PELABU
SEKOLA
INSTI
HARI YUWONO ADY
BUHAN LAUT TANJUNG PRIOK
SEKOLAH PASCASARJANA
STITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Residu Antibiotika Tetrasiklin dalam Susu Bubuk yang Diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di Bagian Akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2012
HARI YUWONO ADY. Analysis of Tetracycline Residue in Imported Milk Powder through Tanjung Priok Sea Port. Under the direction of HADRI LATIF and A. WINNY SANJAYA.
Using antibiotics in dairy farm are popular for therapy or applied as a stimulant growth. However, the presence of antibiotic residue in milk causes harmful effects on consumer's health. Tetracycline is one of the antibiotic used in an effort to improve the health of livestock, especially in disease treatment. The aim of this research was to analyze tetracycline residue in imported milk powder. Sixty imported milk powder samples were collected at Tanjung Priok Sea Port. All samples were tested using enzym linked immunosorbent assay (ELISA) as a screening test and the result showed 8 out of 60 samples (13.33%) were positive of tetracycline residue. Eight samples which were positive determined by ELISA then were confirmed by high performance liquid chromatography (HPLC) method. Five of the 8 samples contained tetracycline residue in the confirmation method
.
Five samples contained tetracycline residue in a high concentration, which was above the maximum residue limit according to the National Standardization Agency of Indonesia.Keywords : tetracycline, imported milk powder, ELISA, HPLC
HARI YUWONO ADY. Analisis Residu Antibiotika Tetrasiklin dalan Susu Bubuk yang Diimpor Melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan A. WINNY SANJAYA.
Susu bubuk merupakan produk olahan susu yang banyak dipasarkan di Indonesia. Peningkatan produksi susu dalam negeri yang tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan kebijakan importasi susu bubuk. Peningkatan volume impor susu bubuk memerlukan pengawasan terhadap keberadaan bahan berbahaya bagi konsumen, termasuk adanya antibiotika dalam susu bubuk impor. Salah satu golongan antibiotika yang sering digunakan dalam pengobatan sapi perah adalah tetrasiklin.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok dan menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian dalam menetapkan kebijakan pengujian dalam rangka pemeriksaan residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor. Sebanyak 60 sampel diuji dengan metode enzym linked immunosorbent assay (ELISA) sebagai screening test untuk mengetahui keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam sampel susu bubuk impor. Limit deteksi ELISA adalah 1.5 part per billion (ppb). Pengujian tersebut dilakukan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. Sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan pengujian ELISA, selanjutnya diuji konfirmasi dengan menggunakan metode high performance liquid chromatography (HPLC). Pengujian HPLC tersebut dilakukan sebagai konfirmasi terhadap sampel yang menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin. Limit deteksi HPLC adalah 5 ppb. Pengujian HPLC dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
Semua sampel yang diuji dengan ELISA menunjukan hasil 8 dari 60 sampel (13,33%) mengandung residu tetrasiklin. Sebanyak 8 sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan menggunakan ELISA kemudian dikonfirmasi dengan menggunakan metode HPLC. Hasil pengujian dengan metode HPLC menunjukan bahwa 5 dari 8 sampel mengandung tetrasiklin dengan kisaran 120-840 ppb. Seluruh sampel yang menunjukan hasil positif pada pengujian konfirmasi ini mengandung tetrasiklin di atas batas maksimum residu (BMR) sebagaimana tercantum dalam Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000.
Ditemukannya susu bubuk impor yang mengandung antibiotika tetrasiklin di atas BMR menunjukan bahwa susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tidak sepenuhnya aman untuk dikonsumsi. Hal ini menuntut perlunya pengawasan dan pengujian terhadap kandungan antibiotika dalam susu bubuk yang diimpor untuk menjamin keamanan konsumen terhadap jenis olahan susu yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PELABUHAN LAUT TANJUNG PRIOK
HARI YUWONO ADY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : B251100224
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. drh. Hadri Latif, M.Si. Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.,atas segala karunia dan ridho-NYA, sehingga tesis dengan judul “Analisis Residu Antibiotika Tetrasiklin dalam Susu Bubuk yang Diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok” ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si.) pada Program Studi Kesehatan Masysrakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Kepala Badan Karantina Pertanian beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan ini. Disamping itu, terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Hadri Latif, M.Si. dan Ibu Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS. selaku komisi pembimbing atas arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi serta kepada Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si. yang telah banyak memberikan masukan dan saran. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. beserta seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner IPB dalam membantu kelancaran pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Kepala BBKP Tanjung Priok beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan fasilitas, kemudahan-kemudahan dan motivasinya. Terima kasih kepada rekan-rekan di Laboratorium BBKP Tanjung Priok dan Laboratorium Toksikologi BBALITVET Bogor yang telah membantu melakukan pengujian. Terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian beserta staf atas saran dan masukan. Terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan seangkatan atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan sedalam-dalamnya kepada Ibu Sri Upami, Bapak mertua dan Mama mertua serta kakak-kakak dan adikku atas segala bantuan dan iringan doanya. Terima kasih juga disampaikan kepada istriku Ulya Rakhmi, putriku Nadya Syakira Novharyanti dan putraku Adyllan Wicaksono tercinta, atas semua dukungan, motivasi pengertian, kesabaran menanti, kasih sayang dan doanya.
Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan perlu pengembangan lebih lanjut agar benar benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan agar tesis ini lebih sempurna.
Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan berguna bagi Badan Karantina Pertanian serta masyarakat.
Bogor, Juni 2012
Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 8 September 1976 dari ayah Alm. Sutartyo Karto Atmodjo dan ibu Sri Upami. Penulis merupakan putra kesepuluh dari sepuluh bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1988 di SDN Ranterejo Kebumen dan pada tahun 1991 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Kebumen. Selanjutnya penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Kebumen dan lulus pada tahun 1994. Tahun 1994, penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH-UGM) dan meraih gelar Dokter Hewan pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian.
xvii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR GAMBAR ... xxi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Rumusan Masalah ... 2
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
Hipotesis Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Susu Bubuk ... 4
Antibiotika dan Penggunaannya ... 6
Tetrasiklin ... 8
Batas Residu Tetrasiklin ... 10
METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 11
Bahan dan Alat ... 11
Rancangan Penelitian... 11
Metode Penelitian ... 12
Analisa Data... 14
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Susu Bubuk Impor ... 16
Pemeriksaan Organoleptik ... 17
Pengujian Residu Antibiotika dengan ELISA ... 17
Pengujian Residu Antibiotika dengan HPLC ... 20
Gambaran Residu Antibiotika pada Susu Bubuk Impor ... 21
SIMPULAN DAN SARAN ... 24
DAFTAR PUSTAKA ... 25
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi kandungan gizi beberapa jenis susu bubuk ... 5
2 Batas maksimal residu tetrasiklin pada pangan asal hewan ... 10
3 Rincian pengambilan sampel per negara berdasarkan volume
susu bubuk tahun 2010 ... 12
4 Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin
dalam susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA... 19
5 Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor
dengan ELISA ... 21
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur kimia antibiotika tetrasiklin dan turunannya ... 9
2 Kurva standar hasil ELISA antibiotika tetrasiklin dalam susu
bubuk ... 18
PENDAHULUAN
Latar belakang
Susu merupakan bahan makanan sempurna dan mempunyai nilai gizi tinggi.
Kandungan zat gizinya selain bernilai tinggi juga lengkap. Perbandingan zat gizi
di dalam susu sangat ideal. Bagi manusia, susu merupakan sumber makanan
utama untuk bayi. Selain itu, susu juga merupakan makanan bernilai gizi tinggi
bagi orang tua dan sumber protein dalam masa pertumbuhan.
Susu bubuk merupakan produk olahan susu yang banyak dipasarkan di
Indonesia. Berdasarkan Canadean Survey, perbandingan konsumsi susu bubuk di
Indonesia sebesar 77.13% dan konsumsi susu cair sebesar 22.87% (Dhuha 2011).
Susu bubuk tidak hanya dikonsumsi oleh balita tetapi juga dikonsumsi oleh semua
tingkatan umur hingga lanjut usia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia
merupakan pasar potensial perdagangan produk olahan susu, terutama susu
bubuk. Peningkatan produksi susu dalam negeri yang tidak sebanding dengan
peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk
melakukan kebijakan importasi susu bubuk. Indonesia melakukan importasi susu
bubuk dari berbagai negara untuk memenuhi kebutuhan susu, diantaranya adalah
Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Philipina, Jerman, Belanda,
Prancis, Belgia, dan Swedia (BBKPTP 2010).
Berdasarkan laporan analisa statistik Direktorat Jenderal Peternakan,
kebutuhan susu bubuk di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat,
sedangkan produksi dalam negeri tidak dapat mencukupinya. Untuk memenuhi
kebutuhan susu bubuk tersebut, maka pemerintah Indonesia membuat kebijakan
importasi susu bubuk dari luar negeri (Ditjennak 2004). Data importasi susu
bubuk melalui Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok menunjukkan
terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun. Selama tahun 2010, impor susu bubuk
melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok mencapai 166 759 533 kg, sedangkan pada
tahun 2011 sebesar 193 776 066 kg (BBKPTP 2010). Hal ini menunjukkan bahwa
importasi susu bubuk meningkat. Susu bubuk impor tersebut berupa skim milk powder, whey powder, full cream milk powder (whole milk powder), butter milk powder, dan whey protein concentrate.
Peningkatan volume impor susu bubuk memerlukan pengawasan terhadap
keberadaan bahan berbahaya bagi konsumen, termasuk adanya antibiotika dalam
susu bubuk impor. Penggunaan antibiotika dalam peternakan sapi perah tidak
dapat dihindarkan, karena diperlukan untuk mengobati penyakit seperti mastitis,
enteritis, dermatitis dan penyakit lainnya. Intensitas penggunaan antibiotik
semakin meningkat baik dari segi jumlah, jenis dan cara penggunaannya (Siregar
1990). Salah satu golongan antibiotika yang sering digunakan dalam pengobatan
sapi perah adalah golongan tetrasiklin. Selain untuk pengobatan, antibiotika juga
digunakan sebagai pemacu pertumbuhan dan produksi. Penggunaan antibiotika
harus sesuai dengan aturan, apabila melanggar aturan dan tidak mematuhi waktu
henti obat (withdrawal time) dapat menyebabkan susu mengandung residu antibiotika. Residu antibiotika dalam susu dapat menimbulkan alergi, keracunan,
gagalnya pengobatan akibat resistensi, gangguan jumlah mikroflora saluran
pencernaan (Murdiati 1997).
Karantina Pertanian sebagai instansi yang berperan melakukan pengawasan
di tempat-tempat pemasukan memerlukan data mengenai keberadaan antibiotika
dalam susu bubuk dan metoda pemeriksaan yang cepat, tepat, dan akurat dalam
pelaksanaan tindakan karantina.
Rumusan Masalah
Ditemukannya antibiotika dalam pangan asal hewan erat kaitannya dengan
penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit serta penggunaannya sebagai
bahan imbuhan pakan (feed additive). Tetrasiklin merupakan salah satu antibiotika yang digunakan dalam upaya meningkatkan kesehatan hewan terutama dalam
pengendalian penyakit. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan
ditemukannya antibiotika dan akan sangat membahayakan konsumen bila
diberikan secara berlebihan dan tanpa pengawasan.
Susu bubuk impor yang masuk ke Indonesia tidak mencantumkan
keterangan bebas kandungan antibiotika. Unit Pelaksana Teknis Badan Karantina
Pertanian sebagai pintu gerbang importasi susu bubuk seharusnya melakukan
pemeriksaan terhadap kandungan antibiotika pada susu bubuk impor untuk
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Menganalisis keberadaan residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk
yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok
2. Menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian
dalam menetapkan kebijakan pengujian dalam rangka pemeriksaan residu
antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat
keberadaan kandungan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor dan
mendapatkan data yang dapat dipergunakan sebagai rujukan dalam rangka
pemeriksaan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk, sehingga dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam perumusan peraturan maupun penyempurnaan regulasi
yang berkaitan dengan importasi susu bubuk.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah susu bubuk yang diimpor
TINJAUAN PUSTAKA
Susu Bubuk
Salah satu metode untuk memperpanjang masa simpan susu adalah dengan
mengubahnya menjadi susu bubuk. Susu bubuk telah dihasilkan mulai 100 tahun
yang lalu dan berkembang pesat dalam waktu 50 tahun terakhir. Pembuatan susu
bubuk merupakan salah satu cara yang paling sukses dan penting dalam
pengawetan susu (Town 2005).
Susu bubuk merupakan sumber protein yang sangat baik dan penting,
mudah disusun kembali/rekonstruksi menjadi susu cair serta dapat menjadi
bahan-bahan unsur produk lainnya. Secara luas susu bubuk dapat digunakan untuk
produksi roti, biskuit, kue-kue, kopi krimer, sop, keju, susu coklat, es krim, susu
formula, nutrisi tambahan, rekombinan produk susu seperti susu pasteurisasi, susu
evaporasi, susu kental manis, keju lunak dan keju keras, krem, whipping cream,
yoghurt, dan produk fermentasi lainnya (Pearce 2006; Juergens et al. 2002). Susu bubuk merupakan bentuk olahan dari susu segar yang dibuat dengan
cara memanaskan susu pada suhu 80 °C selama 30 detik, kemudian dilakukan
proses pengolahan dengan beberapa tahapan yaitu evaporasi, homogenisasi, dan
pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan spray dryer atau roller dryer. Produk ini mengandung 2-4% air (Nasution 2009).
Perubahan dari susu cair menjadi susu bubuk memerlukan penghilangan air
melalui beberapa tahap hingga menjadi produk akhir. Selama proses pengurangan
air terjadi perubahan terhadap sifat, struktur kimia, dan penampakan (appearance) susu. Susu merupakan produk yang sensitif dan kualitasnya sangat mudah
dipengaruhi terutama oleh panas dan aktivitas bakteri (Pisecky 1997).
Keunggulan dari susu bubuk adalah masa simpannya yang paling baik
dibandingkan dengan bentuk pengawetan susu yang lain, tidak membutuhkan
pendinginan selama penyimpanan dan transportasi. Kadar air lebih sedikit yaitu
hanya seperdelapan berat dan seperempat volume dari susu cair sehingga
menghemat transportasi dan dapat diaplikasikan pada semua produk akhir (Town
Proses pengolahan susu menjadi bubuk mampu memperpanjang masa
simpan susu hingga dua tahun dalam kemasan alumunium dan kotak karton.
Namun tahapan proses yang cukup panjang dalam menghasilkan susu bubuk
menjadikan kandungan nutrisi yang ada di dalam susu berkurang, bahkan protein
mengalami kerusakan hingga 30%. Karena itulah pada proses pembuatan susu
bubuk ditambahkan berbagai vitamin yang diharapkan dapat menggantikan
kandungan yang hilang selama proses pengolahan agar kembali seperti semula,
namun kondisinya tidak akan sama dengan susu segar. Proses ini bahkan dapat
menimbulkan reaksi Maillard, yaitu terjadinya pigmen cokelat antara gula dan protein susu karena pemanasan yang lama menyebabkan protein semakin sulit
untuk dicerna (Nasution 2009).
Susu bubuk dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu susu bubuk berlemak,
susu bubuk rendah lemak dan susu bubuk tanpa lemak. Susu bubuk berlemak (full cream milk powder) adalah susu yang telah diubah bentuknya menjadi bubuk. Susu bubuk rendah lemak (partly skim milk powder) adalah susu yang telah diambil sebagian lemaknya dan diubah bentuknya menjadi bubuk. Susu bubuk
tanpa lemak (skim milk powder) adalah susu yang telah diambil lemaknya dan diubah menjadi bubuk (BSN 2000).
Gizi yang tersedia dalam susu bubuk berupa protein, glukosida, lipida,
garam-garam mineral dan vitamin sangat cocok untuk pertumbuhan dan
pertambahan jumlah sel tubuh anak-anak dan mamalia muda lainnya (Buckle et
al. 1987). Komposisi kandungan gizi dari berbagai jenis susu bubuk dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kandungan gizi beberapa jenis susu bubuk
Jenis Susu Bubuk Air
Metode pengeringan yang dilakukan pada proses pembuatan susu bubuk
dapat menggunakan spray dryer maupun drum dryer. Spray drying merupakan salah satu bentuk pengeringan yang sudah banyak diaplikasikan di industri
pengolahan susu. Metode ini akan berpengaruh terhadap total bahan padat yang
dihasilkan dari susu bubuk. Suhu pengeringan yang tinggi akan menghasilkan
susu bubuk dengan kadar air rendah dan total bahan padat yang tinggi (Widodo
2003). Keuntungan dari susu bubuk dengan metode spray drying adalah lebih mudah dicerna dan lebih aman karena tidak menyebabkan alergi (Maree 2003).
Menurut Oliviera et al. (2000) proses pembuatan susu bubuk dengan menggunakan spray dryer melalui beberapa tahap yaitu :
a. Perlakuan pasteurisasi dengan suhu 90 ºC selama 8 detik atau 108 ºC selama
2 detik.
b. Penguapan air dengan perlakuan pemanasan akan menghasilkan 48%
padatan.
c. Proses penyemprotan kering (spray drying), susu disemprot dengan udara kering melalui lubang pada suhu 270 ºC.
Susu bubuk yang dikeringkan dengan drum dryer butirannya berbentuk pipih dengan ketebalan 8-10 µ. Sifat kelarutan dalam air kurang sempurna, karena
butiran-butiran lemak akan mengapung di atas. Susu bubuk yang dikeringkan
dengan spray dryer terdiri atas partikel 10-15 µ. Sifat kelarutan dalam air sempurna, hampir sama dengan susu segar. Adanya udara diantara butiran-butiran
tersebut dapat menyebabkan timbulnya oksidasi selama penyimpanan (Syarief dan
Halid 1997).
Di Indonesia proses pembuatan susu bubuk oleh produsen pada umumnya
mencampur susu bubuk yang diimpor dengan perasa atau pun tambahan bahan
lainnya (Herdiana 2007).
Antibiotika dan Penggunaannya
Antbiotika merupakan suatu bahan atau zat yang diproduksi oleh bakteri
atau cendawan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi
terutama yang disebabkan oleh bakteri. Senyawa ini mampu menghentikan proses
pertumbuhan bakteri bahkan dapat membunuh bakteri yang secara umum dikenal
Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika
tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel (Bezoen et al. 2000). Secara umum antibiotika diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu broad spectrum dan
narrow spectrum. Antibiotika yang bersifat broad spectrum secara umum mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies
(cakupan yang luas) sedangkan antibiotika yang bersifat narrow spectrum hanya mampu membunuh mikroorganisme spesifik (CDUFA 1999).
Secara umum penggunaan antibiotika di peternakan bertujuan untuk :
1. Pengobatan sehingga mengurangi risiko kematian dan mengembalikan
kondisi hewan yang dapat berproduksi kembali (normal), juga mencegah
tersebarnya mikroorganisme patogen ke hewan lainnya.
2. Memacu pertumbuhan (growth promotor), sehingga dapat mempercepat pertumbuhan atau meningkatkan produk hewan serta mengurangi biaya
pakan.
Diperkirakan 50% dari seluruh antimikrobial digunakan untuk keperluan
pada bidang kedokteran hewan (Teuber 2001). Hasil penelitian menunjukan
bahwa penggunaan antibiotika dalam dunia peternakan berkisar antara 80% dalam
perunggasan, 75% pada peternakan babi, 60% pada peternakan sapi potong dan
75% antibiotika digunakan dalam peternakan sapi perah (Crawford dan Franco
1996).
Antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan biasanya ditambahkan untuk
imbuhan pakan (feed additive) yang secara umum bermanfaat karena secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat gizi
dalam pakan dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pembentukan asam
amino (Yuningsih 2005).
Aplikasi antibiotika pada sapi perah dapat dilakukan melalui berbagai cara
yang berbeda, yaitu melalui mulut (peroral), intravena, intramuscular, subkutan,
intrauterin, dan intra mamari. Semua cara tersebut dapat memacu terjadinya residu
antibiotika dalam susu (Mitchell et al. 1995).
Menurut Nisha (2008) efek patologik yang disebabkan oleh antibiotika
dalam makanan adalah transfer resistensi bakteri terhadap suatu antibiotika ke
oksitetrasiklin, furazolidon), mutagenik, nefropathy (gentamisin), hepatotoksisiti,
kerusakan sistem reproduksi, toksisitas tulang belakang (kloramfenikol) dan alergi
(penisillin).
Tetrasiklin
Antibiotika tetrasiklin yang pertama kali ditemukan adalah klortetrasiklin
yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Oksitetrasiklin berasal dari
Streptomyces rimosus. Tetrasiklin dapat dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, demikian pula dari spesies Streptomyces lainnya. Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom. Antibiotika ini masuk ke
dalam ribosom bakteri Gram negatif melalui dua proses yaitu difusi pasif melalui
kanal hidrofilik dan sistim transport aktif. Antibiotika akan berikatan dengan sub
unit ribosom 30s, dan menghalangi masuknya tRNA asam amino pada lokasi
asam amino (Kunardi dan Setiabudy 1995). Antibiotika berspektrum luas ini
dapat menghambat pertumbuhan sebagian besar bakteri, protozoa, dan organisme
intraseluler Mycoplasma, Chlamydia, dan Rickettsia (Spoo dan Riviera 1995). Antibiotika golongan tetrasiklin yang berguna secara klinik adalah
klortetrasiklin (aureomisin), demeklosiklin (deklomisin), doksisiklin (vibramisin),
metasiklin (rondomisin), minosiklin (minosin), oksitetrasiklin (terramisin), dan
tetrasiklin (akhromisin) (Schullman 1994).
Menurut Kunardi dan Setiabudy (1995) berdasarkan sifat farmakokinetik
antibiotika golongan tetrasiklin dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Tetrasiklin, klortetrasiklin, dan oksitetrasiklin, mempunyai absorbsi tidak
lengkap dengan masa paruh 6-12 jam,
b. Dimetilklortetrasiklin, mempunyai absorbsi lebih baik dan masa paruh
kira-kira 16 jam,
c. Doksisiklin dan minosiklin mempunyai absorbsi yang sangat baik dan masa
paruh 17-20 jam.
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air tetapi bentuk garam
natrium dan HCl-nya mudah larut. Tetrasiklin HCl pada keadaan kering dalam
cepat berkurang potensinya (Kunardi dan Setiabudy 1995). Struktur kimia
antibiotika golongan tetrasiklin ditampilkan dalam Gambar 1.
N
Gambar 1. Struktur kimia antibiotika tetrasiklin dan turunannya.
Tetrasiklin di saluran pencernaan diabsorbsi sekitar 30-80%, terikat kuat
pada gigi dan struktur tulang (Kunardi dan Setiabudy 1995). Ikatan antara
tetrasiklin dengan kalsium tersebut menyebabkan hambatan perkembangan gigi,
hipoplasia desiduata, dan gigi permanen. Penggunaan 5-20 parts per million
(ppm) tetrasiklin dalam pakan hewan dapat memacu resistensi Enterobacteriaceae
(Booth 1988). Tetrasiklin didistribusikan ke seluruh tubuh, kecuali pada jaringan
lemak. Afinitas yang besar terjadi pada jaringan dengan kecepatan metabolisme
dan pertumbuhan yang cepat, misalnya hati, tulang, gigi, dan jaringan neoplasma
(Wattimena et al. 1991).
Golongan tetrasiklin diabsorbsi dari dalam darah oleh hati sehingga
konsentrasi tertinggi dijumpai dalam parenkim hati dan empedu. Konsentrasi yang
tinggi ditemukan dalam empedu, yang dapat mencapai 30 kali konsentrasi dalam
darah (Wattimena et al. 1991). Golongan tetrasiklin cepat diserap oleh lambung
dan usus halus bagian atas bila dilakukan pemberian secara oral. Sebagian obat
kembali oleh usus halus. Waktu paruh oksitetrasiklin adalah 8-12 jam (Jones et al.
1977).
Semua golongan tetrasiklin mengalami sirkulasi enterohepatik yang
memungkinkan tetrasiklin masih berada di dalam sirkulasi darah untuk waktu
yang lama setelah terapi dihentikan (Sande dan Mandell 1985). Hal ini disebabkan
sirkulasi enterohepatik membatasi sekresi obat oleh empedu dan mempertahankan
konsentrasi terapeutik untuk jangka waktu tertentu. Golongan tetrasiklin
terdistribusi secara luas dalam tubuh. Konsentrasi tertinggi dijumpai dalam ginjal,
hati, limpa, dan paru-paru (Jones et al. 1977).
Berdasarkan laporan hasil survei dari bulan April 1995 sampai Maret 2000
di Jepang bahwa antibiotika golongan tetrasiklin merupakan antibiotika yang
paling banyak pemakaiannya, sebanyak 292 sampel organ ginjal sapi dan babi
yang berasal dari rumah potong hewan, menunjukkan bahwa 106 sampel
mengandung antibiotika tetrasiklin dan 41 sampel mengandung sulfa, termasuk
klortetrasiklin 59 sampel, oksitetrasiklin 7 sampel, sulfamonometoksin 35 sampel,
sulfadimetoksin 2 sampel, sulfametoksazol 2 sampel, dan mengandung golongan
sulfa lainnya dalam jumlah kecil (Oka et al. 1995).
Batas Residu Tertasiklin
Codex Alimentarius Commission (CAC 2011) menetapkan acceptable
daily intake (ADI) tetrasiklin pada pangan segar asal sapi adalah 0-30 µg/kg berat badan, serta maximum residue limit (MRL) atau batas maksimal residu (BMR).
Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga menetapkan BMR tetrasiklin
sebagaimana yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
01-6366-2000. Batas maksimum residu antibiotika tetrasiklin pada beberapa pangan asal
hewan menurut CAC dan BSN disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Batas maksimal residu tetrasiklin pada pangan asal hewan
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel susu bubuk dilakukan di Pelabuhan Laut Tanjung
Priok, Jakarta. Pengujian sampel dengan menggunakan enzym linked immunosorbent assay (ELISA) dilakukan di laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, sedangkan pengujian dengan high performance liquid chromatography (HPLC) dilaksanakan di Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai dengan April 2012.
Bahan dan Alat
1. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Bahan dan alat yang digunakan adalah kit ELISA untuk antibiotika
tetrasiklin (Ridascreen® Tetracyclin Art. No.: R3503), Trichloacetic acid
(TCA ) 3%, Natrium hidroksida (NaOH), larutan substrat chromagen,
microplate well polystyrene, sentrifus, shaker (Vortex), pipet pasteur, pipet
graduate, mikropipet 20-200 l dan 200-1000 l, ELISA reader
(RIDA®SOFT Win Art. No.Z9999).
2. High performance liquid chromatography (HPLC)
Bahan dan alat yang digunakan adalah metanol, asam oksalat
0.0025 M, asetonitril, HPLC Shimadzu LC 20AD, kolom C18 Bondapak
Waters Polaris 5, SPE Cartridge Bond Elut C 18 varian, mikropipet
10-100 l dan 100-1000 l, mikropipet syringe 50 l, standar tetrasiklin (Vetranal, SIGMA), vortex, sentrifus.
Rancangan Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengumpulkan sampel susu
bubuk yang diambil secara acak sederhana. Sampel susu bubuk diambil di
Instalasi Karantina Produk Hewan.
Volume impor susu bubuk dari berbagai negara melalui Pelabuhan Laut
Tanjung Priok pada Tahun 2010 sebesar 166 759 533 kg. Unit sampling yang
dengan 25 kg. Jumlah sampel yang diambil dihitung dengan menggunakan rumus
detect disease (Martin et al. 1987).
Jumlah sampel yang didapatkan setelah dilakukan penghitungan dengan
perangkat win episcope 2.0 adalah sebesar 59 sampel dan dibulatkan menjadi 60
sampel. Masing-masing sampel sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam kantong
plastik steril yang telah diberi label kode sampel, jenis susu bubuk, nama
perusahaan, negara asal, dan tanggal pengambilan. Jumlah sampel susu bubuk
dari berbagai negara yang diambil secara proporsional berdasarkan volume pada
tahun 2010 disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Rincian pengambilan sampel per negara berdasarkan volume susu bubuk tahun 2010
Sampel yang telah diambil, dilakukan screening test dengan ELISA. Sampel yang menunjukkan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada ELISA
dikonfirmasi dengan metode HPLC.
Metode Penelitian
Sebanyak 60 sampel diuji dengan ELISA sebagai screening test untuk mengetahui apakah sampel-sampel tersebut mengandung antibiotika tetrasiklin.
Uji tersebut dilakukan pada bulan Februari 2012 di Laboratorium Balai Besar
Karantina Pertanian Tanjung Priok. Sampel yang positif mengandung antibiotika
menggunakan metode HPLC. Uji HPLC tersebut dilakukan sebagai konfirmasi
terhadap sampel yang menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin
pada ELISA. Uji HPLC dilakukan pada bulan April 2012 di Laboratorium Balai
Besar Penelitian Veteriner Bogor.
1. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
a. Persiapan sampel
Sebanyak 1 g sampel yang telah homogen dimasukkan ke dalam
tabung sentrifus. Kemudian ditambahkan 4 ml TCA 3% lalu
dihomogenkan selama 1 menit. Selanjutnya diekstraksi selama
30 menit dengan reciprocating shaker. Sampel didinginkan pada temperatur 4 °C dalam refrigerator. Kemudian disentrifus dengan
kecepatan 3 400 rpm selama 10 menit pada temperatur 4 °C lalu
diambil 200 l bagian supernatan yang jernih. Selanjutnya diencerkan
dengan 200 l larutan buffer atur pH 7.4 dengan 20 l 1 M NaOH. b. Pengujian sampel
Standar (50 l), sampel (50 l) dan enzyme conjugate (100 l) dimasukkan ke dalam microplate well polystyrene yang telah dilapisi dengan tetrasiklin antibodi dan diinkubasi selama 1 jam pada
temperatur ruangan. Selama inkubasi terjadi reaksi antara tetrasiklin
bebas dari standar atau sampel dan tetrasiklin dari enzyme conjugate
lalu mengikat tetrasiklin antibodi yang diserap dalam bentuk padatan.
Dilanjutkan pada tahap pencucian untuk membuang semua ikatan
molekul padatan yang tidak diperlukan. Aktivitas ikatan enzim
ditentukan dengan penambahan larutan substrate chromagen (100 l) lalu diinkubasi selama 15 menit dalam temperatur ruangan dan di
tempat yang gelap. Selama inkubasi enzim mengubah larutan
chromagen yang tidak berwarna menjadi berwarna biru, lalu
ditambahkan stop reagen (100 l) untuk menghentikan reaksi. Kandungan antibiotika tetrasiklin dalam sampel dibaca dengan
2. High performance liquid chromatography (HPLC) a. Ekstraksi dan pemurnian sampel
Metode ekstraksi yang digunakan diadopsi dari metode yang
dikembangkan oleh Cinquina et al. (2003). Sebanyak 5 g susu ditempatkan dalam tabung sentrifus. Setelah itu ditambahkan 2 ml
larutan asam trikloroasetat 20% kemudian dikocok menggunakan
vorteks. Setelah itu sampel ditambahkan 18 ml larutan buffer
Mcllvaine-EDTA kemudian disentrifus pada kecepatan 3 000 rpm
selama 10 menit. Larutan supernatan hasil sentrifus dipisahkan dari
residunya kemudian dimasukkan ke dalam kolom. Ekstraksi diulangi
kembali dengan menambahkan 10 ml larutan buffer Mcllvaine-EDTA, lalu dikocok menggunakan vorteks. Setelah proses ekstraksi selesai,
dilanjutkan dengan pemurnian sampel menggunakan SPE Cartridge
(kolom) C 18.
Kolom diaktifkan terlebih dahulu dengan 20 ml metanol dan
20 ml aqua destilata. Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke dalam kolom kemudian kolom dicuci lagi dengan 20 ml metanol 5%. Setelah
itu kolom tersebut dielusi dengan 6 ml metanol oksalat. Filtrat
dikeringkan dalam oven suhu 40 oC kemudian dilarutkan dengan
200 µl metanol oksalat. Sebanyak 40 µl sampel dianalisis dengan
HPLC.
b. Larutan standar tetrasiklin
Sebanyak 2 mg larutan stok baku tetrasiklin diencerkan dengan
20 ml metanol agar diperoleh larutan baku kerja 100 µg/ml.
Selanjutnya dilakukan pengenceran serial hingga diperoleh
konsentrasi 1 µg/ml.
c. Analisis dengan HPLC
Sebanyak 40 µl alikuot diinjeksikan ke dalam HPLC Shimadzu
seri LC 20AD.
Analisis Data
Data hasil pemeriksaan sampel dengan ELISA dan HPLC diolah dan
gambar. Analisa deskriptif adalah bidang statistik yang membicarakan cara atau
metode mengumpulkan, menyederhanakan dan menyajikan data sehingga bisa
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Susu Bubuk Impor
Sebanyak 60 sampel susu bubuk impor diambil untuk penelitian ini. Sampel
diambil dari berbagai negara yang jumlahnya disesuaikan dengan proporsi volume
importasi susu bubuk melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok selama tahun 2010.
Susu bubuk dikemas dalam kantong ukuran 25 kg yang terdiri dari 1 lapis
kantong plastik di bagian dalam dan 4 lapis kertas semen di bagian luarnya.
Plastik digunakan sebagai pembungkus makanan karena kuat dan kencang,
mencegah dari kelembaban dan gas, tahan terhadap benturan, transparan sehingga
terlihat isi dibagian dalamnya, dan fleksibel. Pengemasan diartikan sebagai usaha
dalam menjamin keamanan produk selama pengangkutan, penyimpanan sehingga
aman sampai konsumen (Brown 1992).
Pengemasan susu bubuk dilakukan dengan menggunakan kantong (bag) dengan 4 lapis. Lapisan paling dalam adalah lapisan plastik dengan tujuan
mengontrol masuknya uap air, sedangkan 3 lapisan kertas yang berlapis-lapis
untuk memberikan kekuatan dan melindungi terhadap cahaya (NZMP 2006).
Susu bubuk diangkut menggunakan kontainer dengan suhu dan
kelembabannya diatur selama dalam perjalanan dari negara asal ke Indonesia
sesuai standar penyimpanan yaitu pada suhu berkisar antara 24-25°C dan
kelembaban 65-68%. Kelembaban adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
kualitas dalam pengawetan beberapa produk makanan dan mempengaruhi
stabilitas keseimbangan kandungan bahan, terutama untuk bahan-bahan yang
dikeringkan seperti susu bubuk, egg powder, buah-buahan yang dikeringkan (Nielsen 2003).
Kemasan susu bubuk impor dalam kontainer disusun dengan rapi dan diberi
jarak antar baris dengan kantong plastik berisi udara (air bag) agar tidak terjadi benturan antar kemasan yang dapat merusak susunan kemasan, dan di lantai
kontainer diberi pallet terbuat dari kayu/aluminium sehingga kemasan tidak bersentuhan langsung dengan lantai kontainer. Hal ini bertujuan memberi sirkulasi
udara yang baik dalam kontainer untuk menjaga kualitas susu bubuk impor
Susu bubuk impor dipergunakan sebagai bahan baku untuk industri
pengolahan susu, industri pengolahan roti dan kue, industri pengolahan es krim,
dan sebagai bahan campuran pembuatan coklat, kopi creamer, sop, serta produk olahan susu lainnya. Beberapa importir langsung menjual susu bubuk kepada
distributor untuk diedarkan kepada konsumen (Herdiana 2007).
Pemeriksaan Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik pada susu bubuk impor menunjukkan bahwa 60
sampel susu bubuk impor mempunyai warna yang beragam antara lain putih,
putih kekuning-kuningan atau krem, kecoklatan, aromanya khas bau susu, rasanya
agak manis, tekstur butirannya halus/lembut, dan tidak menggumpal. Hal ini
menunjukkan bahwa secara organoleptik susu bubuk impor berkualitas baik.
Susu bubuk dapat menggumpal dan mengeras karena mengandung kasein.
Kasein yang mengeras selama penyimpanan menyebabkan daya larutnya sangat
menurun sebagai tanda susu mengalami kerusakan, sehingga susu bubuk tersebut
tidak dapat memenuhi fungsinya seperti yang diharapkan (Muchtadi 1997). Sifat
kasein mudah menggumpal bila ditambah asam pekat, enzim proteolitik, alkohol
pekat atau karena pemanasan (Syarief dan Halid 1997). Susu juga mengandung
laktosa. Susu bubuk yang disimpan pada tempat yang lembab atau kadar air yang
tinggi menyebabkan laktosa akan mudah menyerap air sehingga susu mudah
menggumpal (Juergens et al. 2002).
Sifat organoleptik susu bubuk berhubungan erat dengan komposisi dan
kualitas dari bahan baku dan proses pengolahannya. Kadar lemak yang ada dalam
susu bubuk akan mempengaruhi aroma. Adanya asam lemak bebas dalam lemak
akan mempengaruhi aroma dan perlakuan panas akan menyebabkan perubahan
warna. Masa simpan susu bubuk dipengaruhi dari kualitas bahan baku, proses
spray drying dan kondisi di mana susu bubuk disimpan. Kerusakan selama penyimpanan akan mengakibatkan perubahan organoleptik yang nyata (Early
1998).
Pengujian Residu Antibiotika dengan ELISA
Keterbatasan pada beberapa metode pengujian tidak jarang menjadi
0
mengalami proses pemanasan tinggi kemungkinan tetap mengandung antibiotika
walaupun hanya dalam jumlah yang kecil.
Pengujian dengan ELISA merupakan metode yang sensitif, spesifik, cepat,
mudah, dan secara ekonomi relatif lebih murah jika sampel yang diuji dilakukan
dalam jumlah besar. Di samping itu, sejumlah sampel dapat dideteksi dalam
waktu yang bersamaan dengan menggunakan sedikit reagen. Beberapa kelemahan
dari metode ELISA yaitu spesifisitas yang terbatas karena adanya reaksi silang
dengan senyawa-senyawa yang memiliki struktur yang hampir sama. Faktor
penting yang harus diperhatikan dalam metode ELISA ini antara lain penanganan
terhadap kit ELISA, masa kadaluarsa, peralatan yang digunakan untuk pengujian
sudah dikalibrasi dengan baik serta keterampilan dan pengalaman analis dalam
melakukan pengujian (Burgess 1995). Metode ELISA merupakan uji yang
digunakan sebagai screening test (uji tapis). Uji ini bermanfaat untuk mendapatkan informasi awal mengenai keberadaan antibiotika dalam susu bubuk.
Limit deteksi ELISA yang digunakan untuk mendeteksi residu antibiotika
tetrasiklin dalam susu bubuk pada penelitian ini adalah 1.5 part per billion (ppb) dengan 50% inhibition sebesar 0.763 ppb (Gambar 2). Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi terendah dideteksi dari suatu substansi.
Jumlah sampel yang menunjukkan hasil positif menggunakan kit ELISA
untuk antibiotika tetrasiklin (Ridascreen® Tetracyclin Art. No.: R3503) sebanyak
8 dari 60 sampel (13.33%) yang diperiksa dengan kisaran konsentrasi
25.44-73.11 ppb. Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin
dalam susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil pengujian sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor dengan menggunakan ELISA
No Kode Sampel ELISA (ppb)
Ditemukannya hasil positif antibiotika tetrasiklin pada pengujian ini
kemungkinan disebabkan karena susu yang diuji berasal dari hewan yang diobati
dengan antibiotika tetrasiklin sehingga meninggalkan residu antibiotika di dalam
susu.
Meningkatnya permintaan produk hewan akan diikuti dengan peningkatan
pemakaian obat hewan baik dalam jenis maupun jumlahnya. Penggunaan
antibiotika secara intensif untuk pengobatan maupun sebagai bahan tambahan
dalam pakan tanpa memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time) atau tanpa memperhatikan farmakokinetik dari obat maka kemungkinan besar residu dari
obat-obatan tersebut akan ditemukan dalam pangan asal hewan dan juga produk
olahannya (Latif 2004).
Keberadaan antibiotika dalam pangan asal hewan yang melebihi batas
reaksi alergi pada individu yang hipersensitif, keracunan, karsinogen, dan
menyebabkan resistensi terhadap bakteri sehingga individu tidak dapat merespon
pengobatan yang umum digunakan untuk penyakit manusia (Rico 1986; Tan et al.
2009).
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa ELISA dapat dipergunakan
sebagai screening test, karena memiliki sensitifitas yang baik. Namun hasil uji yang positif harus diuji lanjut dengan menggunakan metode uji konfirmatif.
Menurut Salman (2008) dalam screening test, diperlukan sensitifitas uji yang tinggi sebab semakin tinggi nilai sensitifitas, maka semakin kecil kemungkinan
diperoleh negatif palsu.
Pengujian Residu Antibiotika dengan HPLC
Metode HPLC mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan
metode lainnya yaitu dapat mendeteksi secara kualitatif dan kuantitatif dengan
tingkat akurasi, sensitifitas, dan spesifisitas yang tinggi. Namun demikian HPLC
mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lama, reagen dan
instrumentasi yang mahal serta operator yang terlatih.
Hasil positif pada pengujian dengan metoda ELISA (8 sampel),
dikonfirmasi dengan metoda HPLC. Terdapat 5 dari 8 sampel (62.50%) yang
menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan metode
HPLC. Sebanyak 5 sampel juga menunjukan adanya kandungan tetrasiklin dengan
nilai di atas BMR, yaitu pada sampel dengan kode B5, B9, B12, B18, dan B40
dengan kisaran 120–840 ppb, sedangkan 3 sampel dengan kode B5, B7, dan B19
tidak mengandung antibiotika tetrasiklin atau konsentrasinya di bawah limit
deteksi uji (< 5 ppb). Nilai BMR tetrasiklin dalam susu yang ditetapkan oleh BSN
sebagaimana tercantum dalam SNI 01-6366-2000 adalah sebesar 50 ppb (BSN
2000). Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif mengandung
antibiotika tetrasiklin pada pengujian dengan ELISA selengkapnya disajikan pada
Tabel 5 Hasil uji konfirmasi dengan HPLC terhadap sampel positif mengandung antibiotika tetrasiklin pada susu bubuk impor dengan ELISA
No Kode
sampel
Sampel positif uji ELISA Konfirmasi dengan HPLC Konsentrasi (ppb) Konsentrasi (ppb)
Gambaran Antibiotika Tetrasiklin dalam Susu Bubuk Impor
Berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan antibiotika dalam susu bubuk
yang diimpor dari sejumlah negara, diperoleh gambaran bahwa beberapa negara
pengekspor susu bubuk masih menggunakan antibiotika tetrasiklin. Terdapatnya
antibiotika dalam susu bubuk, dapat disebabkan oleh penggunaan antibiotika
sebagai terapi.
Hasil penelitian ini menunjukan adanya kandungan antibiotika tetrasiklin
pada susu bubuk impor. Berdasarkan pengujian ELISA, konsentrasi rata-rata yang
terdeteksi masih berada di bawah BMR, namun setelah dilakukan konfirmasi
dengan metode HPLC terdapat 5 sampel yang mengandung antibiotika tetrasiklin
di atas BMR.
Ditemukannya hasil positif kandungan antibiotika tetrasiklin pada susu
bubuk impor menunjukan bahwa susu sebagai bahan dasar pembuatan susu bubuk
berasal dari peternakan sapi perah yang menggunakan antibiotika tetrasiklin.
Penggunaan antibiotika di peternakan disamping dapat memberikan manfaat bagi
hewan dan peternak, namun dapat pula menimbulkan risiko bagi kesehatan
masyarakat jika pemakaiannya tidak sesuai aturan. Risiko tersebut berupa adanya
residu antibiotika pada daging, lemak, susu, dan telur (Noor et al. 1992). Selain digunakan sebagai pengobatan, antibiotika tetrasiklin juga digunakan sebagai
pemacu pertumbuhan dan meningkatkan produksi. Penggunaan antibiotika harus
obat (withdrawal time) dapat menyebabkan susu mengandung residu antibiotika (Murdiati 1997).
Ditemukannya hasil positif dengan kandungan antibiotika tetrasiklin di atas
BMR menunjukan bahwa susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut
Tanjung Priok tidak sepenuhnya aman untuk dikonsumsi. Ditinjau dari segi
kesehatan masyarakat veteriner, kandungan antibiotika dalam bahan pangan asal
hewan perlu mendapat perhatian, mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan
terhadap kesehatan konsumen. Hal ini menuntut perlunya pengawasan dan
pengujian terhadap kandungan antibiotik dalam susu bubuk yang diimpor untuk
menjamin keamanan susu bubuk sebagai jenis olahan susu yang paling banyak
dikonsumsi di Indonesia.
Salah satu antibiotika yang paling umum digunakan di peternakan adalah
tetrasiklin. Tetrasiklin mempunyai spektrum yang luas sehingga efektif terhadap
terhadap bakteri Gram positif dan negatif. Sifat tetrasiklin dengan spektrum yang
luas menyebabkan antibiotika ini banyak digunakan oleh peternak karena secara
ekonomi lebih menguntungkan. Peternakan sapi perah menggunakan tetrasiklin
untuk pengobatan terhadap penyakit pernapasan (97% ternak), lumpuh (83%),
mastitis (80%), dan penyakit reproduksi (80%). Tetrasiklin juga digunakan
sebagai bahan imbuhan pakan (feed additive) untuk meningkatkan pertumbuhan hewan dan sebagai profilaksis. Akibat penggunaan tetrasiklin dimungkinkan
adanya residu tetrasiklin dalam susu. Diperlukan suatu metode untuk memantau
tingkat kandungan tetrasiklin dalam susu, supaya dapat dipastikan bahwa susu
tersebut sudah memenuhi persyaratan batas toleransi yang ditetapkan oleh
pemerintah. Residu antibiotika dalam pangan asal hewan dianggap penting karena
dapat menyebabkan meningkatnya resistensi mikrooganisme terhadap antibiotika.
Penggunaan tetrasiklin yang berlebihan harus dikontrol untuk mengurangi risiko
resistensi dan timbulnya strain baru mikroorganisme (Dimitros et al. 1990; Onal 2011; Boyer 2012).
Penggunaan antibiotika hanya diperbolehkan sebagai terapi dengan
pengawasan dokter hewan. Untuk meminimalisir penggunaan antibiotika WHO
menghimbau peternak agar meningkatkan kesehatan hewan melalui penerapan
program vaksinasi serta menerapkan manajemen yang baik pada peternakan
(WHO 2011).
Jaminan keamanan pangan di Indonesia menjadi tanggung jawab semua
pihak yang terkait, antara lain pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat
termasuk konsumen. Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan
peraturan perundang-undangan dan penegakannya, pemberian sosialisasi dan
edukasi, melakukan monitoring dan pengumpulan data serta penyediaan anggaran.
Pelaku industri, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, bertanggung jawab
terhadap penerapan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), Good Manufacturing Practises (GMP) sepanjang rantai pangan (from farm to table), penyediaan sarana dan teknologi sehingga terwujud keamanan pangan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
menyebutkan bahwa keamanan pangan merupakan kondisi daya upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia,
dan benda lain yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia
(RI 1996). Indonesia menetapkan standar maksimum residu dalam produk asal
hewan yang dituangkan dalam SNI No. 01-6366-2000. Standar tersebut berlaku
untuk produk asal hewan baik impor maupun produk dalam negeri (BSN 2000).
Badan Karantina Pertanian sebagai institusi terdepan dalam pengawasan
pemasukan komoditi impor dan ekspor produk hewan perlu menetapkan
pengujian secara rutin terhadap produk hewan yang diimpor ke Indonesia untuk
mencegah masuknya bahan pangan yang dapat membahayakan kesehatan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok
mengandung antibiotika tetrasiklin.
2. Ditemukan 8 dari 60 sampel (13.33%) mengandung antibiotika tetrasiklin
dengan pengujian ELISA. Setelah dilakukan uji konfirmasi dengan metode
HPLC, terdapat 5 dari 8 sampel yang positif dengan ELISA terdeteksi
mengandung antibiotika tetrasiklin.
3. Sebanyak 5 dari 60 sampel (8.3%) mengandung tetrasiklin di atas BMR
yang ditetapkan dalam SNI No. 01-6366-2000.
Saran
Pengujian kandungan antibiotika dalam susu bubuk sebagai bagian dari
tindakan karantina perlu dilakukan untuk menjamin keamanan susu bubuk yang
DAFTAR PUSTAKA
[BBKPTP] Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. 2010. Laporan Tahunan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok 2010. Jakarta: Badan Karantina Pertanian.
[BSN] Badan Standar Nasional. 2000. Batas Maksimal Cemaran Mikroba Dan Batas
Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Dalam Standar Nasional
Indonesia No. 01-6366-2000.
Bezoen A, Haren WV, Hanekamp JC. 2000. Emergence of a Debate : AGPs and Public Health. Amsterdam: Heidelberg Appeal Netherland Foundation. hlm. 19-75
Booth NH. 1988. Drug and Chemical Residues in The Edible Tissues of Animal. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Iowa: Iowa State University. hlm. 1173.
Boyer TC. 2012. Antibiotic resistance in the lower intestinal microbiota of dairy cattle: longitudinal analysis of phenotypic and genotypic resistance. [disertasi]. Minnesota: Faculty of The Graduate School, The University of Minnesota.
Brown WE. 1992. Plastic in Food Packaging Properties, Design and Fabrication. New York: Marcel Deckker, Inc.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo Adiono, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari Food Science Technology.
Burgess GW. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosa dan Penelitian. Artama WT, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari
ELISA Technology in Diagnosis and Research.
[CAC] Codex Alimentarius Comision. 2011. Veterinary Drugs Residues in Food. Diperbarui sampai dengan Sidang ke-34. http://www. codexalimentarius.net/vetdrugs/data/index.html [30 Januari 2012].
[CDUFA] Comitee on Drug Use in Food Animals. 1999. The Use of Drugs in Food Animals: Benefits and Risk. Washington: CABI Publishing and National Academy. hlm. 1-49, 110-153.
Cinquina AL, Longo F, Anastasi G, Giannetti L., Cozzani R. 2003. Validation of a high performance liquid chromatography method for oxytetracycline, tetracycline and chlortetracycline in bovine milk and muscle. J Chromatogr A.987:227-233
Dhuha S. 2011. Konsumsi susu cair Indonesia masih rendah. http://www.today. co.id/read/2011/04/27/28007/konsumsi_susu_cair_indonesia_masih_rendah. [15 Januari 2012].
Dimitrios JF, John EP, Nickos AB. 1990. Trace analysis of oxytetracycline and tetracycline in milk by high-performance liquid chromatography. J Agric
Food Chem 38 (10), pp 1913-1917
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2004. Statistik Peternakan Tahun 2004. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian.
Early R. 1998. Milk Concentrates and Milk Powder. Di dalam : The Technology
of Dairy Products. London: Blackie Academic & Professional. hlm. 228-300.
Herdiana UR. 2007. Tingkat Keamanan Susu Bubuk Skim Impor Ditinjau dari Kualitas Mikrobiologi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. dalam : Farmakologi dan Terapi edisi ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm. 571-583.
Latif H. 2004. Analisis residu antibiotika pada susu bubuk dengan menggunakan beberapa metode pengujian. [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Maree HP. 2003. Goat milk and its use as hypo-allergenic infant food. Khimaira. Goat Connection.
Martin WS, Meek AH, Wileberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. Principles and Methods. Iowa: Iowa State University. hlm. 35-38.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor: Jurusan Statistik FMIPA IPB. IPB Pr. hlm 282.
Muchtadi TR. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Makanan. Petunjuk Laboratorium. Cetakan kedua. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Murdiati. 1997. Teknik Deteksi Residu Antibiotika dalam Produk Peternakan. Bogor: Balai Penelitian Veteriner.
Nasution A. 2009. Sikap dan preferensi konsumen dalam mengkonsumsi susu cair. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Nisha AR. 2008. Antibiotic Residues–A Global Health Hazard. Veterinary World
Vol. 1(12) : 375-377
Nielsen SS. 2003. Food Analysis. Third Edition. New York: Purdue University West Lafayette Indiana.
Noor MAR, Siregar B, Patriana U, Rasa FST. 1992. Residu Pada Makanan Asal Hewan. Dalam Kumpulan makalah pada panel diskusi pemasaran hasil produk sapi potong. Jakarta
[NZMP] New Zealand Milk Product. 2006. An Outline of Milk Powder Manufacture. Technical Bulletin. New Zealand.
Oka H, Nakazawa H, Harada K, MacNeil J. D. 1995. Chemical analysis of tetracycline antibiotics. In Chemical Analysis for Antibiotic Used in Agriculture. AOAC J Int. pp 333-405.
Oliviera CAF, Mestieri L, Santos MV, Moreno JFG, Spres A, Germono PML. 2000. Effect of microbial characteristics of raw milk on the quality of whole milk powder. Braz J Microbiol 31:95-98.
Onal A. 2011. Overview on liquid chromatographic analysis of tetracycline residues in food matrices. J Food Chem 127:197-203
Panggabean. TA, Inanusantri, Mardiastuty E. 2009. Identifikasi Residu Neomycin
Pada Daging Ayam di DKI Jakarta. Kesmavet DKI Jakarta.
Pearce KN. 2006. Milk Powder. Food Science Section New Zealand Dairy Research Institute. htpp://www.usdec.org/products/milk powder sepcs /content. cfm? itemnumber=485. [22 Desember 2006].
Pisecky JK. 1997. Handbook Of Milk Powder Manufacturer. London: Association of British Preserved Milk Manufacture.
[RI] Republik Indonesia. 1996. Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Bab I Pasal 1.
Salman M. 2008. Properties of screening and diagnostic test and issue related to gold standard. Bahan kuliah umum. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. hlm. 17-40
Sande MA, Mandell GL. 1985. Antimicrobial agents; general considerations. Di dalam Goodman LS dan Gillman AG (eds). The Pharmacology Basis of
Therapeutics. Edisi ke-7. New York: Macmillan Publishing Company. hlm.
1170-1176.
Schullman ST. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Edisi ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University. hlm. 566-567.
Siregar SB. 1990. Residu Antibiotika dalam Daging. Dalam Kumpulan makalah
seminar nasional penggunaan antibiotika dalam bidang kedokteran hewan.
Jakarta
Spoo JW, Riviere JE. 1995. Sulfonamides. Di dalam : Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Edisi ke-7. Editor Richard. Iowa: Iowa State University. hlm. 753-768;1148-1156.
Sudarwanto M, Lukman DW. 1993. Petunjuk Laboratorium Pemeriksaan Susu dan Produk Olahannya. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Syarief R, Halid H. 1997. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Tan X, Jiang YW, Huang YJ, Hu SH. 2009. Persistence of gentamicin residues in milk after the intramammary treatment of lactating cows for mastitis. J Zhejiang Univ Sci B. April; 10(4): 280–284.
Teuber M. 2001. Veterinary use and antibiotic resistance. Current Opinion in Microbiology. hlm. 4:493-499.
Town L. 2005. Milk Powder Manufacture. Di dalam Milk Powder Packing and
Dry Blending Handbook. New Zealand.
Wattimena JR, Sugiarso NC, Widiarto MB, Sukandar EY, Soemardji AA, Setiadi AR. 1991. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University. hlm. 73-74;195-220.
Widodo. 2003. Teknologi Proses Susu Bubuk. Cetakan 1. Yogyakarta: Lacticia Pr.
[WHO] World Health Organization. 2011. Tackling Antibiotic Resistance From a Food Safety Perspective in Europe. WHO library cataloguing in publication data. ISBN 978 92 890 1421 2.
HARI YUWONO ADY. Analysis of Tetracycline Residue in Imported Milk Powder through Tanjung Priok Sea Port. Under the direction of HADRI LATIF and A. WINNY SANJAYA.
Using antibiotics in dairy farm are popular for therapy or applied as a stimulant growth. However, the presence of antibiotic residue in milk causes harmful effects on consumer's health. Tetracycline is one of the antibiotic used in an effort to improve the health of livestock, especially in disease treatment. The aim of this research was to analyze tetracycline residue in imported milk powder. Sixty imported milk powder samples were collected at Tanjung Priok Sea Port. All samples were tested using enzym linked immunosorbent assay (ELISA) as a screening test and the result showed 8 out of 60 samples (13.33%) were positive of tetracycline residue. Eight samples which were positive determined by ELISA then were confirmed by high performance liquid chromatography (HPLC) method. Five of the 8 samples contained tetracycline residue in the confirmation method
.
Five samples contained tetracycline residue in a high concentration, which was above the maximum residue limit according to the National Standardization Agency of Indonesia.Keywords : tetracycline, imported milk powder, ELISA, HPLC
HARI YUWONO ADY. Analisis Residu Antibiotika Tetrasiklin dalan Susu Bubuk yang Diimpor Melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan A. WINNY SANJAYA.
Susu bubuk merupakan produk olahan susu yang banyak dipasarkan di Indonesia. Peningkatan produksi susu dalam negeri yang tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan kebijakan importasi susu bubuk. Peningkatan volume impor susu bubuk memerlukan pengawasan terhadap keberadaan bahan berbahaya bagi konsumen, termasuk adanya antibiotika dalam susu bubuk impor. Salah satu golongan antibiotika yang sering digunakan dalam pengobatan sapi perah adalah tetrasiklin.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok dan menyediakan data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian dalam menetapkan kebijakan pengujian dalam rangka pemeriksaan residu antibiotika tetrasiklin dalam susu bubuk impor. Sebanyak 60 sampel diuji dengan metode enzym linked immunosorbent assay (ELISA) sebagai screening test untuk mengetahui keberadaan antibiotika tetrasiklin dalam sampel susu bubuk impor. Limit deteksi ELISA adalah 1.5 part per billion (ppb). Pengujian tersebut dilakukan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. Sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan pengujian ELISA, selanjutnya diuji konfirmasi dengan menggunakan metode high performance liquid chromatography (HPLC). Pengujian HPLC tersebut dilakukan sebagai konfirmasi terhadap sampel yang menunjukan hasil positif mengandung antibiotika tetrasiklin. Limit deteksi HPLC adalah 5 ppb. Pengujian HPLC dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
Semua sampel yang diuji dengan ELISA menunjukan hasil 8 dari 60 sampel (13,33%) mengandung residu tetrasiklin. Sebanyak 8 sampel yang positif mengandung antibiotika tetrasiklin dengan menggunakan ELISA kemudian dikonfirmasi dengan menggunakan metode HPLC. Hasil pengujian dengan metode HPLC menunjukan bahwa 5 dari 8 sampel mengandung tetrasiklin dengan kisaran 120-840 ppb. Seluruh sampel yang menunjukan hasil positif pada pengujian konfirmasi ini mengandung tetrasiklin di atas batas maksimum residu (BMR) sebagaimana tercantum dalam Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000.
Ditemukannya susu bubuk impor yang mengandung antibiotika tetrasiklin di atas BMR menunjukan bahwa susu bubuk yang diimpor melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok tidak sepenuhnya aman untuk dikonsumsi. Hal ini menuntut perlunya pengawasan dan pengujian terhadap kandungan antibiotika dalam susu bubuk yang diimpor untuk menjamin keamanan konsumen terhadap jenis olahan susu yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.
PENDAHULUAN
Latar belakang
Susu merupakan bahan makanan sempurna dan mempunyai nilai gizi tinggi.
Kandungan zat gizinya selain bernilai tinggi juga lengkap. Perbandingan zat gizi
di dalam susu sangat ideal. Bagi manusia, susu merupakan sumber makanan
utama untuk bayi. Selain itu, susu juga merupakan makanan bernilai gizi tinggi
bagi orang tua dan sumber protein dalam masa pertumbuhan.
Susu bubuk merupakan produk olahan susu yang banyak dipasarkan di
Indonesia. Berdasarkan Canadean Survey, perbandingan konsumsi susu bubuk di
Indonesia sebesar 77.13% dan konsumsi susu cair sebesar 22.87% (Dhuha 2011).
Susu bubuk tidak hanya dikonsumsi oleh balita tetapi juga dikonsumsi oleh semua
tingkatan umur hingga lanjut usia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia
merupakan pasar potensial perdagangan produk olahan susu, terutama susu
bubuk. Peningkatan produksi susu dalam negeri yang tidak sebanding dengan
peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk
melakukan kebijakan importasi susu bubuk. Indonesia melakukan importasi susu
bubuk dari berbagai negara untuk memenuhi kebutuhan susu, diantaranya adalah
Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Philipina, Jerman, Belanda,
Prancis, Belgia, dan Swedia (BBKPTP 2010).
Berdasarkan laporan analisa statistik Direktorat Jenderal Peternakan,
kebutuhan susu bubuk di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat,
sedangkan produksi dalam negeri tidak dapat mencukupinya. Untuk memenuhi
kebutuhan susu bubuk tersebut, maka pemerintah Indonesia membuat kebijakan
importasi susu bubuk dari luar negeri (Ditjennak 2004). Data importasi susu
bubuk melalui Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok menunjukkan
terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun. Selama tahun 2010, impor susu bubuk
melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok mencapai 166 759 533 kg, sedangkan pada
tahun 2011 sebesar 193 776 066 kg (BBKPTP 2010). Hal ini menunjukkan bahwa
importasi susu bubuk meningkat. Susu bubuk impor tersebut berupa skim milk powder, whey powder, full cream milk powder (whole milk powder), butter milk powder, dan whey protein concentrate.