• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika dan Permasalahan Wilayah Peri Urban

Kawasan atau daerah pinggiran kota (peri urban) merupakan salah satu wilayah yang secara fisik berada di pinggir kota (Sari et al. 2007), dipengaruhi oleh perkembangan kota dan menjadi lokasi pilihan utama untuk pengembangan wilayah kota (Sulistiyani 2002). Daerah ini terbentuk karena perkembangan dan rembetan dari daerah inti. Semakin besar interaksi antara daerah inti dengan wilayah pinggirannya maka semakin besar pula perkembangan yang terjadi di wilayah pinggirannya (Giyarsih 2001). Beberapa faktor lain yang mendorong masyarakat beralih ke wilayah pinggiran yaitu: (1) keinginan untuk memiliki ruang yang lebih besar, (2) kenyamanan lingkungan, (3) kebebasan untuk melakukan aktivitas yang tidak diizinkan di kota, (4) tempat menarik untuk membesarkan anak, dan (5) harapan untuk memperoleh keuntungan ekonomi (Sari et al. 2007).

Tingginya kebutuhan akan lahan di wilayah pinggiran tersebut memicu perubahan penggunaan lahan yang umumnya dari lahan pertanian ke non pertanian. Salah satu jenis lahan yang meningkat dengan laju cukup tinggi adalah permukiman. Lebih lanjut, Giyarsih (2001) menyatakan bahwa perubahan lahan yang tinggi menunjukkan suatu wilayah pinggiran yang dinamis.

Kondisi aksesibilitas baik secara fisik dan ekonomi dari wilayah pinggiran terhadap kota besar berdampak terhadap kondisi pertanian dan sosial ekonomi masyarakat. Aksesibilitas berkaitan erat dengan intensitas perubahan pemanfaatan lahan pertanian menjadi pemanfaatan non pertanian. Semakin tinggi derajat aksesibilitas semakin tinggi pula tekanan akan perkembangan pemanfaatan lahan non pertanian dan kondisi ini tercermin dengan tingginya laju konversi lahan pertanian (Hardati 2011). Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan salah satunya adalah perubahan pekerjaan warga dari petani menjadi non petani. Petani yang masih memiliki lahan mayoritas mendatangkan buruh tani dari luar daerah. Bahkan kadang-kadang ada sawah yang terpaksa terbengkalai tidak di garap karena kesulitan mencari buruh tani untuk menggarapnya (Haryono 1999).

Berdasarkan formulasi permasalahan di atas, penelitian ini secara spesifik bertujuan untuk: a) mengkaji dinamika perubahan penggunaan lahan di wilayah pinggiran Jakarta pada tahun 2001 dan 2013, b) menelaah tingkat fragmentasi lahan pertanian dan lahan terbangun di wilayah pinggiran Jakarta, c) menganalisis faktor penyebab terjadinya fragmentasi lahan dan perubahan penggunaan lahan.

TINJAUAN PUSTAKA

Dinamika dan Permasalahan Wilayah Peri Urban

Kawasan atau daerah pinggiran kota (peri urban) merupakan salah satu wilayah yang secara fisik berada di pinggir kota (Sari et al. 2007), dipengaruhi oleh perkembangan kota dan menjadi lokasi pilihan utama untuk pengembangan wilayah kota (Sulistiyani 2002). Daerah ini terbentuk karena perkembangan dan rembetan dari daerah inti. Semakin besar interaksi antara daerah inti dengan wilayah pinggirannya maka semakin besar pula perkembangan yang terjadi di wilayah pinggirannya (Giyarsih 2001). Beberapa faktor lain yang mendorong masyarakat beralih ke wilayah pinggiran yaitu: (1) keinginan untuk memiliki ruang yang lebih besar, (2) kenyamanan lingkungan, (3) kebebasan untuk melakukan aktivitas yang tidak diizinkan di kota, (4) tempat menarik untuk membesarkan anak, dan (5) harapan untuk memperoleh keuntungan ekonomi (Sari et al. 2007).

Tingginya kebutuhan akan lahan di wilayah pinggiran tersebut memicu perubahan penggunaan lahan yang umumnya dari lahan pertanian ke non pertanian. Salah satu jenis lahan yang meningkat dengan laju cukup tinggi adalah permukiman. Lebih lanjut, Giyarsih (2001) menyatakan bahwa perubahan lahan yang tinggi menunjukkan suatu wilayah pinggiran yang dinamis.

Kondisi aksesibilitas baik secara fisik dan ekonomi dari wilayah pinggiran terhadap kota besar berdampak terhadap kondisi pertanian dan sosial ekonomi masyarakat. Aksesibilitas berkaitan erat dengan intensitas perubahan pemanfaatan lahan pertanian menjadi pemanfaatan non pertanian. Semakin tinggi derajat aksesibilitas semakin tinggi pula tekanan akan perkembangan pemanfaatan lahan non pertanian dan kondisi ini tercermin dengan tingginya laju konversi lahan pertanian (Hardati 2011). Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan salah satunya adalah perubahan pekerjaan warga dari petani menjadi non petani. Petani yang masih memiliki lahan mayoritas mendatangkan buruh tani dari luar daerah. Bahkan kadang-kadang ada sawah yang terpaksa terbengkalai tidak di garap karena kesulitan mencari buruh tani untuk menggarapnya (Haryono 1999).

Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhi

Perubahan penggunaan lahan mengandung pengertian terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan industri, fasilitas umum dan sebagainya. Perubahan penggunaan lahan pertanian merupakan ancaman yang serius dan sulit dihindari sementara dampak yang dapat ditimbulkan bersifat permanen, kumulatif dan progresif. Dampak permanen yang ditimbulkan meliputi permasalahan pangan dalam jangka panjang meskipun konversi tidak terjadi lagi. Dampak bersifat kumulatif merupakan akumulasi dari hasil produksi yang setiap tahun mengalami penurunan. Sedangkan dampak bersifat progresif merupakan peningkatan hilangnya produksi pangan dari tahun ke tahun yang semakin besar (Irawan 2005).

Menurut Isa (2014) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain: (1) faktor kependudukan, peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidup masyarakat menyebabkan permintaan akan lahan semakin meningkat seperti permintaan untuk perumahan, industri, tempat rekreasi, fasilitas umum dan sebagainya, (2) kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian yang membutuhkan lahan yang luas seperti real estate, kawasan industri, kawasan perdagangan dan lainnya. Kondisi ini semakin buruk ketika terdapat lahan sawah dengan luasan kecil yang terletak diantara lahan yang terkonversi sehingga petani tidak memiliki pilihan untuk tetap mempertahankan lahan sawahnya, (3) faktor ekonomi, tingginya nilai landrent yang diperoleh dari kegiatan non pertanian dibandingkan dengan kegiatan pertanian sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan konversi lahan pertanian, (4) faktor sosial budaya, keberadaan hukum waris yang menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan pertanian sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, (5) degradasi lingkungan, terjadinya kemarau panjang, hama, rusaknya lingkungan, pencemaran air yang berpotensi merusak kondisi lahan pertanian, (6) otonomi daerah yang lebih mengutamakan pembangunan pada sektor yang memberikan keuntungan yang tinggi dalam jangka pendek daripada memperhatikan kepentingan masyarakat dalam jangka panjang, (7) lemahnya sistem perundang- undangan dan penegakan hukum dari peraturan-peraturan yang ada.

Fragmentasi Lahan

Fragmentasi merupakan proses terjadinya pembagian lahan pertanian menjadi unit-unit (patch) berukuran kecil yang telah mengalami eksploitasi (Hartvigsen 2014). Sedangkan pengertian fragmentasi perkotaan merupakan sebuah fenomena spasial hasil tindakan memisahkan diri, terpecah dari, atau lepas dari struktur kota dan sistem kota. Binns (1950) dalam Hartvigsen (2014) mengidentifikasi empat alasan mendasar yang terkait dengan terjadinya fragmentasi lahan antara lain: (1) kondisi alam atau bencana alam, (2) adanya aktivitas terkait pembangunan seperti pembangunan jalan, kereta api, kanal, dan lain-lain; (3) kegiatan pertanian yang berlebihan, (4) alasan yang tidak termasuk kedalam tiga alasan diatas.

Fragmentasi lahan memberikan kerugian di bidang pertanian. Pertama, fragmentasi menghambat perkembangan pertanian khususnya peningkatan penggunaan mekanisasi dan pengembangan irigasi dan infrastruktur pertanian lainnya. Kedua, fragmentasi menghasilkan berbagai inefisiensi ekonomi melalui pembuangan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, waktu, bahan bakar, dan sebagainya. Ketiga, fragmentasi meningkatkan harga lahan dan pangan (1982) dalam Hartvigsen 2014). Keuntungan yang ditimbulkan oleh fragmentasi antara lain mengurangi resiko gagal panen karena kekeringan, hujan, hama penyakit dan bencana alam. Fragmentasi juga cenderung untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang bertentangan dengan kondisi habitat (Bentley (1987) dalam Hartvigsen 2014).

Perpecahan lahan atau fragmentasi lahan pertanian dapat dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya menurut waktu yaitu permanen dan sementara. Fragmentasi lahan bersifat permanen terjadi karena adanya sistem waris lahan dan jual beli lahan pertanian di masyarakat. Warisan memberikan hak secara penuh kepada ahli waris untuk tetap mempertahankan lahan yang telah dimiliki atau melakukan aktivitas tertentu terhadap lahannya. Petani menganggap bahwa lahan sebagai sumberdaya langka dan menjadi sarana untuk mencari nafkah salah satunya dengan melakukan transaksi jual beli lahan. Fragmentasi lahan yang bersifat sementara terjadi karena sewa-menyewa lahan, bagi hasil dan sistem gadai lahan pertanian. Dalam sewa-menyewa lahan apabila pemilik lahan menyewakan lahan sebagian dari lahannya maka akan terjadi perpecahan lahan. Dengan adanya bagi hasil maka fragmentasi lahan pemilikan dan lahan garapan akan terjadi perbedaan (Susanti et al. 2013).

Analisis Regresi Berganda

Regresi merupakan komponen integral dari setiap analisis data yang bersangkutan dengan menggambarkan hubungan antara variabel tak bebas dengan satu atau lebih variabel bebas. Variabel tak bebas merepresentasikan laju perubahan variabel bebas per unit perubahan variabel tak bebas. Pada metode regresi, terdapat kemungkinan terjadinya peluruhan variabel yang tidak berpengaruh. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan interpetasi terhadap hasil regresi yaitu pertama, menentukan fungsi hubungan antara variabel tak bebas dan variabel bebas. Kedua, menjelaskan unit perubahan untuk variabel bebas (Hosmer et al. 1989).

Dalam analisis regresi berganda terdapat beberapa pelanggaran-pelanggaran yang sering kali dilakukan terhadap asumsi-asumsinya, diantaranya adalah multikolinieritas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Multikolinieritas menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antar variabel. Adanya multikolinieritas dapat ditunjukkan dari nilai VIF (Variance Inflation Factor). Ketika nilai VIF lebih kecil dari 5 maka tidak terjadi multikolinieritas. Nilai VIF lebih dari 5 menunjukkan tejadinya multikolinieritas. Sedangkan nilai VIF lebih dari 10, menunjukkan tingkat multikolinieritas yang tinggi. Heteroskedastisitas terjadi ketika ragam tidak konstan. Pada kondisi ini, peningkatan nilai variabel tak bebas tidak diikuti peningkatan variabel bebas dikarenakan nilai ragam yang tidak

konstan dan nilai ragam sama dengan nilai rataan. Selanjutnya, autokorelasi terjadi ketika adanya hubungan antara variabel error dengan variabel error lainnya. Kondisi ini dapat diketahui dengan metode Durbin-Watson (Neter et al.1990).

Drapper dan Smith. (1998) menyatakan bahwa pengujian regresi linier berganda dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis uji, antara lain:

(1) Uji simultan atau uji F atau uji ragam regresi.

Uji F merupakan pengujian hubungan regresi secara simultan dari variabel-variabel tak bebas yang bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel tak bebas. Bila nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel atau tingkat signifikan lebih kecil dari 5% (α = 5%) maka hipotesis ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh antara variabel tak bebas secara bersama-sama terhadap variabel bebas.

(2) Uji parsial koefisien regreasi atau uji terhadap b1 atau uji t koefisien regresi.

Uji t adalah pengujian koefisien regresi setiap variabel bebas terhadap variabel tak bebas untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Bila thitung lebih besar daripada ttabel atau nilai

signifikan α < 5% maka hipotesis ditolak artinya ada pengaruh antara variabel bebas secara parsial terhadap variabel tak bebas.

(3) Uji koefisien korelasi berganda atau uji R

Koefisien korelasi digunakan untuk menentukan korelasi antara peubah tidak bebas dengan peubah bebas. Koefisien ini disebut dengan koefisien determinasi. Nilai koefisien determinasi dapat diperoleh dengan mengakarkan nilai koefisien determinasi (r2) keseluruhan. Berdasarkan hubungan antar variabel yang satu dengan variabel lainnya dinyatakan dengan koefisien korelasi dimana berkisar antara -1 ≤ r ≤ 1. Jika dua variabel berkorelasi negatif maka nilai koefisien akan mendekati -1, jika dua veriabel tidak berkorelasi maka nilai koefisien korelasinya akan mendekati 0 dan jika dua variabel berkorelasi positif maka nilai koefisien berkorelasinya akan mendekati 1.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Depok dan tiga kecamatan yang terletak di Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Gunung Putri, Gunung Sindur, dan Rumpin. Kecamatan terpilih terletak di pinggiran Jakarta dan berbatasan langsung dengan wilayah administratif Jakarta. Analisis data dilakukan di Studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departeman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung mulai dari bulan Februari 2014 sampai dengan Agustus 2014. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi penelitian

Jenis Data dan Sumber Data

Pada penelitian ini, data primer diperoleh dari hasil survei lapang secara langsung melalui pengamatan dan wawancara kepada Sekretaris Desa atau Kepala Urusan Pemerintah serta perwakilan tiga ketua RT untuk setiap desa. Data spasial yang digunakan berupa peta dasar yaitu peta administrasi serta peta sungai dan jalan dengan skala 1:100.000. Selain itu digunakan pula citra Landsat 7 tahun 2001 dan Landsat 8 tahun 2013 yang diperoleh dari USGS (United States Geological Survey). Peralatan yang digunakan untuk survei lapang adalah perangkat navigasi (Global Positioning System, GPS), kamera digital, alat tulis,

dan kuesioner. Jenis data yang digunakan, teknik analisis dan luaran yang diharapkan menurut tujuan penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis data yang digunakan, teknik analisis, dan luaran yang diharapkan No Tujuan Penelitian Jenis Data Teknik Analisis Luaran yang

Diharapkan 1. Mengkaji dinamika perubahan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2013 Citra Landsat 7 2001 dan Landsat 8 2013, peta administrasi dan peta jalan a) Data fusion, koreksi geometri, digitasi, klasifikasi visual penggunaan lahan

b) Validasi cek lapang

Perubahan penggunaan lahan

2. Menelaah tingkat fragmentasi lahan pertanian dan lahan terbangun Peta penggunaan lahan tahun 2001 dan 2013 a) Analisis data spasial dengan Patch Analysis b)Kuesioner, survei, dan wawancara Nilai indikator fragmentasi lahan Informasi terjadinya fragmentasi lahan di lokasi penelitian 3. Menganalisis faktor penyebab terjadinya fragmentasi lahan dan perubahan penggunaan lahan Data kuesioner desa dan RT a) Analisis multiple regresi b) Survei dan wawancara Faktor penyebab terjadinya fragmentasi lahan dan perubahan penggunaan lahan Analisis Data Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan

Dinamika perubahan penggunaan lahan dianalisis berdasarkan data penggunaan lahan yang diperoleh melalui klasifikasi visual citra Landsat tahun 2001 dan 2013. Gambar 2 menunjukkan bagan alir tahapan analisis. Untuk mengatasi kendala resolusi yang rendah pada citra Landsat maka pengolahan citra diawali dengan melakukan proses fusi data (data fusion) citra dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5. Metode data fusion digunakan untuk menggabungkan suatu citra berspektral ganda (multispectral) yang mempunyai resolusi spasial rendah dengan suatu citra hitam putih atau tingkat keabuan (panchromatic) yang mempunyai resolusi spasial tinggi sehingga akan menghasilkan citra dengan tingkat resolusi yang lebih tinggi. Proses fusi citra dilakukan dengan menggunakan teknik transformasi PC Spectral Sharpening. Metode PC Spectral Sharpening menghasilkan citra yang hampir sama dengan citra asli yang ditunjukkan dengan kanal-kanal warna yang terang dan juga kenampakan spasial yang dihasilkan tajam sehingga memudahkan dalam tahap klasifikasi (Nurhayati et al. 2012). Hasil fusi citra menunjukkan tampilan citra yang lebih jelas dibandingkan dengan proses penampalan (stacking). Hal ini terlihat pada perubahan resolusi spasial citra Landsat dimana resolusi spasial sebelum dilakukan proses fusi adalah 30 meter dan mengalami perubahan menjadi 15 meter setelah dilakukan proses tersebut. Tampilan citra yang lebih jelas memudahkan dalam melakukan digitasi dan klasifikasi penggunaan lahan.

Gambar 2. Bagan alir analisis data penggunaan lahan

Selanjutnya data hasil fusi dikoreksi secara geometri. Koreksi geometri berguna untuk menyamakan koordinat citra dengan koordinat sesungguhnya di permukaan bumi sehingga akan menghasilkan data yang kompatibel. Sistem proyeksi yang digunakan adalah sistem UTM dengan datum WGS 84 zona 48S. Citra Landsat 7 dan Landsat 8 terlebih dahulu direktifikasi dengan peta jalan dan sungai Jawa Barat. Koreksi goemetri dilakukan dengan menggunakan ArcGIS 9.3 dengan menentukan titik kontrol (Ground Control Point).

Citra hasil fusi yang telah dikoreksi selanjutnya didigitasi dengan menggunakan Arcview GIS 3.2 dengan skala 1:25000 berdasarkan penggunaan lahannya sehingga menghasilkan peta penggunaan lahan saat ini. Klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian ini dibedakan menjadi sembilan tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, kebun campuran, sawah, permukiman, emplasemen, kebun karet, kebun kelapa, hutan dan galian C.

Pengecekan Lapang

Pengecekan lapang bertujuan untuk memvalidasi hasil interpretasi visual citra dengan kondisi aktual yang terjadi di lapangan sehingga hasil interpretasi visual citra memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Pada tahap ini, perangkat navigasi GPS, kamera digital dan kuesioner telah digunakan. Pengecekan lapang dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada para perangkat desa dan ketua RT di setiap desa sebagai responden. Lokasi pengecekan lapang di tiga kecamatan yang terletak di Kabupaten Bogor meliputi Kecamatan Gunung Putri, Gunung Sindur dan Rumpin serta perwakilan 15 kelurahan di Kota Depok yang berbatasan dengan Jakarta. Perwakilan titik cek lapang untuk ketua RT ditentukan dengan mempertimbangkan jarak terdekat, sedang dan terjauh dari kantor desa atau

Klasifikasi visual dan digitasi Koreksi geometri Citra Landsat 8 tahun 2013 Citra Landsat 7 tahun 2001 Fusi data antara citra berspektral ganda dengan citra hitam putih Cek lapang Citra Landsat 8 tahun 2013 terkoreksi Citra Landsat 7 tahun 2001 terkoreksi Penggunaan lahan tahun 2001 dan 2013 Fusi data antara citra berspektral ganda dengan citra hitam putih

kelurahan. Pengambilan titik cek lapang di tiga kecamatan pada Kabupaten Bogor sebanyak tiga titik untuk perwakilan ketua RT dan satu titik untuk perwakilan kantor desa atau kelurahan. Sedangkan untuk Kota Depok diambil perwakilan satu titik cek lapang untuk ketua RT dan satu titik untuk perwakilan kantor desa atau kelurahan. Jumlah titik sampling dalam penelitian ini sebanyak 163 titik. Sebaran titik contoh disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Sebaran titik sampling cek lapang di Kota Depok dan Bogor

Analisis Fragmentasi Lahan dengan Patch Analysis

Hasil interpretasi citra selanjutnya direklasifikasi menjadi dua kategori yaitu lahan pertanian dan lahan terbangun, sehingga pada analisis fragmentasi lahan pertanian, terdapat dua kelas yaitu lahan pertanian dan bukan lahan pertanian (lahan terbangun). Sedangkan pada analisis fragmentasi lahan terbangun, terdapat dua penggunaan lahan yaitu lahan terbangun dan lahan non terbangun (lahan pertanian).

Penggunaan lahan yang termasuk dalam kategori lahan pertanian dalam penelitian ini antara lain sawah, kebun campuran, perkebunan karet, perkebunan kelapa, badan air, dan hutan. Kategori untuk lahan non pertanian (terbangun) antara lain permukiman, emplasemen, dan galian C. Gambar 4 menyajikan alur analisis fragmentasi lahan dengan parameter yang digunakan untuk mengetahui tingkat fragmentasi dalam penelitian ini antara lain NumP (Number of Patch), MPS (Mean Patch Size) dan TE (Total Edge). NumP menunjukkan total jumlah patch yang terdapat pada lanskap. MPS adalah ukuran rata-rata luas dari kelas penggunaan, merepresentasikan luasan rata-rata dari total keseluruhan lanskap. Menurut Dewan et al. (2012) luas rata-rata dapat berfungsi sebagai indeks

jenis penggunaan tertentu dari patch. Indeks ini menunjukkan bentuk tepi dari patch, TE bernilai ≥ 0. TE = 0, jika tidak ada tepi kelas pada lanskap. TE > 0, jika tepi patch semakin besar yang berarti bahwa bentuk patch semakin tidak beraturan dan tingkat fragmentasi semakin tingi (Gunawan et al. 2013).

Gambar 4. Alur analisis fragmentasi lahan

Analisis Faktor Penyebab Terjadinya Fragmentasi Lahan

Analisis regresi adalah teknik statistika yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas (independent variable) dan variabel tak bebas (dependent variable) (Hosmer et al. 1989). Dalam penelitian ini digunakan analisis regresi berganda (multiple regression) untuk menganalisis hubungan antara variabel terkait fragmentasi (Y) dengan beberapa variabel bebas (X). Metode ini dipilih karena variabel bebas lebih banyak dari variabel tak bebas. Jenis variabel-variabel yang digunakan tersaji pada Tabel 2. Variabel tak bebas yang digunakan antara lain perubahan nilai NumP, MPS, dan TE lahan pertanian serta perubahan nilai NumP, MPS, dan TE lahan terbangun. Sedangkan variabel bebas yang digunakan pada skala desa berjumlah 24 variabel sedangkan untuk RT sebesar 16 variabel (Tabel 2).

Secara matematis bentuk umum dari analisis regresi logistik berganda adalah sebagai berikut (Hosmer et al. 1989)

Keterangan: Yi : Peubah tak bebas

βo : Konstanta / Intercept

β1... βp : Koefisien arah garis regresi Xk : Peubah bebas

ε : Error / Galat / komponen stokastik

Sembilan kelas penggunaan lahan Tahap segmentasi Tahap klasifikasi Kategori lahan non terbangun Kategori lahan terbangun Kategori lahan non pertanian Kategori lahan pertanian Analisis fragmentasi dengan Patch Analysis pada ArcView 3.2

Parameter fragmentasi

Tabel 2. Variabel dalam analisis regresi berganda

Variabel Tak Bebas Variabel Bebas

Desa RT Desa RT 1. Y1.1 = Perubahan NumP PTN 2. Y1.2 = Perubahan MPS PTN 3. Y1.3 = Perubahan TE PTN 4. Y1.4 = Perubahan NumP TBN 5. Y1.5 = Perubahan MPS TBN 6. Y1.6 = Perubahan TE TBN 1. Y2.1 = Perubahan NumP PTN 2. Y2.2 = Perubahan MPS PTN 3. Y2.3 = Perubahan TE PTN 4. Y2.4 = Perubahan NumP TBN 5. Y2.5 = Perubahan MPS TBN 6. Y2.6 = Perubahan TE TBN 1. X1.1 = Pertumbuhan penduduk 2. X1.2 = Rata-rata jumlah anak per KK 3. X1.3 = Jumlah KK 4. X1.4 = Persentase

pekerjaan petani 5. X1.5 = Persentase

pekerjaan non petani 6. X1.6 = Jumlah kelompok tani 7. X1.7 = Ukuran rumah 8. X1.8 = Ukuran rumah dan pekarangan 9. X1.9 = Persentase kepemilikan lahan absentee 10. X1. 10 = Jumlah PBB 11. X1.11 = Persentase peningkatan pajak 12. X1.12 = Harga transaksi lahan 13. X1.13 = Harga sawah dekat jalan 14. X1.14 = Harga sawah jauh dari jalan 15. X1.15 = Harga lahan

non sawah dekat jalan

16. X1.16 = Harga lahan non sawah jauh dari jalan

17. X1.17 = Ukuran sawah 18. X1.18 = Panjang

dilalui jalan tol 19. X1.19 = Panjang

dilalui jalan Negara 20. X1.20 = Jarak ke jalan tol 21. X1.21 = Jarak ke kota desa 22. X1.22 = Jarak ke kota atau kabupaten 23. X1.23 = Waktu tempuh ke kecamatan 24. X1.24 = Waktu tempuh ke kabupaten 1. X2.1 = Pertumbuhan warga 2. X2.2 = Rata-rata pertambahan KK tiap RT 3. X2.3 = Rata-rata jumlah anak per KK 4. X2.4 = Persentase

pekerjaan petani 5. X2.5 = Persentase

pekerjaan non petani 6. X2.6 = Persentase

lahan pertanian warga pribumi

7. X2.7 = Persentase lahan pertanian warga non pribumi

8. X2.8 = Luas lahan pertanian milik warga pribumi

9. X2.9 = Luas lahan pertanian milik warga non pribumi 10. X2.10 = Persentase kepemilikan lahan absentee 11. X2.11 = Ukuran rumah 12. X2.12 = Ukuran rumah dan pekarangan 13. X2.13 = Ukuran rata-

rata luas sawah 14. X2.14 = Jarak ke jalan tol 15. X2.15 = Jarak ke balai desa 16. X2.16 = Waktu tempuh ke balai desa

Sumber : Hasil wawancara kepada aparat desa dan ketua RT Keterangan : TBN (lahan terbangun), PTN (lahan pertanian)

koefisien determinan, koefisien regresi, nilai galat baku koefisien dan peluang kesalahan setiap koefisien. Koefisien dengan nilai p kurang dari 0.5 dinyatakan sebagai penanda bahwa variabel terkait nyata secara statistik dengan tingkat kesalahan kurang dari 5%. Selanjutnya juga dihitung koefisien untuk mengetahui keterkaitan antar variabel. Koefisien korelasi antara variabel X dan Y dihitung dengan persamaan berikut:

Keterangan r : Koefisien korelasi Yi : Peubah tak bebas

Dokumen terkait