• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.4 Rukun-Rukun Wakaf

Dalam terminologi fikih, rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan

suatu disiplin tertentu atau dengan perkataan lain rukun adalah penyempurnaan sesuatu dimana ia merupakaan bagian dari sesuatu itu (Kartika, 2006: 59). Keberadaan sebuah rukun dalam sebuah ibadah sangat menentukan sempurna atau tidaknya suatu ibadah yang dilakukan. Sehingga apabila salah satu rukun tidak dilaksanakan berarti salah satu bagian akan hilang dan mengakibatkan tidak terlaksananya suatu ibadah yang dilakukan.

Menurut Kartika (2006: 59) dalam bukunya Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, unsur atau rukun wakaf menurut sebagain besar ulama dan fiqh Islam, ada 6 (enam) rukun atau unsur wakafyang diuraikan di bawah ini.

a. Orang yang berwakaf (Wakif)

Syarat-syarat orang yang mewakafkan atau yang disebut dengan wakifadalah harus mempunyai kecakapan melakukan tabarru, yaitu melepaskan hak milik suatu benda tanpa imbangan materil atau persyaratan tertentu, sehingga apabila orang yang telah berwakaf sudah tentu mereka dewasa (baligh), berakal sehat atau tidak gila, tidak di bawah pengampuan atau pembatasan penggunaan harta dan tidak karena terpaksa berbuat. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakif meliputi:

1) Perseorangan 2) Organisasi 3) Badan hukum

Wakif yang berasal dari perseorangan harus merupakan orang yang sudah dewasa dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum serta merupakan pemilik sah dari tanah wakaf. Untuk wakif yang berasal dari organisasi sebelumnya harus memenuhi ketentuan organisasi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan mewakafkan tanah wakafnya yang secara sah milik organisasi serta wakaf yang dikeluarkan harus sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. Demikian juga untuk wakif yang berasal dari badan hukum harus juga sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

b. Benda yang diwakafkan (Mauquf)

Mauquf yang merupakan harta yang diwakafkan dapat diukur melalui nilainya, waktu penggunaannya, dan hak milik yang sah. Menurut Kartika (2007:60), benda yang diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1) Benda harus memiliki nilai guna, 2) Benda tetap atau benda bergerak,

3) Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf,

4) Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap (al-milk at- tamm) wakif (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf.

Harta yang akan diwakafkan harus jelas wujudnya, dapat dilihat serta dihitung nilainya. Pada jenis benda yang abstrak bentuknya atau tidak tampak

guna lahan dan sebagainya. Harta yang akan diwakafkan harus sah menurut ketentuan syara’, yang berarti tidak dibenarkan menggunakan harta wakaf yang tidak mempunyai nilai dan benda haram, seperti mesin perjudian.

Jenis benda yang dapat diwakafkan menurut bentuknya terbagi atas benda bergerak dan benda tak bergerak. Pada dasarnya tidak begitu diperhitungkan apakah jenis benda bergerak atau tidak bergerak, yang paling penting dalam wakaf adalah nilai yang terkandung dalam benda tersebut dan manfaatnya yang akan dirasakan oleh masyarakat. Selain itu, benda wakaf diukur berdasarkan ketahanan manfaat yang digunakan dan dapat dijadikan investasi sebagai modal untuk meningkatkan kesejahteraan.

Dalam wakaf, penentuan benda yang akan diwakafkan harus jelas, terperinci dan dapat dijangkau. Hal ini dimaksudkan agar suatu saat nanti tidak menimbulkan sengketa di tengah masyarakat. Misalnya, ketika ada seseorang hendak mewakafkan tanahnya, maka dia harus menyebutkan dengan jelas tempat tanah yang akan diwakafkan, luas tanah dan kondisi tanah.

Dalam kasus jika seseorang hendak berwakaf seluas tanah tertentu, namun tanah tersebut belum menjadi miliknya walaupun nantinya tanah tersebut akan menjadi miliknya, tetap hukum wakafnya tidak sah. Kendatipun sudah ada niatnya untuk berwakaf, namun tanah tersebut belum menjadi miliknya ketika dia akan berwakaf. Hal seperti ini sama dengan kasus tanah wakaf yang masih dalam sengketa atau dijadikan jaminan jual beli oleh pemiliknya.

Dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, disebutkan bahwa benda tak bergerak yang tergolong dalam jenis harta wakaf terdiri dari:

1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

2) Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas sebagaimana dimaksud pada huruf a;

3) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dari undang-undang diatas terlihat bahwa benda tidak bergerak tidak terbatas hanya tanah saja, namun segala sesuatu yang bersifat tetap yang ada diatasnya. Anggapan di masyarakat menyebutkan bahwa wakaf hanya terbatas benda tak bergerak saja, seperti tanah dan bangunan.

Benda bergerak merupakan harta yang tidak bisa habis karena dikonsumsi dan bersifat dapat dipindahkan serta tidak memiliki tempat yang tetap dan mudah dibawa. Benda-benda bergerak dapat tergolong menjadi

1) uang,

2) logam mulia, 3) surat berharga,

5) hak atas kekayaan intelektual, 6) hak sewa, dan

7) benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti mushaf, buku dan kitab.

Pada dasarnya yang membedakan antara benda bergerak dengan tidak bergerak terletak pada sifat bendanya. Wakaf hanya menilai objek benda pada manfaat yang dihasilkan dan daya ketahanan yang diberikan. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah potensi yang ada pada wakaf tersebut untuk dapat dinikmati oleh masyarakat dan pengembangan nilai yang ada di dalamnya untuk masa yang akan datang. Cukup banyak kasus yang terjadi seputar nilai wakaf yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi yang diharapan, sehingga biaya perawatannya sudah melebihi dari pada menfaat yang diperoleh dan hal ini akan menyulitkan para nazhir yang mengelola wakaf tersebut.

c. Penerima Wakaf(Mauquf ‘Alaih)

Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 mengatur tentang peruntukan harta wakaf dalam rangka mencapai tujuan dan fungsinya. Peruntukan harta wakaf yang dimaksudkan dipergunakan untuk sarana ibadah, pendidikan dan kesehatan serta bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, dan beasiswa. Selain sarana diatas, dipergunakan juga untuk kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan kemajuan kesejahteraan umum lainnya.

Ketika wakif tidak menetapkan peruntukkan harta wakaf, maka nazhir dapat menetapkan peruntukkan harta wakaf. Harta wakaf di fungsikan sesuai

dengan tujuan dan fungsi wakaf. Penyebab yang melatarbelakangi hal ini adalah sikap wakif yang tidak mau repot dengan urusan pengelelolaan wakaf dan ia sudah percaya dengan nazhir.

d. Lafadz Penyerahan Wakaf (Sighat)

Lafadz wakaf atau pernyataan wakaf dapat dilakukan melalui lisan ataupun tulisan. Hal ini dimaksudkan agar penerima wakif dapat memahami dengan benar maksud dan tujuan calon wakif. Selain melalui lisan ataupun tulisan dapat juga dilakukan dengan isyarat saja, namun maksud dan tujuannya harus dapat dipahami, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa di masa yang akan datang.

Dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, disebutkan bahwa pernyataan wakaf yang dituangkan dalam suatu akta ikrar wakaf harus memuat:

1) Nama dan identitas wakif, 2) Nama dan identitas nazhir, 3) Data dan keterangan harta wakaf, 4) Peruntukan harta wakaf, dan 5) Jangka waktu wakaf

Ikrar wakaf dibuat pada intinya untuk menjabarkan secara jelas wakaf di keluarkan oleh wakif dan diterima oleh nazhir. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya sengketa mengingat nilai dari wakaf bisa saja semakin

Pada saat ikrar wakaf, pernyataan wakif merupakan ijab yang menandai terjadinya wakaf. Pernyataan qabul dari mauquf ‘alaih yakni orang atau orang- orang yang berhak menikmati hasil wakaf itu tidak diperlukan (Ali, 1988: 87). Peranan hukum dalam wakaf sangatlah penting, hal ini berpengaruh kepada legalitas wakaf tersebut, seperti pembuatan akta wakaf yang bertujuan untuk mengukuhkan status tanah wakaf sehingga tidak ada lagi sengketa di kemudian hari.

Pada kondisi tertentu calon wakif bisa saja tidak hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf yang sudah diagendakan, namun sebagai gantinya calon wakif dapat menunjuk kuasanya malalui surat kuasa. Surat kuasa ini harus diperkuat dengan dua orang saksi yang telah dipilih sebelumnya. Alasan yang menyebabkan calon wakif tidak dapat hadir dalam ikrar wakaf merupakan alasan yang dibenarkan oleh hukum, hal ini dimaksudkan agar calon wakif tidak dapat membatalkan ikrar wakaf sesuka hatinya karena dapat menciderai penerima wakaf.

e. Pengelola Wakaf (Nazhir)

Nazhir wakaf atau yang disebut juga pengelola wakaf merupakan orang yang mengemban amanah untuk memelihara tanah wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi nazhir asal saja ia berhak melakukan tindakan hukum (Ali, 1998: 92). Dalam hal pengawasan tanah wakaf menjadi hak wakif, namun dapat dialihkan kepada pihak lain, baik perseorangan ataupun lembaga yang pada umumnya berbentuk yayasan.

Menurut Pasal 219 Kompilasi Hukum Islam, syarat yang harus dipenuhi oleh seorang nazhir yaitu, bergama Islam, dewasa, amanah, mampu menyelenggarakan urusan wakaf, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan bertempat tinggal tidak jauh dari tanah wakaf yang ia kelola. Peran nazhir sangat penting dalam pengelolaan tanah wakaf karena untuk mencapai tujuan dari wakaf tersebut diperlukan keahlian dan pengalaman yang dimiliki oleh nazhir wakaf.

Apabila dalam pengelolaan wakaf ditemukan nazhir yang tidak memenuhi maka wakif mempunyai hak untuk menggantikannya dengan orang lain. Calon nazhir baru hendaknya memiliki hubungan kerabat ataupun keluarga agar terjalin prinsip keserasian. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya sengketa dalam pengelolaan wakaf yang dapat menimbulkan citra buruk terhadap pengelolaan wakaf itu sendiri.

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, disebutkan bahwa tugas dari nazhir meliputi:

1) Melakukan pengadministrasian harta wakaf,

2) Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya,

3) Mengawasi dan melindungi harta wakaf,

4) Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Seorang nazhir sewaktu-waktu dapat diberhentikan atau diganti dengan nazhir lain apabila yang bersangkutanmeninggal dunia, atas permintaan sendiri,

pengadilan, ataudibubarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tanggung jawab nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf sangat besar apabila terjadi kesalahan karena kelalaian atau disengaja, maka dapat berususan dengan hukum. Untuk itu wakaf harus mempunyai status hukum, agar apabila terjadi sengketa ataupun permasalahan dapat diselesaikan secara hukum.

f. Ada jangka waktu yang tak terbatas

Dalam Pasal 215 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama- lamanya, guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Berdasarkan pasal diatas, maka wakaf sementara adalah tidak sah dan wakaf harus bersifat dipisah selama-lamanya dari kepemilikan wakif demi kepentingan ibadah dan keperluan umum lainnya.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah. Berdasarkan pasal di atas, tidak disebutkan apakah wakaf boleh dimanfaatkan untuk sementara atau mengharuskan untuk selamanya, sehinggawakafuntuk sementara waktu diperbolehkan apabila sesuai dengan kepentingannya.

Dokumen terkait