• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Deskripsi Ikan Gurami

Ikan gurami (Osphronemus Goramy Lacepeda) merupakan ikan asli perairan Indonesia yang sudah lama dibudidayakan secara komersil oleh para pembudidaya. Menurut Anonim (2000), klasifikasi dari ikan gurami adalah sebagai barikut : Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Belontiidae Famili : Osphronemidae Genus : Osphronemus

Spesies : Osphronemus goramy Lac. Secara morfologi, ikan ini memiliki garis lateral tunggal, lengkap dan tidak terputus, bersisik stenoid serta memiliki gigi pada rahang bawah, sirip ekor membulat, jari-jari lemah pertama pada sirip perut merupakan benang panjang yang berfungsi sebagai alat peraba. Ikan gurami memiliki panjang standar dua kali dari tinggi badan dan empat kali dari panjang kepala. Induk gurami jantan ditandai dengan adanya benjolan di kepala bagian atas, rahang bawah tebal dan tidak adanya bintik hitam di kelopak sirip dada. Sedangkan induk betina ditandai dengan bentuk kepala bagian atas datar, rahang bawah tipis dan adanya bintik hitam pada kelopak sirip dada (BSN, 2000).

Gambar 1. Ikan Gurami.

Sumber : Badan Standarisasi Nasional Keterangan gambar:

1 : Panjang Standar 2 : Panjang Kepala 3 : Tinggi Badan

Bentuk badan yang lebar dan pipih menyebabkan ikan gurami cocok dibudidayakan di lingkungan dengan perairan yang tenang, dengan ketinggian dari permukaan laut 0 – 800 m, suhu udara 25 -28 0c dan derajat keasaman air (pH) 6,5 – 7,8. Ikan gurami mempunyai alat pernapasan tambahan yaitu Labirin, sehingga mampu hidup di perairan yang kurang oksigen karena mampu menghirup oksigen dari udara luar.

Ikan gurami sampai umur 40 hari merupakan jenis ikan karnivora yang kemudian berubah menjadi herbivora (BSN, 2000). Pada saat benih kurang dari 40 hari, ikan gurami mengkonsumsi pakan alami berupa cacing rambut (Tubifex

sp.), Daphnia sp., Moina sp., atau pakan alami lainnya yang sesuai dengan ukuran mulutnya (Sunarma, 2002). Sedangkan pada saat dewasa, ikan gurami mengkonsumsi pakan yang berasal dari tumbuhan seperti daun sente, daun papaya dan daun ubi kayu (Jatmiko, 2003).

2.2 Standar Nasional Indonesia (SNI) Produk Perikanan

Standar Nasional Indonesia (SNI) produk perikanan adalah suatu standar minimal dalam kegiatan budidaya yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Secara resmi kelembagaan SNI ini diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional yang disusun melalui konsensus nasional oleh para pakar perikanan budidaya dengan melibatkan para pembudidaya dari berbagai daerah, sehingga tata laksana yang tersusun dapat digunakan di tingkat pembudidaya (Sunarma, 2002).

Penerbitan SNI produksi perikanan merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu proses dan hasil produksi serta perbaikan pada manajemen usahanya. Namun tata laksana yang tercantum dalam SNI masih berupa acuan pokok sehingga diperlukan penjabaran yang lebih aplikatif di masing-masing daerah. Penjabaran ini dapat berupa Standar Prosedur Operasional (SPO) yang diterjemahkan melalui pelatihan dan pendampingan oleh pihak Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Direktorat Jenderal Perikanan.

2.3 SNI Ikan Gurami

Kegiatan produksi ikan gurami yang telah diterbitkan dalam SNI adalah kegiatan pengelolaan kelas induk pokok (Parent Stock) dan produksi kelas benih sebar. Induk pokok adalah induk ikan keturunan pertama dari induk dasar yang memenuhi standar mutu kelas induk pokok, dimana induk dasar adalah induk keturunan pertama dari induk pejenis yang memenuhi standar mutu, sedangkan induk pejenis adalah induk ikan yang dihasilkan oleh dan dibawah pengawasan penyelenggara pemulia. Benih sebar adalah benih keturunan pertama dari induk pokok (BSN, 2000).

2.3.1Pengelolaan Kelas Induk Pokok (Parent Stock)

Perbedaan paling mencolok antara induk jantan dengan induk betina adalah untuk ikan jantan terdapat benjolan di bagian kepala, bibir bawah tebal dan tidak memiliki warna hitam pada ketiak sirip dada. Sedangkan ikan betina memiliki ciri-ciri yaitu tidak terdapat benjolan di bagian kepala, bibir bawah tipis dan memiliki warna hitam pada ketiak sirip dada.

Induk yang dipilih sebagai kelas induk pokok harus memenuhi SNI. Terdapat beberapa persyaratan dalam pengelolaan induk agar memenuhi SNI, yaitu terbagi atas kriteria kualitatif dan kriteria kuantitatif. Dalam kriteria kualitatif syarat yang harus dipenuhi adalah calon induk pokok merupakan hasil pembesaran benih sebar yang berasal dari induk ikan kelas induk dasar atau pejenis, bentuk tubuh pipih vertikal berwarna kecoklatan dan bagian perut berwarna putih keperakan atau kekuning-kuningan serta tidak memiliki kelainan bentuk tubuh atau cacat tubuh dan organ tubuh harus lengkap (BSN, 2000).

Tabel 6. Kriteria Kuantitatif Induk Pokok (Parent Stock)

Jenis kelamin

Kriteria satuan

jantan betina

Umur Bulan 24 – 30 30 – 35

Panjang Standar Cm 30 – 35 30 - 35

Bobot Tubuh Kg/Ekor 1.5 – 2.0 2.0 – 2.5

Sumber : Badan Standarisasi Nasional

2.3.2Produksi Benih Kelas Benih Sebar

Benih sebar merupakan benih keturunan pertama dari induk pokok (Parent Stock). Benih sebar ikan gurami terdiri dari larva, benih pendederan 1, benih pendederan 2, benih pendederan 3, benih pendederan 4 dan benih pendederan 5. Kegiatan produksi benih ikan gurami kelas benih sebar harus memenuhi

persyaratan SNI. Beberapa persyaratan tersebut terdiri dari pra produksi, proses produksi dan pemanenan.

Persyaratan pra produksi adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam memproduksi benih ikan gurami kelas benih sebar yang terdiri dari lokasi, sumber air, wadah budidaya, induk, pakan, pupuk, obat-obatan dan peralatan pembenihan. Sedangkan persyaratan proses produksi adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangkaian kegiatan untuk memproduksi benih ikan gurami kelas benih sebar. Persyaratan pemanenan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan tahap akhir proses produksi benih ikan gurami.

Tabel 7. Kriteria Benih Ikan Gurami Kelas Benih Sebar

Kriteria satuan larva Benih P1 Benih P2 Benih P3 Benih P4 Benih P5 Umur Maksimal Hari 10 – 12 40 80 120 160 200

Penjang total Cm 0.75 – 1.00 1 - 2 2 - 4 4 -6 6 - 8 8 – 11

Bobot minimal gram 0.03 0.2 0.5 1.0 3.5 7.0

Sumber : Badan Standarisasi Nasional

2.4 Pembenihan Ikan Gurami

Kegiatan pembenihan ikan gurami terbagi ke dalam beberapa kegiatan, yaitu kegiatan pemeliharaan induk, pemanenan telur, pemeliharaan larva, pemeliharaan benih dan pemanenan benih. Kegiatan pemeliharaan induk merupakan awal dari kegiatan pembenihan ikan gurami. Kegiatan ini meliputi pemberian pakan, pengecekan sarang dan pemanenan sarang. Pakan yang diberikan berupa pakan pelet dengan jumlah 1 % dari bobot biomassa, frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari. Selain diberi pakan buatan, induk gurami juga diberi pakan alami berupa daun sente (Allocasia macrorrhiza) sebanyak 5 % dari bobot biomassa per hari.

Hingga saat ini, pemijahan ikan gurami baru dapat dilakukan secara alami. Namun demikian, Ikan ini termasuk dalam kelompok induk ikan yang menjaga telurnya secara baik. Perbandingan antara jantan dan betina adalah 1 : 3-4 atau dapat dikatakan dalam satu pasang terdiri dari empat sampai lima ekor induk ikan gurami. Ikan jantan yang sudah siap memijah membangun sarang untuk menampung telur dari induk betina. Biasanya induk jantan memerlukan waktu 1 – 2 minggu untuk membangun sarang. Untuk memudahkan induk jantan membangun sarang, kolam induk diberi tempat dan bahan sarang. Tempat sarang berupa keranjang sampah plastik bulat diameter 20 - 25 cm atau tempat lain yang serupa yang ditempatkan pada kedalaman 10 - 15 cm dibawah permukaan air. Bahan sarang berupa sabut kelapa, ijuk atau bahan lain yang dapat dibuat sarang yang ditempatkan di permukaan air sekitar tempat sarang. Pada pemijahan secara masal, dapat disediakan sarang sejumlah induk jantan yang ada dengan jarak antar sarang sekitar 1 – 2 m. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya persaingan dalam membangun sarang.

Pengecekan telur dilakukan setiap pagi pada setiap sarang yang sudah dibuat induk ikan. Pengecekan dilakukan dengan cara menusuk sarang atau dengan menggoyangkannya atau dengan meraba bagian depan sarang. Bila dari dalam sarang keluar telur atau minyak atau bagian depan sarang sudah tertutup, maka pemijahan sudah terjadi dan sarang berisi telur. Sarang yang berisi telur dikeluarkan dari tempat sarang secara perlahan untuk dipindahkan ke dalam waskom plastik yang telah diisi air kolam induk. Secara perlahan sarang dibuka sampai telur keluar dan mengapung di permukaan air. Telur-telur tersebut diambil dengan menggunakan sendok atau centong untuk dipindahkan ke dalam wadah

penetasan berupa corong penetasan, waskom plastik atau akuarium yang sudah diisi dengan air bersih. Telur yang baik dipisahkan dari telur yang jelek. Telur yang baik berwarna kuning bening sedangkan telur yang jelek berwarna kuning pucat.

Telur ikan gurami akan menetas setelah 36-48 jam dari pemijahan pada suhu 29 – 31ºC. Larva – larva yang baru menetas posisi badannya terbalik yaitu bagian perut berada diatas sedang bagian punggung berada dibawah, hal ini disebabkan karena telur ikan gurame mengandung minyak. Selama 3 – 4 hari setelah menetas larva hanya bergerak berputar – putar dengan posisi badan terbalik. Setelah 4 – 5 hari larva akan berbalik badan semua dan bergerak normal. Larva diberi pakan setelah berumur 8-9 hari setelah menetas, hal ini berfungsi untuk pengenalan pakan dari endogenus (makanan yang berasal dalam tubuh) ke

eksogenus (makanan yang berasal dari luar). Pemberian pakan dilakukan secara

ad-libitum (sekenyangnya dalam satu periode pemberian pakan dan selalu tersedia). Kuning telur larva gurame akan habis pada saat larva berumur 10 – 12 hari setelah menetas.

Setelah larva berumur 14-15 hari, maka larva siap dipelihara di wadah pemeliharaan. Wadah dapat berupa kolam tanah, kolam tembok, bak terpal dan akuarium. Jika dengan menggunakan kolam tanah dan tembok, maka kolam harus diberi kapur dan di pupuk. Pengapuran berfungsi untuk membunuh bibit penyakit dan hama yang ada di dasar kolam, sedangkan pemupukan berfungsi untuk menimbulkan pakan alami. Sedangkan jika menggunakan bak terpal dan akuarium tidak dilakukan kegiatan pengapuran dan pemupukan. Kepadatan pada setiap wadah pemeliharaan berbede-beda, untuk kolam tanah dan kolam tembok,

kepadatan yang digunakan adalah 100 ekor/m2, untuk bak terpal kepadatan larva yang digunakan adalah 250 – 500 ekor/m2, sedangkan untuk akuarim kepadatan yang digunakan antara 10-15 ekor per liter air. Benih dapat dipanen setelah 15-25 hari dari penebaran larva atau berumur 30-40 hari setelah menetas. Beberapa standar proses produksi dalam memproduksi benih ikan gurami hingga ukuran 1-2 cm dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 8. Standar Proses Produksi Benih Ikan Gurami Ukuran 1-2 Cm

No Standar Satuan Jumlah

1 Dosis Pupuk Gram/ m2 500

2 Kepadatan Ekor/ m2 100

3 Tingkat Pemberian Pakan % Bobot biomassa 20

4 Perbandingan Jantan dan Betina ekor 1 : 3-4

Sumber : Badan Standarisasi Nasional.

2.5 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian mengenai ikan gurami, pendapatan dan efisiensi faktor produksi. Penelitian Basyarah (2002) mengenai ikan gurami yang berjudul Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pemeliharaan Ikan Gurami Di Desa Puswasari Kabupaten Bogor menjelaskan bahwa terdapat tiga pola usaha dalam kegiatan budidaya ikan gurami di desa purwasari, yaitu Pola Usaha I (pembenihan), Pola Usaha II (pendederan) dan Pola Usaha III (pembesaran). Pola usaha IV (pembenihan sampai pembesaran) merupakan pola rancangan alternatif yang dapat dikembangkan di daerah penelitian Berdasarkan analisis kelayakan finansial dengan menggunakan kriteria investasi yaitu NPV, IRR, Net B/C dan

Payback Period, keempat pola usaha tersebut menunjukan kelayakan untuk diusahakan. Pola usaha I menghasilkan NPV sebesar Rp. 1.159.345,50, IRR adalah 39%, Net B/C 1,48 dan Payback Period 3,09 tahun. Pola usaha II

menghasilkan NPV sebesar Rp. 6.771.987, IRR 70%, Net B/C 3,4 dan Payback Period 2,09 tahun. Pola usaha III menghasilkan NPV sebesar Rp. 10.984.445,50, IRR 76%, Net B/C 1,95 dan Payback Period 1,08 tahun. Sedangkan pola usaha IV sebagai pola rancangan alternative menghasilkan NPV sebesar Rp. 13.164.954, IRR 94%, Net B/C 2,56 dan Payback Period 1,05 tahun.

Penelitian Jatmiko (2003) dengan judul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi Usaha Pembesaran Ikan Gurami studi kasus di Desa Cogrek, Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil analisis, pendapatan usaha pembesaran ikan gurami di desa Cogrek pada kondisi optimal lebih menguntungkan dibandingkan pada kondisi aktual. Hal ini ditunjukan dengan nilai R/C yang didapatkan pada kondisi optimal 1,96 lebih besar dibandingkan nilai R/C pada kondisi aktual sebesar 1,46. Faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap hasil produksi pembesaran ikan gurami adalah jumlah benih, pakan pelet, pakan daun sente, luas kolam dan tenaga kerja. Dari hasil analisis Cobb-Douglas menunjukan bahwa faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil produksi pada tingkat kepercayaan 95% adalah benih, pakan pelet dan pakan daun sente. Sedangkan faktor luas kolam berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% dan faktor tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap hasil produksi baik pada tingkat kepercayaan 85 % dan 95%.

Irawati (2006) melakukan penelitian dengan judul Analisis Pendapatan Dan Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi Usahatani Padi Program PTT dan Non-PTT kasus di Kabupaten Karawang. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani padi di daerah penelitian, petani

non-program PTT pendapatan atas biaya tunai dan total lebih tinggi dibandingkan dengan petani program PTT. Akan tetapi, pada kondisi optimal pendapatan total yang diterima oleh petani program PTT lebih besar dibandingkan petani non program. Hasil analisis regresi fungsi produksi Cobb Douglas, untuk petani program PTT menunjukan bahwa faktor - faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi usahatani padi adalah luas lahan, benih, pupuk urea, pupuk NPK, obat cair dan tenaga kerja. Sedangkan untuk pupuk sp-36 dan obat padat tidak berpengaruh nyata. Untuk petani non PTT menunjukan bahwa luas lahan, benih, NPK, dan tenaga kerja merupakan faktor - faktor yang berpengaruh nyata pada peningkatan produksi usahatani padi, sedangkan sp-36, urea, obat padat dan obat cair tidak berpengaruh nyata.

Analisis Pendapatan dan Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Usaha Kolam Jaring Apung, kasus di Desa Bangus, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang dilakukan oleh Yulinar (2005) menjelaskan bahwa pendapatan usaha kolam jaring apung dihitung menggunakan analisis pendapatan dengan bantuan tabel arus kas seperti arus penerimaan dan biaya yang digunakan. Berdasarkan hasil analisis, penerimaan petani terbagi menjadi tiga kategori, yaitu kategori untung, kategori rugi dan kategori bangkrut. Penerimaan petani kategori untung sebesar Rp 128.092.674,00/thn dengan total biaya produksi sebesar Rp 7.680.084,95/thn. Penerimaan petani kategori rugi sebesar Rp 60.503.513,59/thn dengan total biaya produksi sebesar Rp 69.850.535,58/thn. Penerimaan petani kategori bangkrut sebesar Rp 54.699.639,90/thn dengan total biaya produksi sebesar Rp 62.652.689,30/thn. Alat analisis yang digunakan dalam menentukan faktor – faktor yang mempengaruhi kelangsungan usaha kolam jaring apung

adalah analisis logit atau regresi logistik. Berdasarkan hasil analisis, faktor yang berpengaruh nyata terhadap kelangsungan usaha kolam jarring apung di waduk saguling desa Bangus adalah kualitas air dan jumlah kolam.

Analisis Pendapatan Nelayan Berdasarkan Jenis Alat Tangkap di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, Jawa Tengah oleh Effendi (2004) menyebutkan bahwa pendapatan non pertanian adalah pendapatan yang berasal dari tingkat upah, sewa dan keuntungan yang di peroleh dari tenaga kerja yang dicurahkan dikurangi dengan biaya – biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan diluar usaha pertanian yang dilakukan. Berdasarkan hasil analisis faktor – faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan yang menggunakan trammel net, gill net dan

long line adalah ukuran kapal, pengalaman nakhoda dan jumlah alat tangkap. Mulyani (2007) dengan judul penelitian Prospek Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Lele di OMAH FISH FARM, Kecamatan Ciseeng-Parung Kabupaten Bogor. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa ikan lele dapat dibudidayakan dengan lahan dan sumber air yang terbatas, kepadatan tinggi dan relatif lebih cepat untuk mencapai ukuran konsumsi dibandingkan dengan ikan gurami. Akan tetapi harga per-kilogram ikan lele jauh lebih murah dibandingkan dengan ikan gurami. Hasil analisis usaha, nilai R/C ratio selama satu tahun adalah sebesar 0,57 yang berarti usaha budidaya tersebut tidak menguntungkan untuk diusahakan.

Prospek Usaha Budidaya Ikan Nila Gift Sistem Kolor Pada Keramba Jaring Apung Di Waduk Cirata Kecamatan Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur Jawa Barat oleh Resmi (2007) menyebutkan bahwa kombinasi antara ikan nila dan ikan mas dalam budidaya sistem kolor lebih menguntungkan dibandingkan dengan

kombinasi ikan nila dan ikan bawal dengan nilai R/C masing-masing sebesar 2,02 dan 1,87. Harga masing-masing jenis ikan berbeda, untuk ikan nila sebesar Rp 5500/kg, ikan mas 9500/kg dan ikan bawal sebesar Rp 6000/kg. Dibandingkan dengan ikan gurami harga tersebut relatif jauh lebih rendah dimana harga ikan gurami sebesar Rp 18.000-20.000,-. Penelitian Jaelani (2003) yang berjudul Prospek Pengembangan Usaha Pembenihan Ikan Gurami Di Kelurahan Tertasari Kecamatan Ciamis Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Hasil analisis usaha menggambarkan nilai R/C untuk usaha pembenihan ikan gurami sebesar 2,13 dengan hasil panen berupa benih ukuran 0,75 – 2 cm.

Uraian di atas menunjukan bahwa sampai saat ini belum ada penelitian mengenai pendapatan usaha pembenihan ikan gurami petani bersertifikat Standar Nasional Indonesia, sehingga penelitian ini perlu dilakukan untuk menganalisis pendapatan dan faktor – faktor yang mempengaruhi produksi pada usaha pembenihan ikan gurami petani bersertifikat SNI.

Dokumen terkait