• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut berupa kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus menggambarkan balas jasa bagi faktor- faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut yanga dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut (Tarigan, 2002). Menurut Boediono dalam Tarigan (2002), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan pertumbuhan itu haruslah bersumber dari proses intern perekonomian tersebut.

2.2 Pembangunan Ekonomi

Menurut Sukirno (1985), kebijaksanaan pembangunan ekonomi selalu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang seluas- luasnya. Oleh karena itu kegiatan pembangunan ekonomi selalu dipandang sebagai usaha yang dilakukan pemerintah bersama-sama dengan masyarakat. Sedangk an secara keseluruhan usaha pembangunan meliputi pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan juga kebudayaan. Selain merupakan suatu proses yang menyebabkan tingkat pendapatan per kapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang, pembangunan ekonomi juga merupakan proses menuju ke arah perbaikan yang dilaksanakan secara terus-menerus dan bertahap di semua bidang. Definisi pembangunan ekonomi tersebut mempunyai tiga sifat penting, yaitu: (1)

Merupakan suatu proses yang terjadi terus- menerus dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menghasilkan pembangunan ekonomi; (2) sebagai usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat, yang merupakan pencerminan dari adanya perbaikan kesejahteraan masyarakat; (3) kenaikan pendapatan per kapita harus terus berlangsung dalam jangka panjang, yang berarti bahwa suatu wilayah berkembang apabila pendapatan per kapita menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada jangka panjang.

Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menghasilkan pembanguna n ekonomi, sehingga dapat diketahui deretan peristiwa yang timbul dan akan mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi serta taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap ke tahap pembangunan berikutnya.

Menurut Azman (2001), dalam pembangunan ekonomi, beberapa indikator yang biasa dipergunakan adalah: (1) tingkat pertumbuhan ekonomi, yang tercermin dalam PDRB berdasarkan harga konstan, dimana akan menunjukkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah secara menyeluruh maupun per sektor; (2) tingkat kemakmuran daerah, yang akan dapat diketahui dengan memperbandingkan dengan daerah lain, dan untuk mengetahui perkembangan tingkat kemakmuran suatu daerah melalui perkembangan pendapatan per kapita secara berkala; (3) tingkat inflasi dan deflasi, peningkatan pendapatan yang diterima oleh masyarakat dapat saja tidak memberikan arti penting bagi masyarakat tersebut bila diikuti laju inflasi yang tinggi, karena inflasi yang tinggi akan mengakibatkan kemampuan daya beli dari pendapatan yang diterima menurun dan sebaliknya untuk deflasi. Inflasi dan deflasi dapat diketahui

berdasarkan PDRB harga konstan dan harga yang berlaku, dan (4) gambaran struktur perekonomian, yang dapat dilihat melalui sumbangan masing- masing sektor pembangunan terhadap PDRB.

Pembangunan ekonomi memiliki dimensi kualitatif, memerlukan perubahan struktur dan termasuk di dalamnya pengurangan kemiskinan dan peningkatan yang besar dalam nutrisi, kesehatan, pendidikan dan standar hidup. Pembangunan ekonomi juga meliputi perubahan dalam kemiskinan, diversifikasi pertanian utama, perekonomian urban yang mampu mendorong pertumbuhan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi adalah sesuatu yang perlu tetapi tidak cukup untuk pembangunan ekonomi.

Sebagai suatu proses, pembangunan ekonomi memiliki konsep yang lebih sulit untuk didefinisikan dan diukur daripada pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi mencakup perubahan dalam komposisi input dan output dalam sebuah perekonomian. Perubahan ini nantinya akan mengarah pada berkurangnya kemiskinan di dalam masyarakat ya ng berarti pula semakin meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa.

Sukirno (1985), mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Dari definisi tersebut jelas terlihat bahwa pembangunan ekonomi merupakan: (1) suatu proses, yang berarti merupakan perubahan yang terjadi secara terus-menerus; (2) usaha untuk menaikkan tingkat pendapatan per kapita; dan (3) kenaikan pendapatan per kapita tersebut harus terus berlangsung dalam jangka panjang. Namun yang lebih utama dari semua itu adalah bahwa pembangunan ekonomi harus dilaksanakan atas dasar kekuaatan

dan kemampuan perekonomian di dalam negeri. Keinginan dan prakarsa pembangunan harus muncul dari warga negara itu sendiri. Kekuatan yang berasal dari luar seyogyanya hanya dijadikan sebagai kekuatan pendorong bagi pembangunan. Kekuatan luar tersebut hanya bersifat membantu dan tidak bisa dijadikan kekuatan utama dalam pelaksanaan pembangunan.

2.3 Pembangunan Daerah

Dalam rangka meningkatkan peran aktif masyarakat serta

mendayagunakan potensi daerah secara optimal dan terpadu sesuai dengan persoalan yang berkenaan dengan pembangunan ekonomi dan kebutuhan masyarakat maka pembangunan daerah sangat penting untuk dilaksanakan. Secara mendasar, konsep pembangunan daerah mengandung prinsip pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi dalam kerangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas (Soegijoko, 1997). Sehingga pembangunan daerah merupakan upaya pemerataan pembangunan melalui berbagai kegiatan sektoral secara terpadu, karena adanya perbedaan kepentingan, permasalahan, ciri dan karakteristik dari masing- masing daerah.

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan penjabaran dari pembangunan nasional. Oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyelaraskan laju pertumbuhan antar daerah, dengan memperhatikan daerah terbelakang, padat dan jarang penduduk, daerah 18

transmigrasi, daerah terpencil, dan daerah miskin. Sehingga dapat mengurangi dan tidak menimbulkan kesenjangan pembangunan antar daerah.

Arsyad (1999) mengemukakan bahwa secara regional/daerah, pembangunan daerah merupakan suatu proses dimana masyarakat mengelola sumberdaya yang dimiliki serta membentuk pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.

Tujuan pembangunan wilayah seharusnya diarahkan untuk mencapai pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). a. Pertumbuhan (growth)

Pertumbuhan ditentukan sampai dimana kelangkaan sumberdaya yang terdiri atas sumberdaya manusia, peralatan dan sumberdaya alam dapat dialokasikan secara maksimal dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kegiatan yang produktif. Semakin tinggi tingkat sumberdaya yang dicerminkan dari penguasaan teknologi, maka semakin tinggi pula kemampuan mengelola sumberdaya alam yang tersedia untuk mencapai tingkat pertumbuhan.

b. Pemerataan (equtiy)

Pengaturan atau pengalokasian manfaat dari hasil- hasil pembangunan harus adil dan merata, sehingga setiap anggota masyarakat yang terlibat akan memperoleh pembangunan yang adil dalam menikmati hasil- hasil pembangunan. c. Keberlanjutan (sustainability)

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan arahan terhadap pembangunan daerah dan pengelolaannya oleh

pemerintah daerah serta memiliki kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri dan aspirasi masyarakat lokal. Penerapan otonomi daerah berhubungan erat dengan pembangunan ekonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteran dan mengurangi perbedaan tingkat kemampuan suatu daerah diantaranya, dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat secara merata, memberikan kesempatan memperoleh pendidikan dan memperole h kesempatan kerja serta pemerataan pembagian pendapatan melalui pemanfaatan sumber-sumber pembangunan yang dimiliki (Anwar dan Hadi, 1996 dalam Restuningsih, 2004).

Pelaksanaan pembangunan tidak selalu berhasil dan mencapai tujuan yang diharapkan, sehingga laju pertumbuhan pembangunan tidak merata di seluruh wilayah. Menurut Hanafiah (1982), keadaan ini menyebabkan adanya pengelompokan wilayah berdasarkan perkembangannya, yaitu:

1. Wilayah yang terlalu maju; terutama di kota-kota besar dimana terdapat batas pertumbuhan atau polarisasi, umumnya dalam menghadapi masalah diseconomic of scale. Industri- industri maju di kota tersebut akan mundur kembali disebabkan oleh diseconomic of scale, seperti masalah manajemen, kenaikan biaya produksi dan sebagainya. Manfaat aglomerasi juga dapat berkurang akibat meningkatnya biaya fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan upah, kenaikan harga bahan baku dan energi serta ongkos sosial seperti: pencemaran suara, udara dan air. Jika keadaan tersebut akan diatasi dan tetap dipertahankan maka akan memerlukan

biaya yang tinggi, yang akan dibebankan kepada kegiatan ekonomi di tempat lain.

2. Wilayah netral; yang dicirkan dengan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos sosial. Wilayah ini merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu maju.

3. Wilayah sedang; merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran, pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik, merupakan gambaran kombinasi antara daerah maju dan kurang maju, yang memiliki pengangguran dan kelompok miskin.

4. Wilayah kurang berkembang; merupakan wilayah yang tingkat

pertumbuhannya jauh dibawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pembangunan nasional.

5. Wilayah tidak berkembang; merupakan wilayah tidak maju atau wilayah miskin, yaitu wilayah yang tidak akan pernah dapat mengembangkan industri modern dalam berbagai skala serta ditandai dengan daerah pertanian yang usahataninya subsistem dan berskala kecil.

2.4 Perbandingan Teori Pertumbuhan dan Teori Pembangunan

Pertumbuhan dan pembangunan memiliki keterkaitan yang sangat erat sehingga pertumbuhan dan pembangunan seringkali diartikan sama. Kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki arti yang berbeda secara eksplisit dan implisit. Menurut Herrick dan Charles (1982) dalam Setiawan (2004), pertumbuhan ekonomi memiliki arti tidak hanya output yang lebih banyak, tetapi juga lebih 21

banyak macamnya dari yang sebelumnya, termasuk di dalamnya perubahan teknologi dan institusi yang berperan dalam produksi dan distribusi. Sedangkan perkembangan atau pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan atau perkembangan. Tetapi pada tingkat-tingkat permulaan, mungkin pembangunan ekonomi selalu disertai dengan pertumbuhan dan sebaliknya.

Hess dan Clark (1997) dalam Setiawan (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mengacu pada perubahan kuantitas dan biasanya diukur sebagai kenaikan dalam output per kapita atau pendapatan. Pertumbuhan ekonomi modern, sebagaimana terungkap dari pengalaman negara maju sejak akhir abad ke-18, ditandai dengan laju kenaikan produk per kapita yang tinggi dibarengi dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat. Laju kenaikan yang luar biasa itu paling sedikit sebesar lima kali untuk penduduk dan paling sedikit sepuluh kali untuk produksi .

2.5 Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya, ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik- menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas

dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang berikut ini 1:

- UU No. 1 tahun 1945

Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat. - UU No. 22 tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950

Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.

- UU No. 1 tahun 1957

Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.

- Penetapan Presiden No.6 tahun 1959

Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.

- UU No. 18 tahun 1965

Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas- luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja

- UU No. 5 tahun 1974

1 http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatotonomidaerah&id=5

Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.

- UU No. 22 tahun 1999

Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

Tabel 7. Perbedaan Dasar UU No.5/1974 dan UU No. 22/19992

No. Aspek UU No.5/1974 UU No.22/1999

1. Nama UU & Asas yang Digunakan.

Disebut UU tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah didasarkan kepada asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Kepala Daerah merangkap Kepala Wilayah.

Disebut UU tentang Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan ketiga asas yang mengarah pada prinsip devolusi. Tidak ada lagi Kepala Daerah yang merangkap Kepala Wilayah, sebagai kepanjangan tangan dari Pusat. 2 Model

Penyelenggaraan Desentralisasi

Structural Efficiency Modelyang menekanan persatuan dan kesatuan nasional dan cenderung mengabaikan nilai-nilai lokal serta nilai-nilai demokrasi, dengan alasan menjamin efisiensi dan kemajuan ekonomi.

Local Democratic Model yang menekankan nilai-nilai lokal dan demokratik serta menghargai perbedaan dan keanekaragaman.

3 Penekanan definisi ‘Otonomi Daerah’

Adalah pada penyerahan urusan kepada lembaga pemerintah daerah yang di beri hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Lebih berorientasi kepada masyarakat, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. 4 Status Daerah

Otonom

Titik berat otonomi pada Dati II, namun Dati I tetap berstatus daerah otonom yang utuh. Daerah otonom merangkap sebagai daerah administrasi

Otonomi yang luas dan utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dan tidak merangkap sebagai daerah administrasi.

5 Hubungan antar Dati I dan Dati II

Terdapat hubungan hirarkis antara Dati I dan Dati II melalui jalur “Kepala Wilayah.”

Tidak ada hubungan hirarkis maupun subordinatif antara daerah- daerah otonom.

6 Kedudukan Badan Legislatif

Fungsi eksekutif dan fungsi legislatif tercampur aduk karena kedudukan Kepala Daerah yang merangkap Kepala Wilayah.

Fungsi eksekutif dan fungsi legislatif dipisahkan secara tegas,yaitu Kepala Daerah sebagai fungsi eksekutif dan DPRD sebagai fungsi legislatif. Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. 7 Prinsip

Pembiayaan Pengeluaran

Function Follows Finance, jadi tergantung dari pemberian Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan INPRES dari Pusat.

Finance Follows Function, fungsi- fungsi pengeluaran Daerah terdefinisi dengan jelas yaitu, PU, kesehatan, pendidikan, perhubungan,industri dan perdagangan, penanaman modal,lingkungan hidup, pertanahan,koperasi dan tenaga kerja.

2 Koswara dalam www.csis.or.id/working_paper_file/16/wpe054.pdf

Hal yang sama terjadi pada aspek keuangan. Meskipun UU No. 32 tahun 1956 sudah menyebut “perimbangan keuangan antara Negara dengan daerah- daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri, dan UU No. 5 Tahun 1974 pun sudah menyebut hal itu, namun secara realitas sangat berbeda. Bahkan terjadi eksploitasi yaitu sumber pengelolaan urusan yang prospektif ditarik ke tingkat propinsi atau pusat. Hal ini juga tampak dari pengelolaan urusan yang prospektif ditarik ke tingkat pusat atau propinsi. Hal ini juga tampak dari penerbitan peraturan pelaksanaannya. UU No. 5 Tahun 1974 baru direspon 18 tahun kemudian oleh munculnya PP No. 45 Tahun 1992 tentang titik berat pelaksanaan otonomi daerah pada tingkat Kabupaten (Tingkat II). Sejalan dengan tuntutan reformasi meyeluruh dan upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi akibat krisis maka terdapat tuntutan menerapkan otonomi daerah secara sungguh- sungguh. Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan keputusan politik dalam bentuk TAP MPR Nomor XV/MPR 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang Nyata, Luas dan Bertanggung jawab.

Ikeluarkannya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah membawa perubahan yang mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Perbedaan sumber dana perimbangan keuangan sebelum dan pada masa otonomi daerah dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Perbedaan Sumber Dana Perimbangan Keuangan Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (Persen)

Jenis Pengeluaran

UU No. 5/1974 UU No. 25/1999

Pusat Prop

Kab/

Kota Pusat Prop

Kabupaten/Kota Semua Kab/ Kota Penghasil Kab/ Kota lain I. Bagian Daerah 1. PBB 10 16.2 64.8 10 16.2 64.8 2. BPHTB 20 16 64 20 16 64 3. IHH 55 30 15 20 16 32 32 4. IHPH 30 70 20 16 64 5. Royalti (emas dan batubara) 20 16 64 20 16 32 32 6. Land Rent 20 16 64 20 16 64 7. Royalti Migas a. Minyak Bumi 100 85 3 6 6 b. Gas Alam 100 70 6 12 12 8. Agraria 40 40 20 100 9. Royalti Perikanan 20 80

II. Dana Alokasi

Umum 75 25 22.5

III. Dana Alokasi Khusus

Sumber: UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 25 Tahun 1974

2.6 Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Pasal 4 menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prkarsa sendir berdasarkan aspirasi masyarakat dan daerah masing- masing berdiri send ir dan tidak mempunyai hubungan hirearkhi satu sama lain.

Dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus atau digabung dengan daerah lain sesuai dengan Peraturan Pemerintah.

2.7 Teori Basis Ekonomi

Teori basis memisahkan sektor-sektor ekonomi ke dalam basis dan non basis. Sektor basis merupakan kagiatan masyarakat yang hasil- hasilnya baik berupa barang maupun jasa dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan luar daerah. Sedangkan sektor non basis merupakan sektor yang hasilnya hanya untuk mencukupi kebutuhan masyarakat setempat.

Menurut Kartono (1986), pertumbuhan sektor basis akan menimbulkan dan menetukan pertumbuhan secara keseluruhan, sedangkan kegiatan sektor non basis merupakan akibat dari pertumbuhan sektor basis. Hal ini disebabkan karena sektor basis memberikan dua sumbangan terhadap perekonomian daerah, baik langsung maupun tidak langsung. Sumbangan langsung diantaranya; (1) kenaikan ekspor akan menyebabkan kenaikan barang-barang mengimpor modal yang penting dalam pembangunan daerah, (2) pengembangan ekspor berarti pengalokasian dana kepada sektor yang efisien untuk dapat bersaing dengan daerah lain, (3) kegiatan ekspor akan memperluas pasar produk dalam negeri dan memungkinkan untuk memperluas skala sektor yang bersangkutan, (4) karena harus bersaing maka kegiatan sektor tersebut harus dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi kegiatan. Sumbangan tidak langsung terhadap perekonomian daerah diantaranya: (1) kenaikan kegiatan sektor basis akan dapat meningkatkan pendapatan baik dari dalam maupun luar daerah, (2) pengembangan kegiatan basis akan memudahkan masuknya inovasi dalam teknologi, pemasaran dan keahlian usahawan, (3) adanya peningkatan jumlah dan variasi barang yang dikonsumsi. Sehingga kedua sektor tersebut akan menimbulkan dampak terhadap perekonomian daerah secara keseluruhan.

Menurut Glasson (1977), basis ekonomi merupakan pendekatan yang dapat menerangkan pertumbuhan regional suatu daerah, untuk menganalisis struktur daerah dan untuk mengetahui peranan suatu sektor terhadap perekonomian daerah. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam menentukan sektor basis adalah metode Location Quotient (LQ) sedangkan Richardson (1977) menyatakan bahwa teknik LQ adalah teknik yang lazim digunakan dalam studi basis empirik.

2.8 Model Analisis Shift Share

Menurut Glasson (1977), model Analisis Shift Share (ASS) digunakan untuk melihat pertumbuhan masing- masing sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah yang lebih luas. Selain itu model ini juga dapat menunjukkan perkembangan perekonomian suatu wilayah terhadap wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor dalam suatu wilayah dan perbandingan pertumbuhan antar wilayah. Melalui Analisis Shift Share dapat diketahui perkembangan suatu sektor jika dibandingkan dengan sektor lainnya dalam suatu wilayah tertentu. Pendekatan Shift Share menganalisis perubahan-perubahan tersebut dengan menggunakan indikator- indikator seperti produksi, penduduk dan tenaga kerja selama periode waktu tertentu menjadi komponen shift dan share.

Analisis shift share menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu. Di dalam analisis ini diasumsikan bahwa perubahan tingkat produksi/kesempatan kerja pada 29

suatu tahun dasar dengan tahun akhir dibagi menjadi tiga komponen pertumbuhan yaitu:

1. Komponen Pertumbuhan Nasional adalah perubahan kesempatan kerja atau produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan kesempatan kerja atau produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional, atau perubahan dalam hal- hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Beberapa contoh dapat dikemukakan, misalnya deva luasi, kecenderungan inflasi, pengangguran dan kebijakan perpajakan. Bila diasumsikan bahwa tidak terdapat perbedaan karakteristik ekonomi antar sektor dan antar wilayah, maka akibat dari perubahan ini pada sektor dan wilayah kurang lebih sama dengan perubahan ini pada sektor dan wilayah kurang lebih sama dengan perubahan dan laju pertumbuhan nasional. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa sektor tumbuh dan berkembang lebih cepat dari sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi penyebabnya dan mengukur perbedaan yang timbul, dengan memisahkan komponen pertumbuhan nasional, komponen pertumbuhan proporsional, dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah.

Analisis pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini difokuskan pada pembahasan daerah kabupaten. Maka istilah komponen pertumbuhan nasional dianalogikan menjadi komponen pertumbuhan regional (PR). Hal ini dilakukan untuk menghindari salah penafsiran dalam pengertian nasional (Indonesia) dengan regional (Propinsi).

2. Komponen pertumbuhan proporsional (PP) timbul karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, 30

perbedaan dalam kebijaksanaan (misalnya, kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.

Dokumen terkait