asas Ibahah adala asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam

(32)

adagium “Pada asanya segala sesuatu yang boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”

2) Asas Kebebasan Berakad (Mabda‟ Hurriyah at-Ta‟aqud) Asas kebebasan berakad yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikad kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam Undang-undang Syariah dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingan sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan cara yang bathil.

3) Asas Konsensualisme (Mabda‟ ar-Radha „iyyah)

4) Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu terpenuhinya formalitas-formalitas tertentu.

5) Asas Janji Itu Mengikat

6) Asas Keseimbangan (Mabda‟ AT-Tawazum fi al-Mua‟awadhah)

Asas keseimbangan dalam memikul resiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, dimana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala resiko atas kerugian usaha, sementara kreditur bebas sama sekali dan harus mendapat presentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif.

7) Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)

Maksudnya bahwa akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mengwujudkan kemaslahatan bagai mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan-keadaan memberatkan (masyaqqah).

(33)

Maksudnya adala masing-masing pihak harus berikhtikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksplotasi ketidaktahuan mitranya.

9) Asas Keadilan

Dalam asas ini para pihak melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dan mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajiban (Anwar S, 2007:83-92).

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 21 akad dilakukan bedasarkan asas :

1) Ikhtiyar/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

2) Amanah/ menepati; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera janji.

3) Ikhtiyati/ kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaskanakan secara tepat dan cermat.

4) Luzum/ tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan ynag jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.

5) Saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

6) Taswiyah/ kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara dan mempunyai hak kewajiban yang seimbang.

(34)

7) Transparansi, setiap akad dilakukan dengan pertanggung jawaban para pihak secara terbuka.

8) Kemampuan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudaan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakan sesuai dengan kesepakatan.

9) Itikad baik, akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan,tidak mengandungunsur jabatan dan perbuatan buruk lainya

10) Sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.

11) Al-Hurriyah (Kebebasan Berkontrak) 12) Al-Kitabah (tertulis)

i. Hikmah Akad

Diadakan akad dalam muamalah antar sesama manusia tentu mempunyai hikmah, diantaranya :

1) Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.

2) Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar‟i.

3) Akad merupakan “payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya (Abdul Rahman Ghazali, 2010:51).

j. Prinsip-prinsip Akad

Dalam hukum Islam telah menetapkan beberapa prinsip akad yang berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan adalah sebagai berikut :

a. Prinsip kebebasan berkontrak b. Prinsip perjanjian itu mengikat c. Prinsip kesepakatan bersama

(35)

d. Prinsip ibadah

e. Prinsip keadilan dan keseimbangan prestasi f. Prinsip kejujuran (amanah)

k. Substansi Akad

Substansi akad merupakan pilar terbangunya sebuah akad. Substansi akad diartikan sebagai maksud pokok/tujuan yang ingin dicapai dengan adanya akad yang dilakukan. Hal ini merupakan sesuatu yang penting, karena akan berpengaruh terhadap implikasi tertentu.

Substansi akad akan berbeda untuk masing-masing akad yang berbeda. Untuk akad jual beli, substansi akadnya adalah pindahnya kepemilikan barang kepada pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. Dalam akad ijarah (sewa-menyewa), tujuannya adalah pemindahan kepemilikan nilai manfaat barang dengan adanya upah sewa. Akad pernikahan adalah halalnya untuk bersenang-senang bagi kedua pasangan, dan lainya.

Motif yang dimiliki oleh seseorang tidak berpengaruh terhadap bangunan akad. Akad akan tetap sah sepanjang motif yang bertentangan dengan syara‟ tidak diungkapkan secara verbal dalam prosesi akad. Misalnya, seseorang menyewa sebuah gedung, akad sewa tetap sewa dan penyewa berhak untuk memiliki manfaat sewa serta berkewajiban untuk membayar upah (substansi). Walaupun mungkin ia memiliki motif aan menggunakan gedung tersebut untuk bisnis klub malam.

Akad sewa akan tetap sah sepanjang motif tersebut tidak dinyatakan secara verbal dalam akad. Secara dzahir akad tetap sah tanpa melihat motifnya yang tidak sesuai dengan syara‟. Namun demikian, hal ini hukumnya makruh tahrim disebabkan adanya motif yang tidak syar‟I (Djuwaini, 2010: 58-59).

(36)

4. ‘Arriyah

a. Pengertian ‘Arriyah (Pinjam-meminjam)

Menurut Wahbah Zuhaili dalam buku fikih muamalah II oleh Farida Arianti „arriyah secara etimologi „arriyah diambil dari kata „ara yang berarti datang dan pergi (Arianti F, 2014: 29). Sedangkan pengertian dalam terminologi Ulama fiqh , maka dari itu ada perincian dari beberapa Mazhab :

a. Mazhab Maliki

„Arriyah adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa imbalan. b. Mazhab Hanafi

„Arriyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara cuma-cuma.

c. Mazhab Syafi‟i

„Arriyah adalah merupakan kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin dimanfaatkannya, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

d. Mazhab Hambali

„Arriyah adalah kebolehan memanfaatkan suatu zat barang atau imbalan dari peminjam atau lainya (Suhendi, 2010: 91-92).

e. Ibnu Rif‟ah

“Kebolehan mengambil suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan‟‟(Suhendi H, 2010:92) f. Al-muwardi

“Memberikan manfaat”(Suhendi H, 2010:92) g. M. Ali Hasan

(37)

“Memberikan manfaat tanpa ganti rugi”(Sahrani S, dkk, 2011:140)

h. MA Tihami mengemukakan, bahwa keadaan atau wujud sesuatu „ariyah ialah kebolehan mengambil manfaatnya, sedangkan sesuatu benda yang diambil manfaatnya itu tetap utuh keadaanya atau wujud sesuatu itu memang dapat (secara utuh) dikembalikan akibat diambil manfaatnya.

Jadi ”Arriyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau imbalanya , hal itu tidak dapat disebut „arriyah (Suhendi, 2010: 93)

b. Dasar Hukum ‘Arriyah (Pinjam-meminjam)

„Arriyah berfungsi sebagai tolong menolong bagi orang yang memiliki harta dengan orang yang tidak memiliki harta (Arianti F, 2014: 30). Adapun yang menjadi dasar hukum perjanjian pinjam-meminjam ini didasarkan kepada ketentuan Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

1) Al-Qur‟an          

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”(Surah Al-Maidah ayat 2).

2) Hadist Nabi

ُتْعًَِض ٌةاَّد َؤُي ُتَي ِراَعْنا ُلُٕقَي َىَّهَض َٔ ِّْيَهَع ُ َّاللّ ىَّهَص ِ َّاللّ َلُٕض َر ُتْعًَِض ُلُٕقَي َتَياَيُأ اَبَأ

ٌةَدُٔد ْرَي ُتَحًُِْْنا َٔ “Dari Abu Umamah, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda Pinjaman hendaknya dikembalikan kepada

(38)

pemiliknya tanpa harus ada tambahan. Dan pemberian (anugerah) hendaknya ditolak."( Shahih Ibnu Majjah)

ٌةاَّد َؤُي ُتَي ِراَعْنا ُلُٕقَي َىَّهَض َٔ ِّْيَهَع ُ َّاللّ ىَّهَص ِ َّاللّ َلُٕض َر ُتْعًَِض َلاَق كِناَي ٍِْب ِصَََأ ٍَْع ٌةَدُٔد ْرَي ُتَحًُِْْنا َٔ Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Pinjaman hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya tanpa harus ada tambahan. Dan pemberian (anugerah) hendaknya ditolak”(Shahih Ibnu Majjah)

Dari ayat dan hadist di atas, maka memberikan kejelasan terhadap disyariatkan „arriyah tersebut. Ulama Fikih Sepakat menyatakan bahwa hokum „arriyah itu sunnat karena „arriyah merupakan salah satu bentuk tu‟abbud kepada Allah SWT (Arianti. F, 2014: 31).

c. Rukun dan Syarat ‘Arriyah 1) Rukun

Secara umum rukun „ariyah ada lima :

a) Peminjaman merupakan bentuk transaksi pinjam-meminjam atau ungkapan pemberian pinjamanm, yaitu bentuk perkataan yang menunjukan pemberian persetujuan atas apa yang dipinjamkan.

b) Orang yang meminjamkan c) Peminjam

d) Barang yang dipinjamkan, adalah milik orang yang meminjamkan, bukan milik orang lain.

e) Shighat, yaitu bentuk ungkapan pemberian pinjaman, baik lisan maupun tulisan (Khosyi‟ah S, 2014:141)

Menurut Hanafiyah, rukun „arriyah adalah satu, yaitu ijab dan qabul, tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan

(39)

menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hokum ijab dan qabul dengan ucapan (Suhendi, 2010: 94)

Adapun menurut jumhur ulama “dalam akad” „arriyah harus terdapat unsur (rukun), sebagai berikut :

a) Orang yang meminjamkan (mu‟ir) b) Orang yang meminjam (musta‟ir) c) Barang yang dipinjamkan (mu‟ar) d) Shighat

2) Syarat-syarat „ariyah

Adapun syarat-syarat „ariyah berikut dengan rukun yang telah dikemukakan di atas, yaitu orang yang meminjamkan, barang yang dipinjamkan dan shighat.

Secara umum syarat-syarat „ariyah adalah :

a) Orang yang meminjamkan adalah pemilik yang berhak untuk memberi pinajaman.

b) Barang yang dipinjamkan dapat diambil manfaatnya tanpa mengalami perubahan.

c) Manfaat yang diambil dari barang pinjaman adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syara‟ (Sabiq S, 2009:307)

d. Macam-macam „arriyah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta‟ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah muir meminjamkan secara muqayyad (terikat) atau mutlaq.

1) „Arriyah Mutlaqah

„Arriyah Mutlaqah yaitu pinjaman meminjam barang yang dalam akadnya tidak ada persyaratan apapun, umpamanya apakah penmafaatan hanya muta‟ir saja atau dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan cara penggunaanya.

(40)

Contohnya : seseorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, umpamanya waktu dan tempat pengendarainya.

Namun demikian, harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika, penggunanya tidak disesuaikan dengan kebiasaan dan barang pinjaman tersebut rusak, maka musta‟ir harus bertanggung jawab.

2) ‟Arriyah Muqayyadah

‟Arriyah Muqayyadah adalah akad peminjaman barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemafaatannya, baik diisyaratkan pada keduanya atau salah satunya. Maka musta‟ir harus bisa menjaga batasan tersebut. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta‟ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkanya.

5. Ijarah

a. Pengertian Ijarah

Lafal al-ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan ( Nasroen Haroen, 2000:228). Kata ijarah merupakan derivasi dari kata al-ajr. Adapun dalam istilah syariat, ijarah adalah transaksi atas suatu manfaat dengan adanya ganti (upah) (Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya, 2013:802). Sedangkan ijarah menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fikih Sunnah jilid 4 menyatakan bahwasanya kata ijarah berasal dari kata alj yang berarti imbalan. Oleh karena itu, pahala disebut dengan ajr. Dalam pengertian syariat, penyewaan (ijarah) didefinisikan sebagai akad

(41)

atas dasar manfaat dengan timbal balik imbalan (Sabiq S, 2016:167).

Sewa menyewa diistilahkan dengan ijarah yang berarti upah, ganti atau imbalan dalam istilah umum disebut dengan sewa menyewa, oleh karena itu ijarah mempunyai pengerttian umum yang meliputi upah dan imbalan atas penmafaatan barang dalam suatu kegiatan (Karim, 1997:29). Ada beberapa definisi ijarah yang dikemukakan oleh para ulama :

1) Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan

ض َْٕعِب ِعِفاًَُُنا ىَهَع ٌذْقَع „‟Transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan‟‟ 2) Ulama Mazhab Syafi‟I mendefinisikan

ِتَحاَبِلْا َٔ ِلْذَبهِن تَهِباَق تَحاَبُي تَيُٕهْعَي ةدُٕصْقَي تَعَفَُْي ىَهَع ٌذْقَع و ُْٕهْعَي ض َْٕعِب

„‟ Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imbalan tertetu‟‟

3) Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikan

ض َْٕعِب اتَي ُْٕهْعَي اةَّذُي تَحاَبُي ءيَش ِعِفاََُي ُكْيِهًَْت „‟ Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan satu imbalan‟‟( M. Ali Hasan, 2003:227).

Bedasarkan definisi-definisi di atas, maka akad al-ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-ijarah juga tidak berlaku bagi perpohonan untuk di ambil buahnya karena buah itu adalah materi (benda), sedangkan akad al-ijarah itu hanya ditunjukan kepada manfaat saja. Demikian juga kambing dan sapi, tidak boleh dijadikan obyek ijarah, untuk diambil susu atau bulunya (domba) karena susu dan bulu termasuk materi (Hasan M. A, 2003:228)

(42)

Demikian para ulama fikih tidak membolehkan al-ijarah terhadap nilai tukar uang, seperti dirham dan dinar, karena menyewakan hal itu berarti menghabiskan materinya, sedangkan dalam al-ijarah yang dituju ialah manfaatnya (Haroen N, 2000: 229)

b. Dasar Hukum Al-ijarah 1) Surah al-Zukhruf ayat 32

                            

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

2) Surah al-Qashash ayat 26-27

           

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya".

3) HR. Ibnu Majah

ّق رع فجي ٌ ا مبق ِرج اريجلااا ٕطعا „‟Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya

(43)

c. Rukun dan Syarat Ijarah

Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, bahwa rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan Kabul saja (ungkapan menyerahkan dan persetujuan sewa menyewa). Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun ijarah ada empat :

1) Orang yang berakad 2) Sewa/ Imbalan 3) Manfaat

4) Sighat (Ijab dan Kabul)

Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun yang dikemukakan oleh jumhur ulama diatas, bukan rukun tetapi syarat. Sebagai sebuah transaksi (akad) umum ijarah dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya (Hasan M. A, 2004:251). Adapun syarat akad ijarah ialah :

1) Untuk kedua belah pihak yang berakad (al-muta‟aqidain), menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah, di isyaratkan telah baliq dan berakal. Oleh sebab itu apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka (sebagai buruh), menurut mereka al-ijarah-nya tidak sah. Akan tetapi ulama hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad tidak harus mencapai usia baliq, tetapi anak yang telah mumayyiz boleh melakukan akad al-ijarah. Namun, mereka mengatakan, apabila seorang anak yang mumayizi melakukan akad al-ijarah terhadap harta atau dirinya, maka akad itu baru di anggap sah apabila disetujui oleh walinya.

2) Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Hal ini

(44)

bedasarkan firman Allah dalam surah an-Nisa‟, 4 :29 yang berbunyi :                          

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”

3) Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan penjelasan berapa manfaat di tangan penyewa.

4) Obyek al-ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak cacat. Oleh karena itu ulama fikih sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. 5) Obyek al-ijarah sesuatu sesuatu yang dihalalkan oleh syara‟. 6) Obyek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang bisa disewakan.

Oleh sebab itu para ulama sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh menyewakan rumah kepada orang non muslim untuk dijadikan tempat ibadah untuk mereka. Menurut mereka, obyek sewa menyewa dalam contoh diatas termasuk maksiat. Sedangkan kaidah fikih menyatakan „‟sewa menyewa dalam masalah maksiat tidak boleh‟‟

(45)

7) Yang disewakan bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya menyewa seseorang untuk melaksanakan sholat untuk diri penyewa dan menyewa orang yang belum haji untuk menggantikan haji penyewa. Para ulama fikih sepakat bahwa sewa menyewa dalam hal ini tidak sah.

8) Upah atau sewa dalam akad al-ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.

9) Ulama Hanafiyah mengatakan upah/ sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa (Nasroen Haroen, 2000:232-235).

Kedua pelaku transaksi diisyaratkan berakal dan mumayyiz (mengerti harga, takaran, dan timbangan). Seandainya salah satu dari keduanya merupakan orang gila atau anak kecil yang belum mumayyiz. maka transaksi ijarah dianggap tidak sah dan batal (Sulaiman S. A. Y, 2013: 803).

Kalangan Mazhab Asy-Syafi‟i dan Hambali menambahkan syariat lain, yaitu baligh (dewasa). Jadi, menurut mereka, transaksi ijarah yang dilakukan seorang anak kecil, meskipun sudah mumayyiz, tetap dianggap tidak sah (Sabiq S, 2016: 160).

d. Sifat Akad Ijarah

Ulama fikih berpendapat, apakah obyek ijarah bersifat mengikat atau tidak ?

Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat kedua belah pihak, tetapi tidak dapat dibatalkan secara sepihak apabila terdapat „uzur seperti meninggal dunia atau tidak dapat berindak secara hukum atau gila.

Jumhur ulama berpendapat, bahwa akad ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak dapat dimanfaatkan. Sebagai akibat akibat dari pendapat yang berbeda ini adalah kasus, salah seorang yang berakad meninggal dunia.

Gambar

Tabel  3. 1  No
Tabel  :  Kependudukan  Nagari  Balimbing  tahun  2017  sumber  dari Kantor Wali Nagari Balimbing

Referensi

Dokumen terkait

Bullying Motivation Among High School and College Student in Three Big Cities in Indonesia) SKRIPSI ANDY HERLAMBANG 0804007011 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan pembelian/pembebasan, penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan,

Permasalahan dari penelitian ini yaitu pertama, bagaimana posisi arah kiblat di Jorong Batu Basa Nagari Batu Basa Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar dengan

Demikian juga apabila Notaris membuat akta, kemudian mencantumkan sesuatu di dalam akta tidak seperti yang diperintahkan oleh para pihak maka terhadap perbuatan seperti

Penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120  –  130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peninggian tekanan intrakranial kerusakan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai kualitas proses belajar mengajar bidang keahlian teknik bangunan di SMKN 1 Seyegan pasca

Data dosis efektif perorangan setelah 50 tahun (dosis jangka panjang) memberikan sebaran data yang hampir sarna dengan dosis individu dalam waktu pendek Gangka pendek), yaitu

Sedangkan perencanaan/perhitungan berdasarkan capacity adalah merupakan perencanaan yang tinjauannya untuk menentukan jumlah site yang dibutuhkan agar mampu melayani banyaknya