• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah pada dasarnya bertujuan mengembangkan wilayah menuju tingkat perkembangan yang diinginkan dengan melakukan optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki mencakup aspek fisik, sosial, budaya dan lingkungan agar tercapainya pembangunan berkelanjutan dan berbasis penataan ruang (Djakapermana 2010). Pengembangan wilayah selalu dihadapkan dengan keterbatasan lahan terhadap jumlah penduduk dan kebutuhan lahan yang terus meningkat sehingga diperlukan suatu perencanaan penggunaan lahan berdasarkan kesesuaian dan kebutuhan multipihak. Perencanaan penggunaan lahan sangat penting dilakukan untuk mengetahui kondisi lahan, potensi dan pembatas pada suatu wilayah. Menurut Sitorus (2004), perencanaan penggunaan lahan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan.

Perencanaan pengembangan wilayah menurut Tarigan (2005) sebaiknya menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral biasanya kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan, sedangkan pendekatan regional lebih bersifat spasial dan merupakan penghubung antara pengembangan wilayah dengan rencana tata ruang. Menurut Djakapermana (2010), guna mendapatkan hasil yang optimal dalam pengembangan wilayah diperlukan penataan ruang, yaitu proses perencanaan ruang dengan mengalokasikan sumberdaya alam dan buatan secara optimal, pemanfaatan ruang yaitu serangkaian kegiatan pembangunan dan pengendalian ruang meliputi kegiatan pengaturan zonasi, pemberian/pencabutan ijin, pemberian insentif dan diinsentif agar sesuai dengan rencana tata ruang.

Adapun tujuan penataan ruang menurut Djakapermana (2010), yaitu tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas berbudi luhur dan sejahtera, mewujudkan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya, meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam secara efesien dan efektif bagi manusia, mewujudkan perlindungan fungsi ruang, dan mencegah kerusakan lingkungan. Penataan ruang merupakan wujud hubungan antara manusia dan ruang kehidupannya dengan mengoptimalkan sumberdaya alam dan buatan sehingga menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan serta berbasis mitigasi bencana. Lebih lanjut menurut Rustiadi et al. (2009), penataan ruang merupakan wujud pengaturan hubungan manusia dan ruang kehidupan, penataan ruang harus memahami hubungan bagaimana pengaruh manusia memanfaatkan dan mempengaruhi alam, kondisi alam yang mempengaruhi kehidupan manusia, dan bagaimana hubungan antar sesama manusia sebagai bentuk sistem sosial.

Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan serius yang hampir selalu dihadapi Indonesia setiap musim kemarau dan mulai menjadi perhatian dunia sejak tahun 80-an akibat dampak negatif yang ditimbulkan baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan

6

tropis yang sebagian besar kondisi hutannya selalu basah, kebakaran hutan dan lahan tidak mudah terjadi secara alami namun lebih disebabkan oleh aktivitas manusia (Siswanto 1994; Chuvieco et al. 1999; Page et al. 2002; Usman 1999 dalam Sudibyakto 2003; Purbowoseso 2004; Salwati 2008 dan Somashekar et al. 2009).

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tidak hanya terjadi pada lahan kering tetapi juga terjadi di lahan basah seperti lahan/hutan gambut, terutama pada musim kemarau di mana lahan basah tersebut mengalami kekeringan (Adinugroho et al. 2005). Menurut Solichin et al. (2007), kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di lahan gambut dan hutan rawa gambut dikarenakan wilayah tersebut telah terdegradasi. Pembukaan lahan gambut dengan membuat saluran/parit telah menyebabkan hilangnya air tanah dalam gambut sehingga gambut mengalami kekeringan yang berlebihan (overdrain) di musim kemarau dan mudah terbakar.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun pada musim kemarau sepanjang 20 tahun terakhir mengakibatkan kerusakan atau kerugian terhadap lingkungan, kesehatan, dan sosial ekonomi yang saling berkaitan. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Saharjo et al. 1999), merupakan semua aktivitas untuk melindungi hutan dan lahan dari kebakaran dan penggunaan api yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan dan lahan. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan terdiri dari tiga komponen utama yaitu: pencegahan, penanggulangan, dan penindakan hukum (Narang 2007). Fakta dari beberapa kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menunjukan bahwa manajemen kebakaran hutan dan lahan lebih mengutamakan aspek penanggulangan dibandingkan aspek pencegahan. Menurut Adinugroho et al. (2005), kondisi ini disebabkan kegiatan penanggulangan lebih menghasilkan dana yang besar dibandingkan kegiatan pencegahan dan kegiatan pemerintah lebih menekankan kegiatan jangka pendek.

Pencegahan kebakaran merupakan upaya mengurangi atau meminimalkan kejadian kebakaran hutan dan lahan (Purbowoseso 2004). Kegiatan pencegahan merupakan cara yang lebih ekonomis untuk mengurangi kerusakan atau kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan dibandingkan kegiatan penanggulangan yang memerlukan dana yang besar.

Proses pembakaran terjadi karena adanya sumber panas (api) sebagai penyulut, bahan bakar yang tersedia, dan adanya oksigen dalam waktu bersamaan yang dikenal dengan segitiga api. Konsep sederhana dalam mencegah proses pembakaran adalah meniadakan salah satu komponen segitiga api tersebut. Hal yang dapat dilakukan yaitu menghilangkan atau mengurangi akumulasi bahan bakar dan sumber panas (api).

Pencegahan kebakaran hutan dan lahan adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya kebakaran di dalam kawasan hutan dan lahan. Adapun strategi pencegahan meliputi pendekatan sistem informasi kebakaran, pendekatan sosial ekonomi, serta pendekatan pengelolaan hutan dan lahan (Adinugroho et al. 2005). Pemetaan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu strategi pencegahan kebakaran hutan dan lahan yaitu memetakan lokasi yang rawan terhadap kebakaran dengan pendekatan indeks kekeringan, metereologis dan karakteristik fisik lahan (Sudibyakto 2003).

7

Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan

Secara umum faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan dapat digolongkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu: pemicu kebakaran dan kondisi pendukung (Solichin et al. 2007). Pemicu kebakaran merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi terjadinya penyulutan api, aktivitas manusia merupakan komponen terbesar yang mempengaruhi penyulutan api dibandingkan secara alami. Menurut Siswanto (1994), Usman 1999 dalam Sudibyakto (2003), dan Purbowoseso (2004), kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir 90% disebabkan oleh aktivitas manusia sedangkan Adinugroho et al. (2005) menyatakan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya (99,9%) disebabkan oleh aktivitas manusia baik sengaja maupun akibat kelalaian.

Aktivitas/Perilaku Manusia. Aktivitas atau perilaku manusia terhadap kebakaran hutan dan lahan merupakan kesiapan atau kecenderungan seseorang untuk bertindak untuk bertindak terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Secara psikologis, aktivitas atau perilaku manusia dominan terbentuk atau diperoleh dari proses pembelajaran atau sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya (Walgito 2003). Lebih lanjut, aktivitas atau perilaku merupakan komponen dari sikap seseorang sehingga sikap sangat mempengaruhi aktivitas atau perilaku seseorang. Namun demikian tidak semua ahli sependapat bahwa aktivitas atau perilaku dilatar belakangi oleh sikap yang ada pada diri yang bersangkutan sehingga sikap tidak bisa diukur secara langsung, maka yang dapat diukur adalah sikap yang nampak yaitu aktivitas atau perilaku.

Menurut Saharjo (2000) dalam Adiningsih et al. (2005) dan Herawati et al. (2006), sumber aktivitas manusia yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan adalah kegiatan pembukaan dan penyiapan lahan, pembukaan dan pembangunan akses jalan/permukiman serta perambahan hutan. Solichin (2007), menyatakan kebakaran hutan dan lahan secara langsung disebabkan oleh aktivitas manusia dalam penggunaaan api untuk kegiatan pembukaan lahan, berburu dan mencari ikan, pembukaan akses, serta adanya spekulasi/konflik lahan.

Lebih lanjut, faktor kemudahan dalam mencapai suatu lokasi sangat mempengaruhi frekuensi aktivitas manusia, lokasi yang lebih dekat dengan jalan, sungai dan permukiman pada umumnya lebih banyak teridentifikasi aktivitas manusia (Booyanuphap 2001; Jaya et al. 2007; Samsuri 2008; Andria 2009). Secara spasial kemudahan mencapai suatu lokasi digambarkan dengan jarak terhadap jalan, sungai dan permukiman (Hadi 2008).

Kondisi Pendukung. Faktor kedua penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah kondisi pendukung yang dipengaruhi oleh kondisi alam dan aktivitas manusia. Menurut Sudibyakto (2003), Salwati (2008), dan Harisson et al. (2009), meningkatnya kebakaran hutan dan lahan ada kaitannya dengan anomali atau penyimpangan iklim yang terjadi setiap tahunnya, dikenal dengan fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) yang terjadi pada tahun 1972-1973, 1982-83, 1987, 1991, 1994, 1997-98, 2002 dan 2006 (Harisson et al. 2009). Meningkatnya kebakaran hutan dan lahan di daerah tropis lebih disebabkan adanya perubahan vegetasi dan tapak yang sangat drastis serta dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat (Solichin 2007). Tacconi (2003), menyatakan bahwa perubahan tutupan lahan dan pertumbuhan penduduk (Badarch et al. 2011) merupakan faktor utama penyebab kebakaran hutan di Indonesia, sedangkan Miettinen (2007), menyatakan bahwa deforestasi

8

dan perubahan tutupan lahan merupakan faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di hutan basah tropis. Lebih lanjut menurut Chuvieco et al. (1999), Barlow dan Peres (2003), Herawati et al. (2006) dan Harisson et al. (2009), meningkatnya kejadian kebakaran hutan dan lahan disebabkan kombinasi dari aktivitas manusia (perubahan penggunaan lahan) dan efek dari penyimpangan iklim.

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Secara tradisional, masyarakat dayak menggunakan api dalam penyiapan lahan untuk pertanian, dalam hal ini penggunaan api merupakan cara yang murah dan mudah, digunakan untuk membasmi hama (tikus) serta meningkatkan kesuburan tanah (Kinseng 2008 dalam Someshwar et al. 2011), terjadinya pembakaran lahan juga akan menurunkan tingkat keasaman tanah (Purbowoseso 2004). Namun secara nyata kebakaran hutan dan lahan menyebabkan terdegradasinya kondisi lingkungan, gangguan terhadap kesehatan manusia dan terganggunya sosial ekonomi masyarakat (Adiningsih et al. 2005).

Terdegradasinya Kondisi Lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan perubahan kualitas fisik kimia tanah, terganggunya siklus hidrologi, dan menurunkan kualitas udara. Perubahan kualitas fisik tanah. Penurunan kualitas fisik kimia tanah ditentukan oleh lama dan frekuensi terjadinya kebakaran, derajat kerusakan/dekomposisi yang ditimbulkan, juga akibat dari pemanasan yang terjadi di permukaan yang dipengaruhi oleh ketersediaan bahan bakar maupun banyaknya abu hasil pembakaran yang kaya mineral (Adiningsih et al. 2005). Perubahan sifat fisik tanah ditandai dengan kerusakan struktur tanah, penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas, dan meningkatnya kerapatan lindak, sedangkan perubahan sifat kimia tanah ditandai dengan peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor, dan kandungan Basa total (Kalsium, Magnesium, Kalium, Natrium) tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik. Lebih lanjut, perubahan tersebut hanya bersifat sementara karena beberapa bulan setelah kebakaran akan terjadi perubahan kembali terhadap sifat kimia tanah dipengaruhi oleh banyaknya abu yang dihasilkan dari pembakaran, aliran air, adanya gambut yang rusak, berubahnya penutupan lahan serta aktivitas mikroorganisme yang berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetasi di atasnya. Terganggunya siklus hidrologi. Berubahnya tutupan lahan atau vegetasi penutup tanah akan mempengaruhi besarnya aliran permukaan pada saat terjadi hujan yang berpengaruh terhadap erosi dan sedimentasi serta perubahan kualitas air di sungai yang mengakibatkan turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Kerusakan hidrologi di lahan gambut juga akan menyebabkan banjir pada musim hujan dan intrusi air laut pada musim kemarau yang semakin jauh ke darat (Purbowoseso 2004). Penurunan kualitas udara. Berdasarkan data pemantauan kualitas udara di Kota Palangka Raya pada bulan Agustus-Oktober periode tahun 2003-2006 (Pemkot Palangka Raya 2008), kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan menurunkan kualitas udara di Kota Palangka Raya dengan status tidak sehat/sangat tidak sehat dan atau berbahaya. Pencemaran udara yang dominan adalah partikel-partikel debu.

9

Gangguan terhadap kesehatan. Menurunnya kualitas udara di Kota Palangka Raya yang berasal dari asap kebakaran hutan dan lahan mengakibatkan meningkatnya gangguan kesehatan pada manusia seperti peningkatan penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) khususnya pada anak-anak serta penderita asma. Dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 61.350 orang menderita ISPA akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2006 (Narang 2007).

Terganggunya sosial ekonomi masyarakat. Salah satu dampak langsung dari asap sebagai hasil dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan akan menyebabkan terbatasnya jarak pandang sehingga mengganggu berbagai aktivitas masyarakat. Kabut asap mengakibatkan terganggunya aktivitas transportasi, baik udara, darat maupun perairan sehingga kegiatan transportasi menurun sangat tajam dan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas serta terganggunya pasokan logistik ke daerah pedalaman (Narang 2007). Lebih lanjut, kabut asap juga mengakibat aktivitas di luar rumah berkurang yang menyebabkan berkurangnya transaksi perdagangan dan terjadinya pengurangan jam belajar sekolah untuk menghindari meningkatnya penyakit ISPA.

Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan

Daerah rawan kebakaran hutan dan lahan adalah daerah di mana unsur-unsur dan faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran tersedia/terdapat dalam jumlah/frekuensi yang cukup potensial (Wanto 2007). Lebih lanjut, ciri daerah rawan kebakaran, yaitu: memiliki bahan bakar jumlahnya cukup potensial, mobilitas manusia tinggi, aktifitas manusia sering menggunakan api, kekeringan serius di waktu musim kemarau, sedangkan berdasarkan karakterisitik landskap yang sering mengalami kebakaran menurut Gandasasmita (2010) bahwa kebakaran hutan dan lahan berada pada lahan datar-bergelombang, dataran rendah-sedang, lahan dengan tutupan pohonan jarang, memiliki aksesibilitas tetapi kualitas aksesnya belum bagus dan umumnya terjadi pada daerah yang berpenduduk jarang.

Pemetaan daerah rawan kebakaran merupakan model spasial yang digunakan untuk merepresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan bahaya kebakaran hutan dan lahan (Solichin et al. 2007). Pemetaan daerah rawan kebakaran dapat bersifat jangka pendek dan panjang, tergantung resolusi data yang digunakan baik spasial maupun temporal. Pemetaan daerah rawan kebakaran yang berskala multi waktu/jangka panjang sangat berguna dalam memahami pola kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sehingga memudahkan dalam manajemen pencegahan kebakaran hutan dan lahan (Chuvieco et al. 1999).

Dalam pemetaan daerah rawan kebakaran, faktor utama penyebab kebakaran digolongkan menjadi dua yaitu pemicu kebakaran dan kondisi pendukung (Solichin et al. 2007). Faktor pemicu merupakan faktor utama penyulutan api yaitu aktivitas manusia (penyiapan lahan, pembukaan akses, berburu dan mencari ikan, serta spekulan/konflik lahan), sedangkan kondisi pendukung adalah iklim dan aktivitas manusia (perubahan penggunaan lahan, perubahan hidrologi, dan pengaruh sosial ekonomi masyarakat yaitu faktor kemiskinan). Lebih lanjut, faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan menurut Gandasasmita (2010), yaitu: musim kemarau yang panjang (fenomena El

10

Nino), menurunnya muka air tanah pada lahan gambut dari kegiatan reklamasi (selokan/parit) yang mengakibatkan overdrain atau pengatusan yang berlebihan.

Pengembangan pemetaan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan bantuan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi berdasarkan faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan, yaitu kondisi bahan bakar, kondisi klimatologi, dan perilaku kebakaran (Adinugroho 2005). Menurut Chuvieco et al. (1999), parameter kritis yang berhubungan dengan daerah rawan kebakaran dalam pemetaan yang bersifat jangka panjang, yaitu: aktivitas manusia, tipe vegetasi, tofografi, dan iklim dengan pertimbangan faktor-faktor tersebut tidak mengalami perubahan secara drastis bahkan cenderung stabil selama terjadi kebakaran. Seiring perkembangannya, Boonyanuphap et al. (2001), Jaiswal et al. (2002), Huyen dan Tuan (2008), Sharma et al. (2009), serta Sowmya dan Somashekar (2010) menggunakan faktor kepadatan/tipe vegetasi, kelembaban (iklim dan topografi), jarak dari jalan, dan jarak dari pemukiman.

Lebih lanjut, menurut hasil penelitian Jaya et al. (2007) di Provinsi Riau dan di Kalimantan Barat, faktor yang mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan adalah faktor aktivitas manusia (jarak dari desa/pemukiman, jarak dari jalan, jarak dari sungai dan penggunaan lahan) serta faktor lingkungan (curah hujan, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan Normalized Difference Water Index (NDWI)) sedangkan di Provinsi Kalimantan Timur, faktor yang mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan adalah faktor aktivitas manusia (jarak dari desa/permukiman, jarak dari jalan, dan penggunaan lahan) serta faktor lingkungan (temperatur harian, curah hujan, kelembaban harian, zona agroklimat, dan kemiringan lahan).

Untuk kepentingan penataan ruang, parameter kunci dalam hal ini geoindikator yang disarankan untuk memetakan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan adalah curah hujan, jenis tanah, tutupan lahan dan bentuk lahan (Barus et al. 2010).

Composite Mapping Analysis

Composite mapping analysis (CMA) atau analisis pemetaan gabungan merupakan salah satu metode umum yang digunakan untuk aplikasi bidang lingkungan, khususnya analisis kesesuaian lahan atau dalam menilai sensitifitas lingkungan. Boonyanuphap et al. (2001), Arianti (2006), Purnama dan Jaya (2007) dan Jaya et al. (2007), menggunakan CMA untuk membuat pemodelan spasial kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Metode CMA melakukan karakteristik lokasi berdasarkan hubungan spasial dari faktor-faktor yang relevan mempengaruhi suatu kejadian yang ada atau diusulkan. Secara spasial metode CMA memanfaatkan fungsi overlay polygon atau manipulasi raster dari sistem informasi geografis (SIG).

Interaksi antara kejadian kebakaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran dilakukan dengan memberikan pembobotan dan skor faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran terhadap kejadian kebakaran yang telah diskala sehingga menghasilkan suatu indek gabungan yang linier.

11

= = + + ⋯ + ……….. (1) = 1

dengan C adalah indeks gabungan merupakan status kelas kerawanan yang telah diskala, wi adalah bobot parameter i, xi adalah kriteria skor parameter i dan n adalah jumlah parameter.

Logistic Regression

Salah satu pendekatan analisis kuantitatif yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan adalah regresi logistik yang merupakan bentuk khusus analisis regresi dengan variabel tetap bersifat kategori dan variabel peubah bersifat kategori dan kontinu. Persamaan regresi logistik tidak menghasilkan nilai pada variabel tetap, namun menghasilkan peluang kejadian pada variabel tetap dalam format binary (0/1) (Chuiveco et al. 1999).

Pemodelan peluang kejadian tertentu dari variabel peubah dilakukan melalui transformasi logit yaitu tranformasi model regresi logistik kedalam bentuk regresi linier. Adapun persamaan regresi logistik dengan rumus sebagai berikut:

= 1 (1 + e ) ……….………… (2) dengan y adalah peluang munculnya kejadian kategori tertentu dari peubah respon (0/1), e merupakan fungsi logaritma dan z merupakan kombinasi linier dari n peubah respon yang diperoleh dari persamaan sebagai berikut:

= ……… (3)

= !" + ! + ! + ⋯ + ! ……….. (4)

dengan 0 adalah konstanta, 1, 2, …, n adalah koefesien variabel peubah dan x1, x2, …, xn adalah variabel peubah.

Hadi (2008) dan Andria (2009) menerapkan regresi logistik untuk memprediksi peluang kejadian kebakaran dengan membuat model prediksi kejadian kebakaran dengan variabel peubah terdiri dari faktor pemicu kebakaran dan faktor kondisi pendukung.

12

Pairwise Comparison

Pairwise Comparison atau metode perbandingan berpasangan merupakan metode pengambilan keputusan untuk membantu membuat prioritas dan keputusan terbaik terhadap alternatif/pilihan yang paling memenuhi tujuan/sasaran dari permasalahan yang dihadapi. Untuk menentukan bobot, setiap alternatif/pilihan dibandingkan dengan alternatif/pilihan lainnya. Salah satu teknik menentukan bobot setiap alternatif/pilihan dapat menggunakan metode yang dikembangkan oleh Prof. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Bussines, University of Pensylvania pada tahun 1970 yang dikenal dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP).

Metode AHP merupakan kerangka pengambilan keputusan yang efektif atas persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan. Konsep dasar AHP adalah dekomposisi yaitu menempatkan masalah ke dalam hirarki; penentuan prioritas melalui perbandingan berpasangan; sintesis prioritas; dan mengevaluasi inkonsistensi.

Tahapan proses AHP meliputi: penetapan tujuan, penyusunan hirarki, penilaian kriteria dan alternatif, penentuan prioritas, evaluasi konsistensi, dan sintesa prioritas. Penyusunan hirarki merupakan pemisahan masalah menjadi unsur-unsur yang terpisah. Penilaian kriteria dan alternatif dilakukan dengan menentukan peringkat kriteria atau alternatif menurut tingkat kepentingannya menggunakan matriks perbandingan berpasangan. Penentuan prioritas dengan menghitung nilai baris setiap elemen pada matrik perbandingan berpasangan terhadap nilai relatif tiap elemen. Evaluasi konsistensi dilakukan untuk menjamin validitas bobot tiap elemen dengan aturan bahwa rasio konsistensi (CR) kurang dari atau sama dengan 0,10 menandakan bobot tiap elemen dapat diterima sedangkan yang lebih besar dari 0,10 tidak dapat diterima (Saaty dan Sodenkamp 2008). Sintesis prioritas dilakukan jika kita ingin mendapatkan prioritas total untuk alternatif.

Intensity Hue Saturation Transformation

Identifikasi areal bekas kebakaran di hutan tropis sangat sulit dilakukan karena permukaan lahan yang beragam serta perubahan tutupan lahan yang sangat cepat (Phua et al. 2007). Identifikasi dan pemetaan areal bekas kebakaran hutan dan lahan secara konvesional dapat dilakukan dengan pemantauan di lapangan namun kurang efisien karena memerlukan biaya dan waktu yang ekstra tinggi. Saat ini, dengan bantuan teknologi penginderaan jauh identifikasi dan pemetaan areal bekas kebakaran dapat dilakukan berdasarkan karakteristik spektral areal bekas kebakaran. Beberapa teknik telah dibangun guna mendeteksi dan memetakan areal bekas kebakaran menggunakan data penginderaan terutama data citra satelit landsat seperti analisis visual, analisis komponen utama, indeks vegetasi, model regresi, klasifikasi digital dan analisis spektral (Koutsias et al. 1999; Koutsias et al. 2000; Clark dan Bobbe 2007).

Menurut Koutsias et al. (2010), metode tersebut mempunyai beberapa kelemahan dalam mendeteksi dan memetakan areal bekas kebakaran, seperti: memerlukan perbaikan dan koreksi radiometrik, memerlukan training area dan masih sulit membedakan antara areal bekas kebakaran dengan tutupan lahan

13

(bayangan, tubuh air dan permukiman) (Koutsias et al. 1999; Koutsias et al. 2000).

Intensity Hue Saturation Transformation (IHS) merupakan salah satu metode perbaikan atau penajaman citra yang bertujuan untuk meningkatkan tampilan citra agar informasi penting yang diperlukan dapat lebih ditampilkan. Identifikasi areal bekas kebakaran menggunakan metode IHS berdasarkan karakteristik spektral areal kebakaran dengan melakukan transformasi citra komposit Red-Green-Blue (RGB) ke Intensity-Hue-Saturation (IHS). Komposit warna RGB 7-4-1 citra landsat yang telah ditransformasi ke model warna IHS merupakan kombinasi band yang sangat efektif memisahkan daerah terbakar dari tutupan lahan lainnya dengan jelas (Koutsias et al. 1999; Koutsias et al. 2000; Maingi 2005 dan Panuju et al. 2010). Lebih lanjut, metode transformasi IHS terbukti lebih unggul dapat mendeteksi dan memetakan areal bekas kebakaran dibanding beberapa metode yang telah ada (Koutsias et al. 1999; Koutsias et al. 2000).

Koutsias et al. (2000) menggunakan metode transformasi IHS guna mendeteksi dan memetakan areal bekas kebakaran di wilayah Yunani tengah sedangkan Panuju et al. (2010) berhasil menerapkan metode transformasi IHS dalam mendeteksi dan memetakan areal bekas kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi.

Dokumen terkait