• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN DAN

FRAGMENTASI LAHAN DI WILAYAH PINGGIRAN

JAKARTA

NUNING EMIASIH

ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

(4)

ABSTRAK

NUNING EMIASIH. Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta. Dibimbing oleh DYAH RETNO PANUJU dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Tingginya aktivitas di suatu wilayah akan berdampak terhadap peningkatan perubahan penggunaan lahan dan perubahan struktur lanskap yang berasosiasi dengan tingkat fragmentasi lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan penggunaan lahan dan tingkat fragmentasi lahan pertanian serta lahan terbangun di wilayah pinggiran Jakarta. Keberadaan sawah, galian C dan hutan menambah dinamika perubahan penggunaan lahan di wilayah kajian secara signifikan. Hasil analisis fragmentasi lahan pertanian menunjukkan bahwa kecamatan yang berdekatan dengan kota besar cenderung memiliki parameter NumP rendah, yang mengindikasikan bahwa poligon kawasan terbangun telah menyatu menjadi satu kesatuan poligon yang kompak. Wilayah yang dipengaruhi oleh kota besar yaitu Jakarta dan Kota Depok memiliki laju penurunan nilai NumP dan TE yang kecil sedangkan nilai MPS dipengaruhi oleh kedekatan dengan Kota Depok. Analisis fragmentasi lahan terbangun menunjukkan bahwa wilayah di pinggiran kota besar memiliki laju peningkatan nilai NumP dan TE yang lebih kecil serta penurunan nilai MPS yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah yang jauh dari kota besar. NumP, TE dan MPS dapat digunakan untuk mengetahui laju pembangunan dan pola pembangunan di suatu wilayah. Wilayah yang dipengaruhi kota besar cenderung mengalami laju pembangunan yang lebih rendah dan stabil dengan pola lahan terbangun yang relatif lebih homogen sedangkan wilayah yang berjauhan dengan kota besar cenderung mengalami laju pembangunan yang lebih besar dan kompleks dengan pola lahan terbangun yang cenderung lebih heterogen. Hasil analisis regresi berganda untuk skala desa dan RT menunjukkan variabel utama yang berpengaruh terhadap fragmentasi lahan pertanian adalah kepemilikan lahan dan aksesibilitas sedangkan terhadap lahan terbangun adalah kepemilikan lahan, harga lahan dan aksesibilitas.

(5)

NUNING EMIASIH. Spatial Analysis of Land Use Change and Land Fragmentation in The Fringe Teritory of Jakarta. Supervised by DYAH RETNO PANUJU dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Human activities will affect on an increasing of land-use change and landscape structure associated with the level of land fragmentation. This research aims to assess the dynamics of land use change and the fragmentation level of agricultural land and built-up land in peri urban of Jakarta. The existence of paddy fields, excavation C and forests accelerate the dynamics of land use change significantly in the study area. The result of agricultural land fragmentation analysis shows that districts which were closer to large cities tend to have lower NumP parameter, which indicates that built-up polygon has united into a single compact polygon. Areas affected by major cities i.e Jakarta and Depok has small TE and NumP, while MPS value was only influenced by the proximity to Depok. The analysis of built-up land fragmentation shows that the fringe of big city has a smaller rate of NumP and TE and more significant decrease of MPS compared to region farther from the big city. NumP, TE and MPS can be used to determine the rate of development and the pattern of development in the region. Areas affected by large cities are likely to have a stable lower rate of development with a homogeneous built-up land, whereas the distant regions to big cities are possibly to have a complex and greater rate of development with a heterogeneous built-up land. The results of multiple regression analysis for the village and neighborhood (RT) scale show that the main variables influencing agricultural land fragmentation are land ownership and accessibility, while factors affecting built-up land fragmentation are land ownership, land prices and accessibility.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

ANALISIS SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN DAN

FRAGMENTASI LAHAN DI WILAYAH PINGGIRAN

JAKARTA

ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

(7)

Wilayah Pinggiran Jakarta Nama : Nuning Emiasih

NIM : A14100008

Disetujui oleh

Dyah Retno Panuju, MSi Pembimbing I

Bambang Hendro Trisasongko, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Judul penelitian ini adalah Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta dalam proses penyelesaian penelitian ini banyak pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Dyah Retno Panuju, MSi dan Bambang H. Trisasongko, MSc selaku pembimbing atas segala nasehat, bimbingan, arahan, motivasi, kesabaran, dan keikhlasan yang telah diberikan selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Khursatul Munibah, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan

motivasi, saran, dan masukannya.

3. Kedua orang tua tercinta, Bapak Sriyono dan Ibu Danisih, kakak dan kakak ipar tercinta Sutono dan Setyorini serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, motivasi, perhatian, pengorbanan, cinta, dan kasih sayang. 4. Instansi-instansi di Kabupaten Bogor, diantaranya Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah (Bappeda), Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Dinas Pertanian, Dinas Tata Ruang serta beberapa instansi lainnya yaitu Kecamatan Gunung Putri, Gunung Sindur, Rumpin dan seluruh kecamatan di Kota Depok atas kerjasama dalam memberikan informasi dan data yang diperlukan.

5. Kepala desa, ketua RT, masyarakat Kecamatan Gunung Putri, Gunung Sindur, Rumpin, dan Kota Depok dan seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian ini atas kebersamaannya selama di lapangan, kerjasama, motivasi, dan keterbukaannya dalam memberikan informasi dan data yang diperlukan. 6. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang

telah memberikan ilmu, nasehat, dan kerjasamanya.

7. Seluruh Sahabat Soil Science ’47 terutama Yolla Vivi, Tri Mulyani, Ardiya, Karjono, Mifta, Sudi, Aliyah, Lela Antikawati, Dinda S, Yani, Ria, dan Elianah yang telah memberikan doa, semangat, kebersamaan, dan kasih sayang selama ini.

8. Sahabat seperjuangan Lab. Bangwil (Zulfa, Fia, Angel, Dwi, Aeni, Salimah, Andang, Ardy, Bolo), Bangwilers senior khususnya Mbak Ian, Mbak Karin, dan Mbak Wida, atas doa, motivasi, kebersamaan, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menambah wawasan pembaca.

Bogor, Januari 2015

(9)

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Dinamika dan Permasalahan Wilayah Peri Urban 2

Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhi 3

Fragmentasi Lahan 3

Analisis Regresi Berganda 4

METODE PENELITIAN 6

Lokasi dan Waktu Penelitian 6

Jenis Data dan Sumber Data 6

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan 12

Keterkaitan Lokasi Penelitian dengan Pusat-pusat Kota di Jabodetabek dan

Perubahan Parameter Fragmentasi 16

Hubungan Parameter Fragmentasi Lahan Pertanian dan Jarak Kecamatan

Terhadap Kota Besar 18

Hubungan Parameter Fragmentasi Lahan Terbangun dan Jarak Kecamatan

Terhadap Kota Besar 23

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Fragmentasi Lahan 30

SIMPULAN DAN SARAN 34

Simpulan 34

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 39

(10)

DAFTAR TABEL

1. Jenis data yang digunakan, teknik analisis, dan luaran yang

diharapkan 7

2. Variabel dalam analisis regresi berganda 11

3. Matrik transisi perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian

(ha) 13

4. Jarak kecamatan dengan kota besar 18

5. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan

pertanian skala desa 30

6. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan

pertanian skala RT 31

7. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan

terbangun skala desa 32

8. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan

terbangun skala RT 33

DAFTAR GAMBAR

1. Lokasi penelitian 6

2. Bagan alir analisis data penggunaan lahan 8

3. Sebaran titik sampling cek lapang di Kota Depok dan Bogor 9

4. Alur analisis fragmentasi lahan 10

5. Hasil pengamatan di lapang dan sebaran titik di lokasi penelitian 14 6. Perbandingan luasan perubahan penggunaan lahan antar

kecamatan 15

7. Hubungan jarak lokasi penelitian ke kota besar dengan perubahan NumP lahan terbangun (a), MPS lahan terbangun (b), TE lahan terbangun (c), NumP lahan pertanian (d), MPS lahan pertanian (e),

TE lahan pertanian (f) 17

8. Boxplot nilai NumP lahan pertanian (PTN) tahun 2001-2013 (a),

nilai MPS (b), nilai TE (c) 19

9. Boxplot nilai NumP lahan pertanian (PTN) antar kecamatan tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c) 21 10.Poligon lahan pertanian Kecamatan Rumpin tahun 2001 (a),

Kecamatan Rumpin tahun 2013 (b), Kecamatan Beji tahun 2001

(c), Kecamatan Beji tahun 2013 (d) 22

11.Boxplot nilai NumP lahan terbangun (TBN) tahun 2001-2013 (a),

nilai MPS (b), nilai TE (c) 24

12.Boxplot nilai NumP lahan terbangun (TBN) antar kecamatan tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c) 26 13.Poligon lahan terbangun Kecamatan Rumpin tahun 2001 (a),

Kecamatan Rumpin tahun 2013 (b), Kecamatan Beji tahun 2001

(c), Kecamatan Beji tahun 2013 (d) 27

14.Poligon lahan terbangun Kecamatan Cimanggis dan Sawangan tahun 2001 (a), Kecamatan Cimanggis dan Sawangan tahun 2013

(11)

1. Dokumentasi kondisi lahan terbangun dan lahan pertanian di lokasi

penelitian serta wawancara terfokus 39

2. Luas perubahan penggunaan lahan tiap kecamatan (ha) 40

3. Hasil analisis fragmentasi lahan pertanian 41

4. Hasil analisis fragmentasi lahan terbangun 41

5. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian skala

desa 42

6. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian skala

RT 44

7. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan terbangun skala

desa 45

8. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan terbangun skala

(12)
(13)

Penggunaan lahan merupakan wujud aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan (Oyinloye et al. 2011). Semakin intensifnya aktivitas manusia di suatu wilayah akan berdampak terhadap peningkatan perubahan penggunaan lahan (Purwantoro et al. 2013). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya perubahan penggunaan lahan disebabkan beragamnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, faktor sosial ekonomi dan tingginya pertumbuhan penduduk (Bereitschaft et al. 2007, Cakir et al. 2008, Dewan et al. 2012). Lebih lanjut, Kamusoko et al. (2007) menyatakan bahwa selain berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan, aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap keseimbangan distribusi lahan, penyempitan lahan dan perubahan struktur lanskap yang berasosiasi terhadap tingkat fragmentasi lahan.

Fragmentasi lahan dapat terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Berdasarkan hasil penelitian Bereitschaft et al. (2014), pertumbuhan perkotaan yang cepat dan kompleks menyebabkan tingkat fragmentasi lahan yang lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Tingginya fragmentasi lahan di perkotaan secara tidak langsung akan mempengaruhi daerah di sekitarnya yang disebut dengan daerah pinggiran kota. Wilayah pinggiran kota merupakan zona transisi antara daerah perkotaan dan perdesaan dengan dominasi lahan pertanian dimana karakteristiknya dipengaruhi oleh kombinasi penggunaan lahan dengan perubahan sosial yang dinamis. Ketersediaan lahan yang masih luas dan kemudahan aksesibilitas menjadikan wilayah pinggiran kota sebagai alternatif untuk melakukan investasi dan menjadi tujuan tempat tinggal bagi para pendatang. Kondisi ini menyebabkan penurunan sektor pertanian dan peningkatan sektor infrastruktur serta terjadinya konflik kepentingan antar berbagai aktor didalamnya (Sari et al. 2007).

Salah satu contoh konflik kepentingan yang dimaksud adalah ketidakmampuan petani dalam mempertahankan lahan akibat tekanan investor untuk membangun infrastruktur, akibatnya kepemilikan lahan pertanian pun semakin sempit dan memicu terjadinya fragmentasi lahan (Firman 2000). Kondisi ini akan berdampak cukup besar dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya dan pengaturan pemanfaatan ruang di suatu wilayah (Serrano et al. 2002). Dampak lain yang ditimbulkan diantaranya penurunan luas lahan garapan, penurunan produksi primer, perubahan komposisi dan konfigurasi yang ditandai dengan penurunan penggunaan lahan serta perubahan karakteristik spasial (Dewan et al. 2012, Kamusoko et al. 2007).

(14)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan formulasi permasalahan di atas, penelitian ini secara spesifik bertujuan untuk: a) mengkaji dinamika perubahan penggunaan lahan di wilayah pinggiran Jakarta pada tahun 2001 dan 2013, b) menelaah tingkat fragmentasi lahan pertanian dan lahan terbangun di wilayah pinggiran Jakarta, c) menganalisis faktor penyebab terjadinya fragmentasi lahan dan perubahan penggunaan lahan.

TINJAUAN PUSTAKA

Dinamika dan Permasalahan Wilayah Peri Urban

Kawasan atau daerah pinggiran kota (peri urban) merupakan salah satu wilayah yang secara fisik berada di pinggir kota (Sari et al. 2007), dipengaruhi oleh perkembangan kota dan menjadi lokasi pilihan utama untuk pengembangan wilayah kota (Sulistiyani 2002). Daerah ini terbentuk karena perkembangan dan rembetan dari daerah inti. Semakin besar interaksi antara daerah inti dengan wilayah pinggirannya maka semakin besar pula perkembangan yang terjadi di wilayah pinggirannya (Giyarsih 2001). Beberapa faktor lain yang mendorong masyarakat beralih ke wilayah pinggiran yaitu: (1) keinginan untuk memiliki ruang yang lebih besar, (2) kenyamanan lingkungan, (3) kebebasan untuk melakukan aktivitas yang tidak diizinkan di kota, (4) tempat menarik untuk membesarkan anak, dan (5) harapan untuk memperoleh keuntungan ekonomi (Sari et al. 2007).

Tingginya kebutuhan akan lahan di wilayah pinggiran tersebut memicu perubahan penggunaan lahan yang umumnya dari lahan pertanian ke non pertanian. Salah satu jenis lahan yang meningkat dengan laju cukup tinggi adalah permukiman. Lebih lanjut, Giyarsih (2001) menyatakan bahwa perubahan lahan yang tinggi menunjukkan suatu wilayah pinggiran yang dinamis.

(15)

Perubahan penggunaan lahan mengandung pengertian terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan industri, fasilitas umum dan sebagainya. Perubahan penggunaan lahan pertanian merupakan ancaman yang serius dan sulit dihindari sementara dampak yang dapat ditimbulkan bersifat permanen, kumulatif dan progresif. Dampak permanen yang ditimbulkan meliputi permasalahan pangan dalam jangka panjang meskipun konversi tidak terjadi lagi. Dampak bersifat kumulatif merupakan akumulasi dari hasil produksi yang setiap tahun mengalami penurunan. Sedangkan dampak bersifat progresif merupakan peningkatan hilangnya produksi pangan dari tahun ke tahun yang semakin besar (Irawan 2005).

Menurut Isa (2014) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain: (1) faktor kependudukan, peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidup masyarakat menyebabkan permintaan akan lahan semakin meningkat seperti permintaan untuk perumahan, industri, tempat rekreasi, fasilitas umum dan sebagainya, (2) kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian yang membutuhkan lahan yang luas seperti real estate, kawasan industri, kawasan perdagangan dan lainnya. Kondisi ini semakin buruk ketika terdapat lahan sawah dengan luasan kecil yang terletak diantara lahan yang terkonversi sehingga petani tidak memiliki pilihan untuk tetap mempertahankan lahan sawahnya, (3) faktor ekonomi, tingginya nilai landrent yang diperoleh dari kegiatan non pertanian dibandingkan dengan kegiatan pertanian sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan konversi lahan pertanian, (4) faktor sosial budaya, keberadaan hukum waris yang menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan pertanian sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, (5) degradasi lingkungan, terjadinya kemarau panjang, hama, rusaknya lingkungan, pencemaran air yang berpotensi merusak kondisi lahan pertanian, (6) otonomi daerah yang lebih mengutamakan pembangunan pada sektor yang memberikan keuntungan yang tinggi dalam jangka pendek daripada memperhatikan kepentingan masyarakat dalam jangka panjang, (7) lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan-peraturan yang ada.

Fragmentasi Lahan

(16)

Fragmentasi lahan dapat memberikan keuntungan dan kerugian. Fragmentasi lahan memberikan kerugian di bidang pertanian. Pertama, fragmentasi menghambat perkembangan pertanian khususnya peningkatan penggunaan mekanisasi dan pengembangan irigasi dan infrastruktur pertanian lainnya. Kedua, fragmentasi menghasilkan berbagai inefisiensi ekonomi melalui pembuangan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, waktu, bahan bakar, dan sebagainya. Ketiga, fragmentasi meningkatkan harga lahan dan pangan (1982) dalam Hartvigsen 2014). Keuntungan yang ditimbulkan oleh fragmentasi antara lain mengurangi resiko gagal panen karena kekeringan, hujan, hama penyakit dan bencana alam. Fragmentasi juga cenderung untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang bertentangan dengan kondisi habitat (Bentley (1987) dalam Hartvigsen 2014).

Perpecahan lahan atau fragmentasi lahan pertanian dapat dikelompokkan berdasarkan karakteristiknya menurut waktu yaitu permanen dan sementara. Fragmentasi lahan bersifat permanen terjadi karena adanya sistem waris lahan dan jual beli lahan pertanian di masyarakat. Warisan memberikan hak secara penuh kepada ahli waris untuk tetap mempertahankan lahan yang telah dimiliki atau melakukan aktivitas tertentu terhadap lahannya. Petani menganggap bahwa lahan sebagai sumberdaya langka dan menjadi sarana untuk mencari nafkah salah satunya dengan melakukan transaksi jual beli lahan. Fragmentasi lahan yang bersifat sementara terjadi karena sewa-menyewa lahan, bagi hasil dan sistem gadai lahan pertanian. Dalam sewa-menyewa lahan apabila pemilik lahan menyewakan lahan sebagian dari lahannya maka akan terjadi perpecahan lahan. Dengan adanya bagi hasil maka fragmentasi lahan pemilikan dan lahan garapan akan terjadi perbedaan (Susanti et al. 2013).

Analisis Regresi Berganda

Regresi merupakan komponen integral dari setiap analisis data yang bersangkutan dengan menggambarkan hubungan antara variabel tak bebas dengan satu atau lebih variabel bebas. Variabel tak bebas merepresentasikan laju perubahan variabel bebas per unit perubahan variabel tak bebas. Pada metode regresi, terdapat kemungkinan terjadinya peluruhan variabel yang tidak berpengaruh. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan interpetasi terhadap hasil regresi yaitu pertama, menentukan fungsi hubungan antara variabel tak bebas dan variabel bebas. Kedua, menjelaskan unit perubahan untuk variabel bebas (Hosmer et al. 1989).

(17)

terjadi ketika adanya hubungan antara variabel error dengan variabel error lainnya. Kondisi ini dapat diketahui dengan metode Durbin-Watson (Neter et al.1990).

Drapper dan Smith. (1998) menyatakan bahwa pengujian regresi linier berganda dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis uji, antara lain:

(1) Uji simultan atau uji F atau uji ragam regresi.

Uji F merupakan pengujian hubungan regresi secara simultan dari variabel-variabel tak bebas yang bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel tak bebas. Bila nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel atau tingkat signifikan lebih kecil dari 5% (α = 5%) maka hipotesis ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh antara variabel tak bebas secara bersama-sama terhadap variabel bebas.

(2) Uji parsial koefisien regreasi atau uji terhadap b1 atau uji t koefisien regresi.

Uji t adalah pengujian koefisien regresi setiap variabel bebas terhadap variabel tak bebas untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Bila thitung lebih besar daripada ttabel atau nilai

signifikan α < 5% maka hipotesis ditolak artinya ada pengaruh antara variabel bebas secara parsial terhadap variabel tak bebas.

(3) Uji koefisien korelasi berganda atau uji R

(18)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Depok dan tiga kecamatan yang terletak di Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Gunung Putri, Gunung Sindur, dan Rumpin. Kecamatan terpilih terletak di pinggiran Jakarta dan berbatasan langsung dengan wilayah administratif Jakarta. Analisis data dilakukan di Studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departeman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung mulai dari bulan Februari 2014 sampai dengan Agustus 2014. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi penelitian

Jenis Data dan Sumber Data

(19)

diharapkan menurut tujuan penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis data yang digunakan, teknik analisis, dan luaran yang diharapkan No Tujuan Penelitian Jenis Data Teknik Analisis Luaran yang

Diharapkan

Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan

(20)

Gambar 2. Bagan alir analisis data penggunaan lahan

Selanjutnya data hasil fusi dikoreksi secara geometri. Koreksi geometri berguna untuk menyamakan koordinat citra dengan koordinat sesungguhnya di permukaan bumi sehingga akan menghasilkan data yang kompatibel. Sistem proyeksi yang digunakan adalah sistem UTM dengan datum WGS 84 zona 48S. Citra Landsat 7 dan Landsat 8 terlebih dahulu direktifikasi dengan peta jalan dan sungai Jawa Barat. Koreksi goemetri dilakukan dengan menggunakan ArcGIS 9.3 dengan menentukan titik kontrol (Ground Control Point).

Citra hasil fusi yang telah dikoreksi selanjutnya didigitasi dengan menggunakan Arcview GIS 3.2 dengan skala 1:25000 berdasarkan penggunaan lahannya sehingga menghasilkan peta penggunaan lahan saat ini. Klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian ini dibedakan menjadi sembilan tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, kebun campuran, sawah, permukiman, emplasemen, kebun karet, kebun kelapa, hutan dan galian C.

Pengecekan Lapang

Pengecekan lapang bertujuan untuk memvalidasi hasil interpretasi visual citra dengan kondisi aktual yang terjadi di lapangan sehingga hasil interpretasi visual citra memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Pada tahap ini, perangkat navigasi GPS, kamera digital dan kuesioner telah digunakan. Pengecekan lapang dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada para perangkat desa dan ketua RT di setiap desa sebagai responden. Lokasi pengecekan lapang di tiga kecamatan yang terletak di Kabupaten Bogor meliputi Kecamatan Gunung Putri, Gunung Sindur dan Rumpin serta perwakilan 15 kelurahan di Kota Depok yang berbatasan dengan Jakarta. Perwakilan titik cek lapang untuk ketua RT ditentukan dengan mempertimbangkan jarak terdekat, sedang dan terjauh dari kantor desa atau

(21)

sebanyak tiga titik untuk perwakilan ketua RT dan satu titik untuk perwakilan kantor desa atau kelurahan. Sedangkan untuk Kota Depok diambil perwakilan satu titik cek lapang untuk ketua RT dan satu titik untuk perwakilan kantor desa atau kelurahan. Jumlah titik sampling dalam penelitian ini sebanyak 163 titik. Sebaran titik contoh disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Sebaran titik sampling cek lapang di Kota Depok dan Bogor

Analisis Fragmentasi Lahan dengan Patch Analysis

Hasil interpretasi citra selanjutnya direklasifikasi menjadi dua kategori yaitu lahan pertanian dan lahan terbangun, sehingga pada analisis fragmentasi lahan pertanian, terdapat dua kelas yaitu lahan pertanian dan bukan lahan pertanian (lahan terbangun). Sedangkan pada analisis fragmentasi lahan terbangun, terdapat dua penggunaan lahan yaitu lahan terbangun dan lahan non terbangun (lahan pertanian).

(22)

fragmentasi dari habitat. Sedangkan TE merupakan ukuran panjang total tepi dari jenis penggunaan tertentu dari patch. Indeks ini menunjukkan bentuk tepi dari patch, TE bernilai ≥ 0. TE = 0, jika tidak ada tepi kelas pada lanskap. TE > 0, jika tepi patch semakin besar yang berarti bahwa bentuk patch semakin tidak beraturan dan tingkat fragmentasi semakin tingi (Gunawan et al. 2013).

Gambar 4. Alur analisis fragmentasi lahan

Analisis Faktor Penyebab Terjadinya Fragmentasi Lahan

Analisis regresi adalah teknik statistika yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas (independent variable) dan variabel tak bebas (dependent variable) (Hosmer et al. 1989). Dalam penelitian ini digunakan analisis regresi berganda (multiple regression) untuk menganalisis hubungan antara variabel terkait fragmentasi (Y) dengan beberapa variabel bebas (X). Metode ini dipilih karena variabel bebas lebih banyak dari variabel tak bebas. Jenis variabel-variabel yang digunakan tersaji pada Tabel 2. Variabel tak bebas yang digunakan antara lain perubahan nilai NumP, MPS, dan TE lahan pertanian serta perubahan nilai NumP, MPS, dan TE lahan terbangun. Sedangkan variabel bebas yang digunakan pada skala desa berjumlah 24 variabel sedangkan untuk RT sebesar 16 variabel (Tabel 2).

Secara matematis bentuk umum dari analisis regresi logistik berganda adalah sebagai berikut (Hosmer et al. 1989)

(23)

Variabel Tak Bebas Variabel Bebas

(24)

Dari analisis regresi tersebut dihitung beberapa parameter antara lain koefisien determinan, koefisien regresi, nilai galat baku koefisien dan peluang kesalahan setiap koefisien. Koefisien dengan nilai p kurang dari 0.5 dinyatakan sebagai penanda bahwa variabel terkait nyata secara statistik dengan tingkat kesalahan kurang dari 5%. Selanjutnya juga dihitung koefisien untuk mengetahui keterkaitan antar variabel. Koefisien korelasi antara variabel X dan Y dihitung dengan persamaan berikut:

Keterangan r : Koefisien korelasi Yi : Peubah tak bebas X1i : Peubah bebas

n : Jumlah data

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan

Interpretasi visual yang dilakukan pada penelitian ini mencangkup sembilan kelas penggunaan lahan antara lain badan air (BA), emplasemen (EMP), galian C (GAL-C), kebun campuran (KC), perkebunan karet (KRT), perkebunan kelapa (KLP), hutan (HTN), permukiman (PMK), dan sawah (SWH). Hasil interpretasi selanjutnya dibandingkan dengan hasil pengecekan lapang. Gambar 5 menunjukkan hasil perubahan penggunaan lahan, sebaran titik cek lapang serta foto hasil pengecekan lapang. Penggunaan lahan pada tahun 2001 didominasi oleh penggunaan lahan untuk kebun campuran sebesar 30.28% dan sawah sebesar 30.82% (Tabel 3). Namun demikian, kondisi berbeda terlihat pada tahun 2013 dimana penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan lahan untuk permukiman sebesar 42.51% (Tabel 3). Secara umum, luas lahan pertanian terbesar terletak di Kecamatan Rumpin dan Gunung Sindur sedangkan luas lahan terbangun terpusat di Kecamatan Gunung Putri dan Kota Depok. Perbedaan kenampakan pada citra menunjukkan telah terjadi perubahan penggunaan lahan.

(25)

sehingga mampu memenuhi kebutuhan lahan bagi para pendatang. Sejalan dengan perkembangan urbanisasi, penurunan lahan pertanian dapat menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan bagi manusia (Wu et al. 2011).

Selain perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun, terdapat pula beberapa perubahan dari lahan pertanian menjadi non terbangun yaitu perubahan lahan sawah menjadi badan air dan galian C serta perubahan hutan menjadi galian C (Tabel 3). Perubahan tersebut menyebabkan peningkatan luasan badan air dan galian C serta penurunan luas lahan sawah dimana banyak terjadi di Kecamatan Rumpin. Meskipun perubahan tersebut dalam luasan kecil namun diperkirakan dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang cukup signifikan seperti penurunan fungsi ekologis hutan (Liu et al. 2014).

Tabel 3. Matrik transisi perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian (ha)

2001

2013

BA EMP

GAL-C

KC KRT KLP HTN PMK SWH TOTAL %

BA 852.69 68.51 921.20 2.06

EMP 1305.88 1305.88 2.91

GAL-C 125.88 125.88 0.28

KC 373.11 73.61 8331.17 4786.10 13563.99 30.28

KRT 210.99 210.99 0.47

KLP 96.94 96.94 0.22

HTN 17.26 137.41 3923.16 127.70 4205.53 9.38

PMK 10567.11 10567.11 23.58

SWH 105.29 224.99 121.35 7840.91 3566.46 1945.99 13804.99 30.82

TOTAL 957.98 1989.75 58.25 16172.08 210.99 96.94 3923.16 19047.37 1945.99 44802.51

% 2.14 4.44 0.13 36.09 0.47 0.22 8.76 42.51 5.24 100

(26)
(27)

Gambar 6. Perbandingan luasan perubahan penggunaan lahan antar kecamatan

Gambar 6 menunjukkan perbandingan luasan perubahan penggunaan lahan antar kecamatan di lokasi penelitian. Peningkatan lahan terbangun untuk permukiman pada periode analisis tertinggi terjadi di Kecamatan Rumpin, Cimanggis dan Sawangan. Peningkatan yang tinggi dapat disebabkan oleh ketersediaan lahan untuk dialihfungsikan menjadi permukiman masih luas (As-syakur 2011). Peningkatan yang tinggi diikuti pengurangan luas lahan sawah yang tinggi pula. Peningkatan permukiman terendah terjadi pada Kecamatan Beji. Hal ini terjadi karena kecamatan tersebut tidak memiliki lahan pertanian yang cukup untuk dialihfungsikan. Sebagian besar wilayah Beji merupakan lahan terbangun. Selain ketersedian lahan, berdasarkan keterangan aparat desa dikatakan bahwa pembangunan di Kecamatan Beji lebih banyak dilakukan sebelum tahun 2001 sehingga pada rentang tahun 2001-2013 lebih banyak kegiatan renovasi dan pembangunan dalam luasan kecil. Peningkatan lahan terbangun lainnya terjadi pada penggunaan lahan untuk emplasemen. Peningkatan tertinggi terjadi di Kecamatan Gunung Putri. Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Bogor (2013) jumlah industri besar dan sedang yang terdapat di Kecamatan Gunung Putri sebanyak 191 di tahun 2012. Industri-industri tersebut mayoritas berada di Desa Tlajung Udik, Cicadas dan Wanaherang. Fenomena ini terjadi karena adanya peraturan dari pemerintah Kecamatan Gunung Putri yang mengkhususkan desa tersebut menjadi pusat industri serta desa lain sebagai pusat perumahan dan kebun campuran (Lampiran 1.2). Perluasan pembangunan industri dan perumahan menunjukkan terjadinya transformasi fisik di daerah-daerah pinggiran kota. Transformasi fisik akan mendorong terjadinya transformasi-transformasi lain seperti transformasi sosial ekonomi masyarakat sekitar akibat pengaruh yang ditimbulkan oleh kota-kota besar di sekelilingnya (Sari et al. 2007).

Intensifikasi penggunaan lahan pertanian serta perluasan pembangunan struktur untuk tujuan perumahan dan komersial di seluruh lokasi penelitian dapat dipahami sebagai suatu langkah penyesuaian di tingkat rumah tangga akibat pengembangan dan perubahan kebijakan di tingkat makro. Transisi dari ketergantungan pada pertanian ke basis ekonomi yang lebih beragam

(28)

menunjukkan adanya keterkaitan antara kondisi ruang di daerah pedesaan dengan daerah perkotaan (Bittner et al. 2013). Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian di wilayah pinggiran kota sangat tinggi seiring dengan pertumbuhan penduduk. Besarnya perubahan tersebut mengindikasikan perkembangan lahan terbangun dan tingkat kedinamisan wilayah pinggiran kota.

Keterkaitan Lokasi Penelitian dengan Pusat-pusat Kota di Jabodetabek dan Perubahan Parameter Fragmentasi

Tingginya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di kota besar menyebabkan penurunan luas lahan pertanian sehingga kebutuhan lahan oleh penduduk kota tidak dapat terpenuhi. Akibatnya wilayah pinggiran kota menjadi pilihan utama penduduk kota besar dan para pendatang sebagai tempat hunian baru dengan harga lahan yang lebih murah (Hardati 2011).

Gambar 7 menunjukkan hubungan antara jarak lokasi penelitian dengan kota-kota besar dan perubahan parameter fragmentasi. Empat kota besar yang dijadikan acuan adalah DKI Jakarta, Kota Depok, Tangerang dan Bekasi dengan titik pusat pengukuran jarak berturut-turut antara lain Monas, Margonda Raya, BSD, dan Stasiun Bekasi yang dianggap sebagai pusat kegiatan pada masing-masing kota. Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa Jakarta dan Kota Depok memiliki pola mendekati linier dan relatif lebih teratur dibandingkan dengan Tangerang dan Bekasi. Hal ini menunjukkan bahwa selain Jakarta, Kota Depok memiliki peluang yang besar dalam mempengaruhi kondisi perekonomian daerah di sekitarnya. Selain itu, Kota Depok juga memberikan pengaruh terhadap perubahan parameter fragmentasi untuk lahan terbangun dan lahan pertanian.

(29)

c) d)

e) f)

Gambar 7. Hubungan jarak lokasi penelitian ke kota besar dengan perubahan NumP lahan terbangun (a), MPS lahan terbangun (b), TE lahan terbangun (c), NumP lahan pertanian (d), MPS lahan pertanian (e), TE lahan pertanian (f)

(30)

Hubungan Parameter Fragmentasi Lahan Pertanian dan Jarak Kecamatan Terhadap Kota Besar

Kedekatan kecamatan dengan kota besar seperti Jakarta dan Kota Depok secara tidak langsung memberikan dampak terhadap kondisi wilayah sekitarnya. Berdasarkan Tabel 4, sembilan kecamatan di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kecamatan yang berdekatan dengan kota besar antara lain Kecamatan Beji, Cimanggis, Limo, Pancoran Mas, Sawangan dan Sukmajaya, serta kecamatan yang berjauhan dari kota besar yaitu Kecamatan Rumpin, Gunung Sindur dan Gunung Putri.

Tabel 4. Jarak kecamatan dengan kota besar

No Kecamatan Jakarta (km) Kota Depok (km)

1 Rumpin 31.50 18.60

2 Gunung Sindur 24.30 14.10

3 Gunung Putri 25.80 11.40

4 Beji 19.50 1.50

5 Cimanggis 19.20 6.00

6 Limo 17.70 6.00

7 Pancoran Mas 22.20 1.50

8 Sawangan 23.10 6.30

9 Sukmajaya 21.30 3.00

(31)

b)

c)

(32)

Pada kelompok kecamatan yang berjauhan dengan kota besar, Kecamatan Rumpin memiliki jarak paling jauh dan mengalami penurunan nilai NumP dan TE paling besar. Tergabung dalam kelompok kecamatan yang berdekatan dengan kota besar, Kecamatan Beji memiliki jarak paling dekat pada kelompok tersebut dan memiliki penurunan nilai NumP dan TE yang rendah. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa laju peningkatan nilai NumP dan TE dapat digunakan untuk mengetahui pola dan struktur lanskap di setiap kecamatan. Kecamatan yang berjauhan dengan kota besar cenderung memiliki laju penurunan parameter fragmentasi yang lebih besar, begitupun sebaliknya. Hal ini terkait dengan kondisi kecamatan yang berdekatan dengan kota besar yang telah jenuh dalam perubahan penggunaan lahan sehingga kondisi penggunaan lahan cenderung tetap dan fragmentasi lahan menjadi relatif konstan.

Berdasarkan nilai parameter MPS, terdapat dua kelompok kecamatan yang memiliki karakteristik berbeda. Kelompok pertama adalah Kecamatan Rumpin yang masih memiliki ukuran rataan lahan yang relatif besar. Kondisi ini dipengaruhi oleh keberadaan hutan yang masih cukup luas dan berada dalam satu poligon yang kompak (contiguous). Kelompok kecamatan kedua adalah seluruh kecamatan lain yang diteliti selain Rumpin. Kelompok kedua menunjukkan adanya pengaruh wilayah perkotaan yang cenderung menyebabkan zona pemanfaatan lahan menjadi terfragmentasi dan tidak menghasilkan suatu zonasi yang kompak. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Kamusoko et al. (2007) yang menyimpulkan bahwa lahan pertanian yang semakin menyempit dengan peluang fragmentasi yang besar dapat dipengaruhi oleh tingginya aktivitas lahan terbangun.

(33)

b)

c)

(34)

Kecamatan Rumpin memiliki kondisi khusus dibandingkan kecamatan lain terkait tiga parameter fragmentasi lahan pertanian. Beberapa kondisi yang hanya terjadi di Kecamatan Rumpin dan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan ketiga parameter fragmentasi adalah peningkatan aktivitas pembangunan pada rentang tahun 2001 sampai 2013. Hasil pengamatan lapangan dan didukung dengan wawancara dengan para pihak terkait menunjukkan bahwa pembangunan rumah warga mendominasi perubahan dan selanjutnya beragregasi menjadi zonasi yang lebih besar dan kompleks. Hal ini diduga dapat mempengaruhi penurunan nilai NumP. Kondisi ini umumnya terjadi di sekitar jalan sehingga lahan pertanian dan non pertanian mengumpul dalam suatu kesatuan. Selain keberadaan hutan yang relatif terjaga, faktor lain yang menyebabkan peningkatan nilai MPS yang tinggi adalah terjadinya pemusatan lahan pertanian di beberapa desa seperti Desa Leuwibatu, Cibodas, Gobang, Kampung Sawah, Cidokom dan Rabak. Selain itu, lahan terbangun pada kecamatan ini relatif terpusat pada lokasi utama yaitu di Desa Cipinang, Sukasari, Sukamulya, dan Kertajaya (Gambar 10a, 10b). Lahan pertanian yang cenderung mengelompok memberikan dampak positif terhadap kelestarian lingkungan di desa-desa tersebut, namun demikian hal ini juga berdampak negatif terhadap kelengkapan fasilitasnya.

a) b)

c) d)

(35)

besar maka lahan pertanian akan cenderung mengalami penurunan luas. Fenomena tersebut teramati di Kecamatan Beji (Gambar 10). Perubahan nilai MPS yang relatif kecil di kecamatan ini disebabkan oleh pemusatan lahan pertanian yang dikonversi menjadi perumahan dan emplasemen sehingga lahan pertanian yang tersisa umumnya terdapat di sekitar perbatasan antar desa dan di sekitar sungai (Gambar 10c, 10d). Kemudahan aksesibilitas dan kondisi jalan yang baik menjadi penyebab tingginya pembangunan dalam luasan yang besar. Pembangunan yang dilakukan antara tahun 2001 sampai 2013 menurut keterangan aparat desa dan ketua RT antara lain pembangunan ruko, kos-kosan dan perumahan. Pembangunan banyak terjadi mulai tahun 2001 dan mengalami tahap tidak berubah secara signifikan (leveling off) di tahun 2013 akibat ketiadaan lahan yang dapat dikonversi. Hal ini menjadi salah satu penyebab penurunan nilai NumP dan TE lahan pertanian yang rendah di Kecamatan Beji.

Penelitian ini menunjukkan bahwa informasi yang ditunjukkan oleh analisis fragmentasi dapat memperkaya telaah penggunaan lahan terutama berkaitan dengan upaya memproteksi wilayah pertanian. Menurut Rahman et al. (2008), peningkatan 1% fragmentasi lahan akan menurunkan produktivitas beras sebesar 0.05% serta menurunkan efisiensi teknis sebesar 0.03%. Kondisi yang ditemukan di lokasi penelitian selaras dengan hasil penelitian Dewan et al. (2012) yang menunjukkan bahwa bahwa laju pembangunan yang tinggi mengakibatkan lanskap menjadi lebih homogen dan mengelompok.

Hubungan Parameter Fragmentasi Lahan Terbangun dan Jarak Kecamatan Terhadap Kota Besar

Analisis fragmentasi lahan terbangun dilakukan pada penggunaan lahan permukiman, emplasemen dan galian C tahun 2001 dan 2013. Hasil yang diperoleh berupa perubahan nilai parameter fragmentasi untuk sembilan kecamatan di lokasi penelitian. Kesembilan kecamatan memiliki kondisi wilayah yang berbeda-beda terutama dalam peningkatan penggunaan lahan permukiman dan emplasemen. Peningkatan lahan terbangun menyebabkan terbentuknya zona-zona yang merupakan peralihan antara desa ke kota. Perkembangan lahan terbangun yang terletak di pinggiran wilayah Jakarta cenderung tidak teratur (Darda 2009). Kondisi ini akan berpengaruh terhadap tingkat fragmentasi lahan dan kebijakan pemerintah dalam melakukan perencaan penataan ruang.

(36)

a)

b)

c)

(37)

terbangun yaitu pola peningkatan nilai NumP dan TE yang signifikan dan pola peningkatan nilai NumP dan TE yang tidak signifikan (Gambar 11). Peningkatan nilai yang signifikan terjadi pada kelompok kecamatan yang berjauhan dengan kota besar dan dua kecamatan yang berdekatan dengan kota besar yaitu Kecamatan Cimanggis serta Sawangan. Sebaliknya, kecamatan lainnya yang berdekatan dengan kota besar mengalami peningkatan nilai NumP dan TE yang tidak signifikan (Gambar 12a, 12c). Berbeda dengan analisis fragmentasi lahan pertanian, terdapat kecenderungan awal dimana nilai NumP dan TE lebih dipengaruhi oleh Kota Depok dibandingkan dengan Jakarta (Tabel 4) terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi laju peningkatan nilai NumP dan TE terjadi pada kecamatan yang berjauhan dengan Kota Depok. Kedua kelompok peningkatan nilai NumP dapat dibedakan pada nilai ambang batas tahun 2001 sebesar 150 dan masih mampu dibedakan dengan jelas pada tahun 2013. Sedangkan untuk peningkatan nilai TE tidak mampu dibedakan pada nilai ambang batas tahun 2001, namun dapat dibedakan pada nilai ambang batas tahun 2013 sebesar 700.000 meter.

Pada nilai MPS terdapat kecenderungan bahwa kecamatan yang berjauhan dengan kota besar mengalami laju penurunan yang tidak signifikan dibandingkan kecamatan yang berdekatan dengan kota besar. Berbeda dengan nilai NumP dan TE lahan pertanian, untuk nilai MPS lebih dipengaruhi keberadaan DKI Jakarta dibandingkan dengan Kota Depok.

(38)

a)

b)

c)

(39)

tiga parameter tersebut. Dengan kondisi wilayah yang berbeda, Kecamatan Rumpin mengalami perubahan paling tinggi sedangkan Kecamatan Beji mengalami perubahan paling rendah diantara kecamatan lainnya. Ketersediaan lahan pertanian yang masih luas di Kecamatan Rumpin mendorong peningkatan pembangunan dan perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Pembangunan di Kecamatan Rumpin lebih didominasi oleh rumah warga dengan bentuk yang lebih kompleks (Gambar 13a, 13b). Tingginya ketidakteraturan bentuk poligon akan meningkatkan proses terjadinya fragmentasi lahan dan mempersulit dilakukannya penataan ruang di lokasi tersebut. Beragamnya penyebaran lahan terbangun menyebabkan kondisi lanskap yang semakin kompleks dan keberagaman aktivitas manusia (Dewan et al. 2012).

Ketidakteraturan tersebut dapat menjadi acuan untuk mengetahui pola pertumbuhan lahan terbangun khususnya pola penyebaran permukiman yang terbentuk. Pola pertumbuhan permukiman di pedesaan yang berada di pinggiran kota tidak selalu seragam. Beberapa wilayah didominasi oleh penduduk berpenghasilan menengah, sementara di wilayah lain didominasi kawasan industri yang padat, perumahan murah atau kawasan yang dikembangkan sebagai penghasil produk pertanian. Kondisi ini akan mempengaruhi pola perkembangan permukiman di suatu wilayah (Tacoli 2003).

a)

c)

b)

d)

(40)

Selanjutnya, di Kecamatan Beji tahun 2001 mengalami pembangunan dalam luasan besar, terlihat dari nilai MPS tahun 2001 yang artinya pembangunan didominasi oleh emplasemen, ruko, dan perumahan. Namun pada tahun 2013, pembangunan mengalami penurunan yang signifikan dimana pembangunan lebih banyak pada luasan kecil dengan tingkat kompleksitas yang lebih rendah (Gambar 12c, 12d). Berdasarkan perubahan tersebut, terlihat bahwa tingginya konversi yang terjadi pada kecamatan tersebut menyebabkan Kecamatan Beji berada dalam tahap tidak berubah secara signifikan (lavelling off). Hal ini sejalan dengan kondisi fragmentasi lahan pertanian (Gambar 9). Selain itu, kepadatan lahan terbangun di pusat kecamatan menyebabkan perembetan lahan terbangun ke arah pinggiran kecamatan, hal ini menyebabkan penurunan luas lahan terbangun yang kecil di tahun 2013 (Gambar 13c, 13d).

a)

b)

(41)

kedua kecamatan ini memiliki kedekatan dengan kota besar namun mengalami perubahan parameter yang hampir sama dengan kecamatan yang berjauhan dengan kota besar. Kedua kecamatan yang terletak di Kota Depok tersebut memiliki lahan pertanian yang cukup luas dibandingkan kecamatan lain di Kota Depok sehingga berpengaruh terhadap tingkat pembangunan di kecamatan tersebut. Selain itu, dilihat dari batas administrasi terlihat bahwa kedua kecamatan merupakan kecamatan yang berjauhan dengan pusat Kota Depok dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Gunung Putri dan Gunung Sindur (Gambar 14a, 14b). Lokasi dari kedua kecamatan tersebut dapat mempengaruhi pola perubahan parameter fragmentasi lahan terbangun. Berdasarkan keterangan dari aparat desa dan ketua RT, pembangunan dalam luasan besar sudah terjadi sebelum tahun 2001 dan pembangunan tersebut masih berjalan sampai tahun 2013 tetapi dalam jumlah yang kecil sedangkan pembangunan lebih banyak pada pembangunan rumah dan kos-kosan. Hal ini menyebabkan perbedaan perubahan parameter fragmentasi antara Kecamatan Cimanggis dan Sawangan dibandingkan kecamatan lain di Kota Depok.

(42)

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Fragmentasi Lahan

Pada penelitian ini, analisis regresi berganda digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang berpengaruh terhadap tingkat fragmentasi lahan terbangun dan lahan pertanian. Analisis regresi berganda dilakukan dengan menggunakan data hasil wawancara pada skala desa dan RT. Ringkasan hasil analisis regresi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian skala desa

*Hasil lengkap tersaji di Tabel Lampiran 5

(43)

Tabel 6. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan

*Hasil lengkap tersaji di Tabel Lampiran 6

Nilai R2 untuk model Y1.2 tercatat sebesar 31.5% dengan variabel yang berpengaruh adalah jarak ke jalan tol. Daerah yang berdekatan dengan jalan tol cenderung mengalami konversi lahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang jauh dari jalan tol. Tingginya pembangunan tersebut akan menurunkan luasan lahan pertanian yang berimplikasi terhadap penurunan nilai MPS sehingga menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan (Cakir et al. 2008). Menurut Li et al. (2010), kondisi jalan beraspal seperti jalan tol, jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten menunjukkan tingkat perkembangan wilayah dari suatu kawasan perkotaan. Konsekuensi yang diperoleh dari pembangunan sarana infrastruktur jalan adalah percepatan pertumbuhan fragmentasi lanskap dan gangguan ekologi misalnya terjadinya isolasi populasi, degradasi kualitas habitat, dan penyempitan habitat yang akan mengancam kelestarian makhluk hidup di dalamnya (Gunawan et al. 2009).

Pada skala RT, secara umum variabel yang berpengaruh relatif sama dengan analisis skala desa yaitu kepemilikan lahan dan ukuran luas lahan yang dimiliki. Variabel yang mempengaruhi Y2.1 antara lain ukuran rumah dan ukuran luas rata-rata sawah dengan nilai R2 sebesar 79.6%. Selain mempengaruhi Y2.1, ukuran rata-rata sawah juga mempengaruhi Y2.3. Variabel-variabel tersebut menurunkan nilai NumP dan nilai TE. Penurunan ini menyebabkan lahan pertanian semakin mengumpul dengan bentuk yang lebih sederhana akibat penurunan luas lahan sawah.

(44)

merupakan salah satu variabel penting penentu nilai MPS skala RT dan tidak berperan penting pada model lainnya. Variabel ini meningkatkan nilai MPS lahan pertanian. Rata-rata jumlah anak per KK pada lokasi penelitian sebesar 3-4 anak, banyaknya anggota keluarga dalam satu KK namun tidak diimbangi dengan besarnya lahan pertanian yang dimiliki menyebabkan keluarga petani untuk menjual lahan agar kebutuhan pokok tetap terpenuhi. Hal lain yang sering dilakukan oleh keluarga petani adalah melakukan pembagian lahan pertanian yang dimiliki kepada seluruh anggota keluarga. Sistem jual beli lahan dan sistem waris menyebabkan luasan lahan semakin kecil dan menimbulkan fragmentasi lahan secara permanen (Susanti et al. 2013).

Tabel 7. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan terbangun skala desa

*Hasil lengkap tersaji di Tabel Lampiran 7

Secara umum hasil analisis regresi berganda lahan terbangun pada tingkat desa menunjukkan dua variabel utama yang menentukan kepemilikan lahan dan harga lahan. Nilai R2 untuk Y1.4 sebesar 83.2% (Tabel 7). Persentase kepemilikan lahan absentee, ukuran luas rumah dan pekarangan berpeluang meningkatkan nilai NumP, hal ini karena para pendatang dengan kepemilikan lahan absentee cenderung membeli lahan dalam luasan kecil dalam jumlah banyak sehingga meningkatkan nilai NumP. Begitu juga dengan ukuran rumah dan pekarangan, semakin banyak pembangunan rumah dan pekarangan baik dalam luasan besar maupun kecil akan meningkatkan nilai NumP lahan terbangun.

(45)

sehingga akan mempengaruhi luasan yang dibeli.

Selain persentase kepemilikan lahan absentee, panjang jalan tol merupakan variabel yang mempengaruhi Y1.6 dengan nilai R2 yang dihasilkan sebesar 81.4% (Tabel 7). Jalan tol merupakan salah satu infrastruktur yang berpengaruh terhadap tingkat fragmentasi di suatu wilayah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Serano et al. (2002), bahwa infrastruktur jalan menimbulkan ketidakseimbangan beban pada koridor habitat dan ketidakseimbangan territorial sehingga menimbulkan fragmentasi lahan.

Tabel 8. Ringkasan hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan terbangun skala RT

*Hasil lengkap tersaji di Tabel Lampiran 8

(46)

Selanjutnya nilai R2 pada Y2.5 menghasilkan nilai sebesar 25.5%. Meskipun nilai R2 kecil namun variabel persentase pekerjaan non petani pengaruh nyata terhadap Y2.5, hal ini dapat dilihat dari nilai signifikan sebesar 0.003 (Tabel 8). Ketika pekerjaan non petani semakin banyak maka kemampuan untuk mempertahankan lahan pertanian akan semakin kecil. Hal ini karena tidak adanya ketergantungan pekerjaan terhadap kondisi lahan pertanian sehingga akan mempersempit luas lahan pertanian.

Variabel-variabel yang mempengaruhi Y2.6 antara lain jarak ke balai desa, ukuran sawah dan kepemilikan lahan absentee (Tabel 8). Ketiga variabel tersebut meningkatkan nilai TE yang artinya semakin tinggi variabel tersebut maka akan meningkatkan fragmentasi lahan. Desa yang semakin jauh dari balai desa memiliki kondisi pembangunan rumah yang menyebar dibandingkan dengan yang dekat dengan balai desa. Ketidakteraturan bentuk rumah atau poligon akan meningkatkan keliling poligon (TE).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Seperti fenomena umum di Indonesia, perubahan penggunaan lahan tertinggi di wilayah studi terjadi pada perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Pada umumnya, lahan sawah mengalami konversi untuk penyediaan lahan terbangun seperti permukiman dan industri. Selain itu, lahan sawah di lokasi kajian juga digunakan untuk kegiatan galian C, sehingga menurunkan daya tahan pertanian.

Kedekatan wilayah studi dengan kota besar memberikan pengaruh terhadap nilai NumP, TE dan MPS. Wilayah yang dipengaruhi oleh kota besar yaitu Jakarta dan Kota Depok memiliki laju penurunan nilai NumP dan TE lahan pertanian yang kecil dibandingkan dengan wilayah yang kurang dipengaruhi oleh dua kota besar tersebut. Namun kondisi ini tidak berlaku untuk nilai MPS lahan pertanian dimana nilai MPS hanya dipengaruhi oleh kedekatan dengan Kota Depok. Wilayah yang berdekatan dengan Kota Depok cenderung memiliki laju penurunan nilai MPS yang rendah. Sedangkan peningkatan nilai MPS yang tinggi terjadi pada wilayah yang berdekatan dengan Kota Depok.

(47)

menunjukkan variabel utama yang berpengaruh adalah kepemilikan lahan dan aksesibilitas. Peningkatan kepemilikan lahan akan menurunkan jumlah poligon lahan pertanian, dan keliling poligon lahan pertanian. Aksesibilitas ke jalan tol juga dapat meningkatkan jumlah poligon lahan pertanian dan luas poligon lahan pertanian. Sedangkan untuk analisis lahan terbangun pada skala desa dan RT, variabel utama yang berpengaruh adalah kepemilikan lahan, harga lahan dan aksesibilitas. Peningkatan kepemilikan lahan akan meningkatan jumlah poligon lahan terbangun dan kompleksitas poligon. Harga lahan mampu meningkatan dan menurunkan luas poligon lahan terbangun begitupun dengan aksesibilitas yang dapat menurunkan dan meningkatkan kompleksitas poligon lahan terbangun.

Saran

Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya fragmentasi lahan pada penelitian ini antara lain kepemilikan lahan absentee, aksesibilitas dan ukuran rata-rata luas sawah. Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka dapat dirumuskan beberapa langkah efektif yang dapat ditempuh oleh para pemangku kepentingan untuk meminimalkan terjadinya fragmentasi lahan diantaranya melakukan kontrol terhadap kepemilikan lahan absentee, memperhatikan pembangunan akses di suatu wilayah, melakukan pengaturan dan pengawaan terhadap kepemilikan luas lahan sawah yang ditingkat rumah tangga petani. Selain itu, untuk diperlukan pula kerja sama antar pemangku kepentingan (stakeholder) antara lain pemerintah, masyarakat, pengembang atau pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat dalam perencanaan penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.

(48)

DAFTAR PUSTAKA

As-syakur AR. 2011. Perubahan penggunaan lahan di Provinsi Bali. Ecotrophic. 6 (1): 1-14.

Bappeda Kabupaten Bogor. 2013. Gunung Putri dalam Angka 2013. Bogor (ID): Pemerintah Kabupaten Bogor.

Bereitschaft B, Debbage K. 2014 Regional variations in urban fragmentation among U.S metropolitan and megapolitan areas. Appl-ied Spatial Analysis. 7: 119-147.

Bittner C, Sofer M. 2013. Land use changes in the rural-urban fringe: an Israel case study. Land Use Policy. 33: 11-19.

Cakir G, UN C, Baskent EZ, Kose S, Sivrikaya F, Keles S. 2008. Evaluating urbanization, fragmentation and land use/land cover change pattern in Istanbul City, Turkey from 1971 to 2002. Land Degradation and Development. 19: 663-675.

Darda AM. 2009. Karakteristik permukiman di wilayah pinggiran Kota Jakarta tahun 1991-2007 (studi kasus: Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan) [skripsi]. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia.

Dewan AM, Yamaguchi Y, Rahman MZ. 2012. Dynamic of land use/cover changes and the analysis of landscape fragmentation in Dhakan Metropolitan, Bangladesh. Geo-Journal. 77: 315-330.

Drapper NR, Smith H. 1998. Applied Regression Analysis Third Edition. USA: A Wiley Interscience Publication.

Firman T. 2004. New town development in Jakarta metropolitan region: a perspective of spatial segregation. Habitat International. 28: 349-368. Firman T. 2000. Rural to urban land conversion in Indonesia during boom and

bust periods. Land Use Policy. 17: 13-20.

Giyarsih SR. 2001. Gejala urban sprawl sebagai pemicu proses densifikasi permukiman di daerah pinggiran Kota (urban fringe area) kasus pinggiran Kota Yogyakarta. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. 12 (1) : 40-45. Gunawan H, Prasetyo. 2013. Fragmentasi Hutan: Teori yang Mendasari

Penataan Ruang Hutan Menuju Pembangunan Berkelanjutan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan.

Hardati P. 2011. Transformasi wilayah peri urban, kasus di Kabupaten Semarang. Jurnal Geografi. 8 (2) : 108-117.

Hartvigsen M. 2014. Land reform and land fragmentation in Central and Eastern Europe. Land Use Policy. 36: 330-341.

(49)

Interscience Publication.

Irawan B. 2005. Konversi lahan sawah: potensi dampak, pola pemanfaatannya, dan faktor determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23 (1): 1-18. Isa W. 2006. Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Prosiding Seminar

Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian (Multifunctionality and Revitalization of Agriculture). Jakarta. 1-16.

Kamusoko C, Aniya M. 2007. Land use/cover and landscape fragmentation analysis in the Bindura District, Zimbabwe. Land Degradation and Development.18: 221-233.

Karyati NE. 2013. Dinamika pola penggunaan lahan dan pengendalian perubahannya di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Li T, Shilling F, Thorne J, Li F, Schott H, Boynton R, Berry AM. 2010.

Fragmentation of China’s landscape by roads and urban areas. Landscape Ecology. 25: 839-853.

Liu Y, Xianjin H, Hong Y, Taiyang Z. 2014. Environmental effects of land-use/cover change caused by urbanization and policies in Southwest China karst area-a case study of Guiyang. Habitat International. 44: 339-348. Neter J, Wasserman W, Kutner MH. 1990. Applied Linier Statistical Models

Regression, Analysis of Variance, and Experimental Designs Third Edition. Japan: Toppan Company Ltd.

Nurhayati AS, Nurjati C, Hapsari H. 2012. Pemanfaatan citra satelit alos hasil metode pan-sharpening untuk pemetaan ruang terbuka hijau wilayah Perkotaan Pati. Jurnal Teknik Geodesi. 2 (1): 1-8.

Oyinloye MA, Kufoniyi O. 2011. Analysis of landuse, landcover change and urban expansion in Akure, Nigeria. Journal of Innovative Research in Engineering and Sciences. 2 (4): 234-248.

Purwantoro S, Hadi BS. 2013. Studi perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta tahun 1987-1996 berdasarkan foto udara [internet]. [diunduh 2014 sept 08]. Tersedia pada http:ejournal.UGM.ac.id. Rahman S, Rahman M. 2008. Impact of land fragmentation and resource

ownership on productivity and efficiency: the case of rice producers in Bangladesh. Land Use Policy. 26: 95-103.

Sari MK, Winarso H. 2007. Transformasi sosial ekonomi masyarakat peri-urban di sekitar pengembangan lahan skala besar: kasus Bumi Serpong Damai. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. 18 (1) : 1-30.

(50)

Shrestha MK, York AM, Boone CG, Zhang S. 2012. Land fragmentation due to rapid urbanization in the Phoenix Metropolitan area: analyzing the spatiotemporal patterns and drivers. Appl-ied Geography. 32: 522-531. Solon J. 2009. Spatial context of urbanization: landscape pattern and changes

between 1950 and 1990 in the Warsaw metropolitan area, Polan. Landscape and Urban Planning. 93: 259-261.

Sulistiyani AT. 2002. Problema dan kebijakan perumahan di perkotaan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 5 (3) : 327-344.

Susanti A, Hidayat K, Sukesi K. 2013. Struktur penguasaan lahan pertanian dan hubungan kerja agrarian pada masyarakat Tengger. Habitat. 14 (1) : 36-47. Tacoli C. 2003. The links between urban and rural development. Environment and

Urbanization. 15 (1) : 1-12.

(51)

Lampiran 1. Dokumentasi kondisi lahan terbangun dan lahan pertanian di lokasi penelitian serta wawancara terfokus

1.1 Kondisi sumber daya alam Kecamatan Rumpin 1.2 Perumahan Kecamatan Gunung Putri

1.3 Perumahan Kecamatan Cimanggis 1.4 Lahan sawah Kecamatan Rumpin

1.5 Kondis jalan Kecamatan Rumpin 1.6 Kondisi jalan Kecamatan Gunung Sindur

(52)

Lampiran 2. Luas perubahan penggunaan lahan tiap kecamatan (ha)

Perubahan penggunaan lahan lahan

Luas perubahan tiap kecamatan (ha) Beji Cimanggis Gunung

Putri

Gunung Sindur

Limo Pancoran Mas

Rumpin Sawangan Sukmajaya Grand Total

BA-->BA 21.370 97.010 71.150 109.260 24.500 58.310 277.340 155.990 37.760 852.690

BA-->EMP 1.530 16.470 1.770 1.180 28.780 10.810 7.970 68.510

EMPN-->EMP 3.690 413.920 498.380 50.200 63.560 13.560 91.180 114.020 57.370 1305.880

GAL-C-->GAL-C 125.880 125.880

KC-->EMP 1.350 25.520 106.560 76.910 6.490 67.280 6.860 57.380 24.760 373.110

KC-->GAL-C 7.320 66.290 73.610

KC-->KC 360.600 838.310 1059.510 1076.670 419.100 362.650 3089.670 668.750 455.910 8331.170

KC-->PMK 171.620 804.200 802.960 514.330 194.370 564.020 500.830 825.760 408.010 4786.100

KLP-->KLP 96.940 96.940

KRT-->KRT 210.990 210.990

HTN-->EMPN 17.260 17.260

HTN-->GAL-C 137.410 137.410

HTN-->PGN 3923.160 3923.160

HTN-->PMKN 127.700 127.700

PMK-->PMK 669.560 1872.010 1598.970 711.540 1041.170 1242.710 944.780 1015.180 1471.190 10567.110

SWH-->BA 4.550 10.420 90.320 105.290

SWH-->EMP 4.620 84.360 59.030 19.950 15.720 9.790 24.930 6.590 224.990

SWH-->GAL-C 121.350 121.350

SWH-->KC 82.060 797.580 1586.820 1491.590 171.840 353.420 1984.200 983.120 390.280 7840.910

SWH-->PMK 123.350 559.840 212.130 348.360 224.660 356.910 758.110 526.910 456.190 3566.460

SWH-->SWH 11.080 133.180 46.250 498.620 96.480 19.500 920.500 197.930 22.450 1945.990

(53)

Lampiran 3. Hasil analisis fragmentasi lahan pertanian

Lampiran 4. Hasil analisis fragmentasi lahan terbangun

(54)

Lampiran 5. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian X1.4 = Persentase pekerjaan

petani

-0.032 -0.292 0.773

X1.5 = Persentase pekerjaan non petani X1.4 = Persentase pekerjaan

petani

0.203 0.813 0.423

X1.5 = Persentase pekerjaan non petani

X1.9 = Persentase kepemilikan lahan absentee

-0.017 -0.067 0.947

(55)

R X1.4 = Persentase pekerjaan

petani

-0.073 -0.560 0.579

(56)

Variabel Y Variabel X Beta t Sig R2 Adjusted

Lampiran 6. Hasil analisis regresi berganda untuk fragmentasi lahan pertanian skala RT X2.2 = Rata-rata pertambahan

KK tiap RT

-0.064 -0.538 0.595

X2.3 = Rata-rata jumlah anak per KK

-0.211 -0.679 0.503

X2.4 = Persentase pekerjaan petani

-0.118 -0.947 0.352

X2.5 = Persentase pekerjaan non petani X2.2 = Rata-rata pertambahan

KK tiap RT

-0.191 -1.333 0.194

X2.4 = Persentase pekerjaan petani

-0.124 -0.637 0.530

(57)

R X2.2 = Rata-rata pertambahan

KK tiap RT

-0.072 -0.547 0.588

X2.3 = Rata-rata jumlah anak per KK

-0.326 -0.977 0.337

X2.4 = Persentase pekerjaan petani

-0.125 -0.778 0.443

X2.5 = Persentase pekerjaan non petani

(58)
(59)
(60)
(61)
(62)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 2 Oktober 1992 dari pasangan Bapak Sriyono dan Ibu Danis. Penulis adalah anak terakhir dari dua bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jatirogo dan pada tahun yang sama diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, diantaranya Biologi Tanah, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Perencanaan Tata Ruang dan Penatagunaan Lahan serta Pengantar Ilmu Tanah pada tahun 2014. Penulis juga aktif di beberapa kegiatan kemahasiswaan diantaranya, sebagai bendahara di Departemen Minat dan Bakat BEM Fakultas Pertanian tahun 2012, sebagai anggota di Badan Olahraga dan Seni Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah tahun 2013, Paguyuban Bidik Misi IPB dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Ronggolawe Tuban (IPMRT) serta menjadi pengajar di Lembaga Percepatan

Belajar “SIMPLE”.

(63)

NUNING EMIASIH. Analisis Spasial Perubahan Penggunaan dan Fragmentasi Lahan di Wilayah Pinggiran Jakarta. Dibimbing oleh DYAH RETNO PANUJU dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Tingginya aktivitas di suatu wilayah akan berdampak terhadap peningkatan perubahan penggunaan lahan dan perubahan struktur lanskap yang berasosiasi dengan tingkat fragmentasi lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan penggunaan lahan dan tingkat fragmentasi lahan pertanian serta lahan terbangun di wilayah pinggiran Jakarta. Keberadaan sawah, galian C dan hutan menambah dinamika perubahan penggunaan lahan di wilayah kajian secara signifikan. Hasil analisis fragmentasi lahan pertanian menunjukkan bahwa kecamatan yang berdekatan dengan kota besar cenderung memiliki parameter NumP rendah, yang mengindikasikan bahwa poligon kawasan terbangun telah menyatu menjadi satu kesatuan poligon yang kompak. Wilayah yang dipengaruhi oleh kota besar yaitu Jakarta dan Kota Depok memiliki laju penurunan nilai NumP dan TE yang kecil sedangkan nilai MPS dipengaruhi oleh kedekatan dengan Kota Depok. Analisis fragmentasi lahan terbangun menunjukkan bahwa wilayah di pinggiran kota besar memiliki laju peningkatan nilai NumP dan TE yang lebih kecil serta penurunan nilai MPS yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah yang jauh dari kota besar. NumP, TE dan MPS dapat digunakan untuk mengetahui laju pembangunan dan pola pembangunan di suatu wilayah. Wilayah yang dipengaruhi kota besar cenderung mengalami laju pembangunan yang lebih rendah dan stabil dengan pola lahan terbangun yang relatif lebih homogen sedangkan wilayah yang berjauhan dengan kota besar cenderung mengalami laju pembangunan yang lebih besar dan kompleks dengan pola lahan terbangun yang cenderung lebih heterogen. Hasil analisis regresi berganda untuk skala desa dan RT menunjukkan variabel utama yang berpengaruh terhadap fragmentasi lahan pertanian adalah kepemilikan lahan dan aksesibilitas sedangkan terhadap lahan terbangun adalah kepemilikan lahan, harga lahan dan aksesibilitas.

Gambar

Tabel 4. Jarak kecamatan dengan kota besar
Gambar 8. Boxplot nilai NumP lahan pertanian (PTN) tahun 2001-2013 (a), nilai MPS (b), nilai TE (c)
Gambar 9. Boxplot nilai NumP lahan pertanian (PTN) antar kecamatan
Gambar 10. Poligon lahan pertanian Kecamatan Rumpin tahun 2001 (a), Kecamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ditinjau dari penggunaannya, kata 「 お れ」yang terdapat dalam penggalan tuturan di atas termasuk dalam faktor situasi tidak formal berdasarkan penutur dan konteks dari

Selain menjadi ruang ekspresi estetis terhadap sastra Sunda, lagu-lagu EMKA 9 juga di gunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan dan makna yang terdapat pada

(1) Evaluasi Pengembangan Koleksi sebagai Dasar Memahami Problematika dalam Perpustakaan (Studi Kasus Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Gorontalo) (Ade Yul Pascasari Katili);

Dalam penelitian ini dirancang suatu prototype sistem pengukuran lendutan vertikal pada jembatan secara nirkabel dengan menggunakan sensor accelerometer MMA7361 dengan

著者リプライ 『高齢化社会と日本人の生き方 : 岐路に立つ現代中年のライフストーリー』 書評論文リプライ 小倉, 康嗣Ogura, Yasutsugu

Penelitian ini bertujuan untuk (1) identifikasi varietas beras japonica dan indica premium yang mempunyai palatabilitas tinggi; (2) menguji marka STS terpaut palatabilitas

Penelitian ini bertujuan mengkaji hubungan model ISO terintegrasi dengan pendekatan sepuluh pembiasaan yang baik, yang di ukur dari pelayanan ikhlas yang tercermin

Di dalam motivasi positif produsen tidak saja memberikan dalam bentuk sejumlah uang tapi bisa juga memotivasi (merangsang konsumen) dengan memberikan diskon, hadiah, pelayanan