• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosis

Menurut SNI 01-3020-1995 sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis. Komponen daging yang sangat penting dalam pembuatan sosis adalah protein. Protein daging berperan dalam peningkatan hancuran daging selama pemasakan sehingga membentuk struktur produk yang kompak. Syarat mutu sosis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Sosis/SNI 01-3020-1995

Nutrisi Jumlah (%) Air (maks) 67,0 Protein (min) 13,0 Abu (maks) 3,0 Lemak (maks) 25,0 Karbohidrat (maks) 8,0

Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (DSN) (1995)

Emulsi Sosis

Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi suatu cairan atau senyawa yang tidak dapat bercampur, yang satu terdispersi pada yang lain. Cairan yang berbentuk globula-globula kecil disebut fase dispersi atau fase diskontinu, dan cairan tempat terdispersinya globula-globula tersebut disebut fase kontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau menyelimuti semua permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno, 2005).

Sosis merupakan salah satu produk emulsi, dimana pembuatannya menggunakan bahan utama daging yang mengandung protein. Sosis adalah suatu emulsi lemak dalam air. Lemak membentuk fase dispersi dari emulsi, sedangkan air yang mengandung protein dan garam terlarut membentuk fase kontinyu. Sosis merupakan produk proses kominusi daging yang berasal dari daging merah, daging

4 ayam atau kombinasinya dengan penambahan air, bahan pengikat dan bahan penguat rasa atau bumbu (Essien, 2007).

Komposisi Sosis Air

Kandungan air sosis bervariasi tergantung pada jumlah air yang ditambahkan dan macam daging yang digunakan. Fungsi air adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak) daging, melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein larut garam, berperan sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bahan-bahan curing (Soeparno, 2005).

Air dalam produk akhir makanan baik segar maupun olahan berpengaruh besar terhadap sifat kimia, mikrobiologi, nilai nutrisi, tekstur, penampilan dan rasa makanan (Schmidt, 2004). Penambahan air es berfungsi untuk menghindari kenaikan temperatur yang terlalu cepat sehingga kestabilan emulsi dapat terjaga. Temperatur optimal stabilitas emulsi pada proses kominusi dibawah 18˚C (Essien, 2007).

Garam

Garam berfungsi untuk memberikan cita rasa dan sebagai pengawet. Menurut Soeparno (2005), garam merupakan bahan terpenting dalam curing, berfungsi sebagai pengawet, penambah aroma dan citarasa. Garam dapat meningkatkan tekanan osmotik medium pada konsentrasi 2%, sejumlah bakteri terhambat pertumbuhannya. Garam juga berfungsi sebagai pelarut dan mengekstraksi protein otot pada bagian permukaan daging, mengkoagulasi protein semi-fluid selama pemanasan, berikatan dengan daging dan membentuk tekstur sosis. Komposisi garam dalam sosis berkisar 1-3% (Buege, 2001). Menurut Sunarlim (1992), penambahan garam sebaiknya tidak kurang dari 2% dan lebih dari 4%, karena konsentrasi garam kurang dari 1,8% menyebabkan rendahnya protein terlarut. Garam juga berperan penting pada penurunan air selama pemasakan, serta mengontrol daya mengikat air (Vandendriessche, 2008).

Sodium Tripolifosfat (STPP)

Menurut Soeparno (2005), fungsi fosfat adalah untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging terutama jika dikombinasikan dengan penggunaan

5 garam, mereduksi pengerutan daging dan menghambat ketengikan. Jumlah penambahan fosfat dalam pembuatan sosis tidak boleh lebih dari 0,5% (Hui et al.,

2001). Purnomo (1990) menyatakan bahwa terdapat pembatasan dalam penggunaan polifosfat, hal ini disebabkan fosfat memiliki rasa agak pahit pada konsentrasi tertentu. Penggunaan fosfat pada umumnya berkisar 0,3% dan tidak melebihi 0,5%.

Lemak

Lemak berperan besar pada palatabilitas sosis, tetapi juga menimbulkan masalah dalam proses pengolahan. Menurut Winarno (1997), lemak ditambahkan ke dalam bahan makanan dimaksudkan untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan citarasa dalam bahan pangan. Sosis masak harus mengandung lemak tidak lebih dari 25% (DSN, 1995).

Bahan Pengikat

Penambahan bahan pengikat bertujuan untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya mengikat air, meningkatkan citarasa, mengurangi pengerutan selama pemasakan serta mengurangi biaya formulasi. Bahan pengikat adalah material bukan daging yang dapat meningkatkan daya mengikat air daging dan emulsifikasi lemak. Bahan pengikat mempunyai protein yang tinggi. Contoh dari bahan pengikat adalah tepung kedelai, isolat protein kedelai serta skim bubuk. (Soeparno, 2005).

Bahan Pengisi

Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap emulsifikasi. Tepung pengisi mengandung lemak dalam jumlah relatif tinggi dan protein dalam jumlah yang relatif rendah sehingga mempunyai kapasitas mengikat air yang besar dan kemampuan emulsifikasi yang rendah. Bahan pengisi ternyata dapat meningkatkan daya mengikat air karena mampu menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Tepung dapat mengabsorbsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula. Contoh dari bahan pengisi adalah tepung gandum, jagung, beras, pati dari tepung-tepung tersebut dan sirup jagung. Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstra umbi ketela pohon (Manihot utilissima Pohl) yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Kandungan utama tepung tapioka adalah pati (DeMan, 1997).

6

Penyedap dan Bumbu

Penyedap adalah berbagai bahan baik sendiri maupun kombinasi yang ditambahkan pada pembuatan suatu produk yang dapat menambah rasa pada produk tersebut. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan sosis. Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk menambah/meningkatkan flavor (Soeparno, 2005).

Selongsong Sosis

Soeparno (2005), menyatakan bahwa selongsong (casing) adalah bahan pengemas sosis yang umumnya berbentuk silindris. Selongsong sosis dapat berfungsi sebagai cetakan selama pengolahan, pembungkus selama penanganan dan pengangkutan serta sebagai media display selama diperdagangkan. Selongsong atau

casing untuk sosis ada dua tipe yaitu selongsong alami dan selongsong buatan. Selongsong alami berasal dari saluran pencernaan ternak seperti babi, sapi, domba atau ayam.

Terdapat tiga jenis casing yang sering digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu alami, kolagen, serta selulosa. Casing alami biasanya terbuat dari usus alami hewan. Casing ini mempunyai keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi, dan melekat pada produk. Kerugian penggunaan casing ini adalah produk tidak awet.

Casing kolagen biasanya berbahan baku dari kulit hewan besar. Keuntungan dari penggunaan casing ini adalah dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat dicetak atau diwarnai dan murah. Casing selulosa sangat keras dan dianjurkan untuk tidak dimakan (Astawan, 2008).

Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat sering ditemukan secara alamiah dalam bahan pangan. Bakteri ini hidup pada susu, daging segar dan sayur-sayuran dalam jumlah yang kecil. Bakteri asam laktat merupakan bakteri gram positif, tidak berspora, berbentuk batang maupun coccus, tidak memiliki sitokorm dan bersifat anaerobik tetapi toleran terhadap oksigen (Fardiaz, 1992). Penelitian Misgiyarta dan Widowati (2002) menyatakan bahwa bakteri asam laktat dapat diisolasi dari kobis busuk, asinan sawi, sawi busuk, kacang panjang busuk, selada busuk, tomat busuk, sauerkraut, limbah

7 tahu, feses bayi, feses sapi, susu terkontaminasi, susu kedelai, pisang busuk, pepaya busuk, nanas busuk, dan sirsak busuk. Bahkan penelitian Suardana et al. (2007) menunjukkan bahwa dari cairan rumen sapi bali dapat diisolasi bakteri asam laktat (BAL) dengan kemampuan antimikroba yang cukup luas, baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif yakni isolat SR21 (Lactococcus lactis spp lactis) dan isolat SR54 (Lactobacillus brevis). Bakteri asam laktat tersebut nantinya sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber biopreservatif.

Penggunaan bakteri asam laktat sebagai biopreservatif tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim dalam saluran pencernaan. Saluran pencernaan manusia ataupun hewan diperkirakan mengandung flora normal sampai 1012 bakteri per gram isi saluran cerna dan setidak-tidaknya terdiri atas 500 species yang sebagian besar merupakan bakteri asam laktat (Suardana et al., 2007). Bakteri asam laktat memproduksi berbagai komponen bermassa molekul rendah termasuk asam, alkohol, karbon dioksida, diasetil, hidrogen peroksida dan metabolit lainnya. Banyak metabolit mempunyai spektrum aktivitas yang luas melawan spesies lain dan produksi tersebut dipengaruhi secara luas oleh matriks makanan itu sendiri (Helander et al., 1997).

Lactobacillus plantarum

Bakteri asam laktat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lactobacillus plantarum (1A5) yang merupakan isolat 5 dari umur daging sapi 12 jam post mortem yang diambil dari pasar anyar Bogor. Bakteri asam laktat yang diiolasi dari produk daging kemungkinan menjadi pilihan terbaik untuk keamanan mikrobiologi karena dapat beradaptasi pada kondisi yang terdapat pada daging (Vignolo et al., 1993). Hasil penelitian Permanasari (2008) menunjukkan bahwa jenis isolat bakteri yang mempunyai diameter zona hambat terbaik adalah isolat bakteri 1A5 dan antimikroba yang bekerja dominan pada konfrontasi terhadap tiga bakteri uji adalah asam organik.

Lactobacillus plantarum merupakan salah satu jenis BAL homofermentatif dengan temperatur optimal lebih rendah dari 370C (Frazier dan Westhoff, 1998). L. plantarum berbentuk batang (0,5-1,5 s/d 1,0 -10 µm) dan tidak bergerak (non motil). Bakteri ini memiliki sifat katalase negatif, aerob atau fakultatif anaerob, mampu mencairkan gelatin, cepat mencerna protein, tidak mereduksi nitrat, toleran terhadap

8 asam, dan mampu memproduksi asam laktat. Menurut Buckle et al. (1987) asam laktat dapat menghasilkan pH yang rendah pada substrat sehingga menimbulkan suasana asam. Menurut Jenie dan Rini (1995) Lactobacillus plantarum mempunyai kemampuan untuk menghambat mikroorganisme patogen pada bahanpangan dengan daerah penghambatan terbesar dibandingkan dengan bakteri asamlaktat lainnya.

Antimikroba

Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan akifitas mikroba. Menurut Fardiaz (1992), zat anti mikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat germinisasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain (1) konsentrasi zat pengawet, (2) waktu penyimpanan, (3) suhu lingkungan, (4) sifat-sifat mikroba (jenis, konsentrasi, umur dan keadaan mikroba), (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya (Branen dan Davidson, 1993).

Bakteri Lactobacillus plantarum yang diisolasi dari daging segar memiliki kemampuan mensekresikan substansi tertentu yang bersifat antimikroba. Substansi tersebut adalah diasetil, hidrogen peroksida, asam-asam organik dan bakteriosin (Goriss dan Bennik, 1994). Lactobacillus plantarum merupakan salah satu jenis BAL homofermentatif yang mampu memproduksi asam laktat. Bukti dari adanya substansi antimikroba yang dihasilkan adalah dengan tidak tumbuhnya bakteri uji disekitar lubang sumur yang diisi supernatan Lactobacillus plantarum, sehingga terbentuk zona bening disekitar lubang sumur tersebut melalui metode uji difusi sumur (Permanasari, 2008).

Asam Organik

Asam organik merupakan substansi alami dari berbagai jenis makanan. Aksi antimikroba dari asam organik berdasarkan pada kemampuannya untuk menurunkan pH dalam pangan yang berfase air. Asam organik dalam pangan dapat berfungsi sebagai pengawet, sementara garamnya atau ester dapat menjadi antimikroba yang efektif pada pH mendekati netral. Mekanisme penghambatan bakteri oleh asam-asam

9 organik berhubungan dengan keseimbangan asam-basa, penambahan proton dan produksi energi oleh sel (Roller, 2003).

Bakteriosin

Bakteriosin sering dihubungkan dengan senyawa antimikroba berupa protein yang mudah didegradasi oleh enzim proteolitik dan mampu menghambat pertumbuhan mikroba spesies lain yang biasanya berkerabat dekat dengan spesies penghasil (Jack et al., 1995). Substansi ini diproduksi oleh beberapa strain termasuk didalamnya adalah bakteri asam laktat (BAL). Bakteri ini mempunyai sifat bakterisidal yaitu mampu menghambat bakteri lainnya seperti Staphylococcus aureus, Lysteria monocytegenes, Clostridium botulinum. Bakteriosin bersifat irreversible, mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap kesehatan, aktif pada konsentrasi rendah dan pada bakteri asam laktat biasanya digunakan sebagai biopreservatif makanan (Vuyst dan Vandamme, 1993).

Hidrogen Peroksida

Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator, bleaching agent dan anti bakteri. Hidrogen peroksida murni tidak berwarna, berbentuk cairan seperti sirup dan memiliki bau yang menusuk. Kemampuan H2O2 untuk mengoksidasi menyebabkan perubahan tetap pada sistem enzim sel mikroba sehingga digunakan sebagai antimikroba. Kemampuan bakterisidal dari H2O2 beragam tergantung pH, konsentrasi, suhu, waktu dan tipe serta jumlah mikoorganisme. Bakteri yang paling sensitif terhadap H2O2 adalah bakteri gram negatif, terutama koliform (Branen dan Davidson, 1993).

Penyimpanan Suhu Ruang

Pengolahan pangan pada industri komersial antara lain bertujuan untuk memperpanjang masa simpan. Umur simpan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi sebelum produk pangan dipasarkan selain produk aman dikonsumsi oleh masyarakat. Mutu produk pangan akan mengalami perubahan (penurunan) selama proses penyimpanan. Memperpanjang umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan peningkatan mutu awal atau dengan perlakuan selama proses penyimpanan (Herawati, 2008).

10 Masa simpan atau umur simpan bahan pangan adalah waktu tenggang atau waktu selang suatu bahan pangan dapat disimpan dalam keadaan masih dapat dikonsumsi. Masa simpan erat kaitannya dengan perubahan yang terjadi pada produk pangan, baik perubahan fisik, biologis maupun kimiawi. Semua perubahan tersebut merupakan rangkaian proses yang akan menyebabkan produk pangan membusuk, sehingga tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Proses pembusukan dapat dihambat secara fisik yaitu dengan pengeringan dan pendinginan, secara kimiawi yaitu dengan penambahan larutan garam, larutan asam serta untuk produk-produk tertentu penambahan larutan antibiotika, dan secara biologis yaitu dengan penggunaan mikroba antagonis untuk menghambat aktivitas bakteri pembusuk (Rostini, 2007).

Temperatur sangat menentukan laju pertumbuhan dan jumlah

mikroorganisme. Sebagian besar mikroorganisme mempunyai pertumbuhan optimum pada temperatur antara 15ºC sampai 40ºC (Soeparno, 2005). Produk olahan daging dalam hal ini sosis jangan disimpan pada suhu ruang lebih dari 2 jam, karena suhu ruang merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba.

Perubahan Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Selama Penyimpanan Nilai pH. Pengamatan terhadap pH penting dilakukan karena perubahan pH berpengaruh terhadap kualitas sosis yang dihasilkan. Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui tingkat keasaman sosis yang disebabkan oleh ion hidrogen (H+). Lama penyimpanan dapat menyebabkan kenaikan nilai pH sosis secara signifikan seperti dikemukakan oleh Ruban et al. (2008). Penelitian Arief (2002) menyatakan bahwa lama penyimpanan tidak mempengaruhi nilai pH selama penyimpanan pada sosis fermentasi. Menurut Hadiwiyoto (1993) pada umumnya ikan yang sudah tidak segar atau mengalami penyimpanan mempunyai pH yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti amonia, trimethylamine dan senyawa-senyawa volatil.

Daya Serap Air. Air merupakan komponen vital dalam berbagai taraf produksi dan pengawetan pangan (Schmidt, 2004) sehingga mempengaruhi lama penyimpanan. Daya mengikat air oleh protein sosis adalah kemampuan sosis untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar. Pengaruh luar tersebut meliputi pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Daya

11 mengikat air mempunyai hubungan dengan nilai pH, dimana pH yang lebih tinggi dan lebih rendah dari titik isoelektrik akan meningkatkan daya mengikat air (Soeparno, 2005).

Nilai aW. Aktifitas air (aw) adalah perbandingan antara tekanan uap air bahan (p) dengan tekanan uap air (p0) pada temperatur yang sama. Nilai aw menunjukkan stabilitas dan keamanan pangan karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikrobiologi, tingkat reaksi kimia dan biokimia, serta kandungan fisik (Vulkov, 2006). Aktifitas air (aw) berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis, serta pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroba lainnya (Herawati, 2008). Menurut penelitian Ferrari dan Torres (2002) lama penyimpanan tidak mempengaruhi nilai aw sosis.

Kekenyalan. Kekenyalan berhubungan dengan elastisitas. Peningkatan nilai kekenyalan selama penyimpanan disebabkan oleh kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi yang disebut retrogradasi. Menurut Winarno (1997), proses kristalisasi terjadi bila molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir granula. Kekerasan atau tekstur mengalami perubahan sejalan dengan waktu penyimpanan yang bertambah.

Kadar Air. Air merupakan komponen yang sangat penting karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan. Laju perubahan kimiawi maupun fisik pada bahan makanan sangat dipengaruhi oleh air (DeMan, 1997). Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk (Herawati, 2008). Nilai kadar air tidak dipengaruhi lama penyimpanan pada sosis fermentasi (Arief, 2002).

Bilangan Peroksida. Selama masa penyimpanan terjadi reaksi oksidasi lemak yang menyebabkan lemak menjadi rusak. Menurut Herawati (2008) kerusakan produk pangan juga disebabkan oleh ketengikan akibat terjadinya oksidasi atau hidrolisis komponen bahan pangan. Bilangan peroksida dapat dipakai sebagai indikator bahwa minyak atau lemak telah mengalami awal dari proses oksidasi yang menyebabkan ketengikan.

12

Aroma. Masa penyimpanan dapat mempengaruhi aroma karena proses oksidasi, kontraksi dengan udara menyebabkan penguapan sehingga aromanya berkurang bahkan semakin lama akan menimbulkan aroma busuk (Mulyana, 2008). Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme (Luthana, 2009).

Rasa. Lama penyimpanan juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai karakteristik organoleptik diantaranya penampilan umum, rasa, dan tekstur sosis. (Ruban et al., 2008). Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terletak pada papila. Faktor yang mempengaruhi rasa yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi pangan dengan komponen rasa yang lain.

Warna. Selama penyimpanan dapat terjadi perubahan warna. Terdapat lima sebab yang dapat menyebabkan suatu bahan makanan berwarna, yaitu pigmen yang ada secara alami pada makanan, reaksi karamelisasi, reaksi maillard, reaksi antara senyawa organik dengan udara, dan penambahan zat warna (Winarno, 1997). Suhu penyimpanan menyebabkan pigmen mengalami dekomposisi dan berubah strukturnya sehingga sifatnya pun berubah yang ditandai dengan pemucatan (Mulyana, 2008).

Lendir. Pembentukan lendir merupakan salah satu tanda terjadinya kerusakan pangan selama penyimpanan. Pembentukan lendir pada produk-produk daging, ikan, dan sayuran, antara lain disebabkan oleh pertumbuhan berbagai mikroba seperti khamir, bakteri asam laktat (terutama oleh Lactobacillus, misalnya L. Viredences yng membentuk lendir berwarna hijau), Enterococcus, dan Bacillus thermosphacta

13

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor, dari Bulan September 2008 dan April 2009.

Materi

Alat yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah food processor, stuffer, casing (selongsong), timbangan, sealer, termometer dan peralatan dapur (talenan, pisau, baskom kecil, panci, pengaduk dan lain-lain). Alat yang digunakan dalam pembuatan substrat yaitu autoclave, milipore 0,22 µm, tabung schott, tabung reaksi, tabung corning dan inkubator, sentrifuge, cawan dan pipet. Alat yang digunakan untuk analisa fisik-kimia adalah pH meter daging, aw meter, texture analyzer, plani-meter, kertas whatman-41, blender, labu takar, vortex, sentrifuge, pipet, gelas piala, labu erlenmeyer, oven, desikator, kertas saring, pelastik.

Bahan yang digunakan adalah daging segar, MRS_B, Yeast Ekstrak 3%, isolat bakteri Lactobacillus plantarum (1A5), aquades, lemak daging, minyak, susu skim bubuk, tepung tapioka, garam, STPP, es, bawang putih, merica, jahe, pala, dan penyedap.

Rancangan

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor perlakuan yaitu kualitas sosis dengan pemberian pengawet substrat antimikroba Lactobacillus plantarum (1A5) dan kontrol (tanpa pengawet) dengan lama penyimpanan 0, 9 dan 18 jam pada suhu ruang menggunakan 3 kali ulangan.

Model matematis yang digunakan berdasarkan Steel and Torrie (1995):

Yijk = + Ci + Pj + Cpij +ijk

i = kontrol, penambahan substrat j = 0 jam, 9 jam, 18 jam

k = ulangan 1, ulangan 2, ulangan 3

Keterangan : Yijk : variabel respon akibat pengaruh substrat antimikroba ke-i dan lama penyimpanan ke-j pada ulangan ke-k

14 : nilai tengah umum

Ci : pengaruh substrat antimikroba ke-i terhadap kualitas sosis Pj : pengaruh lama penyimpanan ke-j terhadap kualitas sosis

Cpij : pengaruh interaksi antara substrat antimikroba ke-i dengan lama penyimpanan ke-j

ijk : pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ke-ij

Sebelum data dianalisis keragamannya, terlebih dahulu data diuji kenormalan, kehomogenan dan kebebasan galatnya agar memenuhi asumsi untuk pengujian ragam (ANOVA). Apabila uji asumsi terpenuhi dan perlakuan berpengaruh secara nyata maka dilakukan uji lanjut Tukey dan apabila uji asumsi tidak terpenuhi maka data dianalisis menggunakan uji non parametrik Kruskal-Wallis.

Uji Organoleptik dilakukan dengan menggunakan 30 orang panelis. Penilaian organoleptik dianalisis dengan uji non parametrik Kruskal-Wallis

menggunakan program minitab 14, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan Uji banding rataan Rank atau Multiple Comparison of Means Ranks, dengan rumus sebagai berikut :

Ri - Rj ≤ Z [ k (N + 1) / 6 ]0,5

Jika Ri - Rj lebih besar dari Z [ k (N + 1) / 6 ]0,5, maka perbedaan Ri dan Rj adalah nyata pada taraf α (0,05) dengan selang kepercayaan 95%.

Keterangan : k : jumlah level dalam perlakuan

N : jumlah total data (jumlah panelis X jumlah sampel ) Ri : rataan rangking untuk level perlakuan ke-i

Rj : rataan rangking untuk level perlakuan ke-j

Z : nilai Z untuk perbandingan lebih dari dua rata-rata

Prosedur

Penelitian ini meliputi pembiakan kultur, produksi substrat antimikroba, pembuatan sosis dengan penambahan substrat antimikroba yang kemudian dilakukan analisa fisik, kimia dan organoleptik selama penyimpanan 0, 9, dan 18 jam pada penyimpanan suhu ruang.

15

Produksi Substrat Antimikroba

Media pertumbuhan bakteri asam laktat berupa de Man Rogosa Sharpe broth

(MRSB) ditambahkan dengan yeast extract sebanyak 3%. Kultur BAL Lactobacillus plantarum (1A5) masing-masing ditumbuhkan pada media tersebut selama 20 jam pada suhu 37oC. Substrat antimikroba kemudian diekstraksi, dimana ekstraksi substrat antimikroba yang dihasilkan berupa cairan bebas sel dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Seluruh cairan yang telah disentrifugasi selanjutnya disaring steril dengan penyaring milipore 0,22 m hingga didapatkan supernatan antimikroba. Supernatan substrat antimikroba digunakan untuk merendam produk (Ogunbawo et al., 2003).

Pembuatan Sosis

Proses pembuatan sosis yang dilakukan adalah sebagai berikut : Daging, lemak, garam, STPP dan setengah bagian es digiling dalam food processor. Tahapan selanjutnya dimasukkan bumbu (bawang putih, merica, jahe, pala dan penyedap secukupnya), skim, minyak, tepung tapioka, dan setengah bagian es lainnya. Adonan selanjutnya digiling sampai legit dan dimasukkan ke dalam selongsong (casing)

Dokumen terkait