• Tidak ada hasil yang ditemukan

Susu Bubuk

Salah satu metode untuk memperpanjang masa simpan susu adalah dengan mengubahnya menjadi susu bubuk. Susu bubuk telah dihasilkan mulai 100 tahun yang lalu dan berkembang pesat dalam waktu 50 tahun terakhir. Pembuatan susu bubuk merupakan salah satu cara yang paling sukses dan penting dalam pengawetan susu (Town 2005).

Susu bubuk merupakan sumber protein yang sangat baik dan penting, mudah disusun kembali/rekonstruksi menjadi susu cair serta dapat menjadi bahan- bahan unsur produk lainnya. Secara luas susu bubuk dapat digunakan untuk produksi roti, biskuit, kue-kue, kopi krimer, sop, keju, susu coklat, es krim, susu formula, nutrisi tambahan, rekombinan produk susu seperti susu pasteurisasi, susu evaporasi, susu kental manis, keju lunak dan keju keras, krem, whipping cream,

yoghurt, dan produk fermentasi lainnya (Pearce 2006; Juergens et al. 2002). Susu bubuk merupakan bentuk olahan dari susu segar yang dibuat dengan cara memanaskan susu pada suhu 80 °C selama 30 detik, kemudian dilakukan proses pengolahan dengan beberapa tahapan yaitu evaporasi, homogenisasi, dan pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan spray dryer atau roller dryer. Produk ini mengandung 2-4% air (Nasution 2009).

Perubahan dari susu cair menjadi susu bubuk memerlukan penghilangan air melalui beberapa tahap hingga menjadi produk akhir. Selama proses pengurangan air terjadi perubahan terhadap sifat, struktur kimia, dan penampakan (appearance) susu. Susu merupakan produk yang sensitif dan kualitasnya sangat mudah dipengaruhi terutama oleh panas dan aktivitas bakteri (Pisecky 1997).

Keunggulan dari susu bubuk adalah masa simpannya yang paling baik dibandingkan dengan bentuk pengawetan susu yang lain, tidak membutuhkan pendinginan selama penyimpanan dan transportasi. Kadar air lebih sedikit yaitu hanya seperdelapan berat dan seperempat volume dari susu cair sehingga menghemat transportasi dan dapat diaplikasikan pada semua produk akhir (Town 2005).

Proses pengolahan susu menjadi bubuk mampu memperpanjang masa simpan susu hingga dua tahun dalam kemasan alumunium dan kotak karton. Namun tahapan proses yang cukup panjang dalam menghasilkan susu bubuk menjadikan kandungan nutrisi yang ada di dalam susu berkurang, bahkan protein mengalami kerusakan hingga 30%. Karena itulah pada proses pembuatan susu bubuk ditambahkan berbagai vitamin yang diharapkan dapat menggantikan kandungan yang hilang selama proses pengolahan agar kembali seperti semula, namun kondisinya tidak akan sama dengan susu segar. Proses ini bahkan dapat menimbulkan reaksi Maillard, yaitu terjadinya pigmen cokelat antara gula dan protein susu karena pemanasan yang lama menyebabkan protein semakin sulit untuk dicerna (Nasution 2009).

Susu bubuk dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu susu bubuk berlemak, susu bubuk rendah lemak dan susu bubuk tanpa lemak. Susu bubuk berlemak (full cream milk powder) adalah susu yang telah diubah bentuknya menjadi bubuk. Susu bubuk rendah lemak (partly skim milk powder) adalah susu yang telah diambil sebagian lemaknya dan diubah bentuknya menjadi bubuk. Susu bubuk tanpa lemak (skim milk powder) adalah susu yang telah diambil lemaknya dan diubah menjadi bubuk (BSN 2000).

Gizi yang tersedia dalam susu bubuk berupa protein, glukosida, lipida, garam-garam mineral dan vitamin sangat cocok untuk pertumbuhan dan pertambahan jumlah sel tubuh anak-anak dan mamalia muda lainnya (Buckle et al. 1987). Komposisi kandungan gizi dari berbagai jenis susu bubuk dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kandungan gizi beberapa jenis susu bubuk Jenis Susu Bubuk Air

(%) Protein (%) Lemak (%) Laktosa (%) Mineral (%) Susu Bubuk Full Cream 3.5 25.2 26.2 38.1 7.0

Susu Bubuk Skim 4.3 35.0 0.97 51.9 7.8

Susu Bubuk Krim 4.0 21.5 40.0 29.5 5

Susu Bubuk Whey 7.1 12.0 1.2 71.5 8.2

Susu bubuk Buttermilk 3.1 33.4 2.28 54.7 6.5

Metode pengeringan yang dilakukan pada proses pembuatan susu bubuk dapat menggunakan spray dryer maupun drum dryer. Spray drying merupakan salah satu bentuk pengeringan yang sudah banyak diaplikasikan di industri pengolahan susu. Metode ini akan berpengaruh terhadap total bahan padat yang dihasilkan dari susu bubuk. Suhu pengeringan yang tinggi akan menghasilkan susu bubuk dengan kadar air rendah dan total bahan padat yang tinggi (Widodo 2003). Keuntungan dari susu bubuk dengan metode spray drying adalah lebih mudah dicerna dan lebih aman karena tidak menyebabkan alergi (Maree 2003).

Menurut Oliviera et al. (2000) proses pembuatan susu bubuk dengan menggunakan spray dryer melalui beberapa tahap yaitu :

a. Perlakuan pasteurisasi dengan suhu 90 ºC selama 8 detik atau 108 ºC selama 2 detik.

b. Penguapan air dengan perlakuan pemanasan akan menghasilkan 48% padatan.

c. Proses penyemprotan kering (spray drying), susu disemprot dengan udara kering melalui lubang pada suhu 270 ºC.

Susu bubuk yang dikeringkan dengan drum dryer butirannya berbentuk pipih dengan ketebalan 8-10 µ. Sifat kelarutan dalam air kurang sempurna, karena butiran-butiran lemak akan mengapung di atas. Susu bubuk yang dikeringkan dengan spray dryer terdiri atas partikel 10-15 µ. Sifat kelarutan dalam air sempurna, hampir sama dengan susu segar. Adanya udara diantara butiran-butiran tersebut dapat menyebabkan timbulnya oksidasi selama penyimpanan (Syarief dan Halid 1997).

Di Indonesia proses pembuatan susu bubuk oleh produsen pada umumnya mencampur susu bubuk yang diimpor dengan perasa atau pun tambahan bahan lainnya (Herdiana 2007).

Antibiotika dan Penggunaannya

Antbiotika merupakan suatu bahan atau zat yang diproduksi oleh bakteri atau cendawan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi terutama yang disebabkan oleh bakteri. Senyawa ini mampu menghentikan proses pertumbuhan bakteri bahkan dapat membunuh bakteri yang secara umum dikenal sebagai efek bakteriostatik dan bakterisidal (Bezoen et al. 2000).

Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel (Bezoen et al. 2000). Secara umum antibiotika diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu broad spectrum dan

narrow spectrum. Antibiotika yang bersifat broad spectrum secara umum mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies (cakupan yang luas) sedangkan antibiotika yang bersifat narrow spectrum hanya mampu membunuh mikroorganisme spesifik (CDUFA 1999).

Secara umum penggunaan antibiotika di peternakan bertujuan untuk :

1. Pengobatan sehingga mengurangi risiko kematian dan mengembalikan kondisi hewan yang dapat berproduksi kembali (normal), juga mencegah tersebarnya mikroorganisme patogen ke hewan lainnya.

2. Memacu pertumbuhan (growth promotor), sehingga dapat mempercepat pertumbuhan atau meningkatkan produk hewan serta mengurangi biaya pakan.

Diperkirakan 50% dari seluruh antimikrobial digunakan untuk keperluan pada bidang kedokteran hewan (Teuber 2001). Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan berkisar antara 80% dalam perunggasan, 75% pada peternakan babi, 60% pada peternakan sapi potong dan 75% antibiotika digunakan dalam peternakan sapi perah (Crawford dan Franco 1996).

Antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan biasanya ditambahkan untuk imbuhan pakan (feed additive) yang secara umum bermanfaat karena secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat gizi dalam pakan dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentukan asam amino (Yuningsih 2005).

Aplikasi antibiotika pada sapi perah dapat dilakukan melalui berbagai cara yang berbeda, yaitu melalui mulut (peroral), intravena, intramuscular, subkutan, intrauterin, dan intra mamari. Semua cara tersebut dapat memacu terjadinya residu antibiotika dalam susu (Mitchell et al. 1995).

Menurut Nisha (2008) efek patologik yang disebabkan oleh antibiotika dalam makanan adalah transfer resistensi bakteri terhadap suatu antibiotika ke manusia, efek immunopatologi, autoimun, karsinogenik (sulfametazin,

oksitetrasiklin, furazolidon), mutagenik, nefropathy (gentamisin), hepatotoksisiti, kerusakan sistem reproduksi, toksisitas tulang belakang (kloramfenikol) dan alergi (penisillin).

Tetrasiklin

Antibiotika tetrasiklin yang pertama kali ditemukan adalah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Oksitetrasiklin berasal dari

Streptomyces rimosus. Tetrasiklin dapat dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, demikian pula dari spesies Streptomyces lainnya. Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom. Antibiotika ini masuk ke dalam ribosom bakteri Gram negatif melalui dua proses yaitu difusi pasif melalui kanal hidrofilik dan sistim transport aktif. Antibiotika akan berikatan dengan sub unit ribosom 30s, dan menghalangi masuknya tRNA asam amino pada lokasi asam amino (Kunardi dan Setiabudy 1995). Antibiotika berspektrum luas ini dapat menghambat pertumbuhan sebagian besar bakteri, protozoa, dan organisme intraseluler Mycoplasma, Chlamydia, dan Rickettsia (Spoo dan Riviera 1995).

Antibiotika golongan tetrasiklin yang berguna secara klinik adalah klortetrasiklin (aureomisin), demeklosiklin (deklomisin), doksisiklin (vibramisin), metasiklin (rondomisin), minosiklin (minosin), oksitetrasiklin (terramisin), dan tetrasiklin (akhromisin) (Schullman 1994).

Menurut Kunardi dan Setiabudy (1995) berdasarkan sifat farmakokinetik antibiotika golongan tetrasiklin dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Tetrasiklin, klortetrasiklin, dan oksitetrasiklin, mempunyai absorbsi tidak lengkap dengan masa paruh 6-12 jam,

b. Dimetilklortetrasiklin, mempunyai absorbsi lebih baik dan masa paruh kira- kira 16 jam,

c. Doksisiklin dan minosiklin mempunyai absorbsi yang sangat baik dan masa paruh 17-20 jam.

Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air tetapi bentuk garam natrium dan HCl-nya mudah larut. Tetrasiklin HCl pada keadaan kering dalam bentuk basa dan garam bersifat stabil, sedangkan dalam bentuk larutan, tetrasiklin

cepat berkurang potensinya (Kunardi dan Setiabudy 1995). Struktur kimia antibiotika golongan tetrasiklin ditampilkan dalam Gambar 1.

N H 2 O H O O O OH OH OH OH H C H 3 Cl N C H 3 CH3 H N H 2 O H O O OH O OH OH OH H N C H 3 CH3 OH H C H 3 N C H 3 CH3 N H 2 O H O O OH O OH OH H OH H C H 3 Tetrasiklin Klortetrasiklin Oksitetrasiklin

Gambar 1. Struktur kimia antibiotika tetrasiklin dan turunannya.

Tetrasiklin di saluran pencernaan diabsorbsi sekitar 30-80%, terikat kuat pada gigi dan struktur tulang (Kunardi dan Setiabudy 1995). Ikatan antara tetrasiklin dengan kalsium tersebut menyebabkan hambatan perkembangan gigi, hipoplasia desiduata, dan gigi permanen. Penggunaan 5-20 parts per million

(ppm) tetrasiklin dalam pakan hewan dapat memacu resistensi Enterobacteriaceae

(Booth 1988). Tetrasiklin didistribusikan ke seluruh tubuh, kecuali pada jaringan lemak. Afinitas yang besar terjadi pada jaringan dengan kecepatan metabolisme dan pertumbuhan yang cepat, misalnya hati, tulang, gigi, dan jaringan neoplasma (Wattimena et al. 1991).

Golongan tetrasiklin diabsorbsi dari dalam darah oleh hati sehingga konsentrasi tertinggi dijumpai dalam parenkim hati dan empedu. Konsentrasi yang tinggi ditemukan dalam empedu, yang dapat mencapai 30 kali konsentrasi dalam darah (Wattimena et al. 1991). Golongan tetrasiklin cepat diserap oleh lambung dan usus halus bagian atas bila dilakukan pemberian secara oral. Sebagian obat yang masuk diabsorbsi oleh usus, diekskresikan ke dalam empedu, dan diabsorbsi

kembali oleh usus halus. Waktu paruh oksitetrasiklin adalah 8-12 jam (Jones et al.

1977).

Semua golongan tetrasiklin mengalami sirkulasi enterohepatik yang memungkinkan tetrasiklin masih berada di dalam sirkulasi darah untuk waktu yang lama setelah terapi dihentikan (Sande dan Mandell 1985). Hal ini disebabkan sirkulasi enterohepatik membatasi sekresi obat oleh empedu dan mempertahankan konsentrasi terapeutik untuk jangka waktu tertentu. Golongan tetrasiklin terdistribusi secara luas dalam tubuh. Konsentrasi tertinggi dijumpai dalam ginjal, hati, limpa, dan paru-paru (Jones et al. 1977).

Berdasarkan laporan hasil survei dari bulan April 1995 sampai Maret 2000 di Jepang bahwa antibiotika golongan tetrasiklin merupakan antibiotika yang paling banyak pemakaiannya, sebanyak 292 sampel organ ginjal sapi dan babi yang berasal dari rumah potong hewan, menunjukkan bahwa 106 sampel mengandung antibiotika tetrasiklin dan 41 sampel mengandung sulfa, termasuk klortetrasiklin 59 sampel, oksitetrasiklin 7 sampel, sulfamonometoksin 35 sampel, sulfadimetoksin 2 sampel, sulfametoksazol 2 sampel, dan mengandung golongan sulfa lainnya dalam jumlah kecil (Oka et al. 1995).

Batas Residu Tertasiklin

Codex Alimentarius Commission (CAC 2011) menetapkan acceptable daily intake (ADI) tetrasiklin pada pangan segar asal sapi adalah 0-30 µg/kg berat badan, serta maximum residue limit (MRL) atau batas maksimal residu (BMR). Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga menetapkan BMR tetrasiklin sebagaimana yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6366- 2000. Batas maksimum residu antibiotika tetrasiklin pada beberapa pangan asal hewan menurut CAC dan BSN disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Batas maksimal residu tetrasiklin pada pangan asal hewan

Pangan asal hewan CAC (µg/kg) BSN (µg/kg)

Susu 100 50 Daging 200 100 Hati 600 - Ginjal 1200 - Telur - 50 Sumber : BSN 2000; CAC 2011

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel susu bubuk dilakukan di Pelabuhan Laut Tanjung Priok, Jakarta. Pengujian sampel dengan menggunakan enzym linked immunosorbent assay (ELISA) dilakukan di laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, sedangkan pengujian dengan high performance liquid chromatography (HPLC) dilaksanakan di Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai dengan April 2012.

Bahan dan Alat

1. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Bahan dan alat yang digunakan adalah kit ELISA untuk antibiotika tetrasiklin (Ridascreen® Tetracyclin Art. No.: R3503), Trichloacetic acid

(TCA ) 3%, Natrium hidroksida (NaOH), larutan substrat chromagen,

microplate well polystyrene, sentrifus, shaker (Vortex), pipet pasteur, pipet

graduate, mikropipet 20-200 l dan 200-1000 l, ELISA reader

(RIDA®SOFT Win Art. No.Z9999).

2. High performance liquid chromatography (HPLC)

Bahan dan alat yang digunakan adalah metanol, asam oksalat 0.0025 M, asetonitril, HPLC Shimadzu LC 20AD, kolom C18 Bondapak Waters Polaris 5, SPE Cartridge Bond Elut C 18 varian, mikropipet 10-100 l dan 100-1000 l, mikropipet syringe 50 l, standar tetrasiklin (Vetranal, SIGMA), vortex, sentrifus.

Rancangan Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengumpulkan sampel susu bubuk yang diambil secara acak sederhana. Sampel susu bubuk diambil di Instalasi Karantina Produk Hewan.

Volume impor susu bubuk dari berbagai negara melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok pada Tahun 2010 sebesar 166 759 533 kg. Unit sampling yang digunakan adalah kemasan kantong dengan konversi 1 kemasan kantong sama

dengan 25 kg. Jumlah sampel yang diambil dihitung dengan menggunakan rumus

detect disease (Martin et al. 1987).

Jumlah sampel yang didapatkan setelah dilakukan penghitungan dengan perangkat win episcope 2.0 adalah sebesar 59 sampel dan dibulatkan menjadi 60 sampel. Masing-masing sampel sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam kantong plastik steril yang telah diberi label kode sampel, jenis susu bubuk, nama perusahaan, negara asal, dan tanggal pengambilan. Jumlah sampel susu bubuk dari berbagai negara yang diambil secara proporsional berdasarkan volume pada tahun 2010 disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Rincian pengambilan sampel per negara berdasarkan volume susu bubuk tahun 2010

No Negara Volume (kg) Jumlah sampel (n)

1 Selandia Baru 39 917 246 16 2 Amerika Serikat 32 608 201 13 3 Belanda 22 516 885 9 4 Australia 21 032 793 8 5 Perancis 12 997 836 5 6 Jerman 8 293 750 3 7 Irlandia 4 332 924 2 8 Denmark 3 623 090 1 9 Swedia 1 754 500 1 10 Kanada 1 750 000 1 11 Polandia 1 284 000 1 Jumlah 60

Sampel yang telah diambil, dilakukan screening test dengan ELISA. Sampel yang menunjukkan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada ELISA dikonfirmasi dengan metode HPLC.

Metode Penelitian

Sebanyak 60 sampel diuji dengan ELISA sebagai screening test untuk mengetahui apakah sampel-sampel tersebut mengandung antibiotika tetrasiklin. Uji tersebut dilakukan pada bulan Februari 2012 di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. Sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan pengujian ELISA, selanjutnya dilakukan uji konfirmasi dengan

menggunakan metode HPLC. Uji HPLC tersebut dilakukan sebagai konfirmasi terhadap sampel yang menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada ELISA. Uji HPLC dilakukan pada bulan April 2012 di Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

1. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)

a. Persiapan sampel

Sebanyak 1 g sampel yang telah homogen dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Kemudian ditambahkan 4 ml TCA 3% lalu dihomogenkan selama 1 menit. Selanjutnya diekstraksi selama 30 menit dengan reciprocating shaker. Sampel didinginkan pada temperatur 4 °C dalam refrigerator. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 3 400 rpm selama 10 menit pada temperatur 4 °C lalu diambil 200 l bagian supernatan yang jernih. Selanjutnya diencerkan dengan 200 l larutan buffer atur pH 7.4 dengan 20 l 1 M NaOH. b. Pengujian sampel

Standar (50 l), sampel (50 l) dan enzyme conjugate (100 l) dimasukkan ke dalam microplate well polystyrene yang telah dilapisi dengan tetrasiklin antibodi dan diinkubasi selama 1 jam pada temperatur ruangan. Selama inkubasi terjadi reaksi antara tetrasiklin bebas dari standar atau sampel dan tetrasiklin dari enzyme conjugate

lalu mengikat tetrasiklin antibodi yang diserap dalam bentuk padatan. Dilanjutkan pada tahap pencucian untuk membuang semua ikatan molekul padatan yang tidak diperlukan. Aktivitas ikatan enzim ditentukan dengan penambahan larutan substrate chromagen (100 l) lalu diinkubasi selama 15 menit dalam temperatur ruangan dan di tempat yang gelap. Selama inkubasi enzim mengubah larutan

chromagen yang tidak berwarna menjadi berwarna biru, lalu

ditambahkan stop reagen (100 l) untuk menghentikan reaksi. Kandungan antibiotika tetrasiklin dalam sampel dibaca dengan ELISA Reader. Data diperoleh berdasarkan pembacaan absorbansi sampel atau standar pada ELISA Reader dengan panjang gelombang 450 nm (Panggabean et al. 2009).

2. High performance liquid chromatography (HPLC) a. Ekstraksi dan pemurnian sampel

Metode ekstraksi yang digunakan diadopsi dari metode yang dikembangkan oleh Cinquina et al. (2003). Sebanyak 5 g susu ditempatkan dalam tabung sentrifus. Setelah itu ditambahkan 2 ml larutan asam trikloroasetat 20% kemudian dikocok menggunakan vorteks. Setelah itu sampel ditambahkan 18 ml larutan buffer Mcllvaine-EDTA kemudian disentrifus pada kecepatan 3 000 rpm selama 10 menit. Larutan supernatan hasil sentrifus dipisahkan dari residunya kemudian dimasukkan ke dalam kolom. Ekstraksi diulangi kembali dengan menambahkan 10 ml larutan buffer Mcllvaine-EDTA, lalu dikocok menggunakan vorteks. Setelah proses ekstraksi selesai, dilanjutkan dengan pemurnian sampel menggunakan SPE Cartridge

(kolom) C 18.

Kolom diaktifkan terlebih dahulu dengan 20 ml metanol dan 20 ml aqua destilata. Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke dalam kolom kemudian kolom dicuci lagi dengan 20 ml metanol 5%. Setelah itu kolom tersebut dielusi dengan 6 ml metanol oksalat. Filtrat dikeringkan dalam oven suhu 40 oC kemudian dilarutkan dengan 200 µl metanol oksalat. Sebanyak 40 µl sampel dianalisis dengan HPLC.

b. Larutan standar tetrasiklin

Sebanyak 2 mg larutan stok baku tetrasiklin diencerkan dengan 20 ml metanol agar diperoleh larutan baku kerja 100 µg/ml. Selanjutnya dilakukan pengenceran serial hingga diperoleh konsentrasi 1 µg/ml.

c. Analisis dengan HPLC

Sebanyak 40 µl alikuot diinjeksikan ke dalam HPLC Shimadzu seri LC 20AD.

Analisis Data

Data hasil pemeriksaan sampel dengan ELISA dan HPLC diolah dan dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan menyajikannya dalam bentuk tabel dan

gambar. Analisa deskriptif adalah bidang statistik yang membicarakan cara atau metode mengumpulkan, menyederhanakan dan menyajikan data sehingga bisa memberikan informasi (Mattjik dan Sumertajaya 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Susu Bubuk Impor

Sebanyak 60 sampel susu bubuk impor diambil untuk penelitian ini. Sampel diambil dari berbagai negara yang jumlahnya disesuaikan dengan proporsi volume importasi susu bubuk melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok selama tahun 2010.

Susu bubuk dikemas dalam kantong ukuran 25 kg yang terdiri dari 1 lapis kantong plastik di bagian dalam dan 4 lapis kertas semen di bagian luarnya. Plastik digunakan sebagai pembungkus makanan karena kuat dan kencang, mencegah dari kelembaban dan gas, tahan terhadap benturan, transparan sehingga terlihat isi dibagian dalamnya, dan fleksibel. Pengemasan diartikan sebagai usaha dalam menjamin keamanan produk selama pengangkutan, penyimpanan sehingga aman sampai konsumen (Brown 1992).

Pengemasan susu bubuk dilakukan dengan menggunakan kantong (bag) dengan 4 lapis. Lapisan paling dalam adalah lapisan plastik dengan tujuan mengontrol masuknya uap air, sedangkan 3 lapisan kertas yang berlapis-lapis untuk memberikan kekuatan dan melindungi terhadap cahaya (NZMP 2006).

Susu bubuk diangkut menggunakan kontainer dengan suhu dan kelembabannya diatur selama dalam perjalanan dari negara asal ke Indonesia sesuai standar penyimpanan yaitu pada suhu berkisar antara 24-25°C dan kelembaban 65-68%. Kelembaban adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dalam pengawetan beberapa produk makanan dan mempengaruhi stabilitas keseimbangan kandungan bahan, terutama untuk bahan-bahan yang dikeringkan seperti susu bubuk, egg powder, buah-buahan yang dikeringkan (Nielsen 2003).

Kemasan susu bubuk impor dalam kontainer disusun dengan rapi dan diberi jarak antar baris dengan kantong plastik berisi udara (air bag) agar tidak terjadi benturan antar kemasan yang dapat merusak susunan kemasan, dan di lantai kontainer diberi pallet terbuat dari kayu/aluminium sehingga kemasan tidak bersentuhan langsung dengan lantai kontainer. Hal ini bertujuan memberi sirkulasi udara yang baik dalam kontainer untuk menjaga kualitas susu bubuk impor tersebut tetap baik dan tidak cepat terjadi kerusakan.

Susu bubuk impor dipergunakan sebagai bahan baku untuk industri pengolahan susu, industri pengolahan roti dan kue, industri pengolahan es krim, dan sebagai bahan campuran pembuatan coklat, kopi creamer, sop, serta produk olahan susu lainnya. Beberapa importir langsung menjual susu bubuk kepada distributor untuk diedarkan kepada konsumen (Herdiana 2007).

Pemeriksaan Organoleptik

Pemeriksaan organoleptik pada susu bubuk impor menunjukkan bahwa 60 sampel susu bubuk impor mempunyai warna yang beragam antara lain putih, putih kekuning-kuningan atau krem, kecoklatan, aromanya khas bau susu, rasanya agak manis, tekstur butirannya halus/lembut, dan tidak menggumpal. Hal ini menunjukkan bahwa secara organoleptik susu bubuk impor berkualitas baik.

Susu bubuk dapat menggumpal dan mengeras karena mengandung kasein. Kasein yang mengeras selama penyimpanan menyebabkan daya larutnya sangat menurun sebagai tanda susu mengalami kerusakan, sehingga susu bubuk tersebut tidak dapat memenuhi fungsinya seperti yang diharapkan (Muchtadi 1997). Sifat kasein mudah menggumpal bila ditambah asam pekat, enzim proteolitik, alkohol pekat atau karena pemanasan (Syarief dan Halid 1997). Susu juga mengandung laktosa. Susu bubuk yang disimpan pada tempat yang lembab atau kadar air yang tinggi menyebabkan laktosa akan mudah menyerap air sehingga susu mudah menggumpal (Juergens et al. 2002).

Sifat organoleptik susu bubuk berhubungan erat dengan komposisi dan kualitas dari bahan baku dan proses pengolahannya. Kadar lemak yang ada dalam susu bubuk akan mempengaruhi aroma. Adanya asam lemak bebas dalam lemak akan mempengaruhi aroma dan perlakuan panas akan menyebabkan perubahan warna. Masa simpan susu bubuk dipengaruhi dari kualitas bahan baku, proses

spray drying dan kondisi di mana susu bubuk disimpan. Kerusakan selama penyimpanan akan mengakibatkan perubahan organoleptik yang nyata (Early 1998).

Pengujian Residu Antibiotika dengan ELISA

Keterbatasan pada beberapa metode pengujian tidak jarang menjadi hambatan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika pada produk pangan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0.150 0.450 1.35 4.05 12.15 A b s o r b a n s i % Konsentrasi (ppb)

termasuk susu. Susu bubuk sebagai produk hasil olahan susu yang telah mengalami proses pemanasan tinggi kemungkinan tetap mengandung antibiotika walaupun hanya dalam jumlah yang kecil.

Pengujian dengan ELISA merupakan metode yang sensitif, spesifik, cepat, mudah, dan secara ekonomi relatif lebih murah jika sampel yang diuji dilakukan dalam jumlah besar. Di samping itu, sejumlah sampel dapat dideteksi dalam waktu yang bersamaan dengan menggunakan sedikit reagen. Beberapa kelemahan dari metode ELISA yaitu spesifisitas yang terbatas karena adanya reaksi silang dengan senyawa-senyawa yang memiliki struktur yang hampir sama. Faktor penting yang harus diperhatikan dalam metode ELISA ini antara lain penanganan terhadap kit ELISA, masa kadaluarsa, peralatan yang digunakan untuk pengujian

Dokumen terkait