• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Wisata

Potensi Obyek dan Daya Tarik Wisata yang dimiliki Indonesia, antara lain berupa keanekaragaman hayati, keunikan dan keaslian budaya tradisional, keindahan bentang alam, gejala alam, peninggalan sejarah/budaya yang secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat (Depbudpar 2009). Potensi wisata adalah hal-hal yang dapat dijadikan daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung yang terdiri dari atraksi alam dan buatan manusia

a. Atraksi alam:

1. Iklim, misalnya: cuaca cerah, banyak cahaya matahari, kering, panas, hujan, dan sebagainya.

2. Bentuk lanskap dan pemandangannya, tanah yang datar, lembah pegunungan, danau, sungai, pantai, air terjun, gunung merapi, dan pemandangan yang menarik.

3. Fauna Hutan belukar, misalnya : hutan yang luas, banyak pohon–pohonan. 4. Flora dan fauna, seperti: tanaman yang langka, burung – burung, ikan,

binatang buas, cagar alam, daerah perburuan, dan sebagainya.

5. Pusat–pusat kesehatan, misalnya: sumber air mineral, mandi lumpur, sumber air panas, di mana kesemuanya itu diharapkan dapat menyembuhkan macam–macam penyakit.

b. Buatan manusia (man made supply). Kelompok ini dapat dibagi menjadi: 1. Monumen bersejarah dan sisa peradaban di masa lampau.

2. Museum, art gallery, perpustakaan, kesenian rakyat, handicraft.

3. Acara tradisional, pameran, festival, upacara/ritual, naik haji, upacara perkawinan, khitanan, dan lain–lain.

4. Rumah–rumah beribadah, seperti: Masjid, Candi, Gereja maupun Pura dan rumah adat.

c. Tata cara hidup masyarakat (the way of life).

Tata cara hidup tradisional dari suatu masyarakat merupakan salah satu sumber yang amat penting untuk ditawarkan kepada wisatawan. Bagaimana kebiasaan hidupnya, adat–istiadatnya, semuanya merupakan daya tarik bagi wisatawan di daerah itu. Hal semacam ini sudah terbukti betapa pengaruhnya dan dapat dijadikan events yang dapat dijual tour operator. Sesuatu dapat dikatakan sebagai objek wisata, bila untuk melihat objek tersebut tidak ada persiapan, dilakukan terlebih dahulu. Perkataan lain kita dapat melihatnya tanpa bantuan orang lain terlebih dahulu. Semuanya dapat kita lihat secara langsung, walaupun terkadang kita harus membayar sebagai tanda masuk, seperti: pemandangan sungai, gunung, danau, lembah, candi, bangunan, monumen, tugu peringatan, dan lain–lain. Atraksi wisata merupakan sinonim dengan pengertian “entertainments”,

yaitu sesuatu yang dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat dilihat, dinikmati dan yang termasuk dalam hal ini adalah tari–tarian, nyanyian, kesenian rakyat

5

tradisional, upacara adat, dan lain–lain. Tanpa ada persiapan yang matang, maka ia tidak merupakan atraksi yangdapat menjadi daya tarik bagi wisatawan (Yoeti 1982).

Desa Wisata

Desa Wisata adalah suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan, baik dari segi sosial budaya, adat–istiadat, keseharian, arsitektur tradisional, struktur tata ruang desa, serta mempunyai potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan, misalnya: atraksi, makan, minum, cinderamata, penginapan, dan kebutuhan wisata lainnya (Putra 2006). Untuk menjadi suatu daerah tujuan wisata, agar dapat menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan, harus memiliki 3 syarat, yaitu:

a. Daerah ini harus mempunyai “something to see”, artinya di tempat tersebut

harus ada objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah lain, daerah tersebut harus mempunyai daya tarik khusus.

b. Di daerah tersebut harus tersedia “something to do”, artinya di daerah tersebut

di samping banyak yang dapat dilihat, harus pula disediakan fasilitas rekreasi yang dapat membuat wisatawan betah tinggal lebih lama di tempat itu. c. Di daerah tersebut harus ada “something to buy”, artinya di tempat itu harus

ada fasilitas untuk dapat berbelanja, terutama souvenir kerajinan masyarakat setempat sebagai kenang–kenangan, di samping itu perlu juga disediakan tempat penukaran uang asing dan telekomunikasi.

Menurut Soemanto (1999), dikatakan bahwa suatu daerah bisa menjadi objek pariwisata karena daerah tersebut mempunyai atraksi wisata, di mana dalam atraksi tersebut mempunyai beberapa aspek historis, aspek nilai, aspek keaslian, dan aspek handicraft. Berdasarkan Pasal 29 Bab IV Undang–Undang No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan menyebutkan:

a. Kawasan Pariwisata merupakan suatu usaha yang kegiatannya membangun atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.

b. Penetapan suatu kawasan sebagai kawasan pariwisata dilakukan sesuai tata ruang kawasan dan berdasarkan rencana pengembangan kepariwisataan.

Suatu kawasan wisata dapat meliputi lebih dari sebuah desa dengan satu objek utama. Jadi, desa merupakan unit terkecil pengembangan suatu kawasan. Dalam hubungannya dengan kepariwisataan dapat dikategorikan 3 jenis desa, yaitu:

a. Desa Domisili, merupakan desa yang ada akomodasi sebagai tempat menetap sementara wisatawan selama berada di daerah tujuan wisata.

b. Desa Kunjungan, merupakan desa yang mengadakan pertunjukan kesenian bagi wisatawan dengan mengambil tempat di desa yang ada artshop atau objek lainnya.

6 c. Desa Penunjang, merupakan desa yang menghasilkan barang untuk hotel, restoran (benda – benda souvenir), akan tetapi desa tersebut tidak dikunjungi wisatawan (Geriya 1983).

Desa Wisata adalah pengembangan suatu wilayah (desa) dengan memanfaatkan unsur–unsur yang ada dalam masyarakat desa yang berfungsi sebagai atribut produk wisata, menjadi suatu rangkaian aktivitas pariwisata yang terpadu dan memiliki tema. Dalam desa tersebut juga mampu menyediakan dan memenuhi serangkaian kebutuhan suatu perjalanan wisata, baik dari aspek daya tarik maupun berbagai fasilitas pendukungnya.

Adapun unsur–unsur dari desa wisata adalah:

1. Memiliki potensi pariwisata, seni, dan budaya khas daerah setempat.

2. Lokasi desa masuk dalam lingkup daerah pengembangan pariwisata atau setidaknya berada dalam koridor dan rute paket perjalanan wisata yang sudah dijual.

3. Diutamakan telah tersedia tenaga pengelola, pelatih, dan pelaku–pelaku pariwisata, seni dan budaya.

4. Aksesibilitas dan infrastruktur mendukung program desa wisata. 5. Terjaminnya keamanan, ketertiban, dan kebersihan.

Desa wisata secara konseptual dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah pedesaan dengan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian, baik dari struktur tata ruang, arsitektur bangunan maupun pola kehidupan sosial budaya masyarakat serta menyediakan komponen–komponen kebutuhan wisatawan, seperti akomodasi, makan, minum, cinderamata, dan atraksi–atraksi wisata (Putra 2006). Batasan desa wisata akan menjadi suatu kawasan mini yang self contained

dan pariwisata diharapkan terintegrasi dengan masyarakat. Desa wisata menyediakan akomodasi dan fasilitas akomodasi ini tetap mempunyai nuansa pedesaan yang kental (khususnya yang berciri khas desa setempat), tetapi tetap memenuhi standar minimal dari segi kesehatan dan kenyamanan. Desa wisata juga mampu menawarkan berbagai atraksi (Pitana 1994)

Menurut Edward Inskeep dalam desa wisata ada 2 komponen utama, yaitu: 1. Akomodasi, yaitu sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan

atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk.

2. Atraksi, yaitu sebuah kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berinteraksinya wisatawan sebagai partisipasi aktif, seperti kursustari, bahasa dan lain-lain yang spesifik. Sedangkan Edward Inskeep berpendapat bahwa: village tourism where small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and lokal environtments (wisata pedesaan dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam/dekat dengan suasana tradisional sering di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesa-desaan dan lingkungan setempat).

7

Pengembangan Desa Wisata

Komponen–komponen dalam pengembangan desa wisata adalah: a. Atraksi dan kegiatan wisata

Atraksi wisata dapat berupa seni, budaya, warisan sejarah, tradisi, kekayaan alam, hiburan, jasa dan lainlain yang merupakan daya tarik wisata. Atraksi ini memberikan ciri khas daerah tersebut yang mendasari minat wisatawan untuk berkunjung ke tempat tersebut (Karyono 1997). Kegiatan wisata adalah apa yang dikerjakan wisatawan atau apa motivasi wisatawan datang ke destinasi yaitu keberadaan mereka disana dalam waktu setengah hari sampai berminggu- minggu (Hadinoto 1996).

b. Akomodasi

Akomodasi pada desa wisata yaitu sebagian dari tempat tinggal penduduk setempat dan atau unit- unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk (Rikhardi 2015).

c. Unsur institusi atau kelembagaan dan SDM.

Dalam pengembangan desa wisata lembaga yang mengelola harus memiliki kemampuan yang handal.

d. Fasilitas pendukung wisata lainnya

Pengembangan desa wisata harus memiliki fasilitas-fasilitas pendukung seperti sarana komunikasi.

e. Infrastruktur lainnya

Insfrastruktur lainnya juga sangat penting disiapkan dalam pengembangan desa wisata seperti sitem drainase.

f. Transportasi

Transportasi sangat penting untuk memperlancar akses tamu. g. Sumber daya lingkungan alam dan sosial budaya.

h. Masyarakat

Dukungan masyarakat sangat besar peranannya seperti menjaga kebersihan lingkungan, keamanan, keramah tamahan.

i. Pasar domestik dan Mancanegara

Pasar desa wisata dapat pasar wisata domestik maupun mancanegara.

Konsep Pariwisata berbasis Masyarakat (Community Based Tourism)

Menurut Garrod (2001), terdapat dua pendekatan berkaitan dengan penerapan prinsip–prinsip perencanaan dalam konteks pariwisata. Pendekatan pertamayang cenderung dikaitkan dengan perencanaan formal sangat menekankan pada keuntungan potensial dari ekowisata. Pendekatan ke dua, cenderung dikaitkan dengan istilah perencanaan yang partisipatif yang lebih concern dengan ketentuan dan pengaturan yang lebih seimbang antara pembangunanan dan perencanaan terkendali. Pendekatan ini lebih menekankan pada kepekaan terhadap lingkungan alam dalam dampak pembangunan ekowisata. Salah satu bentuk perencanaan yang partisipatif dalam pembangunan pariwisata adalah dengan menerapkan

8 Definisi CBT yaitu:

a. Bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pembangunan pariwisata

b. Masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha–usaha pariwisata juga mendapat keuntungan

c. Menuntut pemberdayaan secara politis dan demokratisasi dan distribusi keuntungan kepada komunitas yang kurang beruntung di pedesaan.

Pandangan Hausler CBT merupakan suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industry pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan (akses) dalam manajemen dan pembangunan pariwista yang berujung pada pemberdayaan politis melalaui kehidupan yang lebih demikratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegitan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat. Hausler menyampaikan gagasan tersebut sebagai wujud perhatian yang kritis pada pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata. Suansri (2003) mendefinisikan CBT sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, dan budaya. CBT merupakan alat pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan atau dengan kata lain CBT merupakan alat untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Definisi yang disampaikan Suansri, gagasan untuk memunculkan

tools berparadigma baru dalam pembangunan pariwisata adalah semata-mata untuk menjaga keberlangsungan pariwisata itu sendiri. Beberapa prinsip dasar CBT yang disampaikan Suansri (2003) dalam gagasannya, yaitu:

a. Mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalampariwisata,

b. Mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek, c. Mengembangkan kebanggaan komunitas,

d. Mengembangkan kualitas hidup komunitas, e. Menjamin keberlanjutan lingkungan,

f. Mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area,

g. Membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budayapada komunitas,

h. Menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia,

i. Mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas,

j. Berperan dalam menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan) dalam proyek yang ada di komunitas.

Sepuluh prinsip dasar tersebut harus menjadi tumpuan, arah dan prinsip dasar dari pembangunan pariwisata agar keberlanjutannya terjamin. Prinsip dasar yang disampaikan secara eksplisit Suansri lebih memfokus kan pada kepentingan masyarakat lokal tetapi ide utama yang disampaikan Suansri dalam prinsip dasar tersebut adalah hubungan yang lebih seimbang atara wisatawan dan masyarakat lokal dalam industri pariwisata.

9

Keseimbangan yang dimaksud antara lain dalam hal status kepemilikan komunitas, pembagian keuntungan yang adil, hubungan faktor budaya yang didasari sikap saling menghargai, dan upya bersama untuk menjaga lingkungan.

Sebagai tindak lanjut Suansri (2003) menyampaikan point-point yang merupakan aspek utama pengembangan CBT berupa 5 dimensi, yaitu:

a. Dimensi ekonomi, dengan indicator berupa adanya dana untuk pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di 5 sektor pariwisata, timbulnya pendapatan masyarakat lokal dari sektor pariwisata; b. Dimensi sosial dengan indikator meningkatnya kualitas hidup, peningkatan

kebanggaan komunitas, pembagian peran yang adil antara laki–laki perempuan, generasi muda dan tua, membangun penguatan organisasi komunitas;

c. Dimensi budaya dengan indikator berupa mendorong masyarakat untuk meng hormati budaya yang berbeda, membantu berkembangnya pertukaran budaya, budaya pembangunan melekat erat dalam budaya lokal.

d. Dimensi lingkungan, dengan indikator mempelajari carryng capacity area,

mengatur pembuangan sampah, meningkatkan kepedulian akan perlunya konservasi;

e. Dimesi politik, dengan indikator: meningkatkan partisipasi dari penduduk lokal, peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas, menjamin hak-hak dalam pengelolaan sumber daya alam CBT berkaitan erat dengan adanya partisipasi dari masyarakat lokal. Menurut Timothy (1999) partisipasi masyarakat dalam pariwisata terdiri dari dua perspektif yaitu dalam partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan dan partisipasi masyarakat lokal berkaitan dengan keuntungan yang diterima masyarakat dari pembangunan pariwisata.

Berkaitan dengan CBT, Timmoty menggagas model normatif partisipasi dalam pembangunan pariwisata yaitu ada 3 hal pokok dalam perencanaan pariwisatayang partisipatif, yaitu:

a. Berkaitan dengan upaya mengikutsertakan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan,

b. Adanya partisipasi masyarakat lokal untuk menerima manfaat dari kegiatan pariwisata,

c. Pendidikan kepariwisataan bagi masyarakat lokal, yang dikenal dengan nama

Albeit Western Perspektif.

Ciri-ciri khusus dari Community Based Tourism menurut Hudson (Timothy 1999) adalah berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dan adanya upaya perencanaan pendampingan yang membela masyarakat lokal serta lain kelompok memiliki ketertarikan/minat, yang memiliki kontrol besar dalam proses sosial untuk mewujudkan kesejahteraan. Sedangkan Murphy (1985) menekankan strategi yang terfokus pada identifikasi tujuan masyarakat tuan rumah dan keinginan serta kemampuan mereka menyerap manfaat pariwisata. Menurut Murphy setiap masyarakat harus didorong untuk mengidentifikasi tujuannya

10 sendiri dan mengarahkan pariwisata untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat lokal. Untuk itu dibutuhkan perencanaan sedemikian rupa sehingga aspek soosial dan lingkungan masuk dalam perencanaan dan industri pariwisata memperhatikan wisatawan dan juga masyarakat setempat. Keuntungan dari pendekatan perencanaan yang partisipatif menurut Drake dan Paula dalam Garrod (2001) adalah:

a. Mengkonsultasikan proyek dengan masyarakat atau melibatkan masyarakat dalam manajemen penerapan proyek dan/atau pengoperasian proyek dapat meningkatkan effisiensi proyek.

b. Efektifitas proyek jauh lebih meningkat dengan mengikutsertakan masyarakat yang dapat membantu memastikan jika tujuan proyek bisa ditemukan dan keuntungan akan diterima kelompok/ masyarakat lokal.

c. Sebagai capacity building bagi kelompok masyarakat agar mereka memahami apa itu ekowisata dan peranannya dalam pembangunan berkelanjutan. (terjamin bahwa yang terlibat sangat nampak keikut sertaannya secara aktif dalam proyek dengan pelatihan formal/informal serta kegiatan untuk meningkatkan keperdulian).

d. Pemberdayaan lokal meningkat dengan memberi masyarakat lokal yang lebih besar terhadap sumber daya dan memutuskan penggunakan sumber daya yang berpengaruh/penting sesuai dengan tempat tinggal mereka. (artinya menjamin jika masyarakat lokal menerima keuntungan yang sesuai dengan penggunaan sumberdaya).

e. Pembagian keuntungan dengan warisan lokal (lokal beneficiaries), misal biaya tenaga kerja, biaya keuangan, operasional dan perawatan proyek dan/atau monitoring dan evaluasi proyek.

Lebih lanjut Garrod (2001) menyampaikan elemen-elemen dari perencanaan pariwisata partisipatif yang sukses yaitu:

a. Membutuhkan kepemimpinan yang efektif (memiliki kredibilitas sebagai orang yang memahami, empati dan perduli den gan pendapat stakeholder, memiliki kredibilitas sebagai seseorang yang memiliki keahlian yang dibutuhkan di daerah tersebut, mandiri, memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah yang nyata dan tidak nyata, mememiliki kemampuan mengatur partisipan, bersedia mengembangkan kelompok), mampu mengarahkan keterlibatan yang sifatnya topdown ke bottom up). b. Pemberdayaan masyarakat lokal.

c. Mengkaitkan keuntungan ekonomi dengan konservasi. d. Melibatkan stakeholder lokal dalam setiap tahapan proyek,

e. Adanya partisipasi lokal mengadakan monitoring dan evaluasi proyek.

Sementara itu Yaman dan Mohd (2004) menggaris bawahi beberapa kunci pengaturan pembangunan pariwisata dengan pendekatan CBT, yaitu:

a. Adanya dukungan pemerintah: CBT membutuhkan dukungan struktur yang multi institusional agar sukses dan berkelanjutan. Pendekatan CBT berorientasi pada manusia yang mendukung pembagian keuntungan dan

11

manfaat yang adil serta mendukung pengentasan kemiskinan dengan mendorong pemerintah dan masyarakat untuk tetap menjaga SDA dan budaya. Pemerintah akan berfungsi sebagai fasilitator, kordinator atau badan penasehat SDM dan penguatan kelembagaan.

b. Partisipasi dari stakeholder, CBT didiskripsikan sebagai variasi aktivitas yang meningkatkan dukungan yang lebih luas terhadap pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat. Konservasi sumber daya juga dimaksudkan sebagai upaya melindungi dalam hal memperbaiki mata pencaharian/penghidupan masyarakat. CBT secara umum bertujuan untuk penganekaragaman industri, Peningkatan skope partisipasi yang lebih luas ini termasuk partisipasi dalam sektor informal, hak dan hubungan langsung/ tidak langsung dari lainnya. Pariwisata berperan dalam pem-bangunan internal dan mendorong pembangunanan aktivitas ekonomi yang lain seperti industri, jasa dan sebagainya. Anggota masyarakat dengan kemampuan kewirausahaan dapat menentukan/ membuat kontak bisnis dengan tour operator, travel agent

untuk memulai bisnis baru.

c. Pembagian keuntungan yang adil. Tidak hanya berkaitan dengan keuntungan langsung yang diterima masyarakat yang memiliki usaha di sector pariwisata tetapi juga keuntungan tidak langsung yang dapat dinikmati masyarakat yang tidak memilki usaha. Keuntungan tidak langsung yang diterima masyarakat dari kegiatan ekowisata jauh lebih luas antara lain berupa proyek pembangunan yang bisa dibiayai dari hasil penerimaan pariwisata.

d. Penggunaan sumber daya lokal secara berkesinambungan. Salah satu kekuatan ekowisata adalah ketergantungan yang besar pada sumber daya alam dan budaya setempat, dimana aset tersebut dimiliki dan dikelola oleh seluruh anggota masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, termasuk yang tidak memiliki sumber daya keuangan. Hal itu bisa menumbuhkan kepedulian, penghargaan diri sendiri dan kebanggaan pada seluruh anggota masyarakat. Demikian sumber daya yang ada menjadi lebih meningkat nilai, harga dan menjadi alasan mengapa pengunjung ingin datang ke desa.

e. Penguatan institusi lokal. Pada awalnya peluang usaha pariwisata di daerah pedesaan sulit diatur oleh lembaga yang ada. Penting untuk melibatkan komite dengan anggota berasal dari masyarakat. Tujuan utamanya adalah mengatur hubungan antara penduduk, sumber daya dan pengunjung. Hal ini jelas mem-butuhkan perkembangan kelembagaan yang ada di sana. Paling baik adalah terbentuk lembaga dengan pimpinan yang dapat diterima semua anggota masyarakat. Penguatan kelembagaan lokal dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan individu dengan ketra mpilan kerja yang diperlukan (teknik, managerial, komuni kasi, pengalaman kewirausahaan, dan pengalaman organisasi.

f. Penguatan kelembagaan dapat berbentuk forum, perwakilan, dan manajemen komite. Keterkaitan antara level regional dan nasional. Komunitas lokal

12 seringkali kurang mendapat link langsung dengan pasar nasional atau internasional, hal ini menjadi penyebab utama mengapa menfaat ekowisata tidak sampai dinikmati di level masyarakat. Perantara yaitu yang menghubungkan antara aktifitas ekowisata dengan masyarakat dan turis justru memetik keutungan lebih banyak.

Persepsi

Persepsi merupakan suatu gambaran, pengertian, serta interpretasi seseorang terhadap suatu obyek, terutama bagaimana orang menghubungkan informasi yang diperolehnya dengan diri dan lingkungan dimana dia berada. Bentuk persepsi tersebut berbeda pada setiap orang, karena pengaruh latar belakang intelektual, pengalaman emosional, pergaulan, dan sikap seseorang. Sedangkan, kedalaman persepsi akan sebanding dengan kedalaman intelektual dan semakin banyaknya pengalaman emosional yang dialami seseorang (Eckbo 1964). Lebih lanjut Porteous (1977) menambahkan bahwa persepsi akan menentukan tindakan seseorang terhadap lingkungannya. Bentuk obyek yang diamati seseorang salah satunya adalah lanskap, dimana seseorang akan melakukan persepsi terhadap lanskap yang sudah diamatinya (Nasar 1988). Lebih lanjut dinyatakan bahwa persepsi seseorang terhadap kualitas suatu lanskap ditentukan oleh interaksi yang kuat antara variabel lanskap dan pengetahuan seseorang terhadap lanskap tersebut. Hasilnya berupa penilaian yang bagus atau tidak bagus.Tingkat penilaian tersebut tergantung pada kepuasan perasaan seseorang terhadap lanskap tersebut.

Ruang

Ruang merupakan pengembangan dari sebuah bidang.Ruang mempunyai tiga-dimensi (panjang, lebar, dan tinggi), bentuk, permukaan orientasi, dan posisi (Ching 1996). Ching (1996) juga menyatakan bahwa ruang selalu melingkupi keberadaan manusia. Melalui volume ruang manusia bergerak, melihat bentuk, merasakan suara, merasakan angin bertiup, dan mencium bau semerbak bunga ditaman. Bentuk visual ruang, dimensi dan skalanya, dan kualitas cahayanya bergantung pada persepsi kita akan batas-batas ruang yang ditentukan oleh unsure-unsur pembentuknya. Setiap ruang dengan karakteristiknya dapat menyebabkan pengaruh pada pada penghuninya. Simonds (2006) menyatakan bahwa setiap ruang dengan desainnya dapat menyebabkan berbagai respon, antara lain sebagai berikut:

1. Ketegangan (Tension)

Ketegangan pada suatu ruang dapat tercipta dengan adanya bentuk yang tidak stabil pada ruang, warna-warna yang bertabrakan, garis yang membuat ketidak seimbangan secara visual, tidak ada kesempatan mata untuk beristirahat.

13

Permukaan yang tidak halus terpoles kasar atau bergerigi, elemen-elemen yang tidak dikenal, cahaya yang menyilaukan atau gelap, temperatur yang tidak nyaman, dan bunyi yang melengking, berdentang atau mengejutkan membuat perasaan jiwa yang tidak tenang.

2. Relaksasi (Relaxation)

Relaksasi dapat diciptakan oleh ruang yang memiliki karakteristik kesederhanaan, garis yang mengalir. Objek dan material yang sudah dikenal dengan struktur yang jelas dan stabil, horizontal, tekstur yang menyenangkan, bentuk yang menyenangkan dan nyaman.

Pencahayaan yang lembut dengan bunyi yang menenangkan baik kondisi siang maupun malam dengan ukuran ruang yang bervariasi dari intim hingga tak terbatas memberikan suasana jiwa yang lepas tanpa ketegangan.

3. Ketakutan (Fright)

Ruang yang memberikan respon ketakuan memiliki kesan menyekap, jebakan yang terlihat jelas, tidak ada orientasi, area dan ruang tersembunyi. Ruang yang mengambarkan bentuk tingkatan curam miring, retak, bentuk yang tidak

Dokumen terkait