• Tidak ada hasil yang ditemukan

Autotransfusi

Darah untuk transfusi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu darah autolog, dan darah homolog. Darah autolog diperoleh dari individu yang sama, sedangkan darah homolog atau darah alogenik diperoleh dari individu lain atau bank darah. Beberapa resiko penggunaan darah homolog untuk transfusi adalah transmisi penyakit infeksius (bakteri dan virus), komplikasi imunitas (reaksi hemolisis, reaksi anafilaksis), dan efek imunomodulator (Capraro 2001).

Pada darah autolog didapatkan kadar 2,3-difosfogliserat yang lebih tinggi. 2,3-difosfogliserat yang juga dikenal sebagai 2,3-bifosfogliserat dibutuhkan untuk pengikatan oksigen di paru dan pelepasannya di jaringan. Dengan terikatnya 2,3- difosfogliserat terhadap deoksihemoglobin, akan lebih besar kemungkinan terjadinya pelepasan oksigen yang tersisa. Kadar 2,3-difosfogliserat yang lebih tinggi akan memfasilitasi pelepasan oksigen di jaringan yang membutuhkannya sehingga fungsi eritrosit akan menjadi lebih efektif. Keuntungan lainnya adalah suhu yang tidak berbeda jauh dari suhu tubuh. Pasien dengan trauma mengalami perubahan fisiologis sehingga sangat rentan terhadap keadaan hipotermia, yang merupakan salah satu dari trias kematian yang terdiri dari hipotermia, asidosis, dan koagulopati. Pada darah yang baru diambil dari tubuh pasien, masih ditemukan komponen pembekuan darah yang fungsional. Dengan demikian darah autotransfusi akan lebih optimal dalam fungsi pembekuan dibandingkan dengan darah simpan. Pada darah yang diambil dari bank darah, akan dijumpai keadaan pH asam yang terjadi karena adanya pemecahan eritrosit selama penyimpanan. Keadaan asam ini akan memperburuk keadaan asidosis pasien (Rubens et al.

2008).

Darah autolog dapat dikoleksi dan disimpan dengan berbagai cara, diantaranya adalah preoperatif, intraoperatif, atau postoperatif. Transfusi darah autolog disebut juga autotransfusi. Autotransfusi preoperatif (AP) dilakukan dengan pengambilan darah pada masa sebelum operasi. Pasien dilakukan operasi yang bersifat selektif dan pengambilan darah pada 3-5 minggu sebelumnya kemudian darah disimpan untuk ditransfusikan kembali pada masa operasi. Autotransfusi intraoperatif dilakukan selama operasi, yaitu bila terjadi pendarahan selama operasi kemudian pendarahan tersebut segera ditangani dan darah segera ditransfusikan kembali ke pasien. Autotransfusi postoperatif dilakukan setelah operasi kemudian ditransfusikan kembali ke pasien (Pfiedler Enterprises 2011). Darah ini dapat diperoleh dari rongga tubuh, ruang persendian, dan bagian lain pada operasi terbuka (Hudson 2004).

Tindakan autotransfusi intraoperatif sederhana (AIS) merupakan alternatif yang lebih sederhana. Metode ini tidak menggunakan bantuan alat khusus, melainkan hanya suction tekanan rendah, kantung koleksi atau botol yang diberi

3

natrium sitrat, dan filtrasi 40 mikron dengan kain buikgaas kemudian ditransfusikan secara gravitasi. Hasilnya adalah seluruh komponen darah. Metode lain dari autoransfusi intraoperatif adalah pengumpulan sel darah merah intraoperatif pencucian (AIP) dengan bantuan alat khusus. Proses dimulai saat pengambilan darah yang dilakukan dengan cara penyedotan dengan tekanan yang lebih rendah, yaitu kurang dari 100 mmHg. Penyedotan dengan tekanan yang lebih rendah bertujuan untuk menghindari terjadinya hemolisis sel darah, terutama sel darah merah. Selain menggunakan tekanan yang rendah, dipakai juga kateter

suction yang khusus, yaitu dapat memproses heparinisasi darah donor. Setelah darah diambil dari lapangan operasi, dan ditampung dalam suatu penampungan, darah akan disentrifugasi dan dicuci dengan cairan fisiologis sehingga komponen yang tersisa adalah sel darah merah tanpa plasma dan komponen darah lainnya ataupun sel debris dari jaringan tubuh kemudian ditransfusikan kembali (Krohn et al. 1999). Kelemahan dari autotransfusi dengan pencucian adalah tidak efisien dari segi fasilitas, waktu, dan biaya. Darah autotransfusi dengan pencucian memiliki volume plasma yang lebih sedikit pada saat ditransfusikan. Hal ini merugikan karena pasien trauma akan memiliki volume intravaskuler yang berkurang dan sangat membutuhkan penggantian volume di samping sel darah merah sebagai oxygen carrying capacity (Rubens et al. 2008).

Elektrokardiogram

Elektrokardiogram adalah suatu sinyal yang dihasilkan oleh aktivitas listrik otot jantung (Shirley 2007). Elektrokardiogram merupakan alat yang sangat umum digunakan untuk mendiagnosa disfungsi elektris jantung. Pada banyak aplikasi, dua atau lebih elektroda metal diaplikasikan pada permukaan kulit, dan voltase yang terekam oleh elektroda akan terlihat dalam layar atau tergambar di atas kertas (Cunningham 2002). Kegunaan EKG antara lain adalah untuk mengetahui adanya kelainan pada irama dan otot jantung, mengetahui efek obat-

obat jantung, mendeteksi gangguan elektrolit dan perikarditis serta

memperkirakan adanya pembesaran jantung (Birchard dan Sherding 2000). Ada beberapa macam teknik monitoring EKG yang sering digunakan, yaitu teknik monitoring standar ekstremitas (metode Einthoven) atau bipolar limb leads. Dilakukan 3 tempat monitoring EKG pada teknik ini yakni sadapan I dengan sudut orientasi 0º dibentuk dengan membuat elektroda positif pada lengan kiri (LA-left arm) dan elektroda negatif pada lengan kanan (RA-right arm). Sadapan II dengan sudut orientasi 60º dibentuk dengan membuat elektroda positif pada kaki kiri (LL-left leg) dan elektroda negatif pada lengan kanan (RA- right arm). Sadapan III dengan sudut orientasi 120º dibentuk dengan membuat elektroda positif pada kaki kiri (LL-left leg) dan elektroda negatif pada lengan kiri (LA-left arm).

Gambar 1 Teknik Monitoring EKG (Despopoulos dan Sirbernagl 2003). Teknik monitoring lainnya adalah teknik monitoring tambahan (metode

Golberger) atau unipolar augmented limb leads. Dalam menggunakan teknik ini, dilakukan 3 tempat monitoring EKG yaitu sadapan augmented vector left (aVL) dengan sudut orientasi -30º, dibentuk dengan membuat elektroda positif pada lengan kiri (LA-left arm) dan elektroda negatif pada anggota tubuh lainnya (ekstremitas). Sadapan augmented vector right (aVR) dengan sudut orientasi - 150º, dan dibentuk dengan membuat elektroda positif pada lengan kanan (RA- right arm) dan elektroda negatif pada anggota tubuh lainnya (ekstremitas). Sadapan augmented vector foot (aVF) dengan sudut orientasi +90º dibentuk dengan membuat elektroda positif pada kaki kiri (LL-left leg) dan elektroda

negatif pada anggota tubuh lainnya (ekstremitas). Monitoring EKG

prekordial/dada atau monitoring standard chest leads (Despopoulos dan Sirbernagl 2003).

Keenam limb leads tersebut dibagi dalam kelompok sadapan klinis dimana masing-masing sadapan merekam aktivitas elektris jantung pada perspektif yang berbeda. Sadapan ini berkaitan dengan daerah anatomis jantung untuk kepentingan pemeriksaan fisik, contohnya adalah pada acute coronary ischemia. Kelompok sadapan klinis terdiri dari kelompok sadapan inferior yang melihat aktivitas elektris pada daerah inferior jantung, yaitu sadapan II, III dan aVF. Kelompok sadapan lateral yang melihat aktivitas elektris jantung yang menguntungkan pada dinding lateral ventrikel kiri, yaitu sadapan I dan aVL. Sadapan aVR menunjukkan bagian dalam dinding endokardium ke arah permukaan atrium kanan dan memberikan perspektif yang tidak spesifik untuk ventrikel kiri sehingga sering diabaikan pada pembacaan (Nelson dan Couto 1998).

Elektrokardiogram tidak menilai kontraktilitas jantung secara langsung, namun dapat memberikan indikasi menyeluruh atas naik-turunya kontraktilitas jantung. Sewaktu impuls melewati jantung, arus listrik akan menyebar ke dalam jaringan di sekitar jantung dan sebagian kecil dari arus tersebut akan menyebar ke permukaaan tubuh lainnya sehingga apabila elektroda diletakkan pada permukaaan tubuh maka potensial listrik dapat direkam (Abedin dan Conner 2008). Urutan terjadinya sinyal EKG yang dapat menimbulkan gelombang P, komplek QRS, dan gelombang T, yaitu setiap siklus kontraksi dan relaksasi jantung dimulai dengan depolarisasi spontan pada nodus (Shirley 2007).

5

Gambar 2 Elektrokardiogram (Guyton dan Hall 2006).

EKG terdiri atas dua elemen, yaitu kompleks dan interval. Kompleks terdiri atas gelombang P, kompleks QRS, gelombang T, dan gelombang U. Gelombang P merekam peristiwa depolarisasi dan kontraksi otot atrium. Gelombang P relatif kecil karena otot atrium yang relatif tipis. Bagian pertama gelombang P menggambarkan aktivitas atrium kanan, sedangkan bagian kedua menggambarkan aktivitas atrium kiri. Gelombang P terdiri atas durasi dan amplitudo P. Durasi P dapat diukur dari mulainya gelombang P hingga akhir gelombang P, sedangkan amplitudo P diukur dari garis baseline ke puncak gelombang P. Gelombang QRS terjadi akibat kontraksi otot ventrikel yang tebal sehingga gelombang QRS cukup tinggi. Gelombang Q merupakan depleksi pertama yang ke bawah, selanjutnya ke atas yang disebut gelombang R, dan depleksi ke bawah setelah gelombang R disebut gelombang S. Gelombang T terjadi akibat kembalinya otot ventrikel ke keadaan istirahat (repolarisasi). Gelombang U diperkirakan menggambarkan repolarisasi otot papillaris atau serabut Purkinje (Shirley 2007; O’Keefe et al.

2008). Tiap gelombang mewakili satu kali aktivitas listrik jantung. Dalam satu gelombang EKG terdapat titik interval dan segmen. Titik tersebut terdiri dari titik P, Q, R, S, T, dan U. Interval terdiri dari interval PR, interval QRS, dan interval QT. Segmen terdiri dari segmen PR, dan segmen ST (Gambar 2).

Elektrokardiogram Normal Babi

Tabel 1 Denyut jantung (denyut per menit) dan durasi (milidetik) P, PR, QRS, dan QT pada elektrokardiogram babi

Umur/BB Heart Rate P PR QRS QT

2-4 mos (23 kg) 135,6 (100-180) 40 (30-60) 101 (60-130) 37 (30-40) 218 (200-260) 1 bulan (7 kg) 190 (180-200) 37 (30-45) 90 (80-100) 35 (30-40) 165 (150-180) Piglet 135-150 60 (50-80) 100 (80-140) 60 (50-70) 280 (120-340) Juvenile 109-133 Dewasa 80-100

Elektrofisiologi babi berbeda dengan manusia dalam hal: (1) sinus detak jantung (heart rate) lebih tinggi, (2) interval PR lebih singkat, dan (3) waktu konduksi sinoatrial (SACT) lebih singkat. Pada manusia, nilai sinus heart rate

mencerminkan tiga faktor, yaitu denyut jantung intrinsik, tonus simpatik, dan tonus vagus (Bauernfeind et al. 1979). Denyut jantung intrinsik didefinisikan sebagai tingkatan sinus nodus ketika terisolasi dari pengaruh sistem saraf otonom. Nilai rata-rata denyut jantung babi adalah 132 ± 32 (rataan ± standar deviasi) (91- 167 denyut per menit), interval PR sebesar 94 ± 27 milidetik (50-120 milidetik), dan interval QT sebesar 256 ± 69 milidetik (150-340 milidetik) (Bharati et al.

1991).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2011, bertempat di bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor.

Alat dan Bahan

Penelitian dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu babi lokal Indonesia (Sus domestica) sebanyak 9 ekor dengan rata-rata bobot badan kelompok AP

±16,8 kg; AIS ±21,5 kg; AIP ±28,5 kg, berjenis kelamin jantan, dan berumur 3-6 bulan. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung tentang efek autotransfusi pada hewan babi sebagai model untuk manusia.

Penelitian dilakukan menggunakan alat EKG (Cardisuny D300, Fukuda M- E), alat cell saver (Haemonetics Cell Saver® 5, THE Blood Management Company), seperangkat alat bedah mayor, seperangkat alat anestesi inhalasi, obat bius ketamin 10% (Ilium ketamil®-100, Troy), xylazin 10% (Ilium xylazil®-100, Troy), dan zoletil 5% (zoletil®, Virbac), ETT (Endo Tracheal Tube), alat suction

(Asahiilca®), benang jahit bahan silk dan catgut ukuran 3/0, jarum segitiga dan bulat ukuran 3/0, alat infus (Infusion Pump OT-701, JMS), kateter kupu-kupu (IV-cath), termometer, stetoskop, spoit, kapas/tampon, plester, alat cukur, alkohol 70%, dan obat cacing oxfendazole 5 mg/kg (Verm-O®, Sanbe).

Tahap Persiapan

Babi dibagi menjadi tiga kelompok dengan masing–masing kelompok terdiri dari tiga ekor. Babi ditempatkan dalam kandang kelompok berukuran 4x3 meter. Selama adaptasi, babi diberi pakan berupa pelet setiap pagi dan sore setelah pemeriksaan fisik serta diberi obat cacing.

7

Babi kelompok AP diberi perlakuan autotransfusi menggunakan darah simpan, yaitu darah diekstravasasi 14 hari sebelumnya dan disimpan dalam kantung darah citrate, phosphate, dextrose, dan adenin (CPDA), kemudian dimasukkan dalam lemari es. Kelompok AP menggunakan dosis obat bius induksi dengan kx-maksimal, yaitu ketamin 15 mg/kg, dan xylazin 2 mg/kg. Babi kelompok AIS diberi perlakuan autotransfusi menggunakan darah hasil penyaringan sederhana. Kelompok AIS menggunakan dosis obat bius induksi dengan zkx, yaitu ketamin 1 mg/25 kg, xylazin 1 mg/25 kg, dan zoletil 1 mg/25 kg. Babi kelompok AIP diberi perlakuan autotransfusi menggunakan darah hasil pencucian alat cell saver. Kelompok AIP menggunakan dosis obat bius induksi dengan kx-minimal, yaitu ketamin 10 mg/kg, dan xylazin 1 mg/kg. Autotransfusi dilakukan setelah terjadi pendarahan 30% dengan melakukan splenektomi. Pengamatan terhadap aktivitas jantung babi dengan menempelkan elektroda EKG pada ekstremitas depan dan belakang kanan serta kiri babi dengan tipe pemasangan bipolar lead (Swindle 2007). Pada alat EKG Cardisuny D300, Fukuda M-E terdapat 4 elektroda dengan warna yang berbeda, yaitu merah (RA/R) untuk ekstremitas kanan depan, kuning (LA/L) untuk ekstremitas kiri depan, hijau (LF/F) ekstremitas kiri belakang dan hitam (RF/N) ekstremitas kanan belakang.

Tahap Pelaksanaan

Babi terlebih dahulu dibius, kemudian rambut pada bagian persendian antara os humerus dan os radius-ulna serta pada persendian antara os femur dan os tibia-fibula kaki depan kanan dan kiri serta kaki belakang kanan dan kiri dicukur. Babi dibaringkan dengan posisi left lateral recumbency, kemudian dipasangkan elektroda.

Pengambilan gambar EKG dilakukan empat kali dalam satu kali laparotomi, yaitu saat babi terbius sempurna. Babi yang terbius sempurna dicirikan dengan keadaan tertidur, dan belum diberi perlakuan apapun. Saat pendarahan 30% yaitu setelah dilakukan splenektomi. Setelah transfusi, yaitu setelah babi ditransfusi darah dan awal recovery, yaitu awal babi mulai sadar atau efek obat bius mulai hilang. Pengambilan gambar EKG dilakukan dua kali dalam satu kali torakotomi, yaitu sebelum dan sesudah torakotomi. Pengambilan gambar EKG dilakukan satu kali pada saat hari ke tujuh setelah operasi. Sehingga total pengambilan gambar EKG untuk satu ekor babi adalah 7 rekaman.

Waktu yang ditempuh dalam penelitian ini adalah satu bulan. H-14, kelompok AP diambil darah sebanyak 30% total darah untuk disimpan. Hari H, masing-masing kelompok dilakukan splenektomi hingga mengalami pendarahan 30% lalu diautotransfusi. Dua hari berikutnya dilakukan torakotomi dan pada hari ke tujuh post operasi adalah panen. Torakotomi dilakukan untuk pengambilan jaringan paru yang akan dimanfaatkan dalam analisa efek samping autotransfusi. Setiap kelompok perlakuan (kelompok AP, AIS, dan AIP) dilakukan tiga kali ulangan (Gambar 3).

H - 14

H + 2

H H

H + 2

Pengambilan darah simpan 30% total darah (kelompok AP)

Pendarahan 30% (kelompok AP,AIS,AIP) Panen (kelompok AP,AIS,AIP ) Torakotomi (kelompok AP,AIS,AIP) Adaptasi hewan (kelompok AP,AIS,AIP)

Teranestesi sempurna Awal recovery Post transfusi H H-14 H+7 H+2

Gambar 3 Alur penelitian dan perlakuan bedah terhadap babi AP, AIS, dan AIP.

Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati berupa amplitudo, interval, durasi, dan segmen. Amplitudo terdiri atas amplitudo P, R, dan T. Interval terdiri atas interval PR, QT, dan RR (denyut jantung). Durasi terdiri atas durasi P, QRS, dan T. Segmen terdiri atas segmen ST.

Analisis Data

Data variabel dianalisis secara statistik menggunakan metode One Way- Analyse of Variant (ANOVA). Uji ini kemudian dilanjutkan dengan uji DUNCAN

pada selang kepercayaan 95% (α=0,05).

Dokumen terkait