• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Land and Forest Fires Hazard Zonation in Spatial Planning (Case Study in Palangka Raya City, Central Kalimantan Province).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of Land and Forest Fires Hazard Zonation in Spatial Planning (Case Study in Palangka Raya City, Central Kalimantan Province)."

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN

DAN LAHAN DALAM PENATAAN RUANG

(Studi Kasus: Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah)

EKO MAPILATA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Penataan Ruang (Studi kasus: Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Juli 2013

(4)
(5)

RINGKASAN

EKO MAPILATA. Analisis Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Penataan Ruang (Studi Kasus: Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan GUNAWAN DJAJAKIRANA.

Kebakaran hutan dan lahan merupakan kejadian yang hampir terjadi setiap tahun pada musim kemarau di Kota Palangka Raya. Kondisi ini mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan yang akan menghambat laju pembangunan dan pengembangan wilayah Kota Palangka Raya sehingga diperlukan upaya pengendalian terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi karakteristik lokasi kebakaran hutan dan lahan; (2) mengidentifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan; (3) mengidentifikasi daerah rawan kebakaran hutan dan lahan; (4) merumuskan arahan pencegahan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.

Pengolahan dan analisis karakteristik lokasi mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh dan statistik serta mengintegrasikan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan Composite Mapping Analysis (CMA) untuk mendapatkan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Aktivitas/perilaku masyarakat yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan didapatkan dari wawancara terhadap masyarakat berdasarkan kuisioner, kemudian dianalisis menggunakan metode perbandingan berpasangan.

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik terhadap 8 variabel meliputi aktivitas manusia dan kondisi pendukung yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan, yaitu jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai, jarak terhadap permukiman, tutupan lahan, kepadatan penduduk, curah hujan, jenis tanah dan kemiringan lereng, terpilih 3 variabel yang dominan mempengaruhi peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Secara spasial, faktor yang dominan mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan adalah aktivitas manusia, yaitu jarak terhadap jalan, tutupan lahan dan kepadatan penduduk.

Berdasarkan hasil wawancara yang dianalisis menggunakan metode perbandingan berpasangan, kecenderungan aktivitas masyarakat melakukan pembakaran lahan karena adanya upaya menandai status kepemilikan/penguasaan lahan namun tidak disertai dengan kemampuan finansial yang memadai sehingga membakar merupakan cara yang cepat dan murah.

(6)

Pengembangan Produksi (KPP), Kawasan Permukiman dan Penggunaan Lainnya (KPPL), berjarak < 1 km terhadap jalan dengan tingkat kepadatan penduduk 11 – 100 jiwa/km2, tutupan lahan belukar rawa dan tanah histosol yang telah terdegradasi (overdrain) dengan kemiringan lereng < 2 %.

Kebijakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan di wilayah administrasi Kota Palangka Raya adalah pelarangan pembakaran hutan dan lahan. Pada kondisi tertentu dengan mempertimbangkan kebiasaan masyarakat adat atau tradisonal dalam membuka ladang dan kebun yang mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan, upaya pencegahan dapat dilakukan dengan kebijakan khusus dalam membakar lahan, yaitu pembakaran lahan secara terkendali. Berdasarkan karakteritik lokasi dan aktivitas masyarakat yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan, strategi pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang dapat dilakukan adalah pengembangan media informasi, pembuatan sumber air (sumur bor dan sumur gali), penabatan/penyekatan saluran/parit (canal blocking), penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat serta penegakan hukum.

(7)

SUMMARY

EKO MAPILATA. Analysis of Land and Forest Fires Hazard Zonation in Spatial Planning (Case Study in Palangka Raya City, Central Kalimantan Province). Supervised by KOMARSA GANDASASMITA and GUNAWAN DJAJAKIRANA.

In the city of Palangka Raya, land and forest fires are occurred almost every year during the dry season. These conditions resulted in damage and loss in terms of economic, social and environment that will inhibit the rate of development in Palangka Raya city so that necessary control measures against land and forest fires.

This study has four main objectives that include the following: (1) to identify the characteristics of land and forest fires; (2) to identify factors influencing land and forest fires; (3) to identify land and forest fires hazard zone; (4) to formulate the direction of land and forest fire prevention.

The Characteristics location of land and forest fires, factors influencing land and forest fires and land and forest fires hazard zone processed and analyzes using remote sensing technology approaches and statistical method and integrating Geographical Information System (GIS) with Composite Mapping Analysis (CMA). Human activites influencing land and forest fires obtained from interviews based questionnaire and analyzed using pairwise comparison.

Based on logistic regression analysis of the 8 variables encompass human activities and supporting conditions, consisting of distance to roads, distance to rivers, distance ti settlements, land cover, population density, rainfall, soil type and slope. Human activites are the main factor influencing the land and forest with three parameter influencing land and forest fires produce model accuracy by 80,00 % with low hazard area covering 103.347 ha (39 %), moderate hazard area covering 130.681 ha (49 %) and high hazard area covering 33.824 ha. Based on land and forest fires hazard zone with high hazard, there are 11 referrals location of land and forest fires prevention spread over 5 districts. The characteristics location of land and forest fire hazard zone with high hazard located at region of production forest, region of production development, region of settlement, and using other, distance to roads < 1 km, population density 11 – 100 jiwa/km2, swamp – shrubs and histosol that has degraded (overdrain) with slope < 2%.

The prevention policy of land and forest fires in administration area of Palangka Raya City is prohibition of burning land and forest. The policy of controlled burning is applied to agriculture activities undertaken by indigenous or traditional people. According to land and forest fire hazard zone, land and forest fires prevention strategies that can be done is the development of information media, preparation of water sources, canal blocking, education, community empowernment and law enforcement.

(8)
(9)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

ANALISIS DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN

DAN LAHAN DALAM PENATAAN RUANG

(Studi Kasus: Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah)

EKO MAPILATA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)

Judul Tesis : Analisis Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Penataan Ruang (Studi Kasus: Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah)

Nama : Eko Mapilata

NIM : A156100041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Analisis Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Penataan Ruang (Studi Kasus: Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah)” ini telah berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc sebagai komisi pembimbing, serta Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Nina Ariani dan ananda tersayang Ezra Sebastian Mapilata, kedua orang tua, mertua, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungan yang penuh kesabaran dan kasih sayang.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(16)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah ... 5

Kebakaran Hutan dan Lahan ... 5

Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan ... 7

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan ... 8

Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan ... 9

Composite Mapping Analysis ... 10

Logistic Regression ... 11

Pairwise Comparison ... 12

Intensity Hue Saturation Transformation ... 12

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran ... 15

Ruang Lingkup Penelitian ... 15

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

Pengumpulan Data, Sumber dan Alat ... 16

Penyusunan Kuisioner ... 17

Persiapan Data ... 17

Persiapan Citra Satelit Landsat ... 18

Persiapan Peta Tutupan Lahan ... 18

Persiapan Data Sebaran Kebakaran Hutan dan Lahan ... 19

Persiapan Data Curah Hujan ... 19

Persiapan Data Kepadatan Kependudukan ... 19

Persiapan Peta Jaringan Jalan, Sungai dan Permukiman ... 20

Perbaikan Peta Tutupan Lahan ... 20

Analisis dan Pengolahan Data ... 20

Karakteristik Lokasi Kebakaran Hutan dan Lahan ... 20

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan .. 20

Analisis Karakteristik Lokasi yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan ... 20

(17)

Analisis Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan ... 23

Penentuan Bobot dan Perhitungan Skor ... 23

Uji Akurasi Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan ... 24

Analisis Arahan Kebijakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan ... 25

GAMBARAN UMUM WILAYAH Wilayah Administratif ... 27

Kondisi Biofisik Wilayah ... 27

Iklim ... 27

Geologi ... 28

Tanah ... 30

Satuan Peta Tanah ... 30

Sebaran Lahan Gambut ... 30

Topografi ... 34

Daerah Aliran Sungai ... 35

Kondisi Sosial Ekonomi ... 35

Kependudukan ... 35

Perekonomian ... 36

Kebakaran Hutan dan Lahan ... 37

Rencana Tata Ruang Wilayah ... 38

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Kebakaran Hutan dan Lahan ... 39

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan ... 60

Karakteristik Lokasi yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan .... 60

Aktivitas /Perilaku Masyarakat yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan ... 66

Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan ... 70

Akurasi Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan ... 74

Rumusan Arahan Kebijakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan ... 74

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 83

Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN ... 91

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Data sekunder yang digunakan dalam Penelitian ... 17

2 Parameter karakteristik lokasi kebakaran hutan dan lahan ... 21

3 Rata – rata curah hujan di Kota Palangka Raya tahun 2006 – 2011 ... 28

4 Formasi/satuan batuan di Kota Palangka Raya ... 28

5 Klasifikasi tanah Kota Palangka Raya ... 30

6 Klasifikasi land system Kota Palangka Raya ... 32

7 Pengelompokan kedalaman/ketebalan gambut ... 32

8 Luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah kk dan rasio jenis kelamin, kepadatan penduduk ... 35

9 Laju pertumbuhan penduduk Kota Palangka Raya ... 36

10 Peranan sektor dalam perekonomian Kota Palangka Raya (persentase) ... 36

11 Luas areal pemadaman kebakaran hutan dan lahan ... 38

12 Luas kawasan hutan dan penggunaan lainnya ... 38

13 Luas perubahan tutupan lahan Kota Palangka Raya Periode 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2012 ... 47

18 Persentase luas areal terbakar terhadap luas keseluruhan areal terbakar ... 54

19 Proporsi luas areal terbakar terhadap luas areal kelas parameter ... 56

20 Pola perubahan tutupan lahan tahun 2006 setelah kebakaran hutan

23 Variabel peubah bebas yang berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 2003 ... 61

24 Variabel peubah bebas yang berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 2006 ... 62

25 Variabel peubah bebas yang berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 2009 ... 64

26 Variabel peubah bebas yang berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 2012 ... 65

(19)

28 Rataan geometri matrik perbandingan berpasangan motivasi kegiatan

dengan cara membakar ... 67

29 Rataan geometri matrik perbandingan berpasangan keuntungan teknik membakar ... 67

30 Rataan geometri matrik perbandingan berpasangan luas lahan yang dibakar (ha) ... 67

31 Rataan geometri matrik perbandingan berpasangan waktu pembakaran (WIB) ... 68

32 Rataan geometri matrik perbandingan berpasangan perlakuan bahan bakar sebelum dilakukan pembakaran ... 68

33 Rataan geometri matrik perbandingan berpasangan lama pengeringan bahan bakar (hari) ... 68

34 Rataan geometri matrik perbandingan berpasangan kegiatan dalam upaya pencegahan meluasnya pembakaran ... 69

35 Rataan geometri matrik perbandingan berpasangan cara/teknik membakar ... 69

36 Rataan geometri matrik perbandingan berpasangan kegiatan yang dilakukan selama proses pembakaran ... 70

37 Parameter, bobot, sub parameter, nilai dan keterangan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan ... 71

38 Luas daerah rawan kebakaran hutan dan lahan ... 71

39 Luas areal terbakar pada daerah rawan kebakaran hutan dan lahan ... 74

40 Arahan lokasi pencegahan kebakaran hutan lahan ... 75

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram kerangka pemikiran ... 16

2 Diagram alir penelitian... 22

3 Peta wilayah administrasi Kota Palangka Raya ... 27

4 Peta geologi Kota Palangka Raya ... 29

5 Satuan peta tanah Kota Palangka Raya ... 31

6 Peta sebaran lahan gambut Kota Palangka Raya ... 33

7 Peta kemiringan lereng Kota Palangka Raya ... 34

8 Grafik sebaran titik panas (Hotspot) periode tahun 2000-2012 ... 37

9 Peta curah hujan Kota Palangka Raya ... 40

10 Peta kepadatan penduduk Kota Palangka Raya ... 41

11 Peta tutupan lahan Kota Palangka Raya tahun 2000 ... 42

12 Peta tutupan lahan Kota Palangka Raya tahun 2003 ... 43

13 Peta tutupan lahan Kota Palangka Raya tahun 2006 ... 44

14 Peta tutupan lahan Kota Palangka Raya tahun 2009 ... 45

15 Peta tutupan lahan Kota Palangka Raya tahun 2012 ... 46

16 Grafik perubahan tutupan lahan Kota Palangka Raya periode 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2012 ... 47

17 Peta areal/lokasi kebakaran hutan dan lahan Kota Palangka Raya ... 51

18 Peta jaringan jalan, sungai dan permukiman Kota Palangka Raya ... 54

19 Persentase luas areal terbakar terhadap luas keseluruhan areal terbakar ... 55

20 Proporsi luas areal terbakar terhadap luas areal kelas parameter ... 57

21 Peta kelas jarak jalan Kota Palangka Raya ... 72

22 Peta daerah rawan kebakaran hutan dan lahan Kota Palangka Raya ... 73

23 Peta arahan lokasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan ... 76

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner penelitian ... 91 2 Titik referensi cek lapangan dan google earth

klasifikasi tutupan lahan citra satelit tahun 2012 ... 95 3 Penilaian akurasi klasifikasi tutupan lahan

citra satelit landsat tahun 2012 ... 97 4 Citra satelit landsat yang digunakan untuk mengidentifikasi

sebaran lokasi/areal kebakaran hutan dan lahan ... 98 5 Titik referensi cek lapangan klasifikasi areal terbakar citra satelit landsat

tahun 2012 ... 99 6 Penilaian akurasi klasifikasi citra satelit landsat tahun 2012 ... 100 7 Perhitungan bobot parameter model daerah rawan kebakaran

hutan dan lahan ... 101 8 Titik referensi cek lapangan model kerawanan kebakaran

hutan dan lahan ... 102 9 Penilaian akurasi model kerawanan kebakaran hutan dan lahan ... 104 10 Variabel yang mempengaruhi peluang terjadinya

kebakaran hutan dan lahan tahun 2003 ... 105 11 Variabel yang mempengaruhi peluang terjadinya

kebakaran hutan dan lahan tahun 2006 ... 106 12 Variabel yang mempengaruhi peluang terjadinya

kebakaran hutan dan lahan tahun 2009 ... 108 13 Variabel yang mempengaruhi peluang terjadinya

kebakaran hutan dan lahan tahun 2012 ... 109 14 Peta rencana tata ruang wilayah Kota Palangka Raya

tahun 1999 – 2009 ... 110 15 Peta draft penyesuaian pola ruang Kota Palangka Raya

tahun 2005 – 2015 ... 111 16 Luas areal terbakar, luas areal kelas parameter,

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menjadi perhatian dunia internasional khususnya sejak kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 80-an (Adiningsih et al. 2005 dan Jaya et al. 2007). Penyebab kebakaran hutan dan lahan lebih disebabkan oleh ulah manusia dibandingkan proses alam (Siswanto 1994; Chuvieco et al. 1999; Page et al. 2002; Usman 1999 dalam Sudibyakto 2003; Purbowoseso 2004; Adinugroho et al. 2005 dan Somashekar et al. 2009). Meningkatnya kejadian kebakaran hutan dan lahan terjadi pada musim kemarau yang panjang dan erat kaitannya dengan anomali atau penyimpangan iklim setiap tahunnya yaitu fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) seperti di tahun 1972-1973, 1982-83, 1987, 1991-1992, 1994, 1997-98, 2002 dan 2006 (Dennis 1999; Boonyanuphap et al. 2001; Salwati 2008; Harrison et al. 2009).

Di Kota Palangka Raya, kejadian kebakaran hutan dan lahan merupakan kejadian yang hampir terjadi setiap tahun pada musim kemarau. Kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2006 tercatat sebagai salah satu kejadian kebakaran yang terparah sepanjang 20 tahun belakangan ini dan telah dilaporkan sekitar 4.310 ha hutan dan lahan yang telah terbakar (LAPAN 2007). Berdasarkan data pemantauan kualitas udara di Kota Palangka Raya pada bulan September-Oktober 2006 (Pemkot Palangka Raya 2008), kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan menurunkan kualitas udara di Kota Palangka Raya dengan status tidak sehat/sangat tidak sehat dan atau berbahaya yang mengakibatkan terjadinya peningkatan penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Kabut asap juga mengakibatkan jarak pandang terbatas sehingga transportasi terganggu dan ditutupnya pelabuhan udara (Dennis 1999 dan Narang 2007). Kondisi ini mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan yang akan menghambat laju pembangunan dan pengembangan wilayah Kota Palangka Raya sehingga diperlukan upaya pengendalian terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Di dalam Peraturan Pemerintah No.04 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan (Setneg 2001), dijelaskan bahwa pengendalian kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan cara penanggulangan dan pencegahan. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan (Setneg 2010), dijelaskan bahwa pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan menyediakan data dan informasi meliputi lokasi/areal kebakaran dan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.

(23)

2

ambang batas suhu dan jenis satelit yang digunakan mengakibatkan perbedaan jumlah hotspot. Penetapan luas kebakaran berdasarkan data hotspot hanya dapat dilakukan jika didukung dengan analisis tambahan menggunakan citra resolusi tinggi atau pengecekan lapangan (groundtruth) yang memerlukan biaya dan waktu yang ekstra tinggi (Fathurrakhman 2007). Transformasi Intensity, Hue, Saturation (IHS) menggunakan data penginderaan jauh dapat memetakan luas dan lokasi/bekas kebakaran kebakaran hutan dan lahan secara langsung dan singkat (Koutsias et al. 1999; Koutsias et al. 2000) sehingga dapat mengatasi kelemahan mengidentifikasi luas dan kejadian/areal bekas kebakaran menggunakan data hotspot maupun beberapa teknik pemetaan bekas kebakaran lainnya.

Pemetaan daerah rawan kebakaran merupakan salah satu strategi pencegahan kebakaran hutan dan lahan yaitu memetakan lokasi yang rawan terhadap kebakaran yang mempertimbangkan lokasi/areal bekas kebakaran terhadap faktor yang mempengaruhi dan interaksi antar faktor yang berkontribusi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Boonyanuphap et al. 2001 dan Jaya et al. 2008). Aktivitas/perilaku manusia merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan. Menurut Adinugroho et al. (2005), kebakaran hutan dan lahan 99,9 % dipengaruhi oleh aktivitas manusia meliputi: pembukaan, penyiapan dan pembersihan hutan dan lahan. Aktivitas/perilaku manusia dapat diukur berdasarkan motivasinya dalam melakukan suatu tindakan (Walgito 2003). Motivasi dari suatu aktivitas/perilaku manusia dapat dianalisis menggunakan kuisioner maupun wawancara dan dikuantitatifkan menggunakan metode perbandingan berpasangan sehingga didapatkan motivasi yang paling memenuhi tujuan/sasaran dari permasalahan yang dihadapi.

Pemetaan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan bantuan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis berdasarkan lokasi/areal bekas kebakaran, aktivitas/perilaku manusia dan kondisi pendukung. Composite Mapping Analysis (CMA) merupakan metode berbasis sistem informasi geografis yang mampu menggambarkan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan (Arianti 2006 dan Jaya et al. 2008) sehingga akan diperoleh daerah rawan kebakaran hutan dan lahan yang menjadi salah satu acuan dalam pemanfaatan ruang secara bijaksana bagi Pemerintah Kota Palangka Raya.

Rumusan Masalah

Kebakaran hutan dan lahan merupakan kejadian yang hampir terjadi setiap tahun pada musim kemarau sepanjang 20 tahun terakhir di Kota Palangka Raya yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan. Besarnya dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan menyebabkan terganggunya pembangunan dan pengembangan wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah, khususnya di Kota Palangka Raya sehingga kebakaran hutan dan lahan merupakan ancaman bencana yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan dan pengembangan wilayah.

(24)

3

mempertimbangkan faktor pemicu dan kondisi pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Dalam upaya mengidentifikasi daerah rawan kebakaran hutan dan lahan untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Kota Palangka Raya dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik lokasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan? 3. Bagaimana tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan? 4. Bagaimana arahan pencegahan kebakaran hutan dan lahan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian adalah: 1. Mengidentifikasi karakteristik lokasi kebakaran hutan dan lahan.

2. Mengidentifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan.

3. Mengidentifikasi daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.

4. Merumuskan arahan kebijakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.

Manfaat Penelitian

(25)
(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah pada dasarnya bertujuan mengembangkan wilayah menuju tingkat perkembangan yang diinginkan dengan melakukan optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki mencakup aspek fisik, sosial, budaya dan lingkungan agar tercapainya pembangunan berkelanjutan dan berbasis penataan ruang (Djakapermana 2010). Pengembangan wilayah selalu dihadapkan dengan keterbatasan lahan terhadap jumlah penduduk dan kebutuhan lahan yang terus meningkat sehingga diperlukan suatu perencanaan penggunaan lahan berdasarkan kesesuaian dan kebutuhan multipihak. Perencanaan penggunaan lahan sangat penting dilakukan untuk mengetahui kondisi lahan, potensi dan pembatas pada suatu wilayah. Menurut Sitorus (2004), perencanaan penggunaan lahan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan.

Perencanaan pengembangan wilayah menurut Tarigan (2005) sebaiknya menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral biasanya kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan, sedangkan pendekatan regional lebih bersifat spasial dan merupakan penghubung antara pengembangan wilayah dengan rencana tata ruang. Menurut Djakapermana (2010), guna mendapatkan hasil yang optimal dalam pengembangan wilayah diperlukan penataan ruang, yaitu proses perencanaan ruang dengan mengalokasikan sumberdaya alam dan buatan secara optimal, pemanfaatan ruang yaitu serangkaian kegiatan pembangunan dan pengendalian ruang meliputi kegiatan pengaturan zonasi, pemberian/pencabutan ijin, pemberian insentif dan diinsentif agar sesuai dengan rencana tata ruang.

Adapun tujuan penataan ruang menurut Djakapermana (2010), yaitu tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas berbudi luhur dan sejahtera, mewujudkan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya, meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam secara efesien dan efektif bagi manusia, mewujudkan perlindungan fungsi ruang, dan mencegah kerusakan lingkungan. Penataan ruang merupakan wujud hubungan antara manusia dan ruang kehidupannya dengan mengoptimalkan sumberdaya alam dan buatan sehingga menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan serta berbasis mitigasi bencana. Lebih lanjut menurut Rustiadi et al. (2009), penataan ruang merupakan wujud pengaturan hubungan manusia dan ruang kehidupan, penataan ruang harus memahami hubungan bagaimana pengaruh manusia memanfaatkan dan mempengaruhi alam, kondisi alam yang mempengaruhi kehidupan manusia, dan bagaimana hubungan antar sesama manusia sebagai bentuk sistem sosial.

Kebakaran Hutan dan Lahan

(27)

6

tropis yang sebagian besar kondisi hutannya selalu basah, kebakaran hutan dan lahan tidak mudah terjadi secara alami namun lebih disebabkan oleh aktivitas manusia (Siswanto 1994; Chuvieco et al. 1999; Page et al. 2002; Usman 1999 dalam Sudibyakto 2003; Purbowoseso 2004; Salwati 2008 dan Somashekar et al. 2009).

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tidak hanya terjadi pada lahan kering tetapi juga terjadi di lahan basah seperti lahan/hutan gambut, terutama pada musim kemarau di mana lahan basah tersebut mengalami kekeringan (Adinugroho et al. 2005). Menurut Solichin et al. (2007), kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di lahan gambut dan hutan rawa gambut dikarenakan wilayah tersebut telah terdegradasi. Pembukaan lahan gambut dengan membuat saluran/parit telah menyebabkan hilangnya air tanah dalam gambut sehingga gambut mengalami kekeringan yang berlebihan (overdrain) di musim kemarau dan mudah terbakar.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun pada musim kemarau sepanjang 20 tahun terakhir mengakibatkan kerusakan atau kerugian terhadap lingkungan, kesehatan, dan sosial ekonomi yang saling berkaitan. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Saharjo et al. 1999), merupakan semua aktivitas untuk melindungi hutan dan lahan dari kebakaran dan penggunaan api yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan dan lahan. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan terdiri dari tiga komponen utama yaitu: pencegahan, penanggulangan, dan penindakan hukum (Narang 2007). Fakta dari beberapa kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menunjukan bahwa manajemen kebakaran hutan dan lahan lebih mengutamakan aspek penanggulangan dibandingkan aspek pencegahan. Menurut Adinugroho et al. (2005), kondisi ini disebabkan kegiatan penanggulangan lebih menghasilkan dana yang besar dibandingkan kegiatan pencegahan dan kegiatan pemerintah lebih menekankan kegiatan jangka pendek.

Pencegahan kebakaran merupakan upaya mengurangi atau meminimalkan kejadian kebakaran hutan dan lahan (Purbowoseso 2004). Kegiatan pencegahan merupakan cara yang lebih ekonomis untuk mengurangi kerusakan atau kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan dibandingkan kegiatan penanggulangan yang memerlukan dana yang besar.

Proses pembakaran terjadi karena adanya sumber panas (api) sebagai penyulut, bahan bakar yang tersedia, dan adanya oksigen dalam waktu bersamaan yang dikenal dengan segitiga api. Konsep sederhana dalam mencegah proses pembakaran adalah meniadakan salah satu komponen segitiga api tersebut. Hal yang dapat dilakukan yaitu menghilangkan atau mengurangi akumulasi bahan bakar dan sumber panas (api).

(28)

7

Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan

Secara umum faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan dapat digolongkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu: pemicu kebakaran dan kondisi pendukung (Solichin et al. 2007). Pemicu kebakaran merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi terjadinya penyulutan api, aktivitas manusia merupakan komponen terbesar yang mempengaruhi penyulutan api dibandingkan secara alami. Menurut Siswanto (1994), Usman 1999 dalam Sudibyakto (2003), dan Purbowoseso (2004), kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir 90% disebabkan oleh aktivitas manusia sedangkan Adinugroho et al. (2005) menyatakan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya (99,9%) disebabkan oleh aktivitas manusia baik sengaja maupun akibat kelalaian.

Aktivitas/Perilaku Manusia. Aktivitas atau perilaku manusia terhadap kebakaran hutan dan lahan merupakan kesiapan atau kecenderungan seseorang untuk bertindak untuk bertindak terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Secara psikologis, aktivitas atau perilaku manusia dominan terbentuk atau diperoleh dari proses pembelajaran atau sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya (Walgito 2003). Lebih lanjut, aktivitas atau perilaku merupakan komponen dari sikap seseorang sehingga sikap sangat mempengaruhi aktivitas atau perilaku seseorang. Namun demikian tidak semua ahli sependapat bahwa aktivitas atau perilaku dilatar belakangi oleh sikap yang ada pada diri yang bersangkutan sehingga sikap tidak bisa diukur secara langsung, maka yang dapat diukur adalah sikap yang nampak yaitu aktivitas atau perilaku.

Menurut Saharjo (2000) dalam Adiningsih et al. (2005) dan Herawati et al. (2006), sumber aktivitas manusia yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan adalah kegiatan pembukaan dan penyiapan lahan, pembukaan dan pembangunan akses jalan/permukiman serta perambahan hutan. Solichin (2007), menyatakan kebakaran hutan dan lahan secara langsung disebabkan oleh aktivitas manusia dalam penggunaaan api untuk kegiatan pembukaan lahan, berburu dan mencari ikan, pembukaan akses, serta adanya spekulasi/konflik lahan.

Lebih lanjut, faktor kemudahan dalam mencapai suatu lokasi sangat mempengaruhi frekuensi aktivitas manusia, lokasi yang lebih dekat dengan jalan, sungai dan permukiman pada umumnya lebih banyak teridentifikasi aktivitas manusia (Booyanuphap 2001; Jaya et al. 2007; Samsuri 2008; Andria 2009). Secara spasial kemudahan mencapai suatu lokasi digambarkan dengan jarak terhadap jalan, sungai dan permukiman (Hadi 2008).

(29)

8

dan perubahan tutupan lahan merupakan faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di hutan basah tropis. Lebih lanjut menurut Chuvieco et al. (1999), Barlow dan Peres (2003), Herawati et al. (2006) dan Harisson et al. (2009), meningkatnya kejadian kebakaran hutan dan lahan disebabkan kombinasi dari aktivitas manusia (perubahan penggunaan lahan) dan efek dari penyimpangan iklim.

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Secara tradisional, masyarakat dayak menggunakan api dalam penyiapan lahan untuk pertanian, dalam hal ini penggunaan api merupakan cara yang murah dan mudah, digunakan untuk membasmi hama (tikus) serta meningkatkan kesuburan tanah (Kinseng 2008 dalam Someshwar et al. 2011), terjadinya pembakaran lahan juga akan menurunkan tingkat keasaman tanah (Purbowoseso 2004). Namun secara nyata kebakaran hutan dan lahan menyebabkan terdegradasinya kondisi lingkungan, gangguan terhadap kesehatan manusia dan terganggunya sosial ekonomi masyarakat (Adiningsih et al. 2005).

(30)

9

Gangguan terhadap kesehatan. Menurunnya kualitas udara di Kota Palangka Raya yang berasal dari asap kebakaran hutan dan lahan mengakibatkan meningkatnya gangguan kesehatan pada manusia seperti peningkatan penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) khususnya pada anak-anak serta penderita asma. Dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 61.350 orang menderita ISPA akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2006 (Narang 2007).

Terganggunya sosial ekonomi masyarakat. Salah satu dampak langsung dari asap sebagai hasil dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan akan menyebabkan terbatasnya jarak pandang sehingga mengganggu berbagai aktivitas masyarakat. Kabut asap mengakibatkan terganggunya aktivitas transportasi, baik udara, darat maupun perairan sehingga kegiatan transportasi menurun sangat tajam dan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas serta terganggunya pasokan logistik ke daerah pedalaman (Narang 2007). Lebih lanjut, kabut asap juga mengakibat aktivitas di luar rumah berkurang yang menyebabkan berkurangnya transaksi perdagangan dan terjadinya pengurangan jam belajar sekolah untuk menghindari meningkatnya penyakit ISPA.

Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan

Daerah rawan kebakaran hutan dan lahan adalah daerah di mana unsur-unsur dan faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran tersedia/terdapat dalam jumlah/frekuensi yang cukup potensial (Wanto 2007). Lebih lanjut, ciri daerah rawan kebakaran, yaitu: memiliki bahan bakar jumlahnya cukup potensial, mobilitas manusia tinggi, aktifitas manusia sering menggunakan api, kekeringan serius di waktu musim kemarau, sedangkan berdasarkan karakterisitik landskap yang sering mengalami kebakaran menurut Gandasasmita (2010) bahwa kebakaran hutan dan lahan berada pada lahan datar-bergelombang, dataran rendah-sedang, lahan dengan tutupan pohonan jarang, memiliki aksesibilitas tetapi kualitas aksesnya belum bagus dan umumnya terjadi pada daerah yang berpenduduk jarang.

Pemetaan daerah rawan kebakaran merupakan model spasial yang digunakan untuk merepresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan bahaya kebakaran hutan dan lahan (Solichin et al. 2007). Pemetaan daerah rawan kebakaran dapat bersifat jangka pendek dan panjang, tergantung resolusi data yang digunakan baik spasial maupun temporal. Pemetaan daerah rawan kebakaran yang berskala multi waktu/jangka panjang sangat berguna dalam memahami pola kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sehingga memudahkan dalam manajemen pencegahan kebakaran hutan dan lahan (Chuvieco et al. 1999).

(31)

10

Nino), menurunnya muka air tanah pada lahan gambut dari kegiatan reklamasi (selokan/parit) yang mengakibatkan overdrain atau pengatusan yang berlebihan.

Pengembangan pemetaan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan bantuan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi berdasarkan faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan, yaitu kondisi bahan bakar, kondisi klimatologi, dan perilaku kebakaran (Adinugroho 2005). Menurut Chuvieco et al. (1999), parameter kritis yang berhubungan dengan daerah rawan kebakaran dalam pemetaan yang bersifat jangka panjang, yaitu: aktivitas manusia, tipe vegetasi, tofografi, dan iklim dengan pertimbangan faktor-faktor tersebut tidak mengalami perubahan secara drastis bahkan cenderung stabil selama terjadi kebakaran. Seiring perkembangannya, Boonyanuphap et al. (2001), Jaiswal et al. (2002), Huyen dan Tuan (2008), Sharma et al. (2009), serta Sowmya dan Somashekar (2010) menggunakan faktor kepadatan/tipe vegetasi, kelembaban (iklim dan topografi), jarak dari jalan, dan jarak dari pemukiman.

Lebih lanjut, menurut hasil penelitian Jaya et al. (2007) di Provinsi Riau dan di Kalimantan Barat, faktor yang mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan adalah faktor aktivitas manusia (jarak dari desa/pemukiman, jarak dari jalan, jarak dari sungai dan penggunaan lahan) serta faktor lingkungan (curah hujan, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan Normalized Difference Water Index (NDWI)) sedangkan di Provinsi Kalimantan Timur, faktor yang mempengaruhi kerawanan kebakaran hutan adalah faktor aktivitas manusia (jarak dari desa/permukiman, jarak dari jalan, dan penggunaan lahan) serta faktor lingkungan (temperatur harian, curah hujan, kelembaban harian, zona agroklimat, dan kemiringan lahan).

Untuk kepentingan penataan ruang, parameter kunci dalam hal ini geoindikator yang disarankan untuk memetakan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan adalah curah hujan, jenis tanah, tutupan lahan dan bentuk lahan (Barus et al. 2010).

Composite Mapping Analysis

Composite mapping analysis (CMA) atau analisis pemetaan gabungan merupakan salah satu metode umum yang digunakan untuk aplikasi bidang lingkungan, khususnya analisis kesesuaian lahan atau dalam menilai sensitifitas lingkungan. Boonyanuphap et al. (2001), Arianti (2006), Purnama dan Jaya (2007) dan Jaya et al. (2007), menggunakan CMA untuk membuat pemodelan spasial kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Metode CMA melakukan karakteristik lokasi berdasarkan hubungan spasial dari faktor-faktor yang relevan mempengaruhi suatu kejadian yang ada atau diusulkan. Secara spasial metode CMA memanfaatkan fungsi overlay polygon atau manipulasi raster dari sistem informasi geografis (SIG).

(32)

11

= = + + ⋯ + ……….. (1)

= 1

dengan C adalah indeks gabungan merupakan status kelas kerawanan yang telah diskala, wi adalah bobot parameter i, xi adalah kriteria skor parameter i dan n

adalah jumlah parameter.

Logistic Regression

Salah satu pendekatan analisis kuantitatif yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan adalah regresi logistik yang merupakan bentuk khusus analisis regresi dengan variabel tetap bersifat kategori dan variabel peubah bersifat kategori dan kontinu. Persamaan regresi logistik tidak menghasilkan nilai pada variabel tetap, namun menghasilkan peluang kejadian pada variabel tetap dalam format binary (0/1) (Chuiveco et al. 1999).

Pemodelan peluang kejadian tertentu dari variabel peubah dilakukan melalui transformasi logit yaitu tranformasi model regresi logistik kedalam bentuk regresi linier. Adapun persamaan regresi logistik dengan rumus sebagai berikut:

= 1 (1 + e ) ……….………… (2)

dengan y adalah peluang munculnya kejadian kategori tertentu dari peubah respon (0/1), e merupakan fungsi logaritma dan z merupakan kombinasi linier dari n peubah respon yang diperoleh dari persamaan sebagai berikut:

= ……… (3)

= !" + ! + ! + ⋯ + ! ……….. (4)

dengan 0 adalah konstanta, 1, 2, …, n adalah koefesien variabel peubah dan x1,

x2, …, xn adalah variabel peubah.

(33)

12

Pairwise Comparison

Pairwise Comparison atau metode perbandingan berpasangan merupakan metode pengambilan keputusan untuk membantu membuat prioritas dan keputusan terbaik terhadap alternatif/pilihan yang paling memenuhi tujuan/sasaran dari permasalahan yang dihadapi. Untuk menentukan bobot, setiap alternatif/pilihan dibandingkan dengan alternatif/pilihan lainnya. Salah satu teknik menentukan bobot setiap alternatif/pilihan dapat menggunakan metode yang dikembangkan oleh Prof. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Bussines, University of Pensylvania pada tahun 1970 yang dikenal dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP).

Metode AHP merupakan kerangka pengambilan keputusan yang efektif atas persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan. Konsep dasar AHP adalah dekomposisi yaitu menempatkan masalah ke dalam hirarki; penentuan prioritas melalui perbandingan berpasangan; sintesis prioritas; dan mengevaluasi inkonsistensi.

Tahapan proses AHP meliputi: penetapan tujuan, penyusunan hirarki, penilaian kriteria dan alternatif, penentuan prioritas, evaluasi konsistensi, dan sintesa prioritas. Penyusunan hirarki merupakan pemisahan masalah menjadi unsur-unsur yang terpisah. Penilaian kriteria dan alternatif dilakukan dengan menentukan peringkat kriteria atau alternatif menurut tingkat kepentingannya menggunakan matriks perbandingan berpasangan. Penentuan prioritas dengan menghitung nilai baris setiap elemen pada matrik perbandingan berpasangan terhadap nilai relatif tiap elemen. Evaluasi konsistensi dilakukan untuk menjamin validitas bobot tiap elemen dengan aturan bahwa rasio konsistensi (CR) kurang dari atau sama dengan 0,10 menandakan bobot tiap elemen dapat diterima sedangkan yang lebih besar dari 0,10 tidak dapat diterima (Saaty dan Sodenkamp 2008). Sintesis prioritas dilakukan jika kita ingin mendapatkan prioritas total untuk alternatif.

Intensity Hue Saturation Transformation

Identifikasi areal bekas kebakaran di hutan tropis sangat sulit dilakukan karena permukaan lahan yang beragam serta perubahan tutupan lahan yang sangat cepat (Phua et al. 2007). Identifikasi dan pemetaan areal bekas kebakaran hutan dan lahan secara konvesional dapat dilakukan dengan pemantauan di lapangan namun kurang efisien karena memerlukan biaya dan waktu yang ekstra tinggi. Saat ini, dengan bantuan teknologi penginderaan jauh identifikasi dan pemetaan areal bekas kebakaran dapat dilakukan berdasarkan karakteristik spektral areal bekas kebakaran. Beberapa teknik telah dibangun guna mendeteksi dan memetakan areal bekas kebakaran menggunakan data penginderaan terutama data citra satelit landsat seperti analisis visual, analisis komponen utama, indeks vegetasi, model regresi, klasifikasi digital dan analisis spektral (Koutsias et al. 1999; Koutsias et al. 2000; Clark dan Bobbe 2007).

(34)

13

(bayangan, tubuh air dan permukiman) (Koutsias et al. 1999; Koutsias et al. 2000).

Intensity Hue Saturation Transformation (IHS) merupakan salah satu metode perbaikan atau penajaman citra yang bertujuan untuk meningkatkan tampilan citra agar informasi penting yang diperlukan dapat lebih ditampilkan. Identifikasi areal bekas kebakaran menggunakan metode IHS berdasarkan karakteristik spektral areal kebakaran dengan melakukan transformasi citra komposit Red-Green-Blue (RGB) ke Intensity-Hue-Saturation (IHS). Komposit warna RGB 7-4-1 citra landsat yang telah ditransformasi ke model warna IHS merupakan kombinasi band yang sangat efektif memisahkan daerah terbakar dari tutupan lahan lainnya dengan jelas (Koutsias et al. 1999; Koutsias et al. 2000; Maingi 2005 dan Panuju et al. 2010). Lebih lanjut, metode transformasi IHS terbukti lebih unggul dapat mendeteksi dan memetakan areal bekas kebakaran dibanding beberapa metode yang telah ada (Koutsias et al. 1999; Koutsias et al. 2000).

(35)
(36)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Pengembangan wilayah pada dasarnya bertujuan mengembangkan suatu wilayah agar sesuai dengan yang diinginkan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki secara harmonis, serasi, dan terpadu untuk pembangunan berkelanjutan. Dalam upaya mewujudkan pengembangan wilayah yang optimum diperlukan penataan ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan penggunaan lahan merupakan salah satu komponen perencanaan yang bertujuan untuk mengetahui potensi wilayah, daya dukung, dan daya tampung, serta faktor pembatas suatu kegiatan tertentu.

Ancaman bencana merupakan salah satu faktor yang harus dipahami dan dipertimbangkan dalam pemanfaatan ruang karena akan menghambat laju pembangunan dan pengembangan suatu wilayah. Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu ancaman bencana yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan didukung oleh kondisi tertentu. Arahan pemanfaatan ruang dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan harus mempertimbangkan lokasi/pola kebakaran dan aktivitas manusia serta kondisi pendukung yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan. Kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis faktor-faktor fisik menggunakan pendekatan tematik ruang dengan mengintegrasikan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Composite Mapping Analysis (CMA) serta Regresi Logistik untuk mendapatkan karakteristik areal kebakaran hutan dan lahan dan faktor fisik yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan serta daerah rawan kebakaran hutan dan lahan, sedangkan analisis faktor sosial dilakukan berdasarkan wawancara menggunakan kuesioner terhadap prilaku masyarakat yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan metode perbandingan berpasangan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

(37)

16

Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran.

Pengumpulan Data, Sumber dan Alat

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari interpretasi citra satelit berupa data areal bekas kebakaran hutan dan lahan dan tutupan lahan serta melakukan wawancara menggunakan kuesioner untuk memperoleh aktivitas/perilaku masyarakat yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan. Adapun sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive random sampling dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Data sekunder berupa peta, citra satelit, laporan tertulis dan data numerik lainnya yang dikumpulkan dari berbagai sumber sesuai dengan tujuan penelitian seperti pada Tabel 1.

Arahan Pemanfaatan Ruang

Dalam Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Penataan Ruang

Aktivitas Manusia

Kondisi Pendukung Kebakaran

Hutan dan Lahan

Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Rencana Tata

Ruang Wilayah

Ancaman Bencana Pengembangan

(38)

17

Tabel 1 Data sekunder yang digunakan dalam penelitian

No Jenis Data Format Tahun Skala

Dasar Sumber

1 Peta Administrasi Digital 2000 1:50.000 Pemkot Palangka Raya

2 Peta Tutupan Lahan Digital 2000,2003,

2006,2009,2011 1:50.000

Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan

3 Peta Jenis Tanah Digital 1986 1:250.000 Puslitanak

4 Peta Kemiringan

Lereng Digital - - USGS

5 Peta Jaringan Jalan

dan Sungai Digital 2000 1:50.000 Pemkot Palangka Raya

6 Peta RTRW Digital 2000 1:50.000 Pemkot Palangka Raya

7 Citra Satelit Landsat Digital 2000,2003,

2006,2009,2012 - USGS

8 Data Sebaran Hotspot

(Titik Panas) Digital

2000,2003,2006,

2009, 2012 - NASA

9 Data Curah Hujan Tabular 2004-2011 - BMKG Palangka Raya

10 Data Kependudukan Tabular 2008-2011 - BPS Kota Palangka Raya

11 Data Kebakaran

Hutan dan lahan Tabular 2005-2011 - BKSDA Kalimantan Tengah

Alat yang digunakan adalah GPS, kamera digital dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software: ArcGIS/ArcView, ERDAS Imagine Microsoft Office, dan SPSS/Statistica.

Penyusunan Kuesioner

Kuesioner disusun untuk mendapatkan informasi mengenai aktivitas/perilaku masyarakat terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Penyusunan kuesioner dilakukan dengan studi literatur dan pendapat para ahli, sehingga diharapkan kuesioner dapat menjadi alat untuk menjawab tujuan penelitian. Metode pengambilan sampel dilakukan secara purposive random sampling dan responden yang dijadikan sampel adalah pelaku pembakaran hutan dan lahan yaitu masyarakat yang melakukan pembukaan, persiapan dan pembersihan lahan di wilayah administratif Kota Palangka Raya dengan jumlah responden yang diambil seluruhnya adalah sebanyak 30 responden.

Kuesioner dibuat berdasarkan tujuan melakukan pembakaran hutan dan lahan yaitu membangun perumahan/pertambangan, bertani/berkebun, penanda kepemilikan/penguasaan lahan serta motivasi masyarakat menggunakan teknik membakar dalam membuka, menyiapkan dan membersihkan hutan dan lahan yaitu dapat menyuburkan tanah, merupakan cara yang cepat dan murah/ekonomis atau merupakan budaya/kebiasaan masyarakat serta keterbatasan pengetahuan dalam membuka, menyiapkan dan membersihkan hutan dan lahan.

Persiapan Data

(39)

18

data dilakukan terhadap peta digital dan data atributnya. Peta dengan sistem koordinat yang berbeda akan ditransformasikan ke sistem koordinat yang sama yaitu Universal Transverse Mercator (UTM) sehingga terbentuk basis data spasial dengan sistem koordinat yang sama.

Data primer dan data sekunder yang telah ditranformasikan dalam bentuk digital disusun menjadi suatu basis data dengan sistem koordinat UTM dalam format vektor yang disimpan dalam bentuk shapefile.

Persiapan Citra Satelit Landsat

Citra satelit landsat didapat dari United States Geological Survey (USGS), terdiri dari beberapa band (multi-band) yang memiliki karakteristik tersendiri dalam mendeteksi unsur-unsur spatial. Untuk mendapatkan citra satelit landsat yang menampilkan citra berwarna dilakukan penggabungan band menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine dengan melakukan fungsi stacking pada menu interpreter. Untuk mendapatkan citra dengan sistem koordinat yang diinginkan maka dilakukan transformasi geometrik dengan menggunakan titik kontrol (Ground Control Point) yang dicari pada citra lain yang sudah memiliki georeferensi atau menggunakan titik pengukuran yang diambil mengunakan GPS pada lokasi tertentu yang mudah dikenali pada citra. Pada penelitian ini, transformasi geometrik menggunakan persamaan polinomial ordo 1 atau affine (linier) transformation dengan Root mean Suared Error (RMSE) < 0,5 piksel dan mengacu pada peta rupa bumi skala 1 : 50 000.

Persiapan Peta Tutupan Lahan

Peta tutupan lahan diperoleh dari interpretasi citra satelit landsat tahun 2012 Path 118 Row 61 dan 62. Interpretasi dilakukan secara visual dengan kombinasi band yang digunakan adalah 5-4-2 (RGB). Adapun pendekatan unsur interpretasi secara visual meliputi: rona (berkaitan dengan warna/derajat keabuan suatu obyek), tekstur (frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk (berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari obyek tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek-obyek yang lain).

Uji akurasi hasil interpretasi penggunaan/penutupan lahan dilakukan dengan melakukan pengecekan lapangan (ground truth) terhadap kebenaran, ketepatan atau kenyataan di lapangan. Dalam hal ini uji akurasi dilakukan dengan bantuan citra Google Earth sebagai citra referensi yang dibandingkan dengan beberapa titik hasil klasifikasi penggunaan/penutupan lahan. Validasi yang digunakan untuk menguji kualitas hasil interpretasi penggunaan/penutupan lahan dengan mempertimbangkan semua elemen hasil interpretasi (ketepatan dan kesalahan) dari beberapa titik yang dijadikan contoh, adalah menggunakan akurasi kappa. Adapun persamaan akurasi kappa (Kappa Accuracy), sebagai berikut (Jennes dan Wynne 2006):

= – ∗

∗ ….……….. (5)

dengan Xii adalah nilai diagonal dari matrik kontingensi baris i dan kolom

ke-I, Xi+ adalah jumlah piksel dalam baris ke-I, X+i adalah jumlah piksel dalam kolom

(40)

19

Persiapan Data Sebaran Kebakaran Hutan dan Lahan

Sebaran kebakaran hutan dan lahan diperoleh dari interpretasi Citra satelit landsat pada waktu kejadian kebakaran hutan dan lahan yaitu tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2012 (Path 118, Row 61 dan 62) mengacu data pemadaman kebakaran oleh Manggala Agni, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah, Daerah Operasi I Palangka Raya periode 2005-2011 serta pola dan sebaran titik panas (hotspot).

Proses awal dalam mengidentifikasi areal bekas kebakaran hutan dan lahan adalah proses image enhancement yaitu transformasi citra komposit Red-Green-Blue (RGB) ke Intensity-Hue-Saturation (IHS) menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine dengan fungsi RGB to IHS pada menu Image Interpreter. Komposit warna RGB 7-4-1 yang telah ditransformasi ke model warna IHS merupakan kombinasi band yang sangat efektif memisahkan daerah terbakar dari tutupan lainnya dengan jelas (Koutsias et al. 2000; Maingi, 2005; Panuju et al. 2010) sehingga interpretasi citra untuk areal bekas kebakaran hutan dan lahan dilakukan secara visual guna mendapatkan peta areal bekas kebakaran eksisting tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2012.

Persiapan Data Curah Hujan

Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan maksimum harian rata-rata tahunan, diperoleh dari 5 (lima) stasiun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang masuk dalam wilayah administrasi Kalimantan Tengah, yaitu: Pangkalan Bun, Sampit, Palangka Raya, Buntok dan Muara Teweh. Data curah hujan harian rata-rata tahunan dianalisis atau diinterpolasi (spatial analysis) dengan metode Invers Distance Weighted (IDW) yaitu metode rata-rata tertimbang antara nilai dan jarak terdekat sel yang diinterpolasi dengan pertimbangan kondisi tofografi wilayah yang homogen.

Untuk mendapatkan data curah hujan berdasarkan wilayah administrasi Kota Palangka Raya, data curah hujan yang telah diinterpolasi dilakukan proses pemotongan menggunakan fungsi extract by mask. Data curah hujan Kota Palangka Raya yang dihasilkan masih dalam bentuk format raster, sehingga perlu dilakukan reklasifikasi dan dikonversi dalam bentuh format vektor. Reklasifikasi data curah hujan dilakukan menggunakan metode natural break mengacu pada jumlah tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan.

Persiapan Data Kepadatan Kependudukan

(41)

20

Persiapan Peta Jaringan Jalan dan Sungai serta Permukiman

Peta jaringan jalan dan sungai diperoleh dari Pemerintah Kota Palangka Raya sedangkan peta permukiman yang digunakan mengacu pada peta tutupan lahan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan. Untuk mendapatkan jarak terhadap masing-masing parameter dilakukan analisis proximity dengan interval 1000 m dan disesuaikan dengan kelas rawan kebakaran hutan dan lahan.

Perbaikan Peta Tutupan Lahan

Perbaikan peta tutupan lahan dilakukan pada peta tutupan lahan tahun 2000, 2003, 2006, dan 2009 yang diperoleh dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan. Perbaikan peta tutupan lahan dilakukan pada data atribut peta tutupan lahan dengan melakukan standarisasi/generalisasi kelas tutupan lahan mengacu kepada SNI 7645 : 2010 tentang Klasifikasi Penutupan Lahan.

Analisis dan Pengolahan Data

Analisis daerah rawan kebakaran hutan dan lahan dalam penataan ruang dilakukan melalui beberapa tahap. Analisis dan Pengolahan Data di dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap seperti yang digambarkan dalam diagram alir penelitian (Gambar 2).

Karakteristik Lokasi Kebakaran Hutan dan Lahan

Proses awal dalam menganalisis karekteristik lokasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah analisis tumpang susun antara areal bekas kebakaran dengan faktor pemicu dan faktor pendukung kebakaran hutan dan lahan, yaitu: permukiman, jaringan jalan dan sungai, kepadatan penduduk, curah hujan, tutupan lahan, jenis tanah, dan kemiringan lereng (Tabel 2). Pendugaan pengaruh aktivitas manusia sebagai pemicu kebakaran hutan dan lahan adalah dengan menghitung jarak terdekat antara lokasi kebakaran dengan jarak permukiman, jalan dan sungai serta kondisi tutupan lahan dan kepadatan penduduk di lokasi kebakaran. Karakteristik kondisi pendukung yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan diperoleh dari lokasi kebakaran hutan dan lahan terhadap kondisi curah hujan, jenis tanah, dan kemiringan lereng.

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan Analisis Karakteristik Lokasi yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

Proses awal dalam menganalisis karakteristik lokasi yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan adalah analisis tumpang susun antara areal bekas kebakaran sebagai variabel tetap dengan variabel peubah, yaitu: jarak dari permukiman, jarak dari jalan, jarak dari sungai, tutupan lahan, kepadatan penduduk, curah hujan, jenis tanah, dan kelas lereng. Hasil analisis merupakan data yang digunakan dalam analisis regresi logistik menggunakan perangkat lunak SPSS. Persamaan regresi logistik yang digunakan adalah :

(42)

21

dimana :

P1 : Nilai Peluang untuk peubah tetap ke 1 0 : Konstanta

1-n : Nilai koefisien untuk peubah bebas ke 1 sampai n

X1-n : Peubah bebas ke 1 sampai n

Tabel 2 Parameter karakteristik lokasi kebakaran hutan dan lahan

Parameter Sub Parameter

Jarak terhadap Permukiman (km) Buffer dengan interval 1.000 m (1 km)

Jarak terhadap Jalan (km) Buffer dengan interval 1.000 m (1 km)

Jarak terhadap Sungai (km) Buffer dengan interval 1.000 m (1 km)

(43)

22

Gambar 2 Diagram alir penelitian.

Regresi Binomial Logistik

Peta Sungai Peta Permukiman

Arahan Kebijakan Pencegahan 2000, 2003, 2006, 2009, 2012

Pola Perubahan Lahan Setelah terjadi Kebakaran Hutan dan Lahan

Image Enhancement Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

Pairwise Comparison Overlay

Pola Kebakaran Hutan dan Lahan (kepadatan kebakaran dalam satuan wilayah dengan karakteristik yang sama)

(44)

23

Metode regresi logistik yang digunakan adalah metode forward stepwise dengan nilai lebih kecil dari 0,05 atau nilai tingkat kepercayaan 95%, yaitu melakukan regresi secara berulang dan memasukan variabel peubah satu persatu dan mempertahankannya dalam model apabila variabel peubah tersebut signifikan. Variabel peubah yang tidak signifikan akan dikeluarkan dalam model sehingga peubah yang terdapat dalam model semuanya signifikan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Menurut Chuvieco et al. (1999), nilai koefesien regresi logistik lebih dari 0,5 dapat dipertimbangkan sebagai prediksi suatu kejadian.

Koefisien variabel peubah regresi logistik tidak dapat dijadikan sebagai faktor pembobot faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan dalam pembangunan model spasial. Untuk mendapatkan nilai bobot yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan terlebih dahulu dilakukan normalisasi koefesien variabel peubah yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan.

Analisis Aktivitas/Perilaku Masyarakat yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

Aktivitas/perilaku masyarakat yang diajukan berupa variabel kualitatif yang dikuantitatifkan menggunakan teknik pembobotan/skor. Setiap pertanyaan yang diajukan mempunyai jawaban berupa urutan prioritas dari responden berdasarkan tujuan atau motivasinya, skor 1 (satu) merupakan nilai dengan urutan tertinggi sekaligus menjadi prioritas pilihan.

Penilaian tujuan dan motivasi dilakukan dengan menentukan peringkat elemen-elemen (tujuan dan motivasi) menurut tingkat kepentingannya menggunakan matriks perbandingan berpasangan. Metode perbandingan berpasangan dilakukan dalam tiga langkah. Langkah pertama, matrik diisi dengan nilai sesuai dengan urutan prioritas dari responden, nilai-nilai dalam matrik harus konsisten. Langkah kedua, dilakukan pembobotan dengan cara mengalikan matrik dengan matrik itu sendiri sehingga dihasilkan bobot, proses ini disebut matrik normalisasi. Langkah terakhir, yaitu menghitung nilai dari setiap baris matrik normalisasi terhadap nilai total baris matrik normalisasi untuk mendapatkan prioritas pilihan. Pada penelitian ini, konsistensi prioritas pilihan dipastikan dengan Consistency Ratio (CR) 0,10.

Analisis Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan

Daerah rawan kebakaran hutan dan lahan dianalisis menggunakan metode Composite Mapping Analysis (CMA) berdasarkan variabel peubah yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan yang diperoleh dari analisis regresi. CMA merupakan metode berbasis Sistem Informasi Geografis yang mengambarkan interaksi antara variabel tetap dan variabel peubah yaitu melakukan pembobotan dan skor variabel peubah terhadap variabel tetap sehingga menghasilkan suatu indeks gabungan.

Penentuan Bobot dan Perhitungan Skor

(45)

24

Skoring. Pemberian nilai menggunakan metode CMA diperoleh dengan luasan setiap sub parameter, luas areal terbakar pada setiap sub parameter (observed) serta luas areal terbakar yang diharapkan atau seharusnya ada (expected). Dalam penelitian ini, hubungan sub parameter dalam setiap parameter diklasifikasikan berdasarkan persentase luas kebakaran dalam setiap sub parameter dan dikelaskan menjadi 3 (tiga) kategori tingkat kerawanan. Adapun perhitungan skor aktual

oi : Luas areal kebakaran yang diamati dalam setiap sub parameter

ei : Luas areal kebakaran yang diharapkan dalam setiap sub parameter

T : Jumlah keseluruhan luas kebakaran hutan dan lahan F : Persentase luas masing – masing sub parameter

Perhitungan skor dugaan (Estimated Score) dibangun berdasarkan pola kecenderungan (trend line) hubungan antara skor setiap sub parameter dan kepadatan areal terbakar menggunakan persamaan regresi dengan nilai koefesien determinasi yang relatif lebih tinggi. Standarisasi skor dilakukan untuk mendapatkan skor yang sama terhadap semua sub parameter yang digunakan dalam menyusun model kerawanan. Perhitungan nilai skor skala menggunakan persamaan berikut:

Uji Akurasi Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan

(46)

25

Validasi yang digunakan untuk menguji kualitas model menggunakan akurasi umum berdasarkan ketepatan model dalam menggambarkan tingkat kerawanan. Akurasi umum dihitung berdasarkan koinsidensi antara areal terbakar dengan tingkat kerawanan daerah rawan kebakaran menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix). Adapun persamaan akurasi umum, sebagai berikut (Jenness dan Wynne 2006):

= …..……….………. (10)

dengan AO adalah nilai akurasi umum (Overall Accuracy), Xii merupakan Coincided Value luasan yang sama antara peta daerah rawan dan kepadatan hotspot dan N adalah total area validasi.

Analisis Arahan Kebijakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan.

Untuk menentukan arahan kebijakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan dilakukan analisis tumpang susun (overlay) dengan parameter: arahan lokasi, rencana tata ruang wilayah, karakteristik lokasi dan didukung dengan penjelasan terhadap aktivitas masyarakat dalam membakar yang meliputi motivasi/tujuan serta teknik yang dilakukan.

Arahan lokasi pencegahan diperoleh berdasarkan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan dengan melakukan query terhadap kelas kerawanan dengan kategori tinggi. Analisis tumpang susun (overlay) akan menghasilkan informasi berupa pola ruang, pola kebakaran dan pola perubahan lahan setelah terjadi kebakaran hutan dan lahan serta motivasi/tujuan disertai dengan teknik/cara dalam membakar yang digunakan oleh masyarakat sebagai bahan masukan atau pertimbangan dalam upaya mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah administrasi Kota Palangka Raya.

(47)
(48)

GAMBARAN UMUM WILAYAH

Wilayah Administrasi

Secara geografis, Kota Palangka Raya terletak pada 113˚30`- 114˚07` Bujur Timur dan 1˚35`- 2˚24` Lintang Selatan, dengan luas wilayah 2.678,51 km2 (267.852 ha). Wilayah administrasi Kota Palangka Raya terdiri atas 5 (lima) wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Pahandut, Sebangau, Jekan Raya, Bukit Batu dan Rakumpit yang terdiri dari 30 Kelurahan dengan batas wilayah administrasi sebelah utara dengan Kabupaten Gunung Mas, sebelah timur dan selatan dengan Kabupaten Pulang Pisau, dan sebelah barat dengan Kabupaten Katingan seperti disajikan pada Gambar 3.

Sumber: Pemkot Palangka Raya (2000).

Gambar 3 Peta wilayah administrasi Kota Palangka Raya.

Kondisi Biofisik Wilayah Iklim

(49)

28

September. Curah hujan rata-rata tahunan di Kota Palangka Raya berdasarkan tahun 2006-2011 seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata – rata curah hujan di Kota Palangka Raya tahun 2006 – 2011

Bulan Curah Hujan (mm)

Sumber : BMKG Kota Palangka Raya (2012).

Geologi

Geologi wilayah Kota Palangka Raya termasuk di dalam peta geologi

lembar Palangka Raya skala 1:250.000 dan lembar Banjarmasin skala 1:1.000.000. Geologi wilayah Kota Palangka Raya hampir seluruhnya ditempati

oleh batuan yang relatif muda, yaitu Plistone hingga Holosen. Struktur geologi Kota Palangka Raya sebagian besar disusun dari batuan kwarsa dan dari endapan kuarter yang membentuk lahan bergambut. Sebaran formasi batuan di Kota Palangka Raya disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 4.

Tabel 4 Formasi/satuan batuan di Kota Palangka Raya

No Formasi/Satuan Batuan Simbol Luas (ha)

1. Aluvium Qa 101.591

2. Dahor TQd 678

3. Granit Kgr 289

4. Tonalit Sepauk Kls 2.392

5. Pembuang QTp 162.902

Sumber: Nila et al. (1995).

(50)

29

kehijauan dengan komponennya terdiri dari andesit, basalt dan rijang. Bahan-bahan ini berasosiasi dengan basalt berwarna coklat kemerahan.

Formasi geologi Kota Palangka Raya juga termasuk dalam formasi Dahoryang diperkirakan berumur Miosen Tengah hingga Pliosen dengan ketebalan mencapai 300 meter yang tersusun atas batuan pasir kuarsa dengan ukuran butir pasir halus hingga kasar, kondisi fisik agak keras hingga lepas dengan penyusun sebagian besar adalah kuarsa dengan massa dasar lempung. Pada beberapa tempat terdapat sisipan konglomerat, mempunyai struktur silangsiur tersusun atas komponen batuan malihan, granit dan lempung.

Sumber: Nila et al. (1995).

Gambar

Gambar 1  Diagram kerangka pemikiran.
Tabel 1  Data sekunder yang digunakan dalam penelitian
Gambar 2  Diagram alir penelitian.
Gambar 3  Peta wilayah administrasi Kota Palangka Raya.
+7

Referensi

Dokumen terkait