• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Gula Aren

Dalam istilah kuliner, gula adalah tipe makanan yang diasosiasikan dengan salah satu rasa dasar, yaitu manis. Komponen utama dari gula adalah karbohidrat. Jenis gula yang paling sering digunakan sehari-hari adalah kristal sukrosa padat. Gula berfungsi untuk merubah rasa dan struktur makanan atau minuman. Saat ini setidaknya dikenal tiga jenis gula yaitu gula tebu, gula bit, dan gula aren (BPTP Banten 2005).

Gula aren sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu pemanis makanan dan minuman yang bisa menjadi substitusi gula pasir (gula tebu). Gula aren diperoleh dari proses penyadapan nira aren yang kemudian dikurangi kadar airnya hingga menjadi padat. Kekhasan gula aren dibandingkan dengan gula lainnya adalah gula aren mengandung kadar sukrosa lebih tinggi (84%), dibandingkan gula tebu (20%) dan gula bit (17%). Selanjutnya kandungan nutrisi gula aren seperti kadar protein, lemak, kalium dan fosfor ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan gula tebu dan gula bit. Sebagai bahan komparasi, Tabel 6 memperlihatkan kandungan beberapa zat penting dalam komoditas gula yang berasal dari sumber bahan baku yang berbeda.

Tabel 6. Komposisi Kimia Gula Aren, Gula Kelapa, dan Gula Siwalan (per 100 gram)

No. Sifat Kimia Gula Aren

(%) Gula Kelapa (%) Gula Siwalan (%) 1. Kadar air 9,16 10,32 8,61 2. Sukrosa 84,31 71,89 76,85 3. Gula pereduksi 0,53 3,70 1,66 4. Lemak 0,11 0,15 0,19 5. Protein 2,28 0,06 1,04 6. Total Mineral 3,66 5,04 3,15 7. Kalsium 1,35 1,64 0,86 8. Fosfor (P2O5) 1,37 0,06 0,01 Sumber : BTPN Banten (2005)

Proses pembuatan gula aren terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap penyaringan nira dari kotoran, pemasakan, dan pencetakan.

11

1) Penyaringan Nira dari Kotoran

Seharusnya nira yang diperoleh dari pohon aren segera diperiksa derajat keasamannya (pH). Nira aren dengan pH 6-7 masih baik untuk diolah menjadi gula aren. Sebelum dimasak, nira perlu disaring terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran. Penyaringan dilakukan dua kali, pertama penyaringan terhadap kotoran kasar seperti ranting, daun dan serangga, serta kedua penyaringan terhadap kotoran halus yang dilakukan pada saat proses pemasakan dimana kotoran terkumpul di permukaan.

2) Pemasakan

Pemasakan dilakukan diatas penggorengan di atas tungku api dengan bahan bakar kayu. Hal penting yang perlu dilakukan selama proses pemasakan adalah penyaringan kotoran halus yang dapat dilakukan dengan menggunakan serokan. Dalam pemasakan nira ini, juga perlu ditambahkan minyak goreng atau minyak kelapa dengan perbandingan 10 gram minyak kelapa per 25 liter nira. Tujuannya agar buih nira tidak sampai meluap keluar penggorengan atau wajan.

Untuk menguapkan air dalam nira diperlukan waktu pemasakan 3-4 jam. Selama pemasakan dijaga agar asap tidak masuk ke dalam bahan, untuk menghindari warna gula aren menjadi gelap. Apabila nira yang dimasak sudah kental, secara perlahan-lahan api dikecilkan untuk menurunkan panas sambil diaduk agar tidak gosong. Untuk mengetahui kemasakan nira biasanya dilakukan dengan cara meneteskan nira ke dalam air dingin. Apabila tetesan nira tesebut meluncur dengan panjang 2 cm, berarti nira sudah masak.

3) Pencetakan

Dalam proses pencetakan, biasanya kojor (tempat untuk mencetak gula aren) direndam terlebih dahulu dalam air untuk memudahkan pelepasan gula nantinya, kemudian pekatan nira diaduk dan selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan tersebut. Pelepasan gula dari cetakan dilakukan setelah gula mencapai suhu kamar.

2.2. Gula Semut

Gula semut adalah gula aren yang berbentuk butiran halus. Butirannya lebih halus dari gula pasir bahkan mirip seperti pasir rumah semut, oleh karena itu disebut “gula semut”. Sebagai pemanis, gula semut ini memiliki keunggulan

12 dibandingkan gula cetak. Gula semut bersifat kering karena kadar airnya yang rendah sehingga gula semut bisa bertahan hingga dua tahun. Aroma, rasa, dan warna gula semut relatif seragam. Gula semut memiliki tampilan yang lebih menarik karena dapat dikemas dalam berbagai bentuk dan ukuran. Gula semut memiliki bentuk yang lembut dan mudah larut dalam air sehingga sering digunakan sebagai bahan baku industri makanan olahan maupun konsumsi rumah tangga. Mutu dan penampilan gula semut yang lebih baik dibandingkan gula cetak mendukung untuk menembus pasar dalam negeri dan pasar ekspor dengan nilai jual yang lebih tinggi dari pada gula cetak (Forum Pengembangan Kemitraan, diacu dalam Gunawan 1997).

Proses produksi gula semut hampir sama dengan gula cetak. Perbedaannya adalah gula semut proses pemasakan lebih lama dibandingkan pada gula cetak. Setelah nira aren yang dimasak berubah menjadi pekat, api kemudian dikecilkan. Setelah 10 menit, kuali diangkat dari tungku dan dilakukan pengadukan secara perlahan sampai terjadi pengkristalan. Setelah terjadi pengkristalan, pengadukan dipercepat hingga terbentuk serbuk kasar. Serbuk yang masih kasar inilah yang disebut dengan gula semut setengah jadi dengan kadar air masih di atas 5 persen. Gula semut setengah jadi, kemudian dikirim kepada produsen gula semut skala industri kecil di masing-masing sentra produksi. Secara garis besar alur proses produksi gula aren oleh pengrajin dapat dilihat pada Gambar 2.

Industri kecil gula semut yang terdapat di beberapa sentra industri gula aren menerima gula semut setengah jadi dari pengrajin. Gula semut setengah jadi dari pengrajin terlebih dahulu digiling dengan mesin penggiling untuk menghaluskan gula yang masih menggumpal.

Setelah penggilingan, gula semut diayak sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Ukuran yang umum dipakai adalah 10 mesh, 15 mesh dan paling halus 20 mesh dengan kadar air di bawah 3 persen. Untuk memperoleh tiga tingkat kehalusan tersebut, gula yang sudah digiling diayak dengan ayakan dari ukuran yang paling besar terlebih dahulu, yaitu 10 mesh. Gula semut yang tidak lolos pada ayakan ini, yang disebut dengan gula reject. Gula reject tersebut kemudian dimasak kembali hingga meleleh dan mengental untuk dibentuk menjadi gula cetak.

13 Gambar 2. Diagram Alur Proses Produksi Gula Aren Cetak dan Gula Semut

oleh Petani

Sumber : BPTP Banten (2005)

Gula semut hasil ayakan pertama, kemudian diayak kembali dengan ayakan ukuran yang lebih kecil, demikian seterusnya hingga ukuran ayakan yang terkecil. Jumlah produksi gula semut dengan tiga jenis kehalusan ini disesuaikan dengan permintaan pasar.

Selanjutnya, gula semut dengan tiga ukuran ayakan tersebut kemudian dijemur di bawah panas matahari hingga kadar airnya mencapai di bawah 3 persen. Jika tidak ada sinar matahari, proses pengeringan dapat dilakukan menggunakan alat pengering, misalnya oven pemanas. Gula semut yang sudah kering kemudian dikemas dalam kemasan karung untuk dikirim kepada industri makanan atau pedagang besar dan dengan kemasan plastik untuk dipasarkan.

Secara garis besar alur proses produksi gula aren oleh sentra industri dapat dilihat pada Gambar 3.

14 Gambar 3. Diagram Alur Proses Produksi Gula Semut Oleh Sentra Industri

Sumber : BPTP Banten (2005) 2.3. Industri Pengolahan

Industri pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah barang jadi atau setengah jadi, mengubah barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih nilainya. Termasuk kedalam kegiatan ini adalah perusahaan yang melakukan jasa industri dan pekerja perakitan (BPS 2007, diacu dalam Musarofah 2009).

Industri pengolahan digolongkan menjadi empat golongan yaitu industri/usaha besar, industri/usaha menengah, industri/usaha kecil, dan industri/ usaha mikro. Sampai saat ini belum ada definisi maupun kriteria baku mengenai usaha mikro, kecil dan menengah. Masing-masing institusi atau lembaga pemerintah mempunyai kriteria berbeda terhadap UMKM di Indonesia5).

Berdasarkan pasal 6 UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, dijelaskan mengenai kriteria UMKM berdasarkan jumlah kekayaan bersih dan total penjualan per tahun.

Anonim. 2008. Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. http://usaha-umkm.blog.com/tag/ciri-ciri-umkm/ [Diakses tanggal 30 Mei 2010]

15 a. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:

− Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

− Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)..

b. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:

− Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

− Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

c. Usaha Menengah adalah sebagai berikut:

− Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

− Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per tahun. Usaha Mikro dapat mengajukan kredit kepada bank paling banyak Rp 50.000.000,00. Ciri-ciri usaha mikro adalah sebagai berikut:

a. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;

b. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat;

c. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak

memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;

d. Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai;

16 e. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;

f. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah

akses ke lembaga keuangan non bank;

g. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP.

Berdasarkan Undang-undang No.9 Tahun 1995, usaha kecil adalah usaha produktif yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) per tahun serta dapat menerima kredit dari bank maksimal di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ciri-ciri usaha kecil adalah sebagai berikut:

a. Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah tetap tidak gampang

berubah;

b. Lokasi/tempat usaha umumnya sudah menetap tidak berpindah-pindah;

c. Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan walau masih

sederhana, keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan keuangan keluarga, sudah membuat neraca usaha;

d. Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP;

e. Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam berwira usaha;

f. Sebagian sudah akses ke perbankan dalam hal keperluan modal;

g. Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik seperti business planning.

Berdasarkan Inpres No.10 tahun 1998, usaha menengah adalah usaha bersifat produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak sebesar Rp 10.000.000.000,00, (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta dapat menerima kredit dari bank sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) s/d Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Ciri-ciri usaha menengah adalah sebagai berikut:

17 a. Pada umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik,

lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi;

b. Telah melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem akuntansi

dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan penilaian atau pemeriksaan termasuk oleh perbankan;

c. Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll;

d. Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll;

e. Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan;

f. Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan

terdidik.

2.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang dijadikan rujukan adalah berbagai penelitian yang berhubungan dengan topik dan produk yang dipilih dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian yang menjadi rujukan adalah penelitian mengenai kelayakan usaha dan gula aren.

2.4.1. Penelitian Terdahulu mengenai Kelayakan Usaha

Penelitian mengenai analisis kelayakan terutama kelayakan pada usaha pengolahan produk tertentu telah dilakukan oleh peneliti terdahulu namun dengan objek kajian atau produk yang berbeda. Salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Debie Natalia Francisca Fausta Napitupulu pada tahun 2009 yang berjudul Analisis Kelayakan Usaha Pembuatan Jus dan Sirup Belimbing Manis dan Jambu Biji Merah (Studi Kasus CV Winner Perkasa Indonesia Unggul). Analisis kelayakan ini dilakukan karena CV WPIU akan melakukan pengembangan usaha dengan memasok jus dan sirup belimbing manis dan jambu biji merah ke supermarket. Hasil penelitian menunjukkan analisis kualitatif aspek-aspek non finansial yaitu aspek-aspek pasar, aspek-aspek teknis, aspek-aspek manajemen, aspek-aspek sosial dan lingkungan serta aspek hukum menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan CV WPIU ini layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis kelayakan finansial tingkat diskonto 14 persen menunjukan nilai NPV positif sebesar

18 Rp.292.938.966, Net B/C sebesar 3,09, nilai IRR sebesar 48,95 persen, Payback Period yang diperoleh adalah 3,76 tahun atau 3 tahun 7 bulan 4 hari, dan layak untuk dijalankan dengan tingkat diskonto yang ada. Sedangkan hasil analisis switching value dengan tingkat diskonto 14 persen menunjukan bahwa usaha ini menjadi tidak layak untuk dijalankan apabila harga gula pasir mengalami kenaikan melebihi 18,84 persen, harga botol jus mengalami kenaikan melebihi 20,94 persen, penurunan penjualan jus melebihi 6,09 persen, dan penurunan penjualan sirup lebih dari 10,48 persen.

Penelitian Siti Munawarohtul Musarofah pada tahun 2009 menganalisis kelayakan usaha pengolahan nugget ikan (Kasus pada Usaha Pengolahan Nugget Ikan Putra Barokah, Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Hasil penelitian menunjukkan analisis kualitatif aspek-aspek non finansial yaitu aspek komersial, aspek teknis, aspek hukum, aspek manajemen, aspek sosial lingkungan dan aspek ekonomi menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan layak untuk dilaksanakan. Peneliti membuat dua skenario pada analisis finansial. Skenario I merupakan usaha yang saat ini sedang dijalankan yaitu usaha pengolahan nugget ikan yang berada di Desa Blanakan dengan skala usaha berdasarkan pada kondisi saat ini. Sedangkan skenario II merupakan pengembangan usaha dengan peningkatan kapasitas produksi menjadi 1.747 kemasan per hari. Hasil analisis kelayakan finansial menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan berdasarkan kriteria investasi. Pada skenario I diperoleh NPV sebesar Rp 128.253.816, Net B/C sebesar 5,08, nilai IRR sebesar 89 persen, Payback Period yang diperoleh adalah 2,15 tahun. Sedangkan skenario II menghasilkan NPV sebesar Rp. 309.706.718, Net B/C sebesar 6,00, nilai IRR sebesar 98 persen, Payback Period yang diperoleh adalah 2,53 tahun. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa kedua skenario tidak layak saat menghadapi penurunan penjualan sebesar 46 persen, sementara saat menghadapi perubahan berupa kenaikan harga kemasan sebesar 64,7 persen menunjukkan bahwa skenario I tidak layak untuk dijalankan sedangkan skenario II masih layak untuk dijalankan. Analisis switching value menunjukkan bahwa perubahan penurunan penjualan yang masih dapat diterima agar usaha layak untuk dijalankan pada skenario I adalah sebesar 13,22709 persen sedangkan pada skenario II adalah

19 sebesar 10,475618439 persen. Perubahan berupa kenaikan harga kemasan yang masih dapat diterima pada skenario I adalah sebesar 51,034158 persen dan pada skenario II adalah 66,677150637 persen.

Rustiana (2008) menganalisis kelayakan usaha pengolahan puree mangga (Mangifera Indica L.) (studi kasus pada CV. Promindo Utama, Desa Losari Lor, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat). Hasil penelitian menunjukkan analisis kualitatif aspek-aspek non finansial yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial dan lingkungan menunjukkan bahwa usaha pengolahan puree mangga layak untuk dilaksanakan. Pada aspek finansial diperoleh NPV sebesar Rp. 346.825.522,00, Net B/C sebesar 6,14, nilai IRR sebesar 87,26 persen, dan Payback Period yang lebih singkat dari umur usaha selama 10 tahun yaitu 2 tahun, 1,6 bulan. Dengan demikian dari aspek finansial usaha pengolahan puree mangga layak untuk dilaksanakan. Analisis switching value menunjukkan bahwa usaha pengolahan puree mangga masih layak untuk dilaksanakan jika volume produksi puree mangga mengalami penurunan maksimal sebesar 15,08664 persen, harga jual puree mangga turun sebesar 15,08664 persen, serta kenaikan harga mangga Harumanis grade C maksimal sebesar 31,896 persen.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Musarofah (2009) adalah pembuatan dua skenario di analisis finansial yang menganalisis kondisi perusahaan saat ini dan rencana pengembangan usaha yang akan dilakukan. Pada penelitian Rustiana (2008) fokus untuk menganalisis kondisi perusahaan saat ini sedangkan penelitian Napitupulu (2009) hanya menganalisis pengembangan usahanya saja. Aspek non finansial yang dikaji Musarofah (2009) sama dengan penelitian ini, yaitu meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum, aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan. Semua kriteria investasi untuk menganalisis aspek finansial yang digunakan dalam penelitian ini, digunakan pula dalam penelitian Napitupulu (2009) Musarofah (2009) dan Rustiana (2008) seperti NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period. Untuk mengetahui alternatif kemungkinan hasil analisis kelayakan yang telah diperoleh sehubungan dengan kemungkinan terjadinya perubahan atas komponen yang menyangkut pelaksanaan usaha, Napitupulu (2009) dan Rustiana

20 (2008) menggunakan alat analisis yang sama yaitu analisis switching value, namun Musarofah (2009) menambahkan satu analisis lagi yaitu analisis sensitivitas. Terdapat perbedaan dalam pemilihan variabel yang akan dianalisis dalam switching value. Pada Napitupulu (2009) dan Musarofah (2009) variabel yang dipilih dalam analisis switching value adalah kenaikan harga input dan penurunan volume penjualan, pada Rustiana (2008) variabel yang dipilih dalam analisis switching value adalah kenaikan harga input, penurunan harga output dan penurunan volume penjualan, sedangkan pada penelitian ini variabel yang dipilih dalam analisis switching value adalah kenaikan harga input dan penurunan harga output.

2.4.2. Penelitian Terdahulu mengenai Gula Aren

Tinjauan yang digunakan dalam penelitian ini juga harus merujuk pada penelitian terdahulu mengenai produk yang sama yaitu gula aren. Ada beberapa peneliti yang menganalisis mengenai gula aren namun dengan kajian yang berbeda.

Nurani (2008) meneliti tentang Analisis Usaha Pengolahan Gula Merah Aren di Desa Sukamurni Kecamatan Cilawu Kabupaten Garut Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan dan nilai tambah yang diperoleh pengrajin gula merah aren berdasarkan status kepemilikan pohon, menganalisis saluran pemasaran, pelaksanaan fungsi pemasaran gula merah aren yang terjadi di setiap lembaga pemasaran di Desa Sukamurni serta efisiensi pemasaran gula merah aren yang terjadi di Desa Sukamurni. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha pengolahan gula merah aren yang dikembangkan oleh pemilik sekaligus penyakap telah efisien. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio R/C baik atas biaya tunai maupun biaya total lebih dari satu. Nilai rasio R/C atas biaya total yang diperoleh pemilik sekaligus penggarap yaitu 1,81 dan penyakap yaitu 1,89. Sementara itu, pemilik sekaligus penggarap dan penyakap memperoleh nilai rasio R/C atas biaya tunai yang sama besar yaitu 35,56.

Nilai tambah yang diterima pemilik sekaligus penggarap yaitu Rp. 808,73 per liter nira sedangkan penyakap sebesar Rp. 776,27 per liter nira. Baik pada pemilik sekaligus penggarap maupun penyakap nilai tambah tersebut sebagian besar didistribusikan untuk keuntungan usaha. Marjin yang diperoleh pemilik

21 sekaligus penggarap memberikan balas jasa terhadap pendapatan kerjanya sebesar 23,04 persen, bagi keuntungan perusahaan 65,03 persen dan sisanya sebesar 11,93 persen merupakan bagian input lain. Sementara itu penyakap mendistribusikan marjin yang diperolehnya terhadap tenaga kerja sebesar 11,81 persen, keuntungan perusahaan sebesar 75,92 persen, dan 12,26 persen bagi sumbangan input lain. Hal ini menunjukkan usaha pengolahan gula merah aren sangat menunjang bagi kehidupan ekonomi pengrajian.

Di daerah penelitian ditemukan sembilan alternatif saluran pemasaran untuk menyalurkan gula merah aren dari pengrajin sampai ke konsumen akhir yang melibatkan tujuh lembaga pemasaran yaitu perajin, tengkulak, pedagang pengecer, pedagang besar antar kota (PBAK), pedagang di pasar Bojong Loa dan di pasar Ciawitali, supermarket yang berada di Kabupaten Garut. Saluran pemasaran yang paling efisien untuk menyalurkan gula merah aren adalah saluran pemasaran lima dengan total marjin dan biaya pemasaran yang paling rendah. Selain itu pada saluran pemasaran ini bagian harga yang dibayar konsumen dapat dinikmati seluruhnya oleh perajin.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Nurani (2008) terletak pada tujuan penelitian dan alat analisis yang digunakan. Tujuan dari penelitian terdahulu adalah untuk menganalisis tingkat efisiensi dari usaha pengolahan gula aren dengan menggunakan Return Cost Ratio (R/C) sebagai alat analisisnya serta menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari usaha pengolahan aren ini. Sedangkan pada penelitian ini, tujuan penelitian adalah untuk menganalisis kelayakan usaha baik dari aspek finansial maupun non finansial serta mengantisipasi risiko perubahan harga input dan outpun dengan menggunakan analisis switching value sebagai alat analisisnya.

Gunawan (1997) meneliti tentang Perspektif Sosiobudaya Perajin Gula Aren Semut (Studi Kasus Desa Padasuka Kecamatan Cibinong Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aktivitas perajin gula aren semut dalam upaya berinteraksi dengan lingkungan hidupnya dari aspek sosiobudaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak dulu tataniaga gula aren didominasi oleh para Bandar yang menyebabkan posisi tawar para perajin menjadi lemah akibat sistem ijon. Saat ini kegiatan menyadap dan membuat gula sudah

22 menjadi rutinitas pekerjaan sehari-hari bagi perajin gula aren di Desa Padasuka. Tahap perkembangan orientasi nilai budaya perajin gula aren menunjukkan perkembangan yang positif, hal ini ditandai hakekat hidup pengrajin yang mengarah pada optimis, hakekat karya yang berorientasi pada prestasi, orientasi masa depan, menyelaraskan pada alam dan menguasainya, serta berjiwa gotong

Dokumen terkait