• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Konsep Kota

Pengertian kota yang dikemukakan berdasarkan berbagai sumber tidak sama, namun dari berbagai sudut pandang para ahli, aspek utama yang digunakan untuk menjelaskan pengertian kota antara lain adalah dari aspek morfologi, jumlah penduduk, hukum, ekonomi, dan sosial. Badan Kerjasama Antar Kota Seluruh Indonesia (BKS-AKSI) pada musyawarah dewan pimpinan tahun 1969 di Bukit Tinggi, merumuskan pengertian kota adalah wadah kelompok orang-orang dalam jumlah tertentu, hidup dan bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah geografis tertentu, berpola hubungan rasional, ekonomi dan individualistis (Fahutan IPB 1987). Menurut Bintarto (1989), dari segi geografi kota dapat diartikan sebagai suatu siste m jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen serta coraknya yang materialistis. Selanjutnya dijelaskan kota dapat diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur -unsur alami dan non alami dengan gejala -gejala pemusatan penduduk yang cukup besar, corak kehidupan yang heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kota adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial serta kegiatan ekonomi. Akan tetapi konsep tentang kota tidak selalu akan demikian tergantung kepada perkembangan dimasa yang akan datang.

Kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat perkotaan dicirikan dengan heterogenitas dari segala aspek, terutama lapangan pekerjaan mengakibatkan pula keanekaragaman lingkungan kehidupan. Secara umum penduduk di wilayah studi berasal dari berbagai daerah yang bermigrasi ke dalam suatu lingkungan kota dengan tingkat pendidikan relatif tinggi dan keterampilan untuk menggali peluang usaha terutama sektor penyediaan barang dan jasa. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya kegiatan sektor perdagangan informal yang banyak menyita ruang terbuka publik.

Perencanaan yang berkaitan dengan tata ruang kota menurut Soegijoko (1997) yang menekankan kepada perencanaan tata ruang kota dewasa ini mencakup pengertian yang luas, yaitu merencanakan lingkungan pemukiman di kota dan wilayahnya dalam lingkungan peruntukan lahan dan seluruh fasilitasnya untuk kegiatan bekerja, rekreasi, dan pemukiman demi berlangsungnya kehidupan masyarakat kota yang layak dan baik. Kota yang baik merupakan kesatuan ruang yang direncanakan berdasarkan kebutuhan komponen penyusun ruangnya, sehingga dapat menciptakan suasana kenyamanan dan kesehatan bagi warganya (Aji 2000).

Selanjutnya dijelaskan oleh Budihardjo (1997) kota selalu bersifat dinamis. Struktur, bentuk, wajah serta penampilan kota merupakan hasil dari penyelesaian konflik perkotaan yang selalu terjadi, dan mencerminkan perkembangan peradaban warga kota maupun pengelolanya. Salah satu konflik yang terjadi akhir-akhir ini yang meningkat di wilayah perkotaan adalah masalah lingkungan hidup. Diperlukan pengintegrasian perencanaan lingkungan hidup ke dalam perencaan tata ruang perkotaan. Sistem perencanaan kota yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam penentuan tata ruang kota merupakan salah satu persyaratan apakah penentuan kebijakan tata ruang kota sesuai dengan sasaran. Komponen penyusun ruang kota tersebut meliputi wisma (perumahan), karya (tempat bekerja), marga (jaringan jalan), suka (fasilitas umum dan hiburan) dan penyempurna (pelengkap). Selanjutnya Sujarto (1991), membagi wilayah kota menjadi tiga jenis, yaitu: (a) wilayah pengembangan dimana wilayah terbangun bisa dikembangkan secara optimal, (b) wilayah kendala dimana pengembangan kawasan terbangun dapat dibangun secara terbatas dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan (c) wilayah limit dimana peruntukannya hanya untuk menjaga kelestarian alam, sedangkan keberadaan kawasa n terbangun tidak dapat ditolerir. Keberadaan RTH menempati bagian-bagian tertentu dalam komponen penyusun tata ruang pada wilayah pengembangan, pada sebagian wilayah kendala yang berfungsi menjaga kelestarian alam, dan wilayah limit yang memang hanya diperuntukkan bagi kelestarian alam.

2.2. Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Menurut Fakuara (1987), RTH merupakan ruang yang terdapat tumbuhan atau vegetasi di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya seperti proteksi, rekreasi, estetika dan kegunaan khusus lainnya. Menurut Grey dan Deneke (1986), RTH berfungsi sebagai tempat yang ditumbuhi oleh pepohonan dan vegetasi lainnya yang saling berasosiasi sehingga dapat memberikan sumbangan lingkungan hidup yang baik kepada manusia. Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1988, ruang terbuka hijau merupakan ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk areal/kawasan maupun dalam bentuk memanjang atau jalur dalam pemanfaatannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Menurut Sulistyantara (2002) ruang terbuka hijau merupakan ruang terbuka, yang memiliki kekhususan sifat yang dimilikinya, yaitu pengisian ruang terbuka ini lebih didominasi oleh unsur hijau (tumbuhan) , sedangkan unsur lainnya yaitu struktur bangunan merupakan pengisi dalam persentase penutupan yang kecil (kurang dari 20%). Menurut Nurisyah (1997), ruang terbuka hijau adalah ruang terbuka yang ditanami dengan tanaman, mulai dari yang bersifat alami (rumput, jalur hijau, taman bermain dan taman lingkungan di daerah pemukiman). Selanjutnya menurut Handikto (1997), ruang terbuka hijau adalah suatu ruang terbuka yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan persentase ideal 20-30 % dari luas bidang tanah termasuk yang ditempati bangunan rumah, misalnya halaman rumah.

Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung, berupa kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan perumahan, pertanian, jalur hijau dan pekarangan (Fandeli 2002). Budihardjo dan Sujarto (1999), mengemukakan bahwa keberadaan RTH

memerlukan pengelolaan secara berkelanjutan agar tercipta kota yang

berwawasan lingkungan untuk ke pentingan warga kota generasi sekarang maupun mendatang. Kota yang berwawasan lingkungan akan tercapai apabila terdapat keseimbangan antara ketersediaan RTH dengan ketersediaan ruang terbangun (Nazaruddin 1993).

Jadi ruang terbuka hijau (RTH) sesuai kondisi wilayah studi merupakan ruang yang tidak terbangun, dengan perbandingan unsur tanaman yang lebih luas dan memiliki fungsi utamanya yaitu untuk perlindungan kawasan sekitarnya. Pada bagian lain RTH akan memberikan hasil terhadap kebutuhan kenyamanan, kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam.

2.3. Fungsi Ruang Terbuka Hijau 2.3.1. Fungsi Ekologi

RTH perkotaan merupakan suatu lingkungan yang keberadaannya sangat penting, fungsinya tidak dapat digantikan dengan unsur lain karena sifatnya yang alami. Oleh karena itu RTH pada suatu kota diartikan sebagai suatu lingkungan alami yang menunjukkan adanya interaksi antar mahluk hidup di dalamnya. Mahluk hidup terdiri dari tumbuh-tum buhan, hewan, dan manusia sedangkan lingkungan adalah sejumlah unsur-unsur dan kekuatan-kekuatan di luar organisma yang mempengaruhi kehidupan organisma. RTH secara ekologi berfungsi mewadahi hubungan organisma-organisma atau kelompok organisma.

Sesuai Inmendagri No. 14 Tahun 1988, RTH di perkotaan berfungsi untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan. Selain itu juga sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan dan menciptakan keserasian antara lingkungan alam dan binaan yang bermanfaat untuk masyarakat. Secara garis besar fungsi RTH di perkotaan antara lain; (1) ameliorasi iklim, (2) konservasi tanah dan air, (3) rekayasa lingkungan, dan (4) sebagai habitat satwa.

Keberadaan RTH dapat menciptakan iklim mikro yang nyaman ba gi manusia melalui pengendalian suhu, cahaya, kelembaban, dan aliran udara. Bersama vegetasi lain tanaman menguapkan uap air melalui proses evapotranspirasi. Oleh karena itu suhu di bawah tegakan pohon menjadi rendah dibandingkan di luar tegakan pohon. Selain itu daun-daun dapat memantulkan sinar matahari yang keefektifannya tergantung dari kepadatan daun, bentuk daun, dan pola percabangan. Pohon yang tumbuh tersendiri dapat mentranspirasikan 4000 liter air per hari bila air tanah cukup tersedia (Grey & Deneke, 1986). Selanjutnya dijelaskan bahwa pohon dengan tajuk yang lebar dan terletak berdekatan dengan dinding dapat menurunkan suhu sampai 280F. Fungsi RTH

sebagai pelindung terhadap angin direpresentasi oleh kemampuan vegetasi menahan kecepatan angin 75-85%. Tanaman mengatur angin dengan menghalangi, menyalurkan, membelokkan dan menyaring, pengaruhnya tergantung dari ukuran daun, jenis daun, kepadatan daun, bentuk tajuk, ketahanan serta penempatan tanaman. Forman dan Godron (1986) mengemukakan bahwa kerapatan vegetasi berpengaruh terhadap kecepatan angin, semakin rapat semakin menghambat kecepatan dibandingkan dengan vegetasi yang longgar. Vegetasi dapat mengubah aliran udara di atas la ha n dan di sekeliling bangunan. Penempatan dekat bangunan harus selektif karena dapat menghalangi aliran udara ke dalam bangunan. Fungsi RTH dalam mengendalikan curah hujan dan kelembaban; vegetasi tampak sebagai peran menahan butir-butir air hujan dengan intersepsi dan memperlambat kecepatan jatuhnya air hujan sehingga mengurangi kekuatan hempasan terhadap butir -butir tanah. Dengan demikian daya infiltrasi tanah meningkat, aliran permukaan berkurang dan erosi menjadi kecil. Keefektifan pengendalian ini tergantung pada tipe tanah, kandungan bahan organik tanah, topografi, tipe dan intensitas curah hujan serta susunan vegetasi penutup.

Pada umumnya lahan di perkotaan banyak yang tidak tertutup oleh vegetasi dan banyak dipergunakan sebagai lahan terbangun dan ditutup oleh perkerasan, sehingga peresapan air ke dalam tanah menjadi terganggu. Salah satu fungsi RTH di perkotaan adalah untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dengan meningkatkan peresapan air melalui vegetasi dan disimpan di dalamm tanah berupa air tanah, kemudian dipergunakan kembali sehingga terjadi siklus hidrologi. Akar tanaman mampu menjerap air dan melepaskan secara perlahan melalui proses transpirasi, selain itu bulu-bulu akar dapat menahan mineral tanah dan bahan organik hasil pelapukan (Forman & Godron 1986).

Beberapa proses yang berhubungan dengan fungsi RTH dalam rekayasa lingkungan meliputi: (a) pengendalian erosi dan aliran permukaan (erotion and surface flow), (b) aliran bawah peremukaan (sub surface flow), (c) mengatasi penggenangan, (d) mengatasi intruisi air laut, (e) pengendalian air limbah, (f) pengelolaan sampah, (g) penangkal kebisingan, (h) mengurangi pencemaran udara, dan (i) pengendalian cahaya.

RTH perkotaan dapat menyediakan habitat satwa. Salah satu satwa yang umumnya terdapat pada kawasan RTH kota adalah burung. Burung membutuhkan tanaman sebagai tempat bersarang atau mencari makan. E kosistem perkotaan dapat menyediakan tempat hinggap, ini merupakan suatu faktor yang mempengaruhi keanekaan habitat di lingkungan perkotaan (Emlen 1974). Menurut Pakpahan (1993) kehadiran burung di perkotaan selain mempunyai nilai keindahan, dapat menimbulkan rasa senang dan nyaman bagi manusia. Selain itu burung dapat dijadikan tolak ukur kualitas lingkungan.

Keberadaan RTH di wilayah studi sebagai fungsi ekologis sangat penting. Berdasarkan uraian di atas banyak kawasan-kawasan yang ada di Pontianak mengalami perubahan fungsi sebagai konsekuensi perkembangan kota, misalnya kawasan kebun campuran menjadi permukiman, kawasan konservasi menjadi lahan pertanian, parit/saluran ditutup menjadi tempat pedagang. Untuk itu perlu dilakukan upaya pengendalian dan pengembangan sebagai penyeimbang antara lain dengan mengendalikan proporsi antara kawasan yang terbangun dan kawasan RTH, sesuai dengan fungsi wilayah.

2.3.2. Fungsi Ekonomi

RTH dapat memberikan fungsi ekonomi kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berupa produk pertanian yang dihasilkan yang dapat dijual, secara tidak langsung misalnya pemanfaatan kawasan sebagai objek wisata masyarakat. Potensi sumber daya alam sebagai aset kota dapat dijadikan paket ekowisata (hutan kota sebagai hutan tropis, hutan mangrove), dan pemukiman masyarakat lokal tepi sungai sebagai water front culture tourism, apabila kawasan tersebut dikelola dengan baik akan memberikan pendapatan kepada daerah (Savage & Kong 2003).

2.3.3. Fungsi Sosial

Ruang terbuka yang tersedia pada suatu kawasan perkotaan merupakan salah satu sarana bagi masyarakat untuk meningkatkan interaksi sosial baik diantara warga kota, maupun kepada lingkungan sekitarnya (Grey & Deneke 1986) . Keberadaan RTH dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, tempat

berkumpul, sarana rekreasi, dan tempat ibadah pada waktu-waktu tertentu. Pada bentuk-bentuk yang lain, RTH dapat bermanfaat sebagai pelengkap keindahan, sarana pengaman, pengarah pengguna jalan dan sebagai identitas suatu kota. Tersedianya kawasan hijau, merupakan salah satu aspek yang penting dalam rangka pembangunan nilai-nilai sosial suatu kota (Nagtegaal & Nas 2000).

Fungsi sosial RTH yang lain diantaranya sebagai wadah pendidikan masyarakat terhadap permasalahan lingkungan serta solusi pemecahannya melalui berbagai forum yang berkaitan dengan isu konservasi lingkungan. RTH dapat merupakan motivasi penggerak pembangunan dengan merubah melalui regulasi dan pengawasan peran serta masyarakat dalam pros es pembangunan. Keberhasilan Kota Singapura menjadi kota taman melalui program penghijauan

“Clean and Green Week” yang dicanangkan pada tahun 1990. Program ini

melibatkan sekolah, organisasi masyarakat, dan kelompok bisnis. Hal tersebut menunjukkan ada nya dorongan moral masyarakat untuk membangun kota (RTH), yang selanjutnya akan dimanfaatkan secara bersama (Savage & Kong 2003).

2.3.4. Fungsi Budaya

Penanaman pohon menjadikan budaya tanggap terhadap pengelolaan lingkungan (Savage & Kong 2003). Adanya variasi baik secara individual maupun kolektif akan memberikan fungsi arsitektural, serta bagian dari perkembangan sejarah kota (Nagtegaal & Nas 2000). Fungsi RTH dalam meningkatkan identitas lingkungan kota akan terwujud apabila RTH yang dikembangkan mampu membangkitkan kesan yang mendalam bagi warga kota akan ciri khas suatu kawasan atau unit administrasi tertentu (Nurisyah 1997). Kawasan RTH di wilayah studi yang mencerminkan budaya belum dikembangkan secara optimal. Di kawasan studi terdapat banyak jenis tanaman lokal yang memberikan ciri khas yang memiliki nilai budaya yang dapat digunakan sebagai elemen lanskap, misalnya tanaman putat (Ba rringtonia sp) sebagai barisan pagar tepi sungai (barau hidup), tanaman hanjuang (Cord yline sp), pinang (Areca pinata), sirih (Piper betel) sebagai elemen adat budaya melayu, dan tanaman bambu (Bambusa vulgaris) dalam ritual etnis cina.

2.4. Jenis Ruang Terbuka Hijau

Menurut Fakuara (1987), jenis RTH berdasarkan kriteria sasaran dan fungsi penting, vegetasi, intensitas manajemen serta statusnya dapat berupa taman (city park), kebun dan pekarangan, jalur hijau dan hutan kota (urban forest). Taman bukan hanya memiliki nilai keindahan saja, namun tanaman sebagai komponen pembentuknya harus dipilih secara selektif sesuai dengan kondisi kawasan. Kebun dan pekarangan (halaman) merupakan kumpulan tanaman yang mendukung paling sedikit kebutuhan oksigen penduduk kota, selain juga untuk tujuan produksi yang bernilai ekonomi, yaitu yang dapat menghasilkan buah-buahan, sayuran dan hasil lainnya. Jalur hijau yang dibangun dapat berupa jalur dengan ukuran yang sesuai dengan bentuk tapak yang ada. Jenis tanaman dipilih berdasarkan tujuan dan fungsi tertentu, misalnya sebagai pemisah median jalan, pengarah, peredam kebisingan, penangkal angin, penghasil oksigen dan sebagainya.

Jalur hijau tediri atas beberapa bentuk yaitu jalur hijau jalan termasuk jalur hijau median jalan, jalur hijau tepian air, dan jalur hijau penyempurna. Menurut Brabec et al. (1994), jalur hijau jalan merupakan koridor vegetasi yang digunakan sebagai outdoor recreation untuk berjalan, jogging, bersepeda. Selanjutnya dijelaskan bahwa jalur hijau jalan merupakan jalur yang kompak yang digunakan pada persimpangan jalan di pemukiman, sebagai fitur alami koridor sungai dan jembatan, sepanjang jalur kereta, saluran, dan interaksi sosial serta penelitian perubahan lanskap. Untuk melindungi kualitas air, jalur hijau yang terdapat pada koridor sungai berfungsi sebagai penyerap polutan dan pengikisan oleh arus air yang mengandung pupuk pertanian (Brabec e t a l. 1994).

Jenis-jenis RTH lainnya dapat berupa lapangan olah raga, taman rekreasi/kawasan agrowisata, pemakaman umum, green belt, dan hutan kota. Dalam pengelolaannya RTH dapat difungsikan sebagai perlindungan lahan pertanian, kehutanan, dan komponen rekreasi. Grey dan Deneke (1986) menjelaskan bahwa komponen RTH yang fungsi dan manfaatnya sangat beragam, apabila dikelola dengan baik akan memberikan manfaat (benefit) kepada penduduk kota.

2.5. Luas Ruang Terbuka Hijau

Menurut Odum (2004), suatu kawasan perkotaan terdiri atas beberapa zoning peruntukan (compartment) dengan kapasitas ukuran yang rasional setiap kompartemennya, sehingga hubungan antara masing-masing tipe ekosistem, aliran energi dan pergerakan materi akan memberikan manfaat saling menguntungkan. Kompartemen tersebut dibagi dalam 4 kelompok biotik dasar, yaitu (1) produktif, yang memberikan hasil, baik langsung maupun tidak langsung, (2) protektif, yang memberikan fungsi perlindungan, (3) gabungan antara areal produktif dan protektif, pada skala yang luas merupakan kawasan protektif. Pengaturan dan pengelolaan yang sesuai pada kondisi tertentu misalnya akibat tekanan populasi dan polusi bisa berfungsi sebagai kawasan produktif, sehingga terjadi keseimbangan antara alam dan kebutuhan manusia, dan (4) industri, untuk memenuhi kebutuhan aktifitas ini memerlukan aliran energi dan material yang banyak. Mekanisme pembatasan eksploitasi dan pengendalian penggunaan sumberdaya merupakan pengontrol lingkungan yang alami.

Zoning wilayah perkotaan dalam pengembangan RTH dilakukan dengan membagi wilayah perkotaan sesuai dengan kompartemen seperti penjelasan di atas. Beberapa asumsi sebagai pertimbangan dalam penentuan luas pengembangan RTH kota, namun hal mendasar yang perlu dipertimbangkan adalah kondisi spesifik wilayah. Kondisi umum yang menjadi pertimbangan di wilayah studi diantaranya kawasan tergenang, jenis tanah, kawasan pinggiran sungai/parit, dan penyebaran penduduk serta tradisi.

Menurut Simond (1983), kebutuhan standar RTH dalam suatu kota berdasarkan pembagian wilayah secara umum yaitu 40 m2 per kapita, seperti tertera pada Tabel 2. Di wilayah studi struktur RTH ketetanggaan terdapat pada kawasan yang masih memiliki areal terbuka. Bentuknya dapat berupa kebun campuran, pekarangan, dan lapangan olah raga. Kawasan ini terdapat di Kecamatan Pontianak Barat, Kecamatan Pontianak Selatan, Kecamatan Pontianak Timur, dan Kecamatan Pontianak Utara. Struktur RTH komunitas, termasuk struktur RTH ketetanggaan serta kawasan tepian parit dan lapangan olah raga yang terdapat di Kecamatan. Struktur RTH kota, termasuk struktur RTH komunitas serta ruang terbuka yang secara umum dimanfaatkan oleh masyarakat

kota. Di wlayah studi kawasan ini antara lain Taman Alun Kapuas, Lapangan Bal Keboen Sayoek, Taman Mesjid Raya Mujahidin, Tugu Khatulistiwa, dan hutan kota Universitas Tanjung Pura. Struktur RTH wilayah termasuk struktur RTH kota serta kawasan terbuka yang dimanfaatkan masyarakat dalam suatu wilayah.

Tabel 2. Standar luas RTH secara umum

Hirarki wilayah Jumlah KK wilayah Jumlah Jiwa wilayah Ruang terbuka (m2/1.000 jiwa) Penggunaan ruang terbuka

Ketetanggaan 1.200 4.320 12.000 Lapangan bermain,

areal rekreasi, taman

Komunitas 10.000 36.000 20.000 Lapangan bermain, la-

pangan atau taman (ter-masuk ruang terbuka ketetanggaan)

Kota 100.000 40.000 Ruang terbuka umum,

taman areal bermain (termasuk ruang ter-buka untuk komuniti)

Wilayah/Region 1.000.000 80.000 Ruang terbuka umum,

taman areal rekreasi, berkemah (termasuk ruang terbuka kota) Sumber: Simonds 1983.

Di wilayah studi, kawasan ini antara lain stadion olah raga Sultan Syarif Abdulrachman, bantaran Sungai Kapuas, Kawasan Sentra Agribisnis, dan green belt.

Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan standar luas RTH minimal 40% sampai 60% dari total luas wilayah kota. Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/Kpts/1987 tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota yang mengatur standar perencanaan RTH di lingkungan pemukiman kota, kebutuhan kota terhadap taman kota, hutan kota, jalur hijau dan pemakaman dihitung berdasarkan kebutuhan masing-masing penduduk (Tabel 3).

Penentuan kebutuhan luas RTH juga dapat dihitung berdasarkan kebutuhan per kapita penduduk, misalnya di Malaysia sebesar 1,9 m2/penduduk, Jepang sebesar 5,0 m2/penduduk, dan DKI Jakarta taman untuk bermain dan

berolahraga diusulkan 1,5 m2/penduduk (Affandi 1994). Dalam perkembangan pembangunan suatu wilayah kota dengan berbagai masalah lingkungan yang dihadapi tentulah kebutuhan luas RTH tergantung dari berbagai aspek yang mempengaruhinya.

Tabel 3. Standar perencanaan ruang terbuka hijau di lingkungan Pemukiman

No. Unit lingkungan dan jumlah penduduk Jenis RTH yang dibutuhkan Luas per unit Standar per kapita (m2) Lokasi 1 L-I Rukun Tetangga 250 jiwa Tempat bermain anak-anak 250 m2 1,00 Di tengah kelompok pemukiman 2 L-II Rukun Warga 3..000 jiwa

Taman dan tempat olah raga

150 m2 O,50 Di pusat kegiatan rukun warga 3 III

Kelurahan 30.000 jiwa

Taman dan tempat olah raga

1 ha 0,35 Dikelompokkan dengan sekolah 4 L-IV

Kecamatan

200.000 jiwa Taman dan stadion

4 ha 0,20 Dikelompokkan dengan sekolah 5 L-V

Wilayah kota 1.000.000 jiwa

Taman kota dan komplek st adion

150 ha 1,50 Di pusat wilayah kota Hutan kota 6,00

Jalur hijau 15.00 6

Penyempurnaan

Pemakaman 0,58

Dalam kesatuan yang kompak atau tersebar

Sumber : Kepmen PU No. 378/Kpts/1987 tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota

Besarnya luasan RTH dalam suatu wilayah menurut Nurdin (1999) untuk kebutuhan 100-300 orang diperlukan paling sedikit 40.000 m2 luasan RTH, yang didistribusikan menjadi; (1) taman lingkungan ketetanggaan (neighbourhood park) = 4.000 m2 dengan jangkauan pelayanan 10-200 m, (2) taman lingkungan komunitas = 100.000 m2 dengan jangkauan pelayanan 625-900 m,dan (3) taman kota atau taman regional dengan luasan yang lebih besar dan berada di daerah strategis.

Beberapa asumsi di atas, dipergunakan dalam analisis pengembangan RTH Kota Pontianak namun disesuaikan dengan potensi wilayah dan karakteristik yang ada. Kota Pontianak merupakan kawasan delta kapuas yang dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Kapuas, jenis tanah yang mendominasi yaitu tanah gambut, dan jumlah serta penyebaran penduduk menjadi pertimbangan pengembangan

RTH. Secara umum pengembangan RTH didasarkan Kepmen PU Nomor 378/1987, menggunakan standar luas 15m2 per penduduk.

2.6. Pengelolaan Ruang Terbuk a Hijau

2.6.1. Partisipasi Masyarakat

Salah satu prinsip penting dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan adalah peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Secara sederhana peran serta masyarakat didefinisikan sebagai komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan dan komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas suatu kebijakan (Baliwati 2004). Hal tersebut berarti bahwa peran serta masyarakat merupakan isu sentral dalam pelaksanaan pembangunan termasuk perencanaan RTH suatu kota. Kesadaran akan pentingnya peran serta masyarakat dalam pembangunan merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pembangunan: (1) dari pelayanan yang bersifat dilayani menjadi pelayanan yang bersifat melayani, (2) dari bekerja untuk masyarakat menjadi bekerja untuk dan bersama masyarakat, dan (3) dari pendekatan yang bersifat patient oriented

menjadi pendekatan community oriented.

Dalam sistem perencanaan partisipatif, pergeseran paradigma perencanaan yang semula bersifat parsial, menjadi perencanaan yang terintegrasi. Dalam pelaksanaannya perencanaan ini mempersyaratkan pendekatan partisipasi aktif seluruh pelaku pembangunan (stakeholders). Perencanaan partisipatif juga dapat berfungsi sebagai instrumen pembelajaran masyarakat (social lerning) secara

Dokumen terkait