Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla olivacea)
Gambar 2. Kepiting Bakau (Scylla olivacea)
Kepiting bakau merupakan jenis kepiting yang termasuk ke dalam kelompok famili Portunidae yang berbentuk pipi dan melebar serta memiliki lima pasang kaki. Secara taksonomi klasifikasi kepiting bakau adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Scylla
Spesies : Scylla olivacea (Motoh, 1977)
Kepiting bakau (Scylla olivacea) memiliki ukuran lebar kerapas lebih besar dari ukuran panjang tubuhnya. Dengan permukaan kerapas agak licin. Pada
dahi antara sepasang matanya terdapat enam buah duri dan disamping kanan dan kiri masing- masing terdapat Sembilan duri (Chairunnisa, 2004).
Kepiting bakau memiliki bentuk morfologi, yakni pada bentuk duri yang terdapat di antara dua tangkai mata serta bentuk dan jumlah duri pada bagian sisi luar karapasnya. Scylla tranquebarica memiliki bentuk duri diantara mata yang agak rendah, bulat, namun lebih tinggi dari duri Scylla olivacea. Bagian tubuh kepiting juga dilengkapi bulu dan rambut sebagai indera penerima, bulu tersebut terdapat hampir di seluruh tubuh yang sebagian besar bergerombol pada kaki jalan. Scylla tranquebarica memiliki warna hijau zaitun atau hijau ungu (Trivedi dan Vachhrajani, 2013).
Menurut Syafiq (2015) kepiting dikenal sebagai salah satu makanan dari laut (seafood) yang digemari oleh masyarakat kita. Kepiting adalah sumber protein yang baik (mengandung sekitar 18-19.5 gram protein per 100 gram).
Komposisi zat gizi dari kepiting dibandingkan ikan/seafood lainnya, yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi karkas Kepiting Bakau (Scylla olivacea)/100 gr Spesies Energi
Kepiting bakau termasuk hewan nokturnal, keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam dari bergerak sepanjang malam terutama
untuk mencari makan, kemudian akan membenamkan dirinya kembali pada saat matahari akan terbit. Beberapa jenis satwa yang hidup di sekitar perakaran mangrove, baik di substrat yang keras maupun lunak (lumpur) antara lain adalah jenis kepiting bakau, kerang dan golongan invertebrata lainnya. Kepiting bakau (Scylla spp.) merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan hutan mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang luas. Hal ini disebabkan karena kepiting bakau memiliki toleransi terhadap faktor abiotik terutama pada suhu dan salinitas (Gita et al., 2015).
Parameter Lingkungan Suhu
Suhu di perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu air berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi perairan. Peningkatan suhu akan meningkatkan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Sebagian besar proses fisik, biologi dan karakter kimia pada air permukaan dipengaruhi oleh temperatur. Peningkatan suhu berkorelasi positif dengan proses kimia yang terjadi pada air. Peningkatan suhu juga dapat membahayakan biota air. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, seperti gas O2, CO2, N2 dan CH4 (Effendi, 2003).
Berdasarkan daur hidupnya kepiting bakau dalam menjalani hidupnya diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat pertama kali kepiting ditetaskan, suhu air laut umumnya berkisar 25-270C. Secara gadual suhu air kearah pantai akan semakin rendah. Kepiting muda yang baru berganti kulit dari
megalopa yang memasuki muara sungai dapat mentoleransi suhu di atas 180C (Nasution, 2017).
Pola temperatur atau oksigen di perairan danau terutama dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari sehingga umumnya pada lapisan permukaan perairan akan mempunyai temperatur yang lebih tinggi dibandingkan pada lapisan air yang lebih dalam. Apabila temperatur meningkat maka kelarutan oksigen akan menurun dan sebaliknya. Dengan demikian maka khususnya untuk ekosistem perairan di daerah tropis yang umumnya mempunyai temperatur yang relatif tinggi akan mempunyai keterbatasan dalam menyerap oksigen. Kisaran nilai kelarutan oksigen ini menunjukkan kualitas perairan yang masih baik. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air adalah temperatur air (Barus, 2004).
Pengaruh suhu secara langsung menentukan kehadiran spesies akuatik, mempengaruhi pemijahan, penetasan, aktivitas dan pertumbuhan organisme.
Sedangkan secara tidak langsung dapat menyebabkan perubahan kesetimbangan kimia. Suhu sangat mempengaruhi kehidupan biota di dalam suatu perairan (Odum, 1996). Suhu merupakan salah satu parameter untuk mempelajari transfortasi dan penyebaran polutan yang masuk ke lingkungan laut. Sebagai contoh, suhu air di permukaan laut mempengaruhi sifat tumpahan minyak dan juga pengendaliannya (Mukhtasor, 2007) .
pH (Derajat Keasaman)
Derajat keasaman (pH) merupakan fungsi dari kandungan CO2 yang terlarut dalam air. Kadar CO2 akan berkurang oleh kegiatan fotosintesis dan akan bertambah karena respirasi. Derajat keasaman (pH) merupakan tingkat keasaman
dari suatu perairan. Nilai pH ideal untuk perairan adalah 6,5-8,5. Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam bertoleransi pH perairan.
Kematian lebih sering diakibatkan karena pH yang rendah daripada pH yang tinggi. Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973).
Barus (2001) menyatakan bahwa nilai pH ideal untuk organisme di perairan adalah antara 7 - 8,5 dan pada kondisi yang berlebihan yaitu sangat basa dan sangat asam dapat berbahaya untuk kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Menurut Barus (2004) pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium yang bersifat toksik akan semakin tinggi yang akan mengancam kelangsungan hidup organisme air sedangkan pH yang tinggi akan menyebakan kadar ammonium dan amoniak akan meningkat.
Derajat keasaman (pH) juga berpengaruh terhadap toksisitas suatu senyawa kimia. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH serta menyukai pH berkisar 7-8,5. Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003).
Kecerahan
Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya pada air. Semakin tinggi suatu kecerahan perairan semakin dalam cahaya menembus ke dalam air. Kecerahan air menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan
dipancarkan oleh partikel-partikel padat tersuspensi yang terdapat di dalam air.
Berkurangnya kecerahan pada suatu perairan dapat mengurangi kemampuan fotosintesis tumbuhan air dan kegiatan fisiologi biota air atau dengan kata lain partikel-partikel padat di dalam suatu perairan terutama yang berupa suspensi dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan berbagai biota perairan, salah satunya adalah kepiting bakau (Adha, 2015).
Kekeruhan/kecerahan air dapat disebabkan oleh adanya bahan-bahan organik dan ananorganik yang tersuspensi dalam kolam air maupun yang terlarut, sedangkan kecerahan adalah kemampuan cahaya matahari menembuh kolam air.
Dengan demikian semakin keruh air, akan semakin rendah kecerahan airnya.
Secara langsung kecerahan/kekeruhan air ini tidak besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ikan yang dibudidayakan, namun air kolam yang keruh akan menghalangi masuknya cahaya matahari ke dalam air sehingga proses fotosintesis akan terhambat (Parlaungan, 1996).
Oksigen Terlarut (Dissolved oxygen/ DO)
Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut ini merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air. Oleh sebab itu kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi suhu. Kepiting dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut lebih dari 4 mg/liter (Daulay, 2013).
Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologi bagi manusia. kepiting dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen dengan jumlah cukup. Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, dan bervariasi
antarorganisme. Keberadaan logam berat yang berlebihan di perairan mempengaruhi sistem respirasi organisme akuatik sehinga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik lebih menderita (Effendi, 2003).
Semakin tinggi temperatur dan salinitas perairan maka tingkat kelarutan O2 dalam air semakin rendah. Lapisan atas permukaan laut dalam keadaan normal mengandung O2 terlarut sebesar 4,5 – 9,0 mg/l. Untuk kehidupan biota laut secara layak kelarutan O2 harus lebih besar daripada 5,0 mg/l (Kep.51/MENKLH/2004). Selain temperatur dan salilnitas, kelarutan O2 juga dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik. Semakin dalam laut maka kelarutan O2 semakin kecil. Pada kedalaman laut 1.000 m (tekanan hidrostatik 100 atm), maka tekanan parsial O2 meningkat sebesar ± 13% dan kelarutannya menurun sebesar ± 0,1% (Sanusi, 2006).
Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen di perairan hingga mencapai nol (anaerob). Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu dan bervariasi tiap jenis. Keberadaan limbah yang masuk ke suatu perairan akan menurunkam kadar oksigen di perairan. Hal tersebut terkait dengan pemanfaatan yang berlebih terhadap oksigen terutama pada proses penguraian bahan organik oleh bakteri pengurai (Effendi, 2003).
Salinitas
Air laut merupakan larutan (solution) kompleks yang mengandung berbagai senyawa atau elemen-elemen kimia baik organik maupun anorganik.
Kandungan elemen-elemen kimia terlarut dalam air laut dinyatakan sebagai salinitas atau klorinitas (Sanusi, 2006). Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 2007). Nybakken (1992), mengemukakan bahwa perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi (hujan).
Salinitas merupakan salah satu faktor bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi perubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak terhadap organisme. Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme kepiting yang dapat berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi.
Oleh sebab itu, pertumbuhan kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi untuk metabolisme (Sagala et al., 2013).
Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat penting pada keberadaan mangrove dan kepiting bakau. Kepiting bakau hidup dengan baik pada kisaran salinitas 10–35‰. Kepiting bakau pada salinitas terendah 8,9‰. Pengaruh salinitas secara tidak langsung mengakibatkan perubahan komposisi dalam suatu ekosistem (Romimohtarto, 2009).
Sedimen
Karakteristik sedimen diketahui juga menentukan kehidupan komunitas mangrove, substrat sedimen didaerah hutan mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, memiliki oksigen yang sedikit, berbutir-butir dan kaya akan bahan organik. Perbedaan tingkat kerapatan vegetasi mangrove serta jenis mangrove yang ditemukan juga berpengaruh terhadap kandungan bahan organik pada substrat dimana sesuai dengan besarnya nilai tingkat kerapatan suatu mangrove akan mempengaruhi proses penguraian dari bahan organik tersebut (Darmadi et al, 2012).
Substrat merupakan faktor pembatas utama terhadap pertumbuhan dan distribusi mangrove. Substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologi utama yang mempengaruhi sruktur komunitas makrobentos sehingga sebagai penggali pemakan deposit jumlahnya sangat banyak pada sedimen lunak dan berlumpur karena daerah tersebut kaya akan bahan organik. Substrat di sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau, terutama untuk melangsungkan perkawinannya dan melakukan pergantian kulit dalam kaitannya dengan kehidupan dan sebaran kepiting, maka substrat tanah dasar perairan hutan mangrove merupakan faktor yang sangat penting (Prianto, 2007).
Pencemaran Logam Berat
Peningkatan jumlah industri akan selalu diikuti oleh pertambahan jumlah limbah, baik berupa limbah padat, cair dan gas. Limbah industri terutama yang bersumber dari pabrik elektronik, plastik, kertas dan sebagainya dapat membahayakan lingkungan sebab salah satu diantara limbah tersebut diperkirakan mengandung logam berat antara lain adalah Pb (timbal) dan logam berat lainnya (Hasan et al., 2017).
Bahan pencemar dari limbah industri dapat mencemarkan perairan dan berdampak negatif yaitu terjadinya perubahan ekosistem muara berupa perubahan temperatur, pH, BOD dan COD serta kandungan logam berat yang sangat mempengaruhi kehidupan flora dan fauna perairan. Limbah ini biasanya berasal dari industri maupun rumah tangga yang melibatkan unsur-unsur logam seperti Timbal (Pb), Arsen (As), Kadmium (Cd), Merkuri (Hg), Krom (Cr), Nikel (Ni), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan Cuprum (Cu). Limbah tersebut umumnya
merupakan limbah yang tidak dapat atau sulit didegradasi oleh mikroorganisme (Heriyanto, 2011).
Logam berat
Toksisitas logam berat dapat dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri dari atas unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn, bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, dan bersifat toksik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Taraf toksisitas logam berat sangat beragam bagi berbagai organisme, tergantung dari berbagai aspek yang antara lain spesies, cara toksikan memasuki tubuh, frekuensi dan lamanya paparan, konsentrasi toksikan, bentuk dan sifat fisika/kimia toksikan serta kerentanan berbagai spesies terhadap toksikan. Taraf toksisitas logam berat terhadap hewan air mulai dari yang paling tinggi adalah Hg, Cd, Zn, Pb, Cr, Ni dan Co. Sementara itu, tingkat toksisitas terhadap manusia dari yang paling toksik adalah Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn dan Zn (Fitriani, 2017).
a.) Kadmium (Cd)
Kadmium bersumber dari aktivitas alamiah dan antropogenik. Secara alamiah Cd didapat dari letusan gunung berapi, jatuhan atmosferik, pelapukan bebatuan, dan jasad organik yang membusuk. Logam Cd juga didapat dari kegiatan manusia, yaitu industri kimia, pabrik tekstil, pabrik semen, tumpahan minyak, pertambangan, pengolahan logam, pembakaran bahan bakar, dan pembuatan serta penggunaan pupuk fosfat. Dalam kehidupan sehari-hari, mainan anak-anak, fotografi, tas dari vinil, dan mantel merupakan sumber Cd (Darmono, 1995).
Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29 – 0,55 ppb dengan rata-rata 0,42 ppb. Kadmium tergolong logam berat dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap grup sulfhidrid daripada enzim dan meningkat kelarutannya dalam lemak. Di perairan tawar kemampuan pembentukan kompleks Cd oleh asam humus sekitar 2,7% daripada total Cd terlarut, sementara di perairan estuari lebih rendah dari 1% daripada total Cd terlarut. Jadi, selain ditentukan oleh kadar asam humus dan Cd terlarut, parameter pH dan salinitas berperan dalam membentuk ikatan kompleks logam berat-asam humus. Logam berat Cd terlarut dalam air akan mengalami proses adsorpsi oleh partikel tersuspensi dan mengendap di sedimen. Proses adsorpsi akan diikuti oleh proses desorpsi yang mengembalikan Cd dalam bentuk terlarut dalam badan air (Sanusi, 2006). Menurut Rangkuti (2009) Kadmium dalam air laut berbentuk senyawa klorida (CdCl2), sedangkan pada perairan tawar kadmium berbentuk karbonat (CdCO3). Pada perairan payau kedua senyawa tersebut berimbang.
b.) Besi (Fe)
Logam besi (Fe) sebenarnya adalah mineral yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hemoglobin, terdapat pada buah, sayuran, serta suplemen makanan.
Fe dapat berasal dari buangan limbah pabrik ataupun limbah rumah tangga hingga mencemari lingkungan sungai, dalam jumlah yang berlebihan pada tubuh manusia Fe akan bersifat racun, cepat terserap dalam saluran pencernaan, dan sifat korosif pada besi akan lebih meningkatkan penyerapan racun (Pratama et al., 2012).
Buangan industri yang mengandung persenyawaan logam berat Fe bukan hanya bersifat toksik terhadap tumbuhan tetapi juga terhadap hewan dan manusia.
Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat yang sulit didegradasi, sehingga
mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit dihilangkan, dapat terakumulasi dalam biota perairan termasuk kepiting, kerang, ikan dan sedimen, memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut serta memiliki nilai faktor konsentrasi yang besar dalam tubuh organisme (Supriyantini dan Endrawati, 2015).
Sekalipun besi (Fe) diperlukan oleh tubuh manusia, tetapi dalam dosis besar dapat merusak dinding usus, kematian sering kali disebabkan oleh rusaknya dinding usus ini, debu besi juga dapat terakumulasi di dalam alveoli dan dapat menyebabkan berkurangnya fungsi paru-paru (Soemirat, 2004). Berdasarkan standart baku mutu cemaran logam berat yang diperbolehkan dalam pangan yaitu menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan No 5 Tahun 2018 dan SNI 7387 Tahun 2009 disajikan pada Tabel 2. dibawah ini :
Tabel 2. Standar baku mutu cemaran logam berat dalam pangan
Logam Simbol Standart Baku (mg/l)
BPOM RI1 SNI2
Kadmium Cd 0.1 -
Besi Fe - 1
Sumber : SNI 7387:2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan. Panitia Teknis 67-02 Bahan Tambahan Pangan dan Kontaminan. Badan Standarnisasi Nasional, Jakarta1. BPOM No 5. 2018. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan Olahan. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta2.
Keberadaan besi diperairan dapat berasal dari buangan logam besi yang mengalami korosif dan pelarutan di air, serta buangan limbah domestik dan industri yang mengandung kadar besi. Di perairan kadar besi (Fe2+) yang tinggi berkorelasi dengan kadar bahan organik yang tinggi, atau kadar besi yang tinggi terdapat pada air yang berasal dari air tanah dalam yang bersuasana anaerob atau dari lapisan dasar perairan yang sudah tidak mengandung oksigen. Keberadaan besi juga dapat memberikan penampakan keruh dan berwarna pada air, serta
meninggalkan noda pada pakaian yang dicuci oleh air yang mengandung besi (Amansyah dan Syarif, 2014).
Logam Berat di Air
Logam berat yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu akan berubah fungsi menjadi sumber racun bagi bagi sistem kehidupan di perairan. Walaupun daya racun yang ditimbulkan oleh satu logam berat terhadap biota perairan tidak sama, namun kehancuran suatu kelompok dapat menjadikan terputusnya satu rantai makanan. Pada tingkatan selanjutnya dapat menghancurkan tatanan suatau ekosistem perairan (Palar, 1994).
Konsentrasi bahan pencemar yang masuk ke perairan bisa mempengaruhi kehidupan organisme di perairan. Sebagaimana diketahui unsur logam berat yang masuk ke perairan berasal dari berbagai kegiatan industri selain bersumber dari alam itu sendiri (alamiah). Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik di sungai ataupun laut akan dipindahkan dari badan airnya melalui beberapa proses yaitu : pengendapan, adsorbsi dan absorbsi oleh organisme perairan. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air (Harahap, 1991).
Berdasarkan peraturan pemerintah kandungan logam berat yang boleh masuk ke perairan laut mempunyai batasan tertentu. Baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 dan baku mutu berdasarkan Environmental Protection Agency (EPA) 1986 dapat di lihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar baku mutu air laut untuk biota laut terhadap logam berat
Logam Simbol Standart Baku (mg/l)
Kep Men LH1 EPA2
Kadmium Cd 0.0010 0.0093
Besi Fe - 0.5
Sumber : KepMen LH No 51 Tahun 20041. USEPA.(1986). Quality Criteria for Water. EPA-440/5-86-001, Office of Water Regulation Standards, Washington DC, USA2
Logam Berat di Sedimen
Menurut Sanusi (2006) tekstur atau ukuran partikel sedimen terbentuk terutama disebabkan oleh adanya kekuatan arus. Dengan kata lain, faktor arus (hidrodinamika) merupakan energi sortasi sedimen. Perairan yang memiliki kondisi arus yang dinamis (high energy environment – dynamic waters), memiliki tekstur sedimen yang kasar (kerikil, pasir). Sementara perairan dimana kondisi arusnya tenang atau tidak dinamis (low energy environment – sluggish waters) memiliki tekstur sedimen yang lebih halus (lumpur, liat). Perairan yang sering terjadi deposisi material tersuspensi (organik dan anorganik) umumnya memiliki tekstur sedimen yang halus.
Zat-zat yang masuk ke laut akan berakhir menjadi sedimen. Dalam prosesnya semua zat yang ada terlibat proses biologi dan kimia yang terjadi sepanjang ke dalaman laut. Sebelum mencapai dasar laut dan menjadi sedimen, zat tersebut melayang-layang di kolom perairan. Setelah mencapai dasar laut pun, sedimen tidak diam tetapi sedimen akan terganggu ketika hewan laut-dalam mencari makan. Sebagian sedimen mengalami erosi dan tersuspensi kembali oleh arus bawah sebelum kemudian jatuh kembali dan tertimbun. Terjadi reaksi kimia antara butir-butir mineral dan air laut sepanjang perjalanannya kedasar laut dan reaksi tetap berlangsung setelah penimbunan, yaitu ketika air laut terperangkap di antara butiran mineral (Supangat dan Muawanah).
Sifat fisik kimia material padatan tersuspensi yang memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat terlarut dalam kolom air, maka deposisi padatan tersuspensi dalam suatu perairan akan menyebabkan akumulasi logam berat tersebut selain material organik dalam sedimen. Makin tinggi kandungan polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam sedimen. Oleh karena itu kualitas fisik kimia sedimen suatu perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan. Dilihat dari aspek kimia, akumulasi bahan organik dalam substrat halus akan menentukan status reduksi-oksidasi, bergantung ketersediaan O2 terlarut dalam air jebakan dan pH sedimen (Sanusi, 2006).
Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan dapat digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) dan USEPA (1986) mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda. Seperti dapat dilihat pada tabel 4 dan 5 dibawah ini adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Baku mutu logam berat Kadmium (Cd) dan Besi (Fe) dalam sedimen
Logam Simbol Standart Baku Mutu
(mg/kg)
Kadmium Cd 0.006*
Besi Fe 20**
Sumber: Baku mutu sedimen dengan standar sediment quality guideline values for metals and associated levels of concern to be used in doing assesments of sediment quality (2003)*. USEPA.(1986) dalam Widiyanto 2005**.
Tabel 5. Baku mutu logam berat Kadmium (Cd) dalam sedimen
a. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.
b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.
c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan.
d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang.
e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.
e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.