• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Kemandirian Pangan 2.1.1 Pengertian Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalam pengertian pangan adalah bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman. Pengertian pangan di atas merupakan definisi pangan yang dikeluarkan oleh badan dunia untuk urusan pangan, yaitu Food and Agricultural Organization (FAO).

Menurut Agung.A (2015) Pangan dikelompokkan berdasarkan pemrosesannya, yaitu:

1) Bahan makanan yang diolah, yaitu bahan makanan yang dibutuhkan proses pengolahan lebih lanjut, sebelum akhirnya siap untuk dikonsumsi. Pemrosesan di sini berupa proses pengubahan bahan dasar menjadi bahan jadi atau bahan setengah jadi untuk tujuan tertentu dengan menggunakan teknik tertentu pula. Contoh bahan makanan olahan adalah nasi, pembuatan sagu, pengolahan gandum, pengolahan singkong, pengolahan jagung, dan lain sebagainya.

9 2) Bahan makanan yang tidak diolah, yaitu bahan makanan yang langsung untuk dikonsumsi atau tidak membutuhkan proses pengolahan lebih lanjut. Jenis makanan ini sering dijumpai untuk kelompok buah-buahan dan beberapa jenis sayuran.

Bahan baku pangan secara umum dapat dikatakan untuk diolah lebih lanjut ataupun dapat langsung dikonsumsi (tanpa diolah). Dalam proses pengolahan ini juga dibutuhkan bahan tambahan, berupa bumbu masak, bahan-bahan penyedap, dan bahan-bahan lainnya yang berfungsi untuk pelengkap penyajian makanan. Pengertian pangan yang dimaksudkan dalam penelitian ini atau sesuai dengan konteks ketahanan pangan nasional difokuskan pada jenis pangan yang mendominasi kandungan karbohidrat. Jenis makanan atau pangan yang dimaksudkan terdiri atas beras, jagung, ketela, singkong, jenis ubi-ubian, dan jenis ketela.

2.1.2 Pengertian Kemandirian Pangan

Menurut Ketua HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), Ir.Siswono Yudo Husodo Kemandirian pangan mengandung arti kebutuhan pangan nasional harus dipenuhi secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, modal sosial, dan ekonomi yang dimiliki petani Indonesia, yang pada gilirannya harus berdampak kepada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat lainnya.

Selanjutnya skenario mandiri yaitu kondisi dimana kebutuhan pangan nasional minimal 90% dipenuhi dari produksi dalam negeri.

10 Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (Agung A, 2015).

Kemandirian pangan merupakan kondisi dinamis karena sifatnya lebih menekankan pada aspek perdangan atau komersialisasi: kemandirian lebih menuntut daya saing tinggi karena produk yang dihasilkan pada skema proporsi ekspor, sedangkan swasembada lebih tertuju pada skema subtitusi impor. Ruang lingkup dari kemandirian pangan adalah nasional/wilayah dengan sasaran komoditas pangan dengan strategi yang diterapkan adalah peningkatan daya saing atau dapat dikatakan promosi ekspor. Upaya atau harapan yang ditargetkan adalah peningkatan produksi pangan yang berdaya saing pangan sehingga hasil yang akan didapatkan ketersediaan pangan oleh produk domestic yang didapatkan dari hasil petani sebagai stake holder dalam negeri sedangkan impor hanya digunakan sebagai pelengkap (Agung A, 2015).

11 2.2 Lumbung Pangan Desa

2.2.1 Kelembagaan Lumbung Pangan Desa

Kelembagaan lumbung pangan desa merupakan suatu sistem norma khusus yang menata rangkaian tindakan berpola mantap dan berstruktur dalam memenuhi kebutuhan cadangan pangan masyarakat desa. Dengan memperhatikan persoalan ketahanan pangan ke depan semakin kompleks, baik sebagai dampak dari krisis pangan global, krisis ekonomi global maupun dampak pemanasan global, maka lumbung pangan sebagai institusi penyangga cadangan pangan menjadi amat strategis untuk dikembangkan di setiap daerah (Hermanto,2009).

Badan Ketahanan Pangan merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang untuk pemenuhan konsumsi pangan yang berbasis pada budaya daerah, potensi pangan daerah, dan kearifan lokal. Dalam rangka peningkatan ketahanan pangan yang dimulai dari daerah, maka pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan Nasional mengeluarkan peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor : 17/Permetan/HK.140/4/2015 tentang pedoman pengembangan lumbung pangan masyarakat tahun 2015 menimbang :

a. Bahwa dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 08/Permentan/OT.140/1/2014 telah ditetapkan Pedoman Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat Tahun 2014;

b. Bahwa pengembangan lumbung pangan masyarakat merupakan prioritas dalam rangka mewujudkan pemenuhan kebutuhan pangan dan pencapaian

12 sasaran program kegiatan ketahanan pangan harus dilaksanakan secara efektif dan efisien;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Pedoman Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat Tahun 2015.

Sejarah keberadaan lumbung pangan desa ini dimulai pada tahun 1902 oleh Messmen, seorang yang berkebangsaan Belanda, yang saat itu menjabat sebagai Residen Cirebon dan Sumedang, pemikiran Messmen didasari oleh kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di wilayahnya. Menurutnya apabila para petani memiliki tabungan padi atau gabah maka pada masa-masa paceklik kebutuhan pangan mereka akan tetap tercukupi.

Pada mulanya lumbung pangan desa lebih dipahami sebagai penyimpan (buffer stock) hasil panen padi saja. Keberadaannya diperlukan untuk mengatisipasi adanya bencana alam, gagal panen (kondisi alam atau serangan hama). Perkembangan selanjutnya lumbung pangan desa berfungsi sebagai pengendali harga jika terjadi kelebihan produksi. Ketika panen raya harga akan cenderung turun. Adanya lumbung pangan desa petani dapat mengatur suplai produksinya sambil menunggu harga yang paling baik di pasar (Hermanto,2009).

Keberadaan lumbung pangan desa berhubungan erat dengan ketahanan pangan yang mendasari adanya pemenuhan pangan secara menyeluruh bagi masyarakat, baik dari segi ketersediaan, distribusi dan

13 konsumsi. Lumbung pangan desa bisa dimaknai sebagai institusi ekonomi di tingkat pedesaan. Sebagai institusi ekonomi ekonomi lumbung pangan desa juga bisa mengenai kredit atau permodalan petani, distribusi, dan fungsi logistik lainnya. Lebih penting dari itu dengan adanya lumbung pangan desa akan semakin menumpuk rasa kekeluargaan dan gotong royong masyarakat desa menjadi ciri khas bangsa ini (Hermanto,2009).

Lumbung pangan desa juga bisa dimanfaatkan sebagai penyimpan benih. Petani zaman dulu biasa menyisihkan beberapa hasil panennya untuk dipilih mana yang paling berkualitas untuk dijadikan benih. Benih ini tetap dibiarkan dengan kondisi utuh bertangkai dan diikat kemudian di simpan di dalam lumbung desa. Keberadaan lumbung pangan desa semakin berkembang seiring dikeluarkanya Inpres Bantuan Pembangunan Desa (Bangdes) pada tahun 1969. Lumbung pangan desa bermunculan pesat di berbagai pelosok tanah. Banyak diantaranya masih bertahan hingga paruh awal tahun 1990-an.

Sistem lumbung sebagai pusat cadangan pangan, terutama di kawasan pedesaan, kini semakin sulit ditemukan. Sisa kearifan lokal itu terkikis oleh perubahan zaman. Menurut Sibuea (2009) dalam jurnal iqbal-ketahanan pangan, setidaknya ada empat penyebab masalah sistem lumbung pangan desa semakin terpinggirkan, yaitu :

1. Kecendrungan petani berperilaku konsumtif. Di negara berkembang, masyarakatnya cenderung lebih suka berbelanja daripada menabung.

14 Hasil panen yang berlimpah kadang mendorong petani hanya berpikir bagaimana bisa segera menjualnya dan mendapatkan uang.

2. Masuknya model-model kelembagaan lain yang banyak berkembang.

Banyak lembaga keuangan yang memberikan fasilitas perkreditan dengan syarat mudah bagi petani. Petani cenderung berpikir tanpa berusaha belajar mengelola permodalan usahataninya sendiri.

3. Adanya petani yang terejrat dengan sistem ijon. Terdesak kebutuhan dari keinginan hidup, petani rela menjual komoditasnya sebelum panen kepada tengkulak. Akibannya, ketika panen tidak ada komoditas yang bisa dikelola bisnisnya oleh lumbung pangan desa.

4. Sikap petani yang cenderung apatis. Eksistensi lumbung pangan desa sebenarnya didasari pada sikap kekeluargaan dan kegotongroyongan masyarakat desa. Seiring pudarnya nilai-nilai tersebut akibat dampak globalisasi maka lambat tapi pasti lumbung pangan desa akan ditinggalkan.

Dari permasalahan tersebut menunjukkan bahwa pengambangan lumbung pangan desa masih sangat terbatas dan belum mampu untuk mengantisispasi terjadinya kekurangan bahan pangan pada musim paceklik dan mengantisispasi ancaman gagal panen akibat bencana alam, seperti gangguan hama dan penyakit, anomali iklim, dan banjir serta membantu menyerap kelebihan produksi di saat panen raya dan sekaligus mengamankan harga gabah dari kejatuhan. Oleh karena itu, potensi lumbung pangan desa ini perlu dikembangkan dan

15 direvitalisasi melalui proses pemberdayaan secara sistematis, terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh unsur terkait, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

2.3 Karakteristik Rumah Tangga Tani 2.3.1 Rumah Tangga

1) Definisi Rumah Tangga

Rumah tangga yaitu seluruh urusan keluarga untuk hidup bersama, dikerjakan bersama di bawah pimpinan seseorang yang ditetapkan, menurut tradisi. Konstruksi sosial yang menggunakan ideologi gender menetapkan bahwa pimpinan di dalam rumah tangga adalah ayah.

Namun, pada beberapa daerah pedesaan di Jawa, keputusan-keputusan yang menyangkut hidup anggotanya, ayah selalu mengajak bermusyawarah ibu, serta anak-anak yang dianggap sudah mampu (Murniati, 2004).

Rumah tangga dalam membangun kehidupan keluarga berjalan dengan baik, maka perlu dikembangkan pengelolaan yang disebut manajemen rumah tangga. Di dalam manajemen rumah tangga terdapat tiga unsur pokok, yang dalam praksisnya merupakan suatu proses.

Tiga unsur pokok tersebut adalah:

a) Perencanaan, yaitu menentukan lebih dahulu suatu tindakan yang akan dikerjakan sesuai dengan tujuan dan sasaran anggotanya.

b) Pelaksanaan, yaitu suatu pengendalian untuk mengetahui terjadi penyimpangan atau tidak dalam pelaksanaannya.

16 c) Evaluasi dan refleksi yang dilakukan secara periodik sesuai dengan

kesepakatan seluruh anggota dalam rumah tangga.

2) Peran dan Fungsi Rumah Tangga

Masing-masing rumah tangga mempunyai peran dan fungsi.Tetapi secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Murniati, 2004).

a. Pemenuhan kebutuhan hidup, seperti bekerja untuk memenuhi pangan.

b. Sandang, dan papan. Kegiatan belajar untuk anak, penyediaan dan pemeliharaan pangan, sandang, papan serta kegiatan lain yang menyangkut kebutuhan rumah tangga.

c. Administrasi, yaitu kegiatan yang menyangkut catat-mencatat meliputi penyediaan dan pengaturan catatan keuangan, kartu dan surat-surat penting yang dibutuhkan untuk urusan anggota rumah tangga (kartu keluarga, surat nikah, ijazah, dan sebagainya).

d. Berhubungan dengan pihak luar dari rumah tangga, yaitu kegiatan bernegosiasi, kegiatan berhubungan antar keluarga dan kegiatan sosial lainnya.

2.3.2 Tani

Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan /atau beserta keluarganya yang melakukan Usaha Tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan (Undang- Undang No. 19 Tahun 2013). Petani yang bergerak dibidang pertanian secara

17 umum dalam arti sempit dapat diartikan sebagai pertanian rakyat yaitu usaha pertanian keluarga dimana diproduksi bahan makanan utama seperti beras, palawija (jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian) dan tanaman-tanaman hortikultura yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan (Mubyarto, 1994). Petani melakukan kegiatan usaha bercocok tanam di tanah-tanah sawah, ladang, dan pekarangan. Hasil-hasil pertanian rakyat pada umumnya digunakan untuk konsumsi keluarga, dan apabila lebih maka produksi pertanian maka akan dijual ke pasar.

Petani dalam pertanian rakyat memproduksi berbagai macam jenis tanaman. Dalam satu tahun petani dapat memutuskan untuk menanam tanaman bahan makanan atau tanaman perdagangan. Menurut Mubyarto (1994) keputusan petani untuk menanam bahan makanan didasarkan pada kebutuhan makan untuk seluruh keluarga petani, sedangkan menanam tanaman perdagangan didasarkan pada keadaan iklim, ada tidaknya modal, tujuan penggunaan hasil penjualan tanaman tersebut, dan harapan harga.

Disamping hasil-hasil tanaman pertanian rakyat meliputi pula usaha-usaha mata pencaharian tambahan yaitu peternakan, perikanan, dan kadang-kadang usaha pencarian hasil hutan. Ciri khas kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan dan pengeluarannya (Mubyarto, 1994).

Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu, atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.

18 Dalam menyelenggarakan kegiatan usahatani setiap petani dapat merangkap pekerjaan sebagai pekerja sekaligus manajer. Petani selalu berusaha menghasilkan panen banyak, misal berupa panen padi maka petani akan mengatur agar panenan cukup untuk memberi makan seluruh anggota keluarga sampai tiba panen yang akan datang. Sisa hasil panen akan dijual ke pasar dan hasil penjualannya dapat dipakai untuk membeli pakaian, alat-alat rumah tangga atau alat-alat pertanian. Petani sebagai manajer akan mengatur selama bercocok tanam dan penggunaan hasil-hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia yang merupakan negara agraris. Pertanian berhubungan dengan usaha pemanfaatan tanah untuk menanam tanaman atau pohon-pohonan.

Ilmu pertanian merupakan suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang pertanian baik mengenai sub sektor tanaman pangan dan holtikultura, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, maupun sub sektor perikanan (Daniel, 2004). Petani dapat diklasifikasikan Petani punya lahan cukup/luas dan modal cukup/besar. Hanya jenis petani ini yang membutuhkan penyuluhan atau diberikan inovasi baru untuk mengembangkan usahataninya.

19 2.4 Usahatani Padi

Robert Redfield (1982) mengatakan bahwa usahatani terbentuk dari adanya tingkat kebutuhan dan kemajuan dengan melalui pemanfaatan sumber-sumber daya alam seperti tanah, air dan matahari yang difungsikan untuk mendapatkan sesuatu produksi pertanian. Lebih lanjut Hernanto (2006) mendefinisikan usahatani adalah sebagai organisasi dari alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan yang ditujukan pada produksi dilapangan pertanian.

Usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat disuatu tempat yang diperlukan untuk produksi pada bidang pertanian seperti udara, tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah dan sebagainya yang ada di alam ini (Mubyarto, 2002). Sejalan dengan pengertian usahatani yang dikemukakan beberapa pakar ekonomi pertanian tersebut diatas, pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama karena masing-masing melihat pengertian usahatani dari segi pemanfaatan sumber daya alam.

2.5 Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani menurut Gustiyana (2004), bahwa pendapatan usahatani dapat dibagi menjadi dua pengertian, yaitu :

a. Pendapatan kotor, yaitu seluruh pendapatan yang diperoleh petani dalam usahatani selama satu tahun yang dapat diperhitungkan dari hasil penjualan atau pertukaran hasil produksi yang dinilai dalam rupiah berdasarkan harga pe satuan berat pada saat pemungutan hasil.

20 b. Pendapatan bersih, yaitu seluruh pendapatan yang diperoleh petani dalam satu tahun dikurangi dengan biaya produksi selama proses produksi. Biaya produksi meliputi biaya riil tenaga kerja dan biaya riil sarana produksi.

Menurut Soekartawi (1995) pendapatan sebagai selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan dalam suatu usahatani. Total penerimaan merupakan hasil perkalian dari jumlah produksi yang dihasilkan dengan nilai/harga produk tersebut, sedangkan total biaya adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam suatu usahatani. Pendapatan rumah tangga petani bersumber dari dalam usahatani dan pendapatan dari luar usahatani.

Pendapatan dari dalam usahatani meliputi pendapatan dari tanaman yang diusahakan oleh petani. Sedangkan dari luar usahatani bersumber dari pendapatan selain usahatani yang diusahakan.

I = TR-TC Dimana :

I = Income (Pendapatan)

TR = Total Renue (Penerimaan) TC = Total Cost (Total Biaya)

2.6 Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan memiliki dua bentuk tujuan dari aspek pelaksanaan, yaitu tujuan berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan tujuan berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat (Suyastiri, 2008). Fakta yang dihadapi sekarang ini, bahwa pola konsumsi pangan nasional masih bertumpu atau tergantung pada satu

21 jenis tanaman pokok, yaitu beras/padi. Berdasarkan fakta tersebut, tujuan konsumsi pangan berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan menurut Suyastiri (2008) adalah:

1. Mengurangi Ketergantungan Impor Beras

Impor beras dilakukan karena adanya ketergantungan permintaan pangan terhadap bahan pangan berupa beras. Melalui diversifikasi konsumsi pangan diharapakan akan membuat pilihan akan bahan pangan menjadi semakin beragam, sehingga dapat menekan ketergantungan terhadap impor beras.

2. Mencapai Pola Konsumsi Pangan Yang Tepat

Ketahanan pangan menitik beratkan pada aspek alokasi sumberdaya ke arah penggunaan yang efisien, fleksibel, dan stabil dengan memanfaatkan potensi lokal yang tersedia. Salah satu prinsip pokok dalam pelaksanaan diversifikasi konsumsi pangan adalah pemanfaatan atau pengoptimalan potensi lokal, baik berupa potensi tanaman lokal maupun sumberdaya manusia.

3. Mewujudkan Pola Pangan Harapan Diversifikasi

Konsumsi pangan memiliki sasaran untuk memberikan nutrisi atau gizi yang memadai bagi pola konsumsi rumah tangga, sehingga akan mampu untuk memenuhi pola konsumsi sehat dan bergizi di masyarakat.

22 4. Gizi Yang Terjangkau Oleh Semua Tingkat Pendapatan Pola

Konsumsi pangan nasional yang selama ini banyak bergantung pada jenis beras menyebabkan harga beras semakin cepat meningkat. Akibatnya, harga beras semakin lama menjadi semakin sulit untuk dijangkau oleh semua kelompok pendapatan rumah tangga. Melalui diversifikasi konsumsi pangan diharapkan akan mampu untuk mengalokasikan pendapatan memilih jenis komoditi pangan yang relatif lebih terjangkau.

Besar kecilnya konsumsi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : 1. Tingkat pendapatan dan kekayaan

Sangat lazim apabila tinggi rendahnya daya konsumsi seseorang atau masyarakat berhubungan dengan tinggi rendahnya tingkat pendapatan, karena perilaku konsumsi secara psikologis memang berhubungan dengan tingkat pendapatan, artinya bila pendapatan tinggi maka konsumsinya semakin tinggi (baik dalam jumlah maupun dalam nilai) karena ini berhubungan dengan pemenuhan kepuasan yang tak terbatas itu. Apabila pendapatan rendah maka konsumsinya juga relatif rendah karena berhubungan dengan keinginan bertahan hidup, jadi konsumsi untuk bertahan hidup dan pemenuhan kepuasan yang tinggi semuanya karena faktor pendapatan. Selain pendapatan maka kekayaan juga sangat berpengaruh. Kekayaan bisa saja sebagai akibat dari tingkat tabungan dari masa lalu atau karena warisan dan lain sebagainya.

23 2. Tingkat suku bunga dan spekulasi.

Bagi masyarakat tentu ada kalanya mau mengorbankan konsumsi untuk mendapatkan perolehan yang lebih besar dari suku bunga yang berlaku dari uang yang ditabung, sehingga manakala suku bunga tinggi konsumsi masyarakat berkurang meskipun pendapatan tetap. Akan tetapi manakala suku bunga demikian rendahnya maka masyarakat akan lebih condong untuk menggunakan semua uangnya untuk konsumsi, sehingga hampir tidak ada yang ditabung. Selain suku bunga, tingkat spekulasi masyarakat juga mempengaruhi tingkat konsumsi, masyarakat bisa saja mengurangi konsumsinya karena berharap pada hasil yang besar dari uang yang dikeluarkan untuk main dipasar saham atau obligasi (menunda konsumsi tinggi dengan harapan tentunya akan bisa melakukan konsumsi yang lebih besar apabila dalam kegiatan spekulasi itu mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan.

3. Sikap Berhemat.

Memang terjadi paradoks antara sikap berhemat dengan peningkatan kapasitas produksi nasional. Di satu sisi untuk memperbesar kapasitas produksi nasional maka konsumsi harusalah ditingkatkan. Akan tetapi disisi lain untuk meningkatkan pendanaan dalam negeri agar investasi dapat berjalan dengan mudah dan relatif murah serta aman maka tabungan masyarakat perlu ditingkatkan.

24 4. Budaya, Gaya hidup (pamer, gengsi dan ikut arus) dan demonstration

effect

Gaya hidup masyarakat yang cenderung mencontoh konsumsi baik itu konsumsi dari tetangganya, masyarakat sekitarnya dan atau dari masyarakat yang pernah di bacanya di massa media menjadikan konsumsi masyarakat terpengaruh. Konsumsi untuk produk- produk yang belum saat ini dibutuhkan dan dibeli hanya demi gengsi, ikut arus membuat tingkat tabungan masyarakat menjadi rendah. Demikian juga halnya dengan dampak demonstration effect yang menjadikan pola konsumsi masyarakat yang terlalu konsumtif sehingga akan mengurangi tingkat tabungan.

5. Keadaan perekonomian

Pada saat perekonomian dalam kondisi stabil maka konsumsi masyarakat juga akan stabil, akan tetapi manakala perekonomian mengalami krisis maka biasanya tabungan masyarakat akan menjadi rendah dan konsumsi akan menjadi tinggi karena kurangnya kepercayaan pada lembaga perbankan dan semakin mahalnya dan langkanya barang-barang kebutuhan. (Putong, 2010)

25 2.7 Produksi

Miller dan Miner (1999) menyatakan produksi merupakan konsep arus. Apa yang dimaksud konsep arus (flow concept) disini adalah produksi merupakan kegiatan yang diukur sebagai tingkat-tingkat output per unit priode/waktu. Sedangkan outputnya sendiri senantiasa diasumsikan konstan kualitasnya. Jadi bila kita berbicara mengenai peningkatan produksi, ini berarti peningkatan output dengan mengasumsikan faktor-faktor yang lain yang sekiranya berpengaruh tidak berubah sama sekali (konstan).

Joerson dan Fathorrozi ( 2003) menyatakan produksi merupakan hasil akhir dalam proses atau aktivitas ekonomi dan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasikan berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output.

Pindiyck dan Rubinfield (2001) menyatakan bahwa input dan output untuk setiap sistem produksi adalah fungsi dari karakteristik teknologi. Selagi teknologi dapat ditingkatkan dan fungsi produksi berubah, sebuah perusahaan dapat memperoleh lebih banyak output untuk serangkaian input tertentu.

Produktivitas faktor adalah kunci untuk mendapatkan kombinasi atau proporsi input yang optimal yang harus dipergunakan untuk menghasilkan satu produk yang mengacu pada the law of variable proportion faktor memberikan dasar untuk penggunaan sumber daya yang efisien dalam sebuah sistem produksi.

26 2.8 Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang dan kajian pustaka yang telah diuraikan sebelumnya, maka kerangka pikir disusun seperti Gambar 1 dibawah ini, dimana kerangka pikir ini menggambarkan bahwa adanya perbedaan tingkat kemandirian pangan pokok rumah tangga tani atara anggota dan non anggota lumbung pangan menggunakan struktur tingkat kecukupan pangan (TSP).

Kemandirian pangan pokok rumah tangga tani dilihat dari perbandingan produksi beras dan konsumsi dimana dapat dilihat dari

Kemandirian pangan pokok rumah tangga tani dilihat dari perbandingan produksi beras dan konsumsi dimana dapat dilihat dari

Dokumen terkait