• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Perpajakan 2.1.1. Pengertian Pajak

Pengertian pajak sebagai sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh warga negara dalam sebuah negara yang berdaulat telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Kesemua pengertian yang dikemukakan oleh para ahli memiliki definisi prinsipil yang tidak jauh berbeda.

Definisi pajak menurut Adriani adalah: "Iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan" (Waluyo dan Ilyas, 2000)

Rochmat Soemitro memberikan definisi pajak sebagai ”iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (Mardiasmo, 2006).

Sedangkan pengertian pajak menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah “ Kontribusi wajib yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

2.1.2. Wajib Pajak

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1 Ayat 2 UU KUP).

Menurut Soemitro (Devano dan Rahayu, 2006: 144) Wajib Pajak adalah orang atau badan yang bertempat tinggal di Indonesia, yang menerima atau memperoleh penghasilan bagi perorangan yang jumlah setahun melampui batas pajak, yaitu yang mempunyai penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib mempunyai NPWP walaupun kepadanya belum atau tidak dikenakan pajak atau belum atau tidak diberikan Surat Ketetapan Pajak.

Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi : Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Pemungut/Pemotong (Bendaharawan).

2.1.3. Pengusaha Kena Pajak

Undang-undang PPN tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 tahun 2009 memberikan definisi Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Batasan pengusaha kecil sebagaimana dimaksud, terakhir ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yaitu sebesar Rp 600.000.000.

PKP sebagaimana dimaksud diatas merupakan Wajib Pajak yang selanjutnya dengan sukarela atau atas ketetapan jabatan dikukuhkan sebagai PKP. PKP selanjutnya berkewajiban untuk:

1. Memungut PPN dan PPnBM yang terutang.

2. Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak. 3. Membuat nota retur dalam hal terdapat pengembalian BKP.

4. Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya. 5. Menyetor PPN dan PPnBM yang terutang

6. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN.

2.1.4. Kebijakan Perpajakan Terhadap Pedagang Eceran

Perekonomian Indonesia didominasi oleh kegiatan usaha yang berbasis pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), diantaranya yaitu perdagangan eceran. Dominasi ini seharusnya juga tercermin pada penerimaan pajak. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa sebagian besar penerimaan pajak didominasi oleh

Wajib Pajak besar yang jumlahnya kurang dari 1% (Rakhmad, 2012). P

1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tentang

Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. Dalam peraturan ini diatur bahwa besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, enarikan pajak dari sektor perdagangan eceran bukanlah satu hal yang mudah. Untuk itu pemerintah nasional dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan terkait pedagang eceran tersebut baik menyangkut Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai. Kebijakan terkait yang dikeluarkan selama lima tahun terakhir diantaranya yaitu :

ditetapkan sebesar 0,75 (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha. Peraturan ini berlaku sejak tanggal 12 Juli 2010.

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan

Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Dalam peraturan ini diatur bahwa pengusaha kecil yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.

3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2010

tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu. Dalam peraturan ini diatur bahwa PPN yang wajib disetor pada setiap masa pajak untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan

Jasa Kena Pajak adalah 4% (empat persen) dari Dasar Pengenaan Pajak,

sedangkan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak adalah 3% (tiga

persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.03/2010

tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu. Dalam peraturan ini diatur bahwa PPN yang wajib disetor pada setiap masa pajak untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara

eceran adalah 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak, sedangkan yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran adalah 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah Sebagaimana Telan Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam peraturan ini diatur bahwa pedagang eceran yang membuat faktur pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual (faktur pajak tidak lengkap), tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak atas faktur pajak tersebut.

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 tentang

Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (lebih dikenal dangan pajak bagi Usaha Kecil dan Menengah / UKM). Dalam peraturan ini diatur atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha (tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan pekerjaan bebas) dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam satu tahun pajak, dikenakan tarif Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dan bersifat final.

2.2. Pedagang Eceran Sektor Formal

Dalam bahasa inggris, perdagangan eceran disebut dengan retailing. Retail berasal dari bahasa Perancis yaitu “retailer” yang berarti memotong menjadi kecil-kecil (Risch, 1991). Sedangkan menurut Gilbert (2003) retail adalah semua usaha bisnis yang secara langsung mengarahkan kemampuan pemasarannya untuk memuaskan konsumen akhir berdasarkan organisasi penjualan barang dan jasa sebagai inti dari distribusi. Dalam kamus Bahasa Inggris – Indonesia, retail bisa juga diartikan sebagai eceran. Pedagang eceran bisa didefenisikan sebagai suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir. Pedagang eceran adalah mata rantai terakhir dalam penyaluran barang dari produsen sampai ke konsumen. Pedagang eceran sangat penting artinya bagi produsen karena melalui pengecer produsen memperoleh informasi berharga tentang barangnya.

Ciri-ciri perusahaan retail sesuai dengan kategori menurut Yong (2011) adalah : 1. Discount stores, adalah toko pengecer yang menjual berbagai macam barang

dengan harga yang murah dan memberikan pelayanan yang minimum.

2. Speciality stores, merupakan toko eceran yang menjual barang-barang jenis lini produk tertentu saja yang bersifat spesifik.

3. Departemen stores, adalah suatu toko eceran berskala besar yang pengelolaannya dipisah dan dibagi menjadi bagian departemen-departemen yang menjual macam barang yang berbeda-beda.

4. Convenience stores, adalah toko pengecer yang menjual jenis item produk yang terbatas, bertempat ditempat yang nyaman dan jam buka yang panjang. 5. Catalog stores, merupakan suatu jenis toko yang banyak memberikan

informasi produk melalui media catalog yang dibagikan kepada para konsumen potensial.

6. Chain store, adalah toko pengecer yang memiliki lebih dari satu gerai dan dimiliki oleh perusahaan yang sama.

7. Supermarket, adalah toko eceran yang menjual berbagai macam produk makanan dan juga sejumlah kecil produk non makanan dengan sistem konsumen melayani dirinya sendiri (swalayan).

8. Hypermarkets, adalah toko eceran yang menjual jenis barang dalam jumlah yang sangat besar atau lebih dari 50.000 item dan mencakup banyak produk. Hypermarket merupakan gabungan antara retailer toko diskon dengan hypermarket.

9. Minimarket, merupakan semacam toko kelontong yang menjual segala macam barang dan makanan, namun tidak sebesar dan selengkap supermarket. Minimarket menerapkan sisstem swalayan.

sektor usaha formal merupakan usaha perorangan maupun badan hukum ekonomi yang didirikan secara resmi, sesuai dengan peraturan dan perundang- undangan yang berlaku (berbadan hukum). Sethruman (1986) dalam ekhardhi.blog (2010) mendefenisikan sektor formal adalah kegiatan usaha yang terjamin dengan baik, dan kegiatan pemasarannya berdasarkan jaringan khusus, pada umumnya memiliki izin usaha, memiliki teknologi canggih, jam kerjanya terjadwal, modal relatif besar dan skala garansinya juga besar. Ciri-ciri sektor formal yaitu :

1. Adanya izin mendirikan usaha dari pemerintah; 2. Modal yang dibutuhkan relatif besar;

3. Kewajiban membayar pajak;

4. Perolehan laba relatif besar;

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 menyebutkan bahwa pengusaha kena pajak pedagang eceran adalah pengusaha kena pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaan melakukan :

a. penyerahan barang kena pajak dengan cara sebagai berikut :

1) melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;

2) dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen

akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan

3) pada umumnya penyerahan barang kena pajak atau transaksi jual beli

dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa barang kena pajak yang dibelinya; atau

b. penyerahan jasa kena pajak dengan cara sebagai berikut :

1) melalui suatu tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen

akhir atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;

2) dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului

penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan

3) pada umumnya pembayaran atas penyerahan JKP dilakukan secara tunai.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa pedagang eceren sektor formal adalah suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir dalam bentuk perorangan maupun badan hukum ekonomi, yang didirikan secara resmi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

2.3. Kepatuhan Pembayaran Pajak

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia ”Kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan” (Badudu dan Zain, 1994). Kepatuhan adalah motivasi seseorang kelompok; atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Perilaku kepatuhan seseorang merupakan interaksi antara perilaku individu, kelompok dan organisasi (Robbins, 2001).

Menurut Nurmantu dalam Sofyan (2005), ”Kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”. Terdapat dua macam kepatuhan menurut Safri Nurmantu dalam Sofyan (2005), yakni: Kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila Wajib Pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan formal, akan tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib Pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah Wajib Pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.

Menurut Nasucha dalam dalam Sofyan (2005) : Kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.

Menurut James et al yang dikutip oleh Gunadi (2005) dalam Santoso (2008), pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) adalah Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.

Kemauan membayar pajak (willingness to pay tax) dapat dibedakan menjadi 2 (dua) subkonsep yaitu konsep kemauan membayar dan konsep pajak. Konsep kemauan membayar adalah suatu keadaan dimana seseorang rela untuk mengeluarkan dan mengorbankan uangnya untuk memperoleh sesuatu barang dan jasa. Sedangkan konsep pajak menurut Taylor dalam Waluyo (2007) adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh negara dan terhutang kepada pengusaha tanpa suatu kontrapestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran umum.

Walaupun beberapa laporan atau artikel, baik yang diterbitkan oleh instansi pemerintah maupun majalah ilmiah menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan yang tidak mematuhi peraturan perpajakan, akan tetapi masih relatif sedikit penelitian secara akademis melakukan pengujian secara ilmiah terhadap fenomena tersebut untuk perusahaan yang berskala kecil.

The General Accounting Office (1990) dalam Siahaan (2005) telah menemukan bahwa perusahaan manufaktur memiliki tingkat kepatuhan terhadap peraturan perpajakan yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan perusahaan jasa (service) dan dagang eceran (retail). Rice (1992) dalam Siahaan (2005) telah melakukan penelitian terhadap tingkat kepatuhan perusahaan- perusahaan kecil terhadap peraturan perpajakan. Rice menemukan bahwa 2/3 dari perusahaan kecil yang diteliti tidak mematuhi peraturan perpajakan. Faktor-faktor yang siginifikan yang ditemukan dalam hubungannya dengan tingkat kepatuhan perusahaan-perusahaan kecil terhadap peraturan perpajakan adalah pengungkapan laporan keuangan kepada publik (memiliki hubungan positif), Marginal Tax Rate (memiliki hubungan negatif), ukuran perusahaan (memiliki hubungan positif) dan lokasi yang diidentifikasi oleh IRS yang masuk dalam Poor Compliance Region (memiliki hubungan negatif).

Apakah yang menjadi kriteria atau tolak ukur bagi Wajib Pajak sehingga disebut sebagai Wajib Pajak Patuh ? Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/PMK.03/2007 yang telah dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 menyebutkan bahwa Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang selanjutnya disebut sebagai Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan

d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

2.4. Teori Perilaku

2.4.1. Theory of Planned Behavior (TPB)

Theory of Planned Behavior menerangkan bahwa perilaku yang ditampilkan oleh individu timbul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan muncul niat berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu: (1) behavioral beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation), (2) normatif beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normatif beliefs and motivation to comply), dan (3) control beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power).

Hambatan yang mungkin timbul pada saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan. Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap terhadap perilaku positif atau negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subyektif (subjective norm) dan control beliefs

menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (Ajzen, 2002)

Sumber : Ajzen, Icek (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes

Gambar 2.1 Theory of Planned Behaviour 2.4.2. Theory of Reasoned Action (TRA)

Teori ini dikembangkan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) yang mendasari psikologi sosial. Model ini menjelaskan hubungan antara kepercayaan, sikap, norma, tujuan, dan perilaku individual. Berdasarkan model ini, perilaku seseorang ditentukan oleh minat dan tujuan perilaku untuk melakukan atau tidak melakukannya. Menurut Theory of Reasoned Action (TRA), Ajzen (1980) menyatakan bahwa niat menentukan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Ajzen (1980) mengemukan bahwa niat seseorang dipengaruhi oleh dua penentu utama yaitu (Jogiyanto 2007) :

1. Sikap

Merupakan gabungan dari evaluasi atau penilaian positif maupun negatif dari faktor-faktor perilaku dan kepercayaan tentang akibat dari perilaku.

2. Norma subjektif

Merupakan gabungan dari beberapa persepsi tentang tekanan/aturan dan norma sosial yang membentuk suatu perilaku. Fisben dan Ajzen menggunakan istilah motivation to comply, yaitu apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak. Tujuan dari perilaku, menurut Fishbein dan Ajzen (1975), merupakan kekuatan seseorang untuk melakukan tindakan yang ditentukan. Tujuan perilaku tersebut didefinisikan sebagai perasaan positif atau negatif mengenai suatu tindakan. Relevansinya dengan penelitian ini adalah bahwa seseorang dalam menentukan perilaku patuh atau tidak patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dipengaruhi rasionalitas dalam mempertimbangkan manfaat dari pajak dan juga pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan pembentukan norma subjektif yang mempengaruhi keputusan perilaku.

2.4.3. Teori Atribusi

Kepatuhan Wajib Pajak terkait dengan sikap Wajib Pajak dalam membuat penilaian terhadap pajak itu sendiri. Persepsi seseorang untuk membuat penilaian mengenai orang lain sangat dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal orang tersebut. Teori atribusi sangat relevan untuk menerangkan maksud tersebut. Pada dasarnya teori atribusi menyatakan bahwa bila individu-individu mengamati perilaku seseorang, mereka mencoba untuk menentukan apakah perilaku itu ditimbulkan secara internal atau eksternal (Robbins, 2001). Perilaku yang disebabkan secara internal adalah perilaku yang diyakini berada di bawah kendali pribadi individu itu sendiri, sedangkan perilaku yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi dari luar, artinya individu akan terpaksa

berperilaku karena situasi atau lingkungan. Penentuan faktor internal atau eksternal menurut Robbins (2001) tergantung pada tiga faktor yaitu :

1. Kekhususan (Kesendirian atau Distinctiveness)

Kekhususan artinya seseorang akan mempersepsikan perilaku individu lain secara berbeda-beda dalam situasi yang berlainan. Apabila perilaku seseorang dianggap suatu hal yang tidak biasa, maka individu lain yang bertindak sebagai pengamat akan memberikan atribusi eksternal terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya jika hal itu dianggap hal yang biasa, maka akan dinilai sebagai atribusi internal.

2. Konsensus

Konsensus artinya jika semua orang mempunyai kesamaan pandangan dalam merespon perilaku seseorang jika dalam situasi yang sama. Apabila konsensusnya tinggi, maka termasuk atribusi eksternal. Sebaliknya jika konsensusnya rendah, maka termasuk atribusi internal.

3. Konsistensi

Konsistensi yaitu jika seseorang menilai perilaku-perilaku orang lain dengan respon sama dari waktu ke waktu. Semakin konsisten perilaku itu, orang akan menghubungkan hal tersebut dengan sebab-sebab internal, dan sebaliknya. Teori atribusi mengelompokkan dua hal yang dapat memutarbalikkan arti dari atribusi. Pertama, kekeliruan atribusi mendasar yaitu kecenderungan untuk meremehkan pengaruh faktor-faktor eksternal daripada faktor internalnya. Kedua, prasangka layanan dari seseorang cenderung menghubungkan kesuksesan karena akibat faktor-faktor internal, sedangkan kegagalannya dihubungkan dengan faktor-faktor eksternal.

2.4.4. Teori Pembelajaran Sosial

Teori pembelajaran sosial mengatakan bahwa seseorang dapat belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung (Bandura dalam Robbins, 2001). Teori ini merupakan perluasan teori pengkondisian operan dari Skinner (dalam Robbins, 2001) yaitu teori yang mengandaikan perilaku sebagai suatu fungsi dari konsekuensi-konsekuensinya. Menurut Bandura dalam Robbins (2001), proses dalam pembelajaran sosial meliputi :

1. Proses perhatian (attentional)

Proses perhatian yaitu orang hanya akan belajar dari seseorang atau model, jika mereka telah mengenal dan menaruh perhatian pada orang atau model tersebut.

2. Proses penyimpanan (retention)

Proses penyimpanan adalah proses mengingat tindakan suatu model setelah model tidak lagi mudah tersedia.

3. Proses reproduksi motorik

Proses reproduksi motorik adalah proses mengubah pengamatan menjadi perbuatan.

4. Proses penguatan (reinforcement)

Proses penguatan adalah proses yang mana individu-individu disediakan rangsangan positif atau penghargaan supaya berperilaku sesuai dengan model. Teori pembelajaran sosial ini relevan untuk menjelaskan perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. Seseorang akan taat membayar pajak tepat pada waktunya, jika lewat pengamatan dan pengalaman langsungnya, hasil pungutan pajak itu telah memberikan kontribusi nyata pada pembangunan di wilayahnya.

2.5. Kemudahan Perpajakan

Kemudahan menurut kamus Bahasa Indonesia berarti mudah atau tidak sulit. Kemudahan perpajakan berarti mudah atau tidak sulit dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan. Lewis (1982) dalam Purnomo (2012) mengemukakan untuk merangsang timbulnya kegairahan membayar pajak, salah satunya dengan menawarkan berbagai aspek kemudahan, baik kemudahan mendapatkan SPT maupun pengisiannya. Purnomo (2012) dalam kompasiana mengemukakan, kemudahan bagi Wajib Pajak diharapkan menepis skeptis masyarakat pembayar

Dokumen terkait