• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)

Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan Layang (Decapterus macarellus) adalah sebagai berikut:

Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidea Divisi : Perciformes Sub divisi : Carangi Famili : Carangidae Sub famili : Caranginae Genus : Decapterus

Spesies : Decapterus macarellus (G. Cuvier, 1833).

Gambar 2. Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)

Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus) merupakan salah satu komunitas perikanan pelagis kecil yang penting di Indonesia. Ikan yang tergolong suku Carangidae ini bisa hidup bergerombol. Ukurannya sekitar 15 centimeter

8

meskipun ada pula yang bisa mencapai 25 centimeter. Ciri khas yang sering dijumpai pada ikan layang ialah terdapatnya sirip kecil (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur dan terdapat sisik berlingin yang tebal (lateral scute) pada bagian garis sisi (lateral line) (Prihartini, 2016).

Secara biologi ikan Layang merupakan plankton feeder atau pemakan plankton kasar yang terdiri dari organisme pelagis meskipun komposisinya berbeda masing-masing spesies copepoda, diatomae, larva ikan. Sumberdaya tersebut bersifat “multispecies” yang saling berinteraksi satu sama lain baik secara biologis ataupun secara teknologis melalui persaingan (competition) dan atau antar hubungan pemangsaan (predator prey relationship). Secara ekologis sebagian besar populasi ikan pelagis kecil termasuk Ikan Layang menghuni habitat yang relatif sama, yaitu dipermukaan dan membuat gerombolan di perairan lepas pantai, daerah-daerah pantai laut dalam, kadar garam tinggi dan sering tertangkap secara bersama (Atmaja, 2003).

Ikan layang biru (Decapterus macarellus) termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagis, tidak menetap dan suka bergerombol. Jenis ikan ini tergolong stenohaline, hidup di perairan yang berkadar garam tinggi (32-34 promil) dan menyenangi perairan jernih. Ikan layang banyak tertangkap di perairan yang berjarak 20-30 mil dari pantai. Sedikit informasi yang diketahui tentang migrasi ikan, tetapi ada kecenderungan bahwa pada siang hari gerombolan ikan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam dan malam hari kelapisan atas perairan yang lebih. Dilaporkan bahwa ikan ini banyak dijumpai pada kedalaman 45-100 meter (Naya et al., 2017).

9

9

Ikan layang biru (Decapterus macarellus) meskipun aktif berenang, namun terkadang tidak aktif pada saat membentuk gerombolan di suatu daerah yang sempit atau disekitar benda-benda terapung. Oleh karena itu nelayan payang dan purse seine di Jawa memasang rumpon dalam aktivitas penangkapan mereka.

pengelompokan atau schoal merupakan gejala biososial yang elemen–elemen penyebabnya merupakan suatu pendekatan yang bersifat timbal balik. Sifat menggerombol ikan ini pada umumnya membelakangi rumpon, dan selalu menghadap/menentang arus. Sifat menggerombol ikan layang tidak terbatas dengan ikan sejenisnya, 19 bahkan kerap kali bergabung dengan jenis lainnya, seperti bawal (Stromateus sp), Selar (Caranx sp)(Majore et al., 2014).

Distribusi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)

Daerah sebaran ikan layang sangat luas, yaitu di perairan tropis dan subtropis. Sebagian besar populasi ikan ini terdapat di Samudera Atlantik bagian utara sampai ke Cape Cod dan sebelah selatan sampai ke Brasilia. Di wilayah Indo-Pasifik ikan ini tersebar antara Jepang di bagian utara dan pantai Natal di bagian selatan. Di laut Jawa ikan ikan tersebar mengikuti pergerakan salinitas dan persediaan makanan yang sesuai dengan hidupnya (Genisa. 1998).

Ikan Layang Biru terutama menyebar di wilayah tropika. Wilayah-wilayah perairan FAO di mana ikan ini biasa ditemukan, di antaranya, adalah perairan-perairan Samudera Hindia bagian barat dan timur; Samudera Pasifik barat dan timur bagian tengah; Samudera Atlantik utara dan tengah; serta Laut Tengah dan Laut Hitam. Layang biru juga didapati pada perairan Ugahari hingga kedalaman 400 m. Ikan ini menyukai perairan yang jernih, dan acap ditemukan di

10

sekitar pulau. Meskipun ikan ini biasa ditemukan dekat permukaan, layang biru juga kerap tertangkap pada kedalaman 40 hingga 200 m (Simbolon et al., 2011).

Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus) adalah jenis ikan yang hidup dalam air laut yang jernih dengan salinitas tinggi. Ikan ini berasal dari perairan bebas dan bersifat pelagis. Ikan Layang bersifat "stenohalina" hidup di air Laut yang bersalinitas tertentu yaitu antara 32-33‰, sehingga dalam kehidupannya dipengaruhi oleh musim dan ikan ini selalu bermigarasi musiman. Ikan Layang muncul di permukaan karena di pengaruhi oleh migrasi harian dari organisme lain yang terdapat di suatu perairan. Pada siang hari gerombolan-gerombolan ikan bergerak kelapisan atas. Perpindahan tersebut disebabkan oleh adanya perpindahan masal dari plankton nabati yang diikuti oleh plankton h ewani dan binatang-binatang yang lebih besar termasuk ikan (Genisa. 1998).

Ruaya ikan Layang Biru (D. macarellus) di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan. Pada umumnya ruaya ikan layang berkaitan erat dengan pergerakan massa air laut walaupun secara tidak langsung. Dalam hal pola pergerakan arus sangat mempengaruhi ruaya ikan layang, karena ikan layang cenderung melakukan ruaya mengikuti massa air, sebaran salinitas yang tinggi, serta ketersediaan makanan. Ikan layang sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan kesediaan ikan layang adalah arus. Karena ikan layang biasanya melakukan ruaya mengikuti kadar garam dan ketersediaan makanan (Irham, 2009).

11

11 Purse Seine

Purse seine (pukat cincin) adalah jenis alat tangkap yang tergolong seine yaitu merupakan alat tangkap yang aktif untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang umumnya membentuk kawanan kelompok besar. Manfaat yang diharapkan selain menghemat waktu dan bahan bakar juga dapat menaikkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Jumlah hasil tangkapan setiap penebaran purse seine tergantung pada ukuran alat tangkap, jenis ikan dan kondisi laut pada saat operasi penangkapan (Majore et al., 2014).

Purse seine merupakan alat tangkap yang bersifat multi species, yaitu menangkap lebih dari satu jenis ikan. Dalam banyak kasus sering ditemukan ukuran mesh size alat tangkap Purse seine yang sangat kecil, hal ini dapat berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang didapatkan. Hal yang mungkin saja akan dipengaruhi adalah ukuran ikan dan komposisi jenis hasil tangkapan antara jumlah hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan (Rambun et al., 2016).

Berdasarkan standar klasifikasi alat penangkap perikanan laut bahwa purse seine atau lebih dikenal dengan nama pukat cincin termasuk kedalam klasifikasi surrounding net. Purse seine merupakan alat tangkap yang lebih efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil disekitar permukaan air. Pengoperasian purse seine dilakukan dengan melingkari gerombolan ikan sehingga membentuk sebuah dinding besar yang selanjutnya jaring akan ditarik dari bagian bawah dan membentuk seperti sebuah kolam. Untuk mempermudah penarikan jaring hingga membentuk kantong, alat tangkap ini mempunyai atau dilengkapi dengan cincin sebagai tempat lewatnya tali kerut (Silitonga, 2016).

12

Konstruksi purse seine menggunakan jaring yang terbuat dari bahan polyamide (PA) multifilament dengan ukuran panjang jaring 420 meter dan lebar 45 meter dengan ukuran mesh size sebesar 1 inci. Menggunakan 3 jenis pelampung yang digunakan pada alat tangkap purse seine. Pelampung pertama merupakan pelampung tanda yang di turunkan pertama kali setting dilakukan.

Pelampung tersebut berbentuk bola terbuat dari bahan sintetis agar dapat bertahan lama. Pelampung kedua terbuat dari bahan plastik berbentuk bola. Pelampung ketiga terbuat dari plastik, ditutupi dengan gabus, dan berbentuk elips. Perbedaan pelampung disebabkan pelampung berbentuk bola yang terbuat dari bahan plastik cenderung mudah rusak atau pecah ketika terbentur oleh dinding kapal saat pengoperasian purse seine. Pemberat yang digunakan pada alat tangkap purse seine terbuat dari bahan timah berbentuk cincin. Pada umumnya penangkapan ikan dengan menggunakan purse seine dilakukan pada malam hari, akan tetapi ada juga purse seine yang dioperasikan pada siang hari (Mirnawati et al., 2019).

Ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan dari purse seine adalah ikan-ikan yang “Pelagic Shoaling Species”, yang berarti ikan-ikan tersebut haruslah membentuk shoal (gerombolan), berada dekat dengan permukaan air (sea surface) dan sangatlah diharapkan pula agar densitas soal itu tinggi, yang berarti jarak antara ikan dangan ikan lainnya haruslah sedekat mungkin. Jenis ikan yang ditangkap dengan purse seine terutama di daerah Jawa dan sekitarnya adalah Layang (Decapterus spp), Bentang, Kembung (Rastrelinger spp), Lemuru (Sardinella spp), Slengseng, Cumi-cumi dan lain lain (Mudztahid, 2011).

Aktivitas perikanan di daerah Belawan tergolong tinggi. Hasil tangkapan purse seine mendominasi jumlah hasil tangkapan yang didaratkan di Pelabuhan

13

13

Perikanan Samudera (PPS) Belawan. Secara umum, hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Belawan masih cukup baik dan layak dikonsumsi. Hal ini disebabkan operasi penangkapan kapal Purse seine umumnya cukup lama.

Berdasarkan data dari PPSB, alat tangkap Purse seine berjumlah sekitar 5.000 unit. Karena banyaknya alat tangkap ini digunakan oleh nelayan di PPS Belawan sehingga membutuhkan kajian lebih jauh lagi mengenai alat tangkap purse seine tersebut (Ismy et al., 2014).

Metode Surplus Produksi

Model yang paling sederhana dalam dinamika populasi ikan ialah model produksi surplus, dengan memperlakukan ikan sebagai biomassa tunggal yang tak dapat dibagi, yang tunduk pada aturan-aturan sederhana kenaikan dan penurunan biomassa. Model ini, pada umumnya digunakan dalam penilaian stok ikan hanya dengan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya tangkap yang umumnya tersedia. Pendugaan upaya penangkapan optimum (Eopt) dan hasil tangkapan maksimum lestari (CMSY) didekati dengan Model Produksi Surplus. Antara hasil tangkapan per satuan upaya (CPUEt) dan upaya tangkap (effort) dapat berupa hubungan linear maupun eksponensial. Model Produksi Surplus terdiri dari 2 model dasar yaitu Model Schaefer (hubungan linear) dan Model Gompertz yang dikembangkan oleh Fox dengan bentuk hubungan eksponensial (Kekenusa et al., 2014).

Metode ini digunakan dalam perhitungan potensi lestari maksimum (MSY) dan upaya penangkapan optimum dengan cara menganalisis hubungan upaya penangkapan (E) dengan hasil tangkapan persatuan upaya (CPUE).

Keanekaragaman jenis alat tangkap yang digunakan di suatu perairan

14

memungkinkan suatu spesies ikan tertangkap pada beberapa jenis alat tangkap.

Jika di suatu daerah perairan terdapat berbagai jenis alat tangkap yang dipakai, maka salah satu alat tersebut dapat dipakai sebagai alat tangkap standar, sedangkan alat tangkap yang lainnya dapat distandarisasikan terhadap alat tangkap tersebut. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standard mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power indeks (FPI) = 1. Jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung nilai FPI dengan membagi nilai catch per unit effort (CPUE) dengan CPUE alat tangkap standard. Niliai FPI ini kemudian digunakan untuk mencari upaya standard yaitu dengan mengalikan nilai FPI dengan upaya penangkapan jenis alat tangkap yang dianalisis (Septifitri et al., 2010).

Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut fMSY atau effort MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY). Dari model ini dapat diperoleh estimasi besarnya kelimpahan (biomassa) dan estimasi potensi dari suatu jenis atau kelompok jenis (species group) sumberdaya ikan tersebut (Widodo dan Suadi, 2006).

Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai koefisien determinasi adalah diantara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen

15

15

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Haslinda dan Majid, 2016).

Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan

Studi tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan disuatu perairan sangat penting untuk mengontrol dan memantau tingkat eksploitasi penangkapan ikan yang dilakukan terhadap sumberdaya diperairan tersebut. Hal ini ditempuh sebagai tindakan guna mencegah terjadinya kepunahan sumberdaya akibat tingkat eksploitasi yang berlebih serta mendorong terciptanya kegiatan operasi penangkapan ikan dengan tingkat efektifitas yang tinggi tanpa merusak kelestarian sumberdaya ikan tersebut (Nugraha et al., 2012).

Pengelolaan perikanan dapat dilakukan dengan mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan terlebih dahulu. Tingkat pemanfaatan adalah persentase dari jumlah ikan yang ditangkap terhadap estimasi potensi sumberdaya ikan tersebut. Tingkat pemanfaatan dikatakan rendah apabila proporsi kurang dari 50%. Apabila proporsi tingkat pemanfaatan lebih dari 50% dan hampir mendekati 100% maka tingkat pemanfaatan dikatakan penuh. Sedangkan bila proporsi tingkat pemanfaatan lebih dari 100% disebut dengan tingkat pemanfaatan lebih (Suastra, 2018).

Tingkat pemanfaatan berguna untuk mengetahui status pemanfaatan suatu sumberdaya atau untuk mengetahui berapa persen dari sumberdaya yang telah dimanfaatkan. Tingkat pemanfaatan dapat diukur dengan membadingkan hasil tangkapan (catch) dengan potensi lestari (MSY) yang di dapatkan melalui analisis surplus produksi. Untuk menaikkan suatu variabel yang akan datang harus

16

memperhatikan dan mempelajari sifat dan perkembangan dari variabel tersebut di waktu yang lalu (Badrudin, 2008).

Menurut Lubis (2013) bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan terdiri atas empat tingkatan yaitu :

1. Tingkat rendah apabila hasil tangkapan masih sebagian kecil dari potensi hasil lestari (0-33,3%) dan upaya penangkapan masih perlu ditingkatkan.

2. Tingkat sedang apabila hasil tangkapan sudah menjadi bagian yang nyata dari potensi lestari (33,3%-66,6%) namun penambahan upaya masih memungkinkan untuk mengoptimalkan hasil.

3. Tingkat optimum apabila hasil tangkapan sudah mencapai bagian dari potensi lestari (66,6%-99,9%), penambahan upaya tidak dapat meningkatkan hasil.

4. Tingkat berlebih atau over fishing apabila hasil tangkapan sudah melebihi potensi lestari (> 100%) dan penambahan upaya dapat berbahaya terhadap kepunahan sumberdaya.

Pola Musim Penangkapan

Menurut Nontji (1987) pola musim penangkapan yang berlangsung di suatu perairan dipengaruhi oleh pola arus serta antara udara dengan laut terjadi interkasi yang cukup erat. Perubahan cuaca yang mempengaruhi kondisi laut antara lain: angin yang dapat menentukan terjadinya gelombang dan arus di permukaan air laut serta curah hujan yang dapat menurunkan kadar salinitas air laut. Arus permukaan di Indonesia akan berubah tiap setengah tahun akibat adanya perubahan arah angin disetiap musimnya (angin muson). Berdasarkan arah utama angin yang bertiup pada suatu daerah, maka dikenal istilah musim barat dan musim timur. Arus laut di perairan Indonesia sangat dinamis. Hasil pantauan

17

17

satelit, yang diverifikasi lewat pengukuran oseanografis di laut, ternyata memperlihatkan pola arus yang bergerak dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia melewati selat-selat di perairan nusantara

Pola arah angin erat hubungannya dengan perbedaan suhu antara dua daratan (benua Asia dan Australia) dan dua lautan (Samudera Hindia dan Pasifik).

Perubahan pola arah angin musim barat dan musim timur akan berpengaruh terhadap pola arah, kecepatan arus, salinitas, konduktivitas primer perairan. Saat terjadi angin barat, curah hujan meningkat sehingga air banyak memasuki Laut mengakibatkan pengenceran air laut. Sebaliknya, selama angin timur bertiup, terjadi peningkatan salinitas air laut hasil penguapan. Kondisi musim penangkapan ikan di perairan Indonesia selain dipengaruhi pola angin dan arus, juga dipengaruhi oleh adanya makanan bagi ikan, kondisi oseanografi perairan (seperti suhu permukaan laut, salinitas, arus) serta sifat dan kondisi biologis setiap ikan. Musim penangkapan ikan pelagis kecil pada bulan dan daerah penangkapan tertentu mengikuti pola ruaya atau migrasinya (Riyadi dan Yunisa, 2007).

Kajian musim penangkapan ikan akan menghasilkan informasi mengenai waktu atau musim yang paling tepat untuk melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan sehingga dapat mengurangi resiko kerugian penangkapan ikan.

Diharapkan operasi penangkapan ikan hanya dilakukan pada musim puncak, sehingga akan diperoleh hasil tangkapan yang optimum serta menjaga agar produktivitas sumberdaya ikan dapat berkelanjutan dan tetap lestari. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan (lestari) harus segera diterapkan pada sumberdaya yang statusnya sudah fully exploited. Apabila hal ini diabaikan, sumberdaya perikanan akan menjadi lebih tangkap (over exploited) bahkan turun

18

drastis karena tidak terkontrolnya tingkat eksploitasi yang melebihi daya dukung sumberdaya perikanan tersebut (Simbolon et al., 2011).

Penentuan karakteristik pola musim penangkapan perlu dilakukan, agar ikan yang ada di alam bisa memijah atau berkembangbiak untuk menjaga ketersediaan stok. Penangkapan ikan dapat dioptimalkan pada bulan-bulan yang merupakan musim penangkapannya, dan dikurangi pada saat musim pemijahan terjadi. Dengan mengetahui pola musim penangkapan ikan nelayan dapat mengoptimalkan kegiatan penangkapan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal pada musim tertentu (Rahmawati et al., 2013).

19

19

Dokumen terkait