ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN ASAHAN PROPINSI SUMATERA UTARA
SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (1995-2004)
Oleh:
Balduin Manik A 14302011
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN
ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN ASAHAN PROPINSI SUMATERA UTARA
SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (1995-2004)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh : Balduin Manik
A 14302011
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN
RINGKASAN
BALDUIN MANIK. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (1995-2004). Dibawah bimbingan NINDYANTORO
Salah satu tujuan utama dalam pembangunan adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang dapat diwujudkan melalui peningkatan pembangunan ekonomi. Untuk mencapai peningkatan pembangunan ekonomi, pemerintah pusat menetapkan kebijakan dalam mengatur struktur pemerintahan mulai dari tingkat desa sampai dengan yang paling tinggi pada seluruh sektor dengan memberikan otonomi luas bagi daerah, yaitu dengan melakukan perubahan terhadap UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menjadi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan pola otonomi luas (general competences) yang membawa suasana dan paradigma baru yang jauh berbeda dengan undang-undang sebelumnya (UU No. 5 Tahun 1974) dengan harapan adanya kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah untuk menggali potensi wilayahnya dapat meingkatkan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang ada di setiap daerah. Kabupaten Asahan merupakan salah satu daerah yang menjalankan otonomi daerah yang resmi berlaku mulai 1 Januari 2000, diberi kewenangan yang lebih luas untuk menggali potensi wilayah yang dimiliki dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dan menganalisis laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kabupaten Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah, serta menganalisis laju pertumbuhan Kabupaten Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah bila dibandingkan dengan Propinsi Sumatera Utara dengan menggunakan analisis shift share yang didukung oleh analisis location quotient. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Asahan dan Propinsi Sumatera Utara 1995-2004 atas dasar harga konstan tahun 1993. Untuk keperluan analisis, periode waktu dibagi menjadi dua, yaitu tahun 1995-1999 sebagai periode sebelum otonomi daerah dan periode 2000-2004 menjadi periode masa otonomi daerah.
Selama kurun waktu 1995-1999 (sebelum otonomi daerah) sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan persentase perubahan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabuapten Asahan, yaitu sebesar 81,89 milyar atau selama kurun waktu 5 tahun telah mengalami peningkatan sebesar 3,57 persen. Sedangkan berdasarkan kontribusi secara riil yang diberikan terhadap PDRB Kabupaten Asahan, maka sektor pertanian menjadi penyumbang kontribusi terbesar yaitu sebesar 1,19 trilyun dengan persentase sebesar 40,76 persen dari total PDRB Kabupaten Asahan pada tahun 1999. Sebelum otonomi daerah, selain sektor pertanian, sektor yang mempunyai keunggulan komparatif dan memiliki potensi untuk dikembangkan adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hote l dan restoran.
komparatif dan memiliki potensi untuk dikembangkan adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Pada periode 1995-1999 (sebelum otonomi daerah), semua penyusun PDRB Kabupaten Asahan memiliki nilai pergeseran bersih yang lebih besar dari nol (PBij > 0) dan merupakan sektor sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok sektor pertumbuhan
Progresif (Maju), kecuali sektor penggalian. Pada masa otonomi daerah (2000-2004), dari sembilan sektor penyusun PDRB kabupaten Asahan, terdapat tujuh sektor yang memiliki pertumbuhan progresif , yaitu: sektor pertanian, penggalian, listrik gas dan air bersih, industri pengolahan, bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa-jasa perusahaan. Sedangkan sektor-sektor yang memiliki pertumbuhan yang lambat adalah sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa. Hal ini diakibatkan pada tahun 2004, kondisi jalan di Kabupaten Asahan masih memerlukan perhatian yang serius, walaupun sudah terjadi perbaikan di beberapa ruas jalan tetapi sebagian besar jalan di Asahan (71,19 persen) kondisinya masih rusak dan rusak berat baik jalan kabupaten maupun jalan negara.
Dengan melihat nilai pergeseran bersih Kabupaten Asahan terhadap Propinsi Sumatera Utara, maka secara agregat, Kabupaten Asahan memiliki nilai PP yang positif (PP.j > 0) dan juga memiliki nilai PPW yang positif (PPW.j > 0) sehingga Kabupaten Asahan termasuk kedalam kuadran I. Sehingga dapat dikatakan bahwa sektor-sektor perekonomian Kabupaten Asahan sebelum otonomi daerah (1995-1999) memiliki pertumbuhan yang cepat dan mampu bersaing dengan wilayah lain yang ada di Propinsi Sumatera Utara. Jika dilihat berdasarkan nilai pergeseran bersih yang positif (PB > 0), maka Kabupaten Asahan termasuk kedalam kelompok wilayah yang mempunyai pertumbuhan progresif (maju). Pada Masa Otonomi Daerah nilai pergeseran bersih (PB), secara agregat nilai yang diperoleh Kabupaten Asahan mengalami pertumbuhan yang masih progresif. Selain itu sektor-sektor perkonomian kabupaten Asahan secara umum didukung oleh daya dukung wilayah (PPW.j > 0). Dengan melihat nilai pergeseran bersih total yang positif (PB.j > 0), ini berarti bahwa pada masa otonomi daerah, Kabupaten Asahan termasuk kabupaten yang mengalami laju pertumbuhan yang progresif .
Hasil analisis yang ada, menunjukkan bahwa sektor pertanian mengalami laju pertumbuhan yang lambat pada masa otonomi daerah, padahal sektor pertanian di Kabupaten Asahan memiliki keunggulan komparatif dibanding wilayah lain di Propinsi Sumatera Utara. Untuk mencegah terjadinya penurunan kontribusi di tahun-tahun berikutnya maka perlu perlu dibangun infrastruktur (penyediaan sarana produksi, sistem irigasi dll) yang dapat menunjang peningkatan produktivitas sektor pertanian yang pada akhirnya akan mampu mendorong pertumbuhuhan sektor-sektor yang berbasis kepada sektor pertanian, seperti industri pengolahan. Pada masa otonomi daerah, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa terletak di Kuadran II dan termasuk kategori sektor mengalami pertumbuhan yang lamaban. Kedua sektor tersebut sangat berperan dalam mobilisasi sektor-sektor perekonomian lainnya, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya, seperti; perbaikan jalan, penyediaan sarana transportasi dan pengangkutan yang memadai, memberi kemudahan bagi investor untuk berinvestasi dan mempermudah jalur birokrasinya, serta perlunya penguatan lembaga keuangan daerah.
Judul : ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN ASAHAN PROPINSI SUMATERA UTARA SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (1995-2004)
Nama : Balduin Manik
NRP : A 14302011
Menyetujui, Pembimbing
Ir. Nindyantoro, MSP NIP. 131 879 329
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Maret 2006
Balduin Manik A 14302011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Pematangsiantar, pada tanggal 4 Nopember 1983.
Penulis merupakan anak ke enam dari sebelas bersaudara, dari orang tua yang
bernama Bapak Maradian Manik (Almarhum) dan Ibu Siti Dermawan br.
Tambunan.
Tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMU Negeri 2
Pematangsiantar. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002 dan terdaftar sebagai
mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kegiatan akademik dan
kemahasiswaan, diantaranya menjadi Staf Departemen Informasi Divisi Pers dan
Jurnalistik pada Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian (MISETA) Periode 2004/2005, Anggota Koperasi Mahasiswa Institut
Pertanian Bogor (KOPMA IPB) Periode 2003/2004. Sejak Tahun 2004 sampai
dengan saat ini, penulis aktif menjadi penyiar di Radio Komunitas AGRI FM
yang saat ini berada dibawah naungan Departemen Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Penulis juga pernah menjadi asisten dosen untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan
judul “Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kabupaten
Asahan Propinsi Sumatera Utara Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (1995-2004)” dilatarbelakangi oleh diterapkannya otonomi daerah sejak 1 Januari 2000 yang membawa perubahan bagi perekonomian Kabupaten Asahan, Propinsi
Sumatera Utara.
Adanya otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada
pemerintah daerah untuk melakukan pembenahan serta mengembangkan potensi
yang terdapat pada wilayah Kabupaten Asahan. Penelitian ini diharapkan mampu
menjelaskan bagaimana pertumbuhan sektor-sektor perekonomian daerah
Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara sebelum dan pada masa otonomi
daerah serta menghasilkan rekomendasi untuk dijadikan sebagai bahan
pertimbangan pemerintah daerah dalam menetapkan strategi-strategi
pembangunan ekonomi pada tahun-tahun berikutnya.
Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk melengkapi tulisan ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Maret 2006
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak masukan,
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terimkasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Ir. Nindyantoro, MSP selaku dosen pembimbing, yang senantiasa memberikan bantuan, arahan, motivasi dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini, serta sebagai dosen moderator dalam seminar penulis.
2. Ibu Sahara, SP, MSi yang bersedia menjadi Dosen Penguji Utama dan Bapak Ir, Joko Purwono, MS yang bersedia menjadi Dosen Penguji Wakil Departemen pada saat ujian skripsi penulis.
3. Bapak Maradian. Manik (Alm) dan Mama Siti Dermawan br Tambunan serta saudara-saudaraku tercinta yang senantiasa mendoakan dan menyayangi penulis.
4. Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, Kepala Badan Pusat Statistik Medan, dan Kepala badan Pusat Statistik Jakarta.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc selaku dosen pembimbing akademik penulis.
6. Teman-teman EPS 39 yang selalu membantu penulis; Vininta, Agus, Tulus, Noni, Asti, Ury, Viana, Rika, Suci (Uchie). Semoga Tuhan senantiasa memberikan rahmatnya kepada teman-teman semuanya.
7. Teman-teman di Radio Komunitas Agri FM IPB, terima kasih karena selama penyelesaian skripsi ini teman-teman banyak membantu dan memberikan motivasi.
8. Sahala yang telah banyak membantu penulis dan Sefri Rusyadi, terima kasih atas komputernya.
9. Teman-teman satu Program Studi: EPS 38, 39, 40, dan juga teman-teman di Pondok Nirvana, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
I. PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 5
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 13
Keterbatasan Penelitian ... 14
II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ... 15
Pembangunan Ekonomi ... 15
Pembangunan Daerah ... 18
Perbandingan Teori Pertumbuhan dan Teori Pembangunan ... 21
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia ... 22
Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota ... 27
Teori Basis Ekonomi ... 28
Model Analisis Shift Share ... 29
Hasil Penelitian Terdahulu ... 31
III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis ... 35
Analisis Shift Share ... 35
Analisis Location Quotient (LQ) ... 39
3.2 Kerangka Pemikiran Konseptual ... 44
Halaman
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Fisik Daerah ... 53
Potensi Demografi Daerah ... 55
Potensi Perekonomian Daerah ... 58
Kebijakan Sektoral Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah 68 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Asahan ... 70
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Perekonomian Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah (1995-1999) dan Pada Masa Otonomi
Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah (1995-1999) dan Pada Masa Otonomi Daerah (2000-2004) ... 88
6.2.1 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi daerah (1995-1999) ... 88
6.2.2 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi daerah (2000-2004) ... 93
Halaman
Identifikasi Sektor Basis di Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah (1995-1999) dan Pada Masa Otonomi
Daerah (2000-2004) ... 103
6.4.1 Identifikasi Sektor Basis di Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi daerah (1995-1999) ... 103
6.4.2 Identifikasi Sektor Basis di Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi daerah (2000-2004) ...103
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 107
7.2 Saran ... 109
DAFTAR PUSTAKA ... 111
LAMPIRAN... 113
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1. Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) Terbesar atas Dasar Harga Konstan 1993, Lima Propinsi di Indonesia Tahun 1993-2003 (Milyar Rupiah) ... 2
2. Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) Terbesar atas Dasar Harga Konstan 1993, Lima Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2002 (Milyar Rupiah) ... 4
3. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Persen) ... 6
4. PDRB Sektor-sektor Perekonomian dan Persentase
Kontribusinya Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah Atas Dasar harga Konstan 1993 (Juta Rupiah) ... 8
5. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa
Otonomi Daerah Atas Dasar Harga Konstan 1993 (persen) ... 10
6. PDRB Sektor-sektor Perekonomian dan Persentase
Kontribusinya Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah Atas Dasar harga Konstan 1993 (Juta Rupiah) ... 11
7. Perbedaan Dasar UU No.5/1974 dan UU No. 22/1999 ... 25
8. Perbedaan Sumber Dana Perimbangan Keuangan Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (Persen) ... 27
9. Kebijakan Pemerintah Pada Produk Kelapa Sawit 1994-1999 ... 69
10.Kebijakan Pemerintah Pada Produk Kelapa Sawit 2000-2001 .... 72
11.Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi
Daerah Periode 1995-1999 (Juta Rupiah) ... 77
12.Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah Periode 2000-2004 (Juta Rupiah) ... 83
13.Komponen Pertumbuhan Regional Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah Periode 1995-1999 (Juta Rupiah) ... 89
No Teks Halaman
15.Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah Periode 1995-1999 (Juta Rupiah) ... 92
16.Komponen Pertumbuhan Regional Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah Periode 2000-2004 (Juta Rupiah) ... 94
17.Komponen Pertumbuhan Proporsional Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah Periode 2000-2004 (Juta Rupiah) ... 96
18.Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah Periode 2000-2004 (Juta Rupiah) .. 97
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Profil Pertumbuhan PDRB ... . 38
2. Bagan Kerangka Pemikiran Konseptual Analisis
Pertumbuhan Ekonomi... 44
3. Model Analisis Shift Share ... 48
4. Profil Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Tahun 1995-
1999 ... 98
5. Profil Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Tahun 2000-
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. PDRB Kabupaten Asahan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 Menurut Lapangan Usaha Periode
1994-1999 (Juta Rupiah) ... 114
2. PDRB Kabupaten Asahan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 Menurut Lapangan Usaha Periode
2000-2004 (Juta Rupiah) ... 115
3. Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah (Tahun
1995-1999) ... 116
4. Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah (Tahun
2000-2004) ... 117
5. Laju Pertumbuhan Tiap Sektor Kabupaten Asahan
Sebelum Otonomi Daerah (Tahun 1995-1999) ... 118
6. Laju Pertumbuhan Tiap Sektor Kabupaten Asahan Pada
Masa Otonomi Daerah (Tahun 2000-2004) ... 119
7. Laju Pertumbuhan Tiap Sektor Kabupaten Asahan
Periode 1995-1999 (Juta Rupiah) ... 120
8. Laju Pertumbuhan Tiap Sektor Kabupaten Asahan
Periode 2000-2004 (Juta Rupiah) ... 121
9. PDRB Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan Tahun
1995-1999 Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) ... 122
10.PDRB Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan Tahun
2000-2004 Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) ... 123
11.Laju Pertumbuhan Tiap Sektor Propinsi Sumatera Utara
Periode 1996-2004 (Juta Rupiah) ... 124
12.Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten Asahan Terhadap Sektor-sektor Perekonomian Sumatera
Halaman
13.Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten Asahan Terhadap Sektor-sektor Perekonomian Sumatera
Utara Tahun 2000-2004 ... 126
14.Kontribusi Sektor-sektor Perekonomian Kabupaten Asahan Terhadap Total PDRB Perekonomian Sumatera
Utara Tahun 2000-2004 ... 127
15.Hasil Perhitungan Shift Share Pada Semua Sektor
Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah ... 128
16.Hasil Perhitungan Shift Share Pada Semua Sektor
Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah ... 130
17.Hasil Perhitungan Location Quotient Kabupaten Asahan
Periode 1995-2004 ... 132
18.Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Rata-Rata
Produksi Bahan Makanan Menurut Jenis Tanaman ... 134
19.Total investasi (Agro Industri) di Kabupaten Asahan
selama tahun 2003 ... 134
20.Produksi Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanaman (Ton) ... 135
21.Peta Panjang Jalan (Negara, Propinsi, dan Kabupaten) Menurut Kecamatan di Kabupaten Asahan, Propinsi
Sumatera Utara ... 135
22.Peta Pembagian Wilayah Kabupaten Asahan Menurut
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan tidak hanya bertujuan untuk mencapai kemajuan lahiriah
dan batiniah saja, akan tetapi lebih kepada keselarasan, keserasian dan
keseimbangan, sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pembangunan meliputi:
(1) pertumbuhan ekonomi; (2) pemerataan sosial; dan (3) keberlanjutan
ekosistem, dengan demikian keseimbangan tingkat pertumbuhan antar wilayah
dapat menutup atau setidaknya mempersempit gap pertumbuhan ekonomi antar
wilayah/daerah di Indonesia dapat terwujud (Djojohadikusumo dalam Al Hakiem
dalam Husein, 2004).
Pemerintah pusat belum sungguh-sungguh menjalankan amanat tersebut,
karena keseimbangan tingkat pertumbuhan antar wilayah belum tercapai. Selama
ini pembangunan yang diselenggarakan hanya terkonsentrasi pada daerah-daerah
yang secara fungsional dan sektoral berdekatan dengan pusat pemerintahan.
Daerah-daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan terus tumbuh dan
berkembang dengan cepat sedangkan daerah yang jauh dari pusat pemerintahan
mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dan cenderung tertinggal.
Saat ini jumlah propinsi di Indonesia telah me ngalami perkembangan
menjadi 32 propinsi yang pada tahun 2002 masih berjumlah 30 propinsi. Dari
sejumlah propinsi tersebut terdapat perbedaan dalam jumlah Pendapatan Regional
Domestik Bruto (PDRB). Dari sejumlah propinsi tersebut, pada Tabel 1 disajikan
Tabel 1. Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) Terbesar atas Dasar Harga Konstan 1993, Lima Propinsi di Indonesia Tahun 1993-2003 (Milyar Rupiah) Jumlah 603.383,88 599.938,43 570.436,07 398.538,97 231.716,57 Sumber: BPS, 2000, dan 2003
Tabel diatas menunjukkan bahwa sejak tahun 1993 Propinsi Jawa Barat
merupakan propinsi penyumbang PDRB terbesar. Akan tetapi, sejak tahun
1999-2003 propinsi yang memiliki PDRB terbesar adalah DKI Jakarta. Hal ini
disebabkan pada tahun 1999 propinsi Jawa Barat mengalami pemekaran menjadi
dua propinsi yakni propinsi Jawa Barat dan Banten. Hal yang menarik dari Tabel
1 adalah dari lima propinsi yang mempunyai PDRB terbesar, hanya Propinsi
Sumatera Utara satu-satunya propinsi yang berada di luar Pulau Jawa. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa pola pembangunan yang dilaksanakan selama ini hanya
terpusat di Pulau Jawa sehingga sistem pemerintahan yang diterapkan tidak lagi
cukup efektif seiring perkembangan yang terjadi dalam masyarakat serta
kompleksnya persoalan yang dihadapi baik politik maupun sosial ekonomi. Oleh
karena itu dibutuhkan suatu strategi kebijakan yang diharapkan dapat
menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Pembangunan yang bersifat sentralistik memiliki beberapa kelemahan,
antara lain: (1) kurang sesuainya program pembanguan yang disusun bagi daerah
mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan; (2) kurang merangsang
kreatifitas pemerintah daerah dan aparatnya dalam upaya mencari ide- ide atau
strategi pembangunan untuk mendukung perkembangan daerahnya.
Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah dalam menghadapi
persoalan yang terjadi saat itu adalah melakukan pegeseran paradigma dari
sentralistik menuju ke desentralistik. Dengan kebijakan tersebut diharapkan
proses pengambilan keputusan pembangunan daerah lebih demokratis dan sesuai
dengan kebutuhan, persoalan, aspirasi masyarakat, serta dapat memperkecil
kesenjangan yang terjadi baik antara pusat dan daerah maupun antar daerah.
Pergeseran paradigma dari sentralistik menjadi desentralistik diwujudkan
dalam pembentukan undang- undang otonomi daerah, yang secara nasional mulai
berlaku sejak 1 Januari 2000 setelah sebelumnya terdapat undang-undang yang
memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah kabupaten/kota, sehingga
pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki peluang untuk secara leluasa
mengatur dan melaksanakan pembangunan berdasarkan potensi dan prakarsa
daerah yakni dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan pada tahun 2004 direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan hal itu diharapkan mampu mengubah
pandangan pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional dalam
menentukan arah dan kebijakan pembangunan (Hanggono et al, 2000).
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan bagi
pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan,
satu daerah yang telah menjalankan otonomi sejak tahun 2000, Kabupaten
Asahan yang merupakan salah satu daerah yang menjadi bagian dari Propinsi
Sumatera Utara, dituntut untuk melakukan pembenahan-pembenahan dan
pengembangan potensi-potensi lokal secara produktif serta menetapkan kebijakan
yang menitikberatkan pada sektor-sektor yang memberikan kontribusi yang
terbesar bagi Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) dan kebijakan
tersebut harus mempertimbangkan serta mendukung perkembangan
sumber-sumber penerimaan lainnya meskipun hanya memberikan kontribusi yang relatif
lebih rendah bagi PDRB.
Sampai saat ini, salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah
adalah besarnya kontribusi semua sektor perekonomian daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut yang dapat dilihat melalui Pendapatan
Domestik Regional Bruto daerah yang bersangkutan. Berdasarkan kontribusinya
terhadap Produk Domestik Regional Bruto Sumatera Utara, Kabupaten Asahan
menempati peringkat kedua penyumbang PDRB terbesar setelah kota Medan yang
merupakan ibukota Propinsi Sumatera Utara. Perbedaan jumlah Pendapatan
Regional Domestik Bruto (PDRB) tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) Terbesar atas Dasar Harga Konstan 1993, Lima Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara Tahun 1999-2002 (Milyar Rupiah)
No Tahun Jumlah 21.622.63 12.751.91 12.514.59 10.165.55 8.349.43 Keterangan : **) Angka Perbaikan
Sumber: BPS Propinsi Sumatera Utara (2004)
Tahun 1999 Kabupaten Asahan memberikan kontribusi terhadap PDRB Sumatera
Utara sebesar Rp 2.9 trilyun dan pada tahun 2000 dimana otonomi daerah telah
berjalan, kontribusi yang diberikan mengalami peningkatan menjadi Rp 3.1
trilyun atau sekitar 12,19 persen. Kontribusi Kabupaten Asahan terhadap PDRB
propinsi diharapkan semakin meningkat dengan adanya otonomi daerah karena
undang-undang otonomi daerah telah memberikan kewenangan yang lebih luas
bagi pemerintah Kabupaten Asahan dalam melakukan pembenahan serta
mengembangkan potensi-potensi yang terdapat pada wilayah Kabupaten Asahan.
1.2 Perumusan Masalah
Pelaksanaan otonomi secara bertahap dan terarah diharapkan akan
memungkinkan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan daerah, sehingga
perekonomian daerah menjadi bagian dari perekonomian nasional. Keadaan ini
dapat diartikan bahwa perekonomian daerah menjadi bagian dari perekonomian
daerah pada masa otonomi daerah akan lebih baik daripada masa sebelum
otonomi daerah. Salah satu cara untuk melihat kondisi perekonomian adalah
dengan melihat perkembangan sektor riil atau Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) yang ada (CIDES, 2004)1.
Pertumbuhan perekonomian Kabupaten Asahan sebelum otonomi (periode
1995-1999 mengalami laju pertumbuhan yang berubah-ubah meskipun nilai
PDRB yang dihasilkan cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 1995 laju
pertumbuhan mencapai 9,98 persen kemudian meningkat pada tahun 1996
menjadi 10,29 persen, sedangkan pada tahun 1997 pertumbuhan PDRB
1www.cides.or.id/text/artaaa0003.asp
Kabupaten Asahan mengalami penurunan sebesar 1,48 persen menjadi 8.81
persen (Tabel 3).
Tabel 3. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Persen)
No Sektor/Lapangan Usaha Sebelum Otonomi Daerah*)
1995 1996 1997 1998 1999
8 Keuangan, Persewahan dan Jasa
Perusahaan 13,54 10,35 10,71 -5,71 5,22
9 Jasa-Jasa 16,98 7,56 7,07 4,41 5,33
10 Pertumbuhan PDRB 9,98 10,29 8,81 1,05 5,29
Keterangan : *) Pelaksanaan Otonomi Kabupaten Asahan Tahun 2000 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, 2000
Kondisi tersebut diperparah oleh semakin rendahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika serta meningkatnya laju inflasi yang menyebabkan
menurunnya daya beli masyarakat dan tingkat permintaan agregat yang
disebabkan kenaikan pada setiap tingkat harga. Krisis moneter yang terjadi juga
menyebabkan keengganan para investor untuk melakukan investasi, karena biaya
investasi menjadi semakin tinggi. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan
penurunan kinerja perekonomian yang diindikasikan dengan melemahnya
pertumbuhan sektor riil sehingga menyebabkan penurunan laju pertumbuhan yang
sangat signifikan menjadi 1,05 persen yang berarti mengalami penurunan sebesar
7.76 persen dari tahun sebelumnya.
Hampir semua sektor mengalami dampak negatif akibat krisis ekonomi
yang terjadi terutama sektor Penggalian yang mengalami penurunan sebesar 33,53
persen. Akan tetapi ditengah krisis yang terjadi di Indonesia, justru sektor
menjadi 4,25 persen dibanding tahun sebelumnya (Tahun 2003) yang hanya
mencapai 3,35 persen hal ini dikarenakan wisatawan domestik yang sebelumnya
melakukan kunjungan wisata ke daerah lain (diluar wilayah Kabupaten Asahan),
semenjak terjadinya krisis moneter lebih memilih untuk melakukan kunjungan
wisata di dalam wilayah Kabupaten Asahan itu sendiri.
Pada tahun 1999 perekonomian Kabupaten Asahan mulai membaik. Ini
ditunjukkan oleh laju pertumbuhan PDRB yang meningkat menjadi 5,29 persen
sebagai dampak dari peningkatan PDRB pada semua sektor perekonomian di
Kabupaten Asahan. Peningkatan laju pertumbuhan yang terjadi pada setiap sektor
perekonomian disebabkan oleh mulai stabilnya kondisi perekonomian secara
Nasional maupun Kabupaten Asahan. Berdasarkan kontribusi setiap sektor
ekonomi terhadap total PDRB selama periode 1995-1999, sektor-sektor
perekonomian di Kabupaten Asahan memberikan kontribusi yang cenderung
meningkat (Tabel 4).
Tabel 4. PDRB Sektor-sektor Perekonomian dan Persentase Kontribusinya Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Sebelum Otonomi Daerah Atas Dasar harga Konstan 1993 (Juta Rupiah)
No
Sektor
Sebelum Otonomi Daerah*)
1995 1996 1997 1998 1999
1 Pertanian 779.962,38 (34,03) Total PDRB 2.292.097,41
(100) Keterangan : *) Pelaksanaan Otonomi Kabupaten Asahan Tahun 2000
Angka dalam kurung merupakan persentase kontribusi tiap sektor Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, 2000
Secara umum sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Asahan memiliki
kontribusi yang semakin besar terhadap PDRB Kabupaten Asahan. Sektor yang
memberikan kontribusi terbesar adalah sektor Pertanian yang meningkat setiap
tahunnya meskipun terjadi krisis pada tahun 1998. Ini dikarenakan krisis yang
terjadi tidak memberikan dampak negatif yang berarti bagi sektor pertanian secara
umum. Akan tetapi pada tahun 1998-1999 terdapat beberapa sektor yang
mengalami penurunan, anatara lain: sektor Industri Pengolahan, dan sektor
Keuangan dan Jasa Persewaan. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998
sangat mempengaruhi kedua sektor tersebut.
Menurunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat
sehingga para investor enggan untuk melakukan investasi terutama pada sektor
industri pengolahan. Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa perekonomian
Kabupaten Asahan sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian Nasional dan
Propinsi Sumatera Utara. Hal ini berarti perubahan yang terjadi dalam
perekonomian nasional maupun Propinsi Sumatera Utara akan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Asahan.
Diberlakukannya otonomi daerah di Kabupaten Asahan pada tahun 2000
memberikan dampak yang cukup positif bagi pertumbuhan PDRB Kabupaten
Asahan yang ditunjukkan oleh peningkatan PDRB dari tahun ke tahun ( Lampiran
1 dan 2). Pada tahun 2000 laju pertumbuhan mencapai 6,15 persen, meningkat
dari tahun 1999 yang hanya mencapai 5,29 persen. Pada tahun 2001 laju
pertumbuhan PDRB mengalami penurunan, hanya mencapai 5,24 persen. Akan
tetapi pada tahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan sampai tahun 2004.
Peningkatan laju pertumbuhan PDRB memperlihatkan bahwa kinerja
perekonomian Kabupaten Asahan mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat
dilihat dari nilai laju pertumbuhan PDRB semua sektor yang sebagian besar
mengalami peningkatan, meskipun masih terdapat sektor-sektor perekonomian
yang justru mengalami penurunan pada tahun 2004.
Penurunan laju pertumbuhan PDRB pada tahun 2004 terutama dialami
oleh sektor Bangunan dan Konstruksi, dan sektor Keuangan dan jasa Persewahan
(Tabel 5). Bisa jadi hal ini dikarenakan data yang diperoleh masih merupakan
angka sementara.
Tabel 5. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Persen)
No Lapangan Usaha Masa Otonomi Daerah
2000 2001 2002 2003 2004
1 Pertanian 4.55 3.90 3.23 6.14 6.48
2 Penggalian 10.69 -0.04 16.02 1.12 1.94
3 Industri Pengolahan 5.90 6.15 6.65 6.71 7.82
4 Listrik Gas dan Air Bersih 10.55 4.13 19.52 17.92 5.87
5 Bangunan 11.15 8.63 10.44 21.46 -3.36
6 Perdagangan Hotel dan Restoran 9.36 6.03 7.60 -0.51 5.46
7 Pengangkutan dan Komunikasi 10.77 4.93 4.69 6.34 0.56
8 Keuangan, Persewahan dan Jasa
Perusahaan 7.86 7.84 12.71 5.62 -0.78
9 Jasa-Jasa 5.69 5.38 3.84 2.38 1.61
10 Pertumbuhan PDRB 6.15 5.24 5.53 5.72 5.93
Keterangan : *) Pelaksanaan Otonomi Kabupaten Asahan Tahun 2000
Angka dalam kurung merupakan persentase kontribusi tiap sektor **) Angka Sementara
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, 2004
Sama seperti periode sebelum otonomi daerah, pada masa otonomi daerah,
sektor pertanian masih memberikan kontribusi yang terbesar bagi PDRB
Kabupaten Asahan. Pada tahun 2000 sektor pertanian mampu memberikan
kontribusi sebesar 40,15 persen dan pada tahun 2004 sektor Pertanian mampu
memberi kontribusi sebesar 39,13 persen. Sementara itu sektor Industri
Pengolahan juga memberikan konrtibusi sebesar 34,97 pada Tahun 2003,
mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2004 mencapai 35,59
persen, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. PDRB Sektor-sektor Perekonomian dan Persentase Kontribusinya Terhadap PDRB Kabupaten Asahan Pada Masa Otonomi Daerah Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Juta Rupiah)
No
Sektor
Masa Otonomi Daerah*)
2000 2001 2002 2003 2004**)
1 Pertanian 1.247.181,72 (40,15)
Total PDRB 3.106.275,52 (100) Keterangan : *) Pelaksanaan Otonomi Kabupaten Asahan Tahun 2000
Angka dalam kurung merupakan persentase kontribusi tiap sektor **) Angka Sementara
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Asahan, 2004
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan
pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Asahan pada masa otonomi cenderung
mengalami peningkatan meskipun jika dibanding pada periode sebelum otonomi
daerah laju pertumbuhan sektor perekonomian yang dicapai justru lebih kecil
khususnya sebelum terjadinya krisis pada tahun 1997. Selain itu persentase
kontribusi setiap sektor pada masa otonomi daerah juga mengalami penurunan
jika dibandingkan pada periode sebelum otonomi daerah meskipun secara absolut
mengalami peningkatan. Hal inilah yang menjadi kendala dan kekhawatiran
dalam usaha pembangunan daerah khususnya pada masa otonomi karena
perubahan yang terjadi pada setiap sektor perekonomian akan semakin
pengambilan keputusan pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan
pemerintahan.
Uraian diatas mendorong pemikiran lebih lanjut tentang bagaimana laju
pertumbuhan dan kontribusi setiap sektor riil perekonomian Kabupaten Asahan
dengan melihat faktor- faktor penyebab perubahan pada perekonomian yang
dihubungkan dengan Propinsi Sumatera Utara sebagai daerah atasnya. Hal
tersebut sangat penting mengingat sektor riil merupakan salah satu indikator
keberhasilan pembangunan daerah.
Oleh karena itu, pertama perlu diketahui sektor-sektor apa saja yang
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Asahan sebelum otonomi
daerah dan pada masa otonomi daerah? Hal tersebut diperlukan untuk melihat
sektor-sektor yang berpotensi untuk dikembangkan dan juga dilihat dari
keunggulan komparatif Kabupaten Asahan dan daya saing sektor-sektor tersebut
di Kabupaten Asahan.
Kedua, sektor-sektor apa saja yang termasuk dalam kelompok sektor
pertumbuhan Progresif (Maju) atau Lambat dalam perekonomian Kabupaten
Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah? Hal tersebut terkait dengan
penentuan pertumbuhan ekonomi sektoral, yang dilihat dari unsur pertumbuhan
regional.
Ketiga, bagaimana laju pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Asahan
sebelum dan pada masa otonomi daerah dibandingkan dengan Propinsi Sumatera
Utara? Hal ini diperlukan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi
daerah yang pertumbuhannya Progresif atau Lambat dibandingkan Propinsi
Sumatera Utara, dengan melihat nilai pergeseran bersih Kabupaten Asahan.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang penulisan serta perumusan masalah diatas,
maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Asahan
sebelum dan pada masa otonomi daerah.
2. Menganalisis sektor-sektor apa saja yang termasuk dalam kelompok sektor
pertumbuhan Progresif (Maju) atau Lambat dalam perekonomian Kabupaten
Asahan sebelum dan pada masa otonomi daerah.
3. Menganalisis laju pertumbuhan perkonomian Kabupaten Asahan sebelum dan
pada masa otonomi daerah bila dibandingkan dengan Propinsi Sumatera
Utara.
Bagi pemerintah daerah Kabupaten Asahan, Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai pertumbuhan perekonomian Kabupaten
Asahan, dan dapat dijadikan bahan evaluasi sektoral yang membawa dampak
makro bagi perekonomian Kabupaten Asahan. Hasil penelitian ini juga dapat
dijadikan sebagai sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten
Asahan dalam penetapan kebijakan-kebijakan terkait.
Bagi para pembaca, penelitian ini dapat memberikan gambaran
pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kabupaten Asahan Sebelum dan Pada
melakukan penelitian terkait atau bagi para peneliti yang akan melanjutkan
penelitian ini.
1.4 Keterbatasan Penelitian
Dikeluarkannya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
yang terkait dengan otonomi daerah mengindikasikan bahwa otonomi daerah
resmi diberlakukan di Indonesia. Namun pada kenyatannya, pelaksanaan otonomi
daerah tidak dapat berlangsung begitu saja karena masih terdapat berbagai
tahapan yang harus dipenuhi seperti adanya aturan pelaksanaan, peraturan
pemerintah, keputusan menteri, dan sebagainya sehingga otonomi daerah layak
untuk dilaksanakan.
Otonomi yang berjalan di Kabupaten Asahan pada tahun 2000 masih
dilakukan secara bertahap. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan sebuah
asumsi, yaitu meskipun otonomi yang dilakukan Kabupaten Asahan pada tahun
2000 masih secara bertahap akan tetapi telah terjadi banyak perubahan-perubahan
dalam perekonomian Kabupaten Asahan terutama sektor-sektor penyusun PDRB
Kabupaten Asahan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan
masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut berupa kenaikan seluruh nilai tambah
yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai
riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus
menggambarkan balas jasa bagi faktor- faktor produksi yang beroperasi di daerah
tersebut yanga dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut (Tarigan,
2002). Menurut Boediono dalam Tarigan (2002), pertumbuhan ekonomi adalah
proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan pertumbuhan itu
haruslah bersumber dari proses intern perekonomian tersebut.
2.2 Pembangunan Ekonomi
Menurut Sukirno (1985), kebijaksanaan pembangunan ekonomi selalu
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam arti yang seluas- luasnya. Oleh
karena itu kegiatan pembangunan ekonomi selalu dipandang sebagai usaha yang
dilakukan pemerintah bersama-sama dengan masyarakat. Sedangk an secara
keseluruhan usaha pembangunan meliputi pembangunan ekonomi, sosial, politik,
dan juga kebudayaan. Selain merupakan suatu proses yang menyebabkan tingkat
pendapatan per kapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang,
pembangunan ekonomi juga merupakan proses menuju ke arah perbaikan yang
dilaksanakan secara terus-menerus dan bertahap di semua bidang. Definisi
Merupakan suatu proses yang terjadi terus- menerus dan saling mempengaruhi
antara faktor-faktor yang menghasilkan pembangunan ekonomi; (2) sebagai usaha
untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat, yang merupakan
pencerminan dari adanya perbaikan kesejahteraan masyarakat; (3) kenaikan
pendapatan per kapita harus terus berlangsung dalam jangka panjang, yang berarti
bahwa suatu wilayah berkembang apabila pendapatan per kapita menunjukkan
kecenderungan yang meningkat pada jangka panjang.
Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai
suatu proses saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor
yang menghasilkan pembanguna n ekonomi, sehingga dapat diketahui deretan
peristiwa yang timbul dan akan mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi serta
taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap ke tahap pembangunan berikutnya.
Menurut Azman (2001), dalam pembangunan ekonomi, beberapa indikator
yang biasa dipergunakan adalah: (1) tingkat pertumbuhan ekonomi, yang
tercermin dalam PDRB berdasarkan harga konstan, dimana akan menunjukkan
laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah secara menyeluruh maupun per
sektor; (2) tingkat kemakmuran daerah, yang akan dapat diketahui dengan
memperbandingkan dengan daerah lain, dan untuk mengetahui perkembangan
tingkat kemakmuran suatu daerah melalui perkembangan pendapatan per kapita
secara berkala; (3) tingkat inflasi dan deflasi, peningkatan pendapatan yang
diterima oleh masyarakat dapat saja tidak memberikan arti penting bagi
masyarakat tersebut bila diikuti laju inflasi yang tinggi, karena inflasi yang tinggi
akan mengakibatkan kemampuan daya beli dari pendapatan yang diterima
berdasarkan PDRB harga konstan dan harga yang berlaku, dan (4) gambaran
struktur perekonomian, yang dapat dilihat melalui sumbangan masing- masing
sektor pembangunan terhadap PDRB.
Pembangunan ekonomi memiliki dimensi kualitatif, memerlukan
perubahan struktur dan termasuk di dalamnya pengurangan kemiskinan dan
peningkatan yang besar dalam nutrisi, kesehatan, pendidikan dan standar hidup.
Pembangunan ekonomi juga meliputi perubahan dalam kemiskinan, diversifikasi
pertanian utama, perekonomian urban yang mampu mendorong pertumbuhan.
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi adalah sesuatu yang perlu tetapi tidak
cukup untuk pembangunan ekonomi.
Sebagai suatu proses, pembangunan ekonomi memiliki konsep yang lebih
sulit untuk didefinisikan dan diukur daripada pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan ekonomi mencakup perubahan dalam komposisi input dan output
dalam sebuah perekonomian. Perubahan ini nantinya akan mengarah pada
berkurangnya kemiskinan di dalam masyarakat ya ng berarti pula semakin
meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa.
Sukirno (1985), mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu
proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat
meningkat dalam jangka panjang. Dari definisi tersebut jelas terlihat bahwa
pembangunan ekonomi merupakan: (1) suatu proses, yang berarti merupakan
perubahan yang terjadi secara terus-menerus; (2) usaha untuk menaikkan tingkat
pendapatan per kapita; dan (3) kenaikan pendapatan per kapita tersebut harus
terus berlangsung dalam jangka panjang. Namun yang lebih utama dari semua itu
dan kemampuan perekonomian di dalam negeri. Keinginan dan prakarsa
pembangunan harus muncul dari warga negara itu sendiri. Kekuatan yang berasal
dari luar seyogyanya hanya dijadikan sebagai kekuatan pendorong bagi
pembangunan. Kekuatan luar tersebut hanya bersifat membantu dan tidak bisa
dijadikan kekuatan utama dalam pelaksanaan pembangunan.
2.3 Pembangunan Daerah
Dalam rangka meningkatkan peran aktif masyarakat serta
mendayagunakan potensi daerah secara optimal dan terpadu sesuai dengan
persoalan yang berkenaan dengan pembangunan ekonomi dan kebutuhan
masyarakat maka pembangunan daerah sangat penting untuk dilaksanakan. Secara
mendasar, konsep pembangunan daerah mengandung prinsip pelaksanaan
kebijaksanaan desentralisasi dalam kerangka peningkatan pelaksanaan
pembangunan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional yang bertumpu
pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas
(Soegijoko, 1997). Sehingga pembangunan daerah merupakan upaya pemerataan
pembangunan melalui berbagai kegiatan sektoral secara terpadu, karena adanya
perbedaan kepentingan, permasalahan, ciri dan karakteristik dari masing- masing
daerah.
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan penjabaran dari
pembangunan nasional. Oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan
untuk lebih mengembangkan dan menyelaraskan laju pertumbuhan antar daerah,
transmigrasi, daerah terpencil, dan daerah miskin. Sehingga dapat mengurangi dan
tidak menimbulkan kesenjangan pembangunan antar daerah.
Arsyad (1999) mengemukakan bahwa secara regional/daerah,
pembangunan daerah merupakan suatu proses dimana masyarakat mengelola
sumberdaya yang dimiliki serta membentuk pola kemitraan antara pemerintah
daerah dengan swasta untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan
merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam
wilayah tersebut.
Tujuan pembangunan wilayah seharusnya diarahkan untuk mencapai
pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability).
a. Pertumbuhan (growth)
Pertumbuhan ditentukan sampai dimana kelangkaan sumberdaya yang
terdiri atas sumberdaya manusia, peralatan dan sumberdaya alam dapat
dialokasikan secara maksimal dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kegiatan yang produktif. Semakin tinggi tingkat sumberdaya yang dicerminkan
dari penguasaan teknologi, maka semakin tinggi pula kemampuan mengelola
sumberdaya alam yang tersedia untuk mencapai tingkat pertumbuhan.
b. Pemerataan (equtiy)
Pengaturan atau pengalokasian manfaat dari hasil- hasil pembangunan
harus adil dan merata, sehingga setiap anggota masyarakat yang terlibat akan
memperoleh pembangunan yang adil dalam menikmati hasil- hasil pembangunan.
c. Keberlanjutan (sustainability)
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
pemerintah daerah serta memiliki kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
menurut prakarsa sendiri dan aspirasi masyarakat lokal. Penerapan otonomi
daerah berhubungan erat dengan pembangunan ekonomi daerah yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteran dan mengurangi perbedaan tingkat kemampuan
suatu daerah diantaranya, dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat secara
merata, memberikan kesempatan memperoleh pendidikan dan memperole h
kesempatan kerja serta pemerataan pembagian pendapatan melalui pemanfaatan
sumber-sumber pembangunan yang dimiliki (Anwar dan Hadi, 1996 dalam
Restuningsih, 2004).
Pelaksanaan pembangunan tidak selalu berhasil dan mencapai tujuan yang
diharapkan, sehingga laju pertumbuhan pembangunan tidak merata di seluruh
wilayah. Menurut Hanafiah (1982), keadaan ini menyebabkan adanya
pengelompokan wilayah berdasarkan perkembangannya, yaitu:
1. Wilayah yang terlalu maju; terutama di kota-kota besar dimana terdapat
batas pertumbuhan atau polarisasi, umumnya dalam menghadapi masalah
diseconomic of scale. Industri- industri maju di kota tersebut akan mundur
kembali disebabkan oleh diseconomic of scale, seperti masalah
manajemen, kenaikan biaya produksi dan sebagainya. Manfaat aglomerasi
juga dapat berkurang akibat meningkatnya biaya fasilitas pelayanan
umum, kenaikan gaji dan upah, kenaikan harga bahan baku dan energi
serta ongkos sosial seperti: pencemaran suara, udara dan air. Jika keadaan
biaya yang tinggi, yang akan dibebankan kepada kegiatan ekonomi di
tempat lain.
2. Wilayah netral; yang dicirkan dengan tingkat pendapatan dan kesempatan
kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos sosial. Wilayah
ini merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu maju.
3. Wilayah sedang; merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran, pola
distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik, merupakan
gambaran kombinasi antara daerah maju dan kurang maju, yang memiliki
pengangguran dan kelompok miskin.
4. Wilayah kurang berkembang; merupakan wilayah yang tingkat
pertumbuhannya jauh dibawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada
tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pembangunan
nasional.
5. Wilayah tidak berkembang; merupakan wilayah tidak maju atau wilayah
miskin, yaitu wilayah yang tidak akan pernah dapat mengembangkan
industri modern dalam berbagai skala serta ditandai dengan daerah
pertanian yang usahataninya subsistem dan berskala kecil.
2.4 Perbandingan Teori Pertumbuhan dan Teori Pembangunan
Pertumbuhan dan pembangunan memiliki keterkaitan yang sangat erat
sehingga pertumbuhan dan pembangunan seringkali diartikan sama. Kedua istilah
tersebut sebenarnya memiliki arti yang berbeda secara eksplisit dan implisit.
Menurut Herrick dan Charles (1982) dalam Setiawan (2004), pertumbuhan
banyak macamnya dari yang sebelumnya, termasuk di dalamnya perubahan
teknologi dan institusi yang berperan dalam produksi dan distribusi. Sedangkan
perkembangan atau pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan tetapi
pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan atau perkembangan.
Tetapi pada tingkat-tingkat permulaan, mungkin pembangunan ekonomi selalu
disertai dengan pertumbuhan dan sebaliknya.
Hess dan Clark (1997) dalam Setiawan (2004) menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi mengacu pada perubahan kuantitas dan biasanya diukur
sebagai kenaikan dalam output per kapita atau pendapatan. Pertumbuhan ekonomi
modern, sebagaimana terungkap dari pengalaman negara maju sejak akhir abad
ke-18, ditandai dengan laju kenaikan produk per kapita yang tinggi dibarengi
dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat. Laju kenaikan yang luar biasa itu
paling sedikit sebesar lima kali untuk penduduk dan paling sedikit sepuluh kali
untuk produksi .
2.5 Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan
konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam
perkembangan sejarahnya, ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan
bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik- menarik kalangan elit
politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak
tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak
dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat
dalam Undang-Undang berikut ini 1:
- UU No. 1 tahun 1945
Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada
dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.
- UU No. 22 tahun 1948 dan UU No. 44 Tahun 1950
Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi
masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar
untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.
- UU No. 1 tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana
kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat
pemerintah pusat.
- Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi.
Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari
kalangan pamong praja.
- UU No. 18 tahun 1965
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi
dengan memberikan otonomi yang seluas- luasnya bagi daerah, sedangkan
dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
- UU No. 5 tahun 1974
1 http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatotonomidaerah&id=5
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru,
maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu
sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah
terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya
dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.
- UU No. 22 tahun 1999
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah
sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Tabel 7. Perbedaan Dasar UU No.5/1974 dan UU No. 22/19992
No. Aspek UU No.5/1974 UU No.22/1999
1. Nama UU & Asas yang Digunakan.
Disebut UU tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah didasarkan kepada asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Kepala Daerah merangkap Kepala Wilayah.
Disebut UU tentang Pemerintahan Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan ketiga asas yang mengarah pada prinsip devolusi. Tidak ada lagi Kepala Daerah yang merangkap Kepala Wilayah, sebagai kepanjangan tangan dari Pusat.
2 Model
Penyelenggaraan Desentralisasi
Structural Efficiency Modelyang menekanan persatuan dan kesatuan nasional dan cenderung mengabaikan nilai-nilai lokal serta nilai-nilai demokrasi, dengan alasan menjamin efisiensi dan kemajuan ekonomi.
Local Democratic Model yang menekankan nilai-nilai lokal dan demokratik serta menghargai perbedaan dan keanekaragaman.
3 Penekanan definisi ‘Otonomi Daerah’
Adalah pada penyerahan urusan kepada lembaga pemerintah daerah yang di beri hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Lebih berorientasi kepada masyarakat, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri.
4 Status Daerah Otonom
Titik berat otonomi pada Dati II, namun Dati I tetap berstatus daerah otonom yang utuh. Daerah otonom merangkap sebagai daerah administrasi
Otonomi yang luas dan utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dan tidak merangkap sebagai daerah administrasi.
5 Hubungan antar Dati I dan Dati II
Terdapat hubungan hirarkis antara Dati I dan Dati II melalui jalur “Kepala Wilayah.”
Tidak ada hubungan hirarkis maupun subordinatif antara daerah-daerah otonom.
6 Kedudukan Badan Legislatif
Fungsi eksekutif dan fungsi legislatif tercampur aduk karena kedudukan Kepala Daerah yang merangkap Kepala Wilayah.
Fungsi eksekutif dan fungsi legislatif dipisahkan secara tegas,yaitu Kepala Daerah sebagai fungsi eksekutif dan DPRD sebagai fungsi legislatif. Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD.
7 Prinsip Pembiayaan Pengeluaran
Function Follows Finance, jadi tergantung dari pemberian Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan INPRES dari Pusat.
Finance Follows Function, fungsi-fungsi pengeluaran Daerah terdefinisi dengan jelas yaitu, PU, kesehatan, pendidikan,
2 Koswara dalam www.csis.or.id/working_paper_file/16/wpe054.pdf
Hal yang sama terjadi pada aspek keuangan. Meskipun UU No. 32 tahun
1956 sudah menyebut “perimbangan keuangan antara Negara dengan
daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri, dan UU No. 5 Tahun 1974 pun
sudah menyebut hal itu, namun secara realitas sangat berbeda. Bahkan terjadi
eksploitasi yaitu sumber pengelolaan urusan yang prospektif ditarik ke tingkat
propinsi atau pusat. Hal ini juga tampak dari pengelolaan urusan yang prospektif
ditarik ke tingkat pusat atau propinsi. Hal ini juga tampak dari penerbitan
peraturan pelaksanaannya. UU No. 5 Tahun 1974 baru direspon 18 tahun
kemudian oleh munculnya PP No. 45 Tahun 1992 tentang titik berat pelaksanaan
otonomi daerah pada tingkat Kabupaten (Tingkat II). Sejalan dengan tuntutan
reformasi meyeluruh dan upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi akibat
krisis maka terdapat tuntutan menerapkan otonomi daerah secara
sungguh-sungguh. Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan keputusan politik
dalam bentuk TAP MPR Nomor XV/MPR 1998 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah yang Nyata, Luas dan Bertanggung jawab.
Ikeluarkannya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah membawa perubahan yang mendasar
terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Perbedaan sumber dana
perimbangan keuangan sebelum dan pada masa otonomi daerah dapat dilihat pada
Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Perbedaan Sumber Dana Perimbangan Keuangan Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah (Persen)
Jenis
2.6 Otonomi Daerah di Kabupaten dan Kota
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Pasal 4 menyatakan bahwa dalam
rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Propinsi,
Daerah kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prkarsa sendir berdasarkan aspirasi
masyarakat dan daerah masing- masing berdiri send ir dan tidak mempunyai
hubungan hirearkhi satu sama lain.
Dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus atau digabung dengan daerah
lain sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
2.7 Teori Basis Ekonomi
Teori basis memisahkan sektor-sektor ekonomi ke dalam basis dan non
basis. Sektor basis merupakan kagiatan masyarakat yang hasil- hasilnya baik
berupa barang maupun jasa dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan
luar daerah. Sedangkan sektor non basis merupakan sektor yang hasilnya hanya
untuk mencukupi kebutuhan masyarakat setempat.
Menurut Kartono (1986), pertumbuhan sektor basis akan menimbulkan
dan menetukan pertumbuhan secara keseluruhan, sedangkan kegiatan sektor non
basis merupakan akibat dari pertumbuhan sektor basis. Hal ini disebabkan karena
sektor basis memberikan dua sumbangan terhadap perekonomian daerah, baik
langsung maupun tidak langsung. Sumbangan langsung diantaranya; (1) kenaikan
ekspor akan menyebabkan kenaikan barang-barang mengimpor modal yang
penting dalam pembangunan daerah, (2) pengembangan ekspor berarti
pengalokasian dana kepada sektor yang efisien untuk dapat bersaing dengan
daerah lain, (3) kegiatan ekspor akan memperluas pasar produk dalam negeri dan
memungkinkan untuk memperluas skala sektor yang bersangkutan, (4) karena
harus bersaing maka kegiatan sektor tersebut harus dapat menekan biaya produksi
dan meningkatkan efisiensi kegiatan. Sumbangan tidak langsung terhadap
perekonomian daerah diantaranya: (1) kenaikan kegiatan sektor basis akan dapat
meningkatkan pendapatan baik dari dalam maupun luar daerah, (2)
pengembangan kegiatan basis akan memudahkan masuknya inovasi dalam
teknologi, pemasaran dan keahlian usahawan, (3) adanya peningkatan jumlah dan
variasi barang yang dikonsumsi. Sehingga kedua sektor tersebut akan
Menurut Glasson (1977), basis ekonomi merupakan pendekatan yang
dapat menerangkan pertumbuhan regional suatu daerah, untuk menganalisis
struktur daerah dan untuk mengetahui peranan suatu sektor terhadap
perekonomian daerah. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam
menentukan sektor basis adalah metode Location Quotient (LQ) sedangkan
Richardson (1977) menyatakan bahwa teknik LQ adalah teknik yang lazim
digunakan dalam studi basis empirik.
2.8 Model Analisis Shift Share
Menurut Glasson (1977), model Analisis Shift Share (ASS) digunakan
untuk melihat pertumbuhan masing- masing sektor perekonomian di suatu
wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah yang lebih luas. Selain itu model
ini juga dapat menunjukkan perkembangan perekonomian suatu wilayah terhadap
wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor
dalam suatu wilayah dan perbandingan pertumbuhan antar wilayah. Melalui
Analisis Shift Share dapat diketahui perkembangan suatu sektor jika dibandingkan
dengan sektor lainnya dalam suatu wilayah tertentu. Pendekatan Shift Share
menganalisis perubahan-perubahan tersebut dengan menggunakan
indikator-indikator seperti produksi, penduduk dan tenaga kerja selama periode waktu
tertentu menjadi komponen shift dan share.
Analisis shift share menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan
ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu. Di dalam
suatu tahun dasar dengan tahun akhir dibagi menjadi tiga komponen pertumbuhan
yaitu:
1. Komponen Pertumbuhan Nasional adalah perubahan kesempatan kerja atau
produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan kesempatan kerja
atau produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional,
atau perubahan dalam hal- hal yang mempengaruhi perekonomian semua
sektor dan wilayah. Beberapa contoh dapat dikemukakan, misalnya deva luasi,
kecenderungan inflasi, pengangguran dan kebijakan perpajakan. Bila
diasumsikan bahwa tidak terdapat perbedaan karakteristik ekonomi antar
sektor dan antar wilayah, maka akibat dari perubahan ini pada sektor dan
wilayah kurang lebih sama dengan perubahan ini pada sektor dan wilayah
kurang lebih sama dengan perubahan dan laju pertumbuhan nasional. Akan
tetapi pada kenyataannya beberapa sektor tumbuh dan berkembang lebih
cepat dari sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi
penyebabnya dan mengukur perbedaan yang timbul, dengan memisahkan
komponen pertumbuhan nasional, komponen pertumbuhan proporsional, dan
komponen pertumbuhan pangsa wilayah.
Analisis pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini difokuskan pada
pembahasan daerah kabupaten. Maka istilah komponen pertumbuhan nasional
dianalogikan menjadi komponen pertumbuhan regional (PR). Hal ini
dilakukan untuk menghindari salah penafsiran dalam pengertian nasional
(Indonesia) dengan regional (Propinsi).
2. Komponen pertumbuhan proporsional (PP) timbul karena perbedaan sektor
perbedaan dalam kebijaksanaan (misalnya, kebijakan perpajakan, subsidi dan
price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.
3. Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) timbul karena peningkatan
atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah
dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat atau lambatnya pertumbuhan
suatu daerah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh
keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana
sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional wilayah tersebut.
(Budiharsono, 2001)
2.9 Hasil Penelitian Terdahulu
Doni Setiawan (2004) melakukan penelitian mengenai Analisis
Pertumbuhan Antar Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara Periode
1993-2002 dengan menggunakan analisis shift share terhadap PDRB Propinsi
Sumatera Utara. Hasil Analisis Komponen Pertumbuhan menunjukkan pada
kurun waktu 1993-1997 Kota Medan merupakan daerah yang mempunyai
pertumbuhan regional yang paling besar dalam pembentukan PDRB Propinsi
Sumatera Utara sedangkan yang paling kecil adalah kota Sibolga. Berdasarkan
laju pertumbuhan, yang paling cepat adalah Kota Pematangsiantar dan yang
paling lambat adalah Kabupaten Langkat. Daerah yang mempunyai daya saing
yang paling baik adalah Kota Sibolga dan yang paling rendah adalah Kabupaten
Langkat. Dilihat dari pertumbuhan wilayah, maka yang paling maju adalah Kota
Sibolga dan yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat.
Pada Kurun waktu 1998-2002, Komponen Pertumbuhan menunjukkan
pada kurun waktu 1993-1997 Kota Medan masih merupakan daerah yang
mempunyai pertumbuhan regional yang paling besar dalam pembentukan PDRB
Propinsi Sumatera Utara sedangkan yang paling kecil adalah kota Sibolga.
Berdasarkan laju pertumbuhan, yang paling cepat adalah Kota Medan dan yang
paling lambat adalah Kabupaten Asahan. Daerah yang mempunyai daya saing
yang paling baik adalah Kabupaten Asahan dan yang paling rendah adalah
Kabupaten Langkat. Dilihat dari pertumbuhan wilayah, maka yang paling maju
adalah Kabupaten Asahan dan yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat.
Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Ogan Komering Ulu Sebelum dan Pada
Masa Otonomi Daerah dengan menggunakan Analisis Shift Share oleh Zulparina
(2004) menyatakan bahwa sebelum otonomi daerah, pertumbuhan aktual
Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) cenderung menurun, yaitu sebesar Rp
33.950 juta (-2,69 persen). Begitu juga dengan pertumbuhan regional yang
mengalami penurunan sebesar Rp 176.010,02 juta (-13,93 persen). Sedangkan
pada masa otonomi daerah pertumbuhan aktual Kabupaten OKU dan regional
bernilai positif, yaitu sebesar Rp 173 511 juta (13,45 persen) dan Rp 144.133,92
juta (11,17 persen). Sehingga selisih antara kedua nilai tersebut yang merupakan
pertumbuhan bersih Kabupaten OKU memberikan nilai positif, baik sebelum
maupun pada masa otonomi daerah, yaitu sebsar Rp 142.060,02 (11,24 persen)
dan sebesar Rp 29.377,07 juta (2,27 persen). Ini berarti pertumbuhan Kabupaten
OKU termasuk kedalam wilayah yang pertumbuhannya cepat.
Sedangkan penelitian mengenai Struktur Perekonomian kabupaten Padang
(2001) dengan menggunakan analisis shift share, memperlihatkan bahwa telah
terjadi pergeseran dari kelompok sektor primer (pertanian, pertambangan dan
penggalian) ke kelompok sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa-jasa,
perdagangan dan hotel dan restoran) dalam struktur perekonomian daerah. Namun
dari segi kontribusinya terhadap PDRB maupun dalam penyediaan lapangan kerja
sektor pertanian yang berada pada kelompok sektor primer masih tetap
mendominasi. Kontribusi tersebut sebesar 29,12 persen pada tahun 1999,
sedangkan dilihat dari sektor lapangan usaha sebesar 43,55 persen penduduk
Padang Pariaman mata pencahariannya bersumber dari sektor pertanian.
Budiharsono (1996) menggunakan analisis shift share sebagai salah satu
alat analisisnya mengenai Pertumbuhan Ekonomi antar Daerah di Indonesia
Tahun 1969-1987. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa selama kurun
waktu tersebut terdapat kecenderungan pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi
di Kawasan Barat Indonesia lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan di
Kawasan Timur Indonesia. Rendahnya pertumbuhan propinsi-propinsi di KTI
disebabkan oleh rendahnya permintaan domestik terhadap barang dan jasa. Hal ini
karena tingkat pendapatan per kapita masyarakat yang rendah.
Sedangkan penelitian mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan
Antar Wilayah di Propinsi Jawa Barat tahun 1986-1990 yang dilakukan oleh
Irawan (1994) yang juga menggunakan analisis shift share sebagai alat analisisnya
menemukan bahwa sektor pertanian masih memegang peranan kunci dalam
pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah daerah Dati II Jawa Barat. Daerah
Dati II tersebut adalah Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Cianjur, Garut,