• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Sektor Pertanian Berdasarkan Potensi Wilayah

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor di bidang ekonomi yang memiliki arti dan kedudukan penting dalam pembangunan nasional. Sektor ini berperan sebagai sumber penghasil bahan makan, sumber bahan baku bagi industri, mata pencaharian sebagian besar penduduk, penghasil devisa negara dari ekspor komoditinya bahkan berpengaruh besar terhadap stabilitas dan keamanan nasional. Namun keberadaan sumberdaya lahan yang terbatas tidak mampu mengimbangi kebutuhan lahan yang sangat pesat baik dari sektor pertanian maupun non pertanian, akibatnya timbul persaingan penggunaan lahan yang saling tumpang tindih dan tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hal ini dapat menjadi kendala bagi proses pembangunan nasional, khususnya di sektor pertanian.

Perencanaan yang tepat dan informasi yang aktual sangat dibutuhkan oleh para pengguna lahan dan pihak-pihak yang terkait agar penggunaan lahan tersebut dapat optimal sesuai dengan kemampuannya dan dapat digunakan secara berkelanjutan. Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut, diantaranya dengan membuat suatu perencanaan yang tepat dan rasional baik melalui aspek teknis maupun non teknis. Aspek teknis dapat dilakukan diantaranya dengan menentukan potensi wilayah sedangkan aspek non teknis dapat dilakukan dengan pendekatan kebijaksanaan bagi pengembangan wilayah tersebut. Kedua aspek ini akan saling berkaitan erat terhadap keberhasilan proses dan hasil pembangunan suatu wilayah. Aspek teknis merupakan salah satu cara yang tepat dan mendasar bagi perencanaan pembangunan wilayah karena dengan

cara ini dapat diketahui potensi dan daya dukung lahan di wilayah tersebut untuk jenis-jenis penggunaan lahan yang dipertimbangkan untuk penilaian potensi wilayah, dimana penilaian potensi wilayah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencari lahan yang memang berpotensi bagi pembangunan pertanian. Dengan dilakukannya penilaian potensi wilayah ini diharapkan akan dihasilkan suatu perencanaan pembangunan pertanian yang tepat dan rasional, dimana pemanfaatan lahannya dapat optimum, lestari dan berkelanjutan. Penilaian potensi wilayah ini dilakukan melalui analisis potensi wilayah baik secara fisik maupun sosial ekonomi. Dengan pendekatan tersebut diharapkan dihaslkan potensi wilayah berupa komoditas unggulan yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Kegiatan ini dilakukan dengan memanfaatkan data-data sekunder yang telah ada dan masih representatif bagi wilayah tersebut yang diolah melalui analisis wilayah dan diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis (Djaenuddin, 1996).

Komoditi unggulan merupakan hasil usaha masyarakat yang memiliki peluang pemasaran yang tinggi dan menguntungkan bagi masyarakat . Beberapa kriteria dari komoditi unggulan adalah :

(a) Mempunyai daya saing yang tinggi di pasaran (keunikan /ciri spesifik, kualitas bagus, harga murah)

(b) Memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang potensial dapat dikembangkan (c) Mempunyai nilai tambah tinggi bagi masyarakat

(d) Secara ekonomi menguntungkan dan bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan dan kemampuan sumberdaya manusia

Keunggulan suatu komoditi masih dibagi lagi berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan keunggulan yang dimiliki berdasarkan potensi yang ada dan membedakannya dengan daerah yang lain. Keunggulan komparatif ini dapat berupa sumber daya alam, sumber daya manusia. Sedangkan keunggulan kompetitif merupakan keunggulan yang dimiliki dan digunakan untuk bersaing dengan dengan daerah lain. Dengan kata lain keunggulan kompetitif menggunakan keunggulan komparatif untuk dapat bersaing dengan daerah lain sehingga menapai tujuannya yang dalam hal ini adalah komoditi unggulan (Direktorat Perluasan Areal, 2007).

Pertanian Hortikultura

Salah satu komoditas pertanian yang berpotensi dikembangkan dalam kerangka pengembangan wilayah adalah hortikultura. Hortikultura adalah pelafalan Indonesia istilah Inggris horticulture. Istilah ini dari kata Latin hortus yang berarti kebun atau halaman maka hortikultura diberi arti pembudidayaan suatu kebun. Ada yang memberi arti seni membudidayakan tanaman kebun atau cara budidaya yang dilakukan dalam suatu kebun secara lebih khusus hortikultura disebut seni menanam tanaman buah, sayuran, dan hias atau ilmu pertanian yang berkaitan dengan pembudidayaan kebun, termasuk penanaman tanaman sayuran, buah, bunga, dan semak serta pohon hias. Hortikultura adalah budidaya pertanian yang dicirikan oleh penggunaan tenaga kerja dan prasarana serta sarana produksi secara intensif. Konsekuensinya, tanaman yang dibudidayakan dipilih yang berdaya menghasilkan pendapatan tinggi (alasan ekonomi) atau yang berdaya menghasilkan kepuasan pribadi besar (alasan hobi), dan terbagi dalam satuan satuan usaha terbatas (Notohadinegoro dan Johara, 2005).

Secara umum lahan yang baik untuk pengembangan hortikultura ialah yang bertimbulan datar atau sedikit landai. Lahan yang terlalu miring tidak cocok karena biasanya bertanah miskin hara (kecuali yang tanahnya terbentuk dari endapan abu volkan) dan memerlukan penterasan untuk pengendalian erosi. Penterasan yang sampai menyingkapkan lapisan bawahan tanah dapat membuat tanah bertambah miskin hara (kecuali apabila lapisan atasan tanah yang lebih kaya hara berketebalan cukup sehingga pembuatan teras tidak sampai menyingkapkan lapisan bawah tanah). Tanah yang baik untuk pengembangan hortikultura adalah tanah aluvial yang tidak terlalu berpasir atau berbatu dan bebas banjir. Pemilihan tapak penanaman yang baik sebetulnya lebih ditentukan oleh iklim berkenaan dengan suhu, curah hujan (Terra, 1948).

Pengembangan Agribisnis Hortikultura

Selain berperan penting dalam pengembangan wilayah, usaha tani hortikultura merupakan bentuk pertanian yang lebih maju dari pada usaha tani tanaman pangan. Sebagai pertanian yang lebih maju, usaha tani hortikultura berorientasi pasar sehingga harus menguntungkan serta diusahakan secara intensif dengan modal yang memadai. Walaupun demikian, usaha tani hortikultura di Indonesia masih memperlihatkan sifat tradisional. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas yang mengandalkan kemampuan dan sumberdaya seadanya. Ciri umum aktivitas tersebut antara lain : (1) tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi pengelola rendah; (2) penguasaan lahan kecil (< 0,25 Ha) dan terpencar lokasinya; (3) akses terhadap informasi, pengetahuan, teknologi dan pasar yang terbatas; (4) kesulitan permodalan; (5) lemahnya kelembagaan pertanian (Soekartawi, 1996).

lain : (1) usahatani yang dilakukan lebih berorientasi pasar (tidak konsisten), (2) bersifat padat modal, (3) resiko harga relatif besar karena sifat komoditas yang cepat rusak dan (4) dalam jangka pendek harga relatif berfluktuasi

(Hadi, et al, 2000).

Permasalahan yang timbul dalam sistem pemasaran hortikultura adalah kegiatan pemasaran yang belum berjalan efisien, dalam artian belum mampu menyampaikan hasil pertanian dari produsen kepada konsumen dengan biaya yang murah dan belum mampu mengadakan pembagian balas jasa yang adil dari keseluruhan harga konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan pemasaran komoditas pertanian tersebut. Pembagian yang adil dalam konteks tersebut adalah pembagian balas jasa fungsi-fungsi pemasaran sesuai kontribusi masing-masing kelembagaan pemasaran yang berperan. Namun yang sangat penting menjadi perhatian ialah sistem tata niaga yang efisien, bagaimana masing-masing lembaga niaga yang terlibat memperoleh imbalan yang adil. Dengan demikian hubungan antara harga, produksi dan tataniaga mempunyai kaitan yang erat, dimana petani sebagai produsen dan lembaga tataniaga dengan fungsi tataniaga yang dilakukannya masing-masing mempunyai peranan yang menentukan dan saling mempengaruhi

(Setyawati, et al, 1990).

Ilmu Keteknikan Pertanian

Mekanisasi pertanian diartikan sebagai pengenalan dan penggunaan dari setiap bantuan yang bersifat mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian. Bantuan yang bersifat mekanis tersebut termasuk semua jenis alat atau perlengkapan yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan, motor bakar, motor

listrik, angin, air, dan sumber energi lainnya. Secara umum mekanisasi pertanian dapat juga diartikan sebagi penerapan ilmu teknik untuk mengembangkan, mengorganisasi, dan mengendalikan operasi di dalam produksi pertanian

(Moens, 1978).

Ruang lingkup mekanisai pertanian juga berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan modernisasi pertanian, pada saat ini teknologi mekanisasi yang digunakan dalam proses produksi sampai pasca panen (penanganan dan pengolahan hasil) bukan lagi hanya teknologi yang didasarkan pada energi mekanis, namun sudah mulai menggunakan teknologi elektronika atau sensor, nuklir, image processing, bahkan sampai teknologi robotik. Jenis teknologi tersebut digunakan baik untuk proses produksi, pemanenan, dan penanganan atau pengolahan hasil pertanian. Mekanisasi pertanian dalam arti luas bertujuan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja, meningkatkan produktifitas lahan, dan menurunkan ongkos produksi. Penggunaan alat dan mesin pada proses produksi dimaksudkan untuk meningkatkan efesiensi, efektifitas, produktifitas, kualitas hasil, dan megurangi beban kerja petani (Handaka,1996).

Di negara-negara maju, holtikultura banyak diusahakan dengan medium tumbuh buatan. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengusahakannya secara intensif, tidak tergantung pada ketersediaan tapak tanah alami tertentu sehingga dapat dikonsentrasikan dengan satuan-satuan produksi yang efektif, terkendali pada taraf efisiensi tinggi dalam penggunaan masukan tenaga kerja, hara, dan air, dan terjamin perolehan mutu dan jumlah hasil yang memuaskan. Penggunaan medium tumbuh buatan biasanya digabungkan dengan pengusahaan dalam rumahkaca (lingkungan buatan) dengan maksud melepaskan budidaya dari

pengaruh iklim dan musim serta memudahkan penanggulangan serangan hama dan penyakit tanaman. Dengan lingkungan dan medium tumbuh buatan, penggunaan ruang, waktu, tenaga kerja, dan masukan bahan serta energi sarana produksi dapat dibuat lebih efektif dan efisien. Upaya semacam ini dapat membawa konsekuensi biaya produksi menjadi lebih tinggi sehubungan dengan piranti teknologi mahal yang diperlukan, baik pada tahap konstruksi maupun selanjutnya pada tahap operasi dan pemeliharaan. Budidaya dengan tanah buatan atau juga disebut budidaya tanpa tanah (soilless culture) dikenal dengan istilah hidroponik, yang secara harfiah berarti “pekerjaan air”. Istilah ini dirakit dari kata Yunani atau latin “ponos” yang berarti pekerjaan atau tenaga kerja (Tan, 1994).

Keberhasilan pengembangan hortikultura ditentukan oleh kecanggihan dan kelengkapan komponen teknologi yang dirakit dalam sistem budidayanya. Hal ini terutama benar apabila hortikultura akan diperankan sebagai ujung tombak agroindustri dan agribisnis. Dengan mengembangkan hortikultura, penggunaan lahan untuk pertanian dapat dihemat. Dengan demikian dampak negatif konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dapat berkurang kegawatannya. Mengembangkan hortikultura rumahkaca menjadikan faktor iklim dan musim tidak penting lagi. Persoalan hama dan penyakit juga dapat dikendalikan penuh. Dengan medium tumbuh buatan (tanah buatan) pengembangan hortikultura tidak lagi terbatasi oleh ketersediaan secara alami tanah-tanah yang sesuai. Hal ini akan memudahkan penyusunan tataguna tanah dan mengurangi terjadinya perebutan menempati lahan antar kepentingan yang bersaing. Sudah barang tentu tidak seluruh budidaya hortikultura dapat dan boleh dalakukan sepenuhnya dengan lingkungan dan medium tumbuh buatan. Tanaman yang dibudidayakan untuk

melayani kebutuhan masyarakat dalam jumlah banyak, seperti kentang, kacang tanah, dan kedelai, atau tanamannya berukuran besar, seperti pohon buah, harus diusahakan di lahan sungguhan. Budidaya rumah kaca dengan medium tumbuh buatan membuat hasilnya menjadi mahal sehingga hanya akan terbeli oleh golongan masyarakat berpenghasilan besar padahal rakyat umum juga memerlukannya, seperti tomat, labu dan lombok. Maka bagian terbesar tanaman-tanaman tersebut harus dibudidayakan di lahan sungguhan. Hortikultura yang dapat dikerjakan sepenuhnya secara buatan ialah pembibitan dan pembenihan. Barangkali cara tersebut lebih baik agar mutu bibit dan benihnya lebih terjamin.Tanaman bunga dan hias boleh diproduksi dengan piranti buatan karena konsumennya berada dalam golongan masyarakat atasan (Saptana, dkk, 2005).

Kecanggihan dan kemampuan teknologi untuk pengembangan tanaman hortikultura tidak hanya sebatas budidayanya saja, tetapi sudah mencakup proses pasca panennya, yaitu proses pengolahan hasil tanaman hortikultura tersebut menjadi menjadi produk olahan hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya pekerjaan manusia yang sudah digantikan oleh alat-alat dan mesin mesin pertanian hal ini bertujuan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja, meningkatkan produktivitas lahan, dan menurunkan ongkos produksi. Alternatif teknologi yang tersedia untuk pengolahan hasil-hasil pertanian bervariasi mulai dari teknologi tradisional yang digunakan oleh industri kecil (cottage industry) sampai kepada teknologi canggih yang biasanya digunakan oleh industri besar. Dengan demikian alternatif teknologi tersebut bervariasi dari teknologi yang padat karya sampai ke teknologi yang padat modal. Teknologi maju. dan mesin-mesin berkapasitas besar dapat mengurangi biaya peubah (variable cost) seperti biaya

tenaga kerja per unit output serta dapat memperkuat kedudukan perusahaan di pasar produk bersangkutan, karena kualitas outputnya yang tinggi, standar kualitasnya yang konsisten, dan volume produksinya yang besar sehingga dapat menarik pembeli dengan jumlah pembelian besar. Tetapi tingkat produksi dan teknologi yang tinggi menuntut pengembangan prasarana, pengelolaan, dan tenaga kerja terampil. Disamping itu, karena biaya tetap (fixed cost) yang tinggi maka perusahaan seperti itu harus memiliki kepastian penyediaan bahan baku serta kepastian pasar untuk produk yang dihasilkan dan beroperasi mendekati kapasitas efektifnya agar perusahaan tersebut berjalan sehat (viable). Pada tahap-tahap produksi, setiap perusahaan agroindustri terdiri dari komponen-komponen fisik sebagai berikut: (a) penerimaan dan penyimpanan bahan mentah, (b) pengkondisian bahan mentah, (c) pengolahan utama (pemisahan, pemusatan, pencampuran, dan stabilitas), (d) pengemasan, (e) penyimpanan produk-produk yang dihasilkan, dan (f) pengiriman produk-produk yang dihasilkan. Disamping komponen-komponen fisik tersebut diatas, perusahaan agroindustri memerlukan sistem-sistem penunjang seperti sumber energi, air, bahan-bahan, perlakuan dan pembuangan limbah, pemeliharaan dan perbaikkan. Kebanyakan agroindustri juga mempunyai sistem penerimaan, penyimpanan, dan penyiapan bahan-bahan yang diperlukan dalam pengolahan secara terpisah, dan paling sedikit mempunyai sistem produk sampingan yang dilengkapi dengan tahap-tahap pengolahan, pengemasan, penyimpanan, dan distribusi. Sistem administrasi dan pengolahan serta perumahan staf juga diperlukan untuk menjamin operasi pabrik secara efisien (Anonimous2, 2009).

Untuk menemukan teknologi atau paket barang modal yang tepat untuk suatu perusahaan agroindustri, perusahaan tersebut harus memahami pasar yang dilayani dan memahami ketersediaan bahan baku. Setelah menetapkan produk yang diinginkan serta semua semua parameter dalam sistem penyediaan bahan baku, faktor-faktor yang berkaitan dengan teknologi pengolahan atau faktor-faktor yang berkaitan dengan persyaratan produk dan proses perlu diidentifikasi. Pemilihan teknologi adalah satu keputusan yang sangat penting dalam pelaksanaan agroindustri, kriteria utama yang harus diperhatikan dalam pemilihan teknologi diantaranya adalah:

(a) Kebutuhan kualitas (quality requirements). Teknologi pengolahan yang dipilih harus sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasar terutama yang menyangkut kualitas. Karena preferensi konsumen sangat beragam, maka teknologi yang dipilihpun harus mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

(b) Kebutuhan pengolahan (process requirements). Sudah barang tentu bahwa setiap jenis alat pengolahan memiliki kemampuan tertentu untuk mengolah suatu bahan baku menjadi berbagai bentuk produk. Semakin tinggi kemampuan suatu alat untuk menghasilkan berbagai jenis produk, maka akan semakin kompleks jenis teknologinya dan akan semakin mahal investasinya. Oleh karena itu, pemilihan teknologi harus memadukan pertimbangan antara kompleksitas teknologi dan biaya yang dibutuhkan.

(c) Penggunaan kapasitas (capacity utilization). Pemilihan teknologi harus disesuaikan dengan kapasitas yang akan digunakan, sedangkan kapasitas yang akan digunakan sangat tergantung dari ketersediaan dan kontinuitas bahan baku (raw material).

(d) Kapasitas kemampuan manajemen (management capability). Biasanya suatu pengelolaan akan berjalan baik pada tahap awal karena besarnya kegiatan masih berada dalam cakupan pengelolaan yang optimal (optimum management size). Setelah besar, masalah biasanya mulai muncul dan hal itu menandakan bahwa skala usaha sudah melebihi kapasitas pengelolaan

(Austin, 1981).

Pada perkembangan awalnya penerapan teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia mengalami hambatan dalam hal teknis, ekonomis, dan sosial. Untuk mencapai pembangunan pertanian yang tangguh, efesien, dan modern haruslah didukung oleh teknologi pertanian yang cocok untuk petani kita. Jenis teknologi yang cocok tidak mesti harus yang muthakir dan canggih, tetapi teknologi tersebut dapat diterapkan dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat kita. Terkadang kita tidak dapat menghindarkan dari proses alih teknologi. Namun demikian dalam alih teknologi tersebut kita tidak boleh hanya mengadopsi teknologi secara mentah-mentah untuk langsung diterapkan pada masyarakat petani kita. Melainkan teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Pengembangan teknologi pertanian diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat kita umumnya dan petani khususnya. Dapat dipastikan bahwa jika teknologi pertanian yang cocok tersebut telah berhasil dikembangkan dan diterapkan di negara kita, maka ketahanan pangan atau swasembada pangan pasti akan tercapai sehingga kemandirian dalam hal ekonomi dan politik dapat kita wujudkan. Apabila hal tersebut benar-benar kita miliki, maka dalam menghadapi era global nanti kita sudah punya bekal paling tidak ketahanan pangan dalam

menghadapi beberapa goncangan. Dengan ketahanan pangan berarti bahaya kekurangan pangan atau kelaparan akibat tajamnya persaingan pada era global dapat dihindarkan. Pada akhirnya kita punya modal kemandirian minimal dalam satu aspek pangan dan beberapa aspek lainnya misalnya keutuhan bangsa dan semangat untuk berkompetesi demi kemajuan bangsa yang berdaulat dan bermartabat (Lisyanto, 2002).

Dokumen terkait