• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKASA SERANG-BANTEN

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, bangsa sapi dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.

Menurut Blakely dan Bade (1992) menyatakan bahwa bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mamalia Sub class : Theria Infra class : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub ordo : Ruminantia Infra ordo : Pecora Famili : Bovidae Genus : Bos (cattle) Group : Taurinae

Spesies : Bos taurus (sapi Eropa)

Bos indicus (sapi India/sapi Zebu) Bos sondaicus (banteng/sapi Bali) Sapi Brahman Cross

Minish dan Fox (1979) menyatakan bahwa sapi Brahman di Australia secara komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi Hereford-Shorthorn (HS). Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek, serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Menurut Turner (1977) sapi Brahman Cross (BX) pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO’S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi

4 American Brahman, Hereford, dan Shorthorn. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford, dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya.

Menurut Ensminger (1995), ciri fisik sapi Brahman Cross (BX) ditandai dengan adanya kelasa yang cukup besar melampaui bahu, kulit yang menggantung di bawah kerongkongan dan gelambir yang panjang, serta mempunyai kaki panjang dan telinga menggantung. Sapi BX banyak digunakan sebagai sapi bakalan di Indonesia karena memiliki beberapa keunggulan, antara lain: memiliki daya tahan terhadap panas dan kemampuan untuk dapat beradaptasi dengan baik di daerah tropis, memilki daya tahan terhadap ektoparasit terutama caplak (Direktorat Jenderal Peternakan, 1986).

Sapi Brahman Cross (BX) memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81,2%, (2) rataan bobot lahir 28,4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg, dan umur 18 bulan bisa mencapai 295 kg, (3) angka mortalitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5,2%, mortalitas sebelum disapih 4,4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1.2%, dan mortalitas dewasa sebesar 0,6%, (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif, (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit sangat baik, serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn (Turner, 1977).

Menurut Winks et al. (1979), jantan kebiri sapi BX di daerah tropik Quensland secara normal performannya di bawah bangsa sapi eropa. Lingkungan beriklim sedang, steer sapi Hereford lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan sapi BX. Bobot hidup finishing yang sama produksi karkas sapi BX lebih berat dibandingkan sapi Frisian karena memiliki persentase karkas (dressing percentage) yang lebih tinggi. Bobot karkas sapi Shorthorn terletak antara sapi Brahman dan Hereford. Persentase karkas sapi Hereford lebih rendah dibandingkan sapi BX dan lebih tinggi dibandingkan sapi Frisian. Karkas sapi Frisian memiliki persentase tulang lebih tinggi dibandingkan sapi Shorthorn dan BX. Trim lemak bervariasi

5 mulai dari 4,2% sampai 11,2%, terendah pada sapi Frisian dan tertinggi pada Shorthorn.

Sapi BX di Indonesia diimpor dari Australia sekitar tahun 1973 namun penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil pengamatan di ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan: (1) persentase beranak 40,91%, (2) calf crop 42,54%, (3) mortalitas pedet 5,93%, (4) mortalitas induk 2,92%, (5) bobot sapih umur 8-9 bulan 141,5 kg (jantan) dan 138,3 kg (betina), (6) pertambahan bobot badan sebelum disapih sebesar 0.38 kg/hari (Hardjosubroto, 1984; Direktorat Jenderal Peternakan dan Fapet UGM, 1986).

Produktivitas Sapi Potong di Indonesia

Produktivitas ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber daging belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan jumlahnya masih rendah. Faktor yang menyebabkan produksi daging masih rendah adalah jumlah populasi ternak sapi dan juga tingkat produksi sapi yang masih rendah. Menurut Djanuar (1985), produktivitas sapi pedaging dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi lingkungan atau mengubah mutu genetiknya dan dalam praktik adalah kombinasi antara kedua alternatif tersebut. Vercoe dan Frisch (1980) menyatakan bahwa sifat produksi dan reproduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa sapi, keadaan tanah, kondisi padang rumput, penyakit, dan manajemen. Produksi Sapi Potong

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa usaha peternakan ruminansia besar penghasil daging dapat dikelompokkan ke dalam beberapa program produksi sapi yang masing-masing memiliki kekhususan dalam pengelolaannya. Program tersebut antara lain produksi anak (cow calf), pembesaran anak sapi sapihan (stocker) dan penggemukan (finisher). Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performa, seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh dan kondisi ternak. Penimbangan bobot badan ternak sapi tidak mungkin dilakukan maka ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat penduga bobot hidup dan dapat menggambarkan penampilan produksi ternak sapi. Beberapa ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba dapat dijadikan indikator bagi bobot hidup ternak sapi potong.

6 Produksi ternak yang menguntungkan membutuhkan ternak-ternak yang sehat karena penyakit merupakan faktor pembatas keuntungan di kebanyakan daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993). Kondisi ternak sapi dapat diamati dengan cara observasi, pengamatan dan perabaan bagian tulang belakang.

Pertambahan Bobot Badan

Pertumbuhan adalah pertambahan berat badan atau ukuran tubuh sesuai dengan umur, sedangkan perkembangan berhubungan dengan perubahan ukuran serta fungsi dari berbagai bagian tubuh semenjak embrio sampai menjadi dewasa. Proses pertumbuhan pada ternak sapi dimulai sejak awal terjadinya pembuahan sampai dengan pedet lahir, dilanjutkan hingga sapi menjadi dewasa (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1991) pertumbuhan biasanya dimulai perlahan-lahan kemudian berlangsung lebih cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi atau sama sekali berhenti sehingga membentuk kurva pertumbuhan yang berbentuk sigmoid.

Menurut Syamsudin et al. (1989) pertambahan bobot badan sapi tidak akan tinggi apabila ransum yang diberikan hanya rumput-rumputan saja. Pertambahan bobot badan yang lebih tinggi akan diperoleh apabila ransum yang diberikan terdiri dari rumput-rumput yang dicampur atau disuplemen dengan hijauan yang berkualitas tinggi seperti daun gamal, lamtoro, atau jenis leguminosa lainnya.

Sapi Brahman Cross (BX) yang dipelihara dengan sistem feedlot dengan perbandingan konsentrat dan hijauan masing-masing 85% dan 15% menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,8-1,2 kg/ekor/hari dengan persentase bobot karkas 53,21%. Pertambahan bobot harian sapi Brahman Cross (BX) sebesar 0,78 kg dapat menghasilkan persentase bobot karkas sebesar 54,18% (Ngadiyono, 1995)

Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong Sistem Pemeliharaan Sapi Potong

Pemeliharaan dan perawatan harus dilakukan sebaik-baiknya untuk menjaga kelangsungan hidup sapi potong yang sehat dengan pertumbuhan yang baik. Keberhasilan tahap pemeliharaan sebelumnya merupakan pangkal pemeliharaan berikutnya, sehingga usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan dengan

7 fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda dan sapi dewasa (finishing).

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga, yaitu intensif, ektensif, dan mixed farming system. Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua yaitu (a) sapi di kandangkan terus-menerus dan (b) sapi dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif, sedangkan kelemahannya modal yang digunakan lebih tinggi, masalah penyakit dan limbah peternakan.

Pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan ternak di padang penggembalaan, pola pertanian menetap atau di hutan. Sistem ekstensif biasanya aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama (Parakkasi, 1999). Daerah yang luas padang rumputnya, tandus dan iklimnya tidak memungkinkan untuk pertanian maka dapat dilakukan usaha peternakan secara ekstensif. Beberapa daerah melepaskan ternaknya di lapangan tanpa memperhatikan kecukupan pakannya dan keadaan padang rumput (Tafal, 1981). Sistem pemeliharaan mix farming system atau sistem pertanian campuran adalah petani biasanya memelihara beberapa ekor ternak sapi dengan maksud digemukkan dengan pakan yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertanian (Parakkasi, 1999).

Bangunan dan Fasilitas Peternakan

Office International des Epizooties (OIE) (2006) menjelaskan bahwa bangunan dan fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di dalamnya dapat merupakan sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan ternak secara langsung dan tidak langsung. Beberapa hal yang harus dilakukan untuk meminimalisasi bahaya yang datang dari lingkungan terdekat ternak yaitu (a) menghindarkan setiap kegiatan beternak dekat dengan pabrik industri yang dapat

8 menjadi sumber polusi (i) pembakaran sampah lokal yang melepaskan banyak senyawa dioksida, pabrik pengolahan yang melepaskan senyawa pelarut dan logam berat, atau (ii) dalam suatu lingkungan yang mudah terkena polusi udara (dekat dengan jalan raya yang padat banyak pelepasan timah dan hidrokarbon), (iii) polusi tanah (industri pertanian atau tempat pembuangan bahan beracun), atau (iv) tempat perkembangbiakan hama seperti tempat pembuangan sampah akhir, dan (b) menempatkan bangunan atau fasilitas lain sehingga tersendiri dalam suatu banguan khusus yang cukup jauh dari tempat penyimpanan limbah.

Tata letak bangunan diatur dengan berdasarkan fungsinya dan jarak antar bangunan dalam peternakan yang berdekatan juga diatur agar tidak menambah resiko terjadinya perpindahan penyakit antar peternakan, membuat kandang dengan luas yang layak sesuai jumlah ternak dan ventilasi yang baik, membuat kandang isolasi bagi ternak yang sakit dan kandang karantina bagi ternak yang sehat. Mengisolasi kandang dari ganguan hama dan serangga, merancang kandang agar mudah dibersihkan dan mengunakan bahan bangunan yang aman. Akses keluar masuk peternakan dirancang agar orang yang tidak berkepentingan tidak sembarangan masuk ke areal peternakan.

Bangunan peternakan harus dirancang untuk memfasilitasi kenyamanan, kesehatan dan produktivitas ternak. Ventilasi yang baik, tersedianya pakan dan air dengan kualitas yang baik, penerangan dan kenyamanan ternak harus diperhatikan untuk meningkatkan performan ternak (Ensminger dan Tylor, 2006). Area yang terpisah diperlukan untuk mengisolasi ternak dan untuk perawatan ternak. Area ini harus dibuat agar nyaman bagi ternak dan memiliki suplai obat-obatan serta memiliki penerangan yang cukup. Area perawatan ini biasanya dibuat dekat dengan kandang khusus untuk melahirkan dan untuk mengisolasi ternak yang sakit. Hal ini dilakukan untuk efisiensi pekerja dan sering disebut sebagian kandang untuk kebutuhan khusus (Palmer, 2005).

Perkandangan

Direktorat Jenderal Peternakan (1985) menyatakan bahwa kandang bagi ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang merupakan tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak terhadap binatang buas, pencuri, dan kandang juga merupakan salah satu sarana untuk

9 menjaga kesehatan. Persyaratan teknis kandang menurut Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2006) adalah sebagai berikut:

1. Konstruksi kandang harus kuat

2. Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh 3. Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup

4. Drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan 5. Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak

6. Luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung 7. Kandang isolasi dibuat terpisah

Manajemen Pakan

Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak daripada berat keringnya, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993).

Kebutuhan pakan terkait erat pada jenis, umur, dan tingkat produksi. Konsumsi bahan kering (BK) pakan ditentukan oleh ukuran tubuh, macam pakan, umur dan kondisi. Konsumsi bahan kering pakan hijauan berkualitas tinggi pada sapi dewasa adalah sebesar 1,4 % dari bobot hidupnya, sedangkan pada sapi jantan muda sebesar 3%. Konsumsi bahan kering pakan biasanya makin menurun dengan meningkatnya kandungan zat-zat pakan yang dapat dicerna (National Reseach Council, 1984). Menurut Tilman et al. (1991) kebutuhan bahan kering pakan yang disarankan utuk sapi pedaging adalah antara 2,5-3% dari bobot badan setiap hari dan dapat ditambahkan konsentrat 2% dari bobot badan, sedangkan sisanya adalah hijauan atau pakan berserat tinggi.

Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak, namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandung nutriennya rendah (Panjono et al., 2000).

10 Tingkat konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologi, sebagai contoh sapi dewasa, finish sedang dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4% bobot badan/hari, sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik dapat mengkonsumsi 3% dari bobot badan (Parakkasi, 1999).

Sumber pakan ternak dibagi menjadi lima berdasarkan fungsinya, yaitu: 1) sumber hijauan kering dan hijauan kasar misalnya jerami padi, rumput lapang, dan lamtoro; 2) sumber energi misalnya dedak padi, jagung, sorgum, dan onggok; 3) sumber protein nabati misalnya bungkil kelapa bungkil kelapa sawit, bungkil kacang kedelai dan bungkil bji kapuk; 4) sumber protein hewani misalnya tepung ikan, tepung daging dan tulang, tepung darah dan tepung bulu ayam; dan 5) sumber mineral misalnya tepung tulang dan tepung kulit kerang, kapur, kalium karbonat, zeolit dan kromium (Khalil, 1998).

Potensi genetik ternak untuk pertumbuhan dan konversi pakan dapat diperkirakan dengan mengetahui bangsa, jenis kelamin, ukuran tubuh dan riwayat sebelumya. Pemberian pakan secara adlibitum dengan memberikan pakan biji-bijian, 100% pakan konsentrat atau maksimum ditambahkan 10-15% hijauan terhadap konsentrat dimaksudkan untuk merealisasikan potensi genetik (Presto and Willis, 1982).

Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa pakan komersial juga harus dipastikan bebas dari residu bahan kimia. Label pada pakan komersial penting diantaranya untuk mengetahui cara pemakaian dengan benar, tanggal kadaluarsa dan identitas perusahaan. Kemasan pakan komersial tersebut harus utuh tanpa cacat yang dapat mempengaruhi isi. Pencatatan atau recording kualitas bahan pakan yang diterima juga sangat penting dan isinya harus sesuai dengan label, serta tidak mengandung hasil ikutan ternak yang tidak diperbolehkan. Pakan yang dicampur atau diproduksi sendiri mengandung resiko (bahaya) terdapatnya residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna.

Usaha Penggemukan Sapi

Usaha penggemukan sapi merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan produksi persatuan ternak (Direktorat Jenderal

11 Peternakan, 1986). Tujuan usaha penggemukan sapi adalah untuk memperoleh pertambahan bobot badan yang relatif tinggi dengan menghitung nilai konversi pakan dalam pembentukan jaringan tubuh termasuk otot daging dan lemak serta menghasilkan karkas daging dan daging yang berkualitas tinggi (Dyer dan O’Mary, 1977).

Penggemukan sapi secara umum dapat dikelompokan menjadi penggemukan sapi dipadang rumput (pasture fattening) dan secara dikandangkan (feedlot) serta kombinasi antara keduanya (Williamson dan Payne, 1993). Usaha peternakan khususnya penggemukan sapi pedaging semakin berkembang mulai dari penggemukan secara tradisional maupun secara feedlot. Usaha penggemukan feedlot didasarkan pada prisip penggemukan dengan pemberian pakan secara penuh dengan konsentrat dalam julah besar. Sapi bakalan dengan bobot antara 150-300 kg dapat digemukkan dalam 180 hari atau kurang. Penggemukan ini menghasilkan pertambahan bobot badan 0,9 kg per ekor per hari atau lebih dengan pakan sekitar 7 kg untuk setiap kg pertambahan berat badan (Blakely dan Bade, 1992). Sapi bakalan yang digunakan dalam penggemukan adalah sapi Bali, Peranankan Onggole (PO), dan sapi impor seperti sapi Australian Commersial Cross (ACC), Brahman Cross (BX), Shorthon dan Brangus (Susilowati, 1998).

Sapi yang digemukkan secara feedlot adalah sapi yang memiliki pertumbuhan tinggi sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai bobot tertentu menjadi lebih singkat (Tulloh, 1978). Usaha penggemukan sapi secara feedlot di Amerika pada beberapa tahun terakhir ini berlangsung kurang dari 120 sampai 150 yakni periode 70 sampai 90 hari. Perubahan waktu penggemukan yang lebih singkat dimaksudkan untuk memperoleh efisiensi ekonomi dalam penggunaan pakan (Tilman et al., 1991). Sapi yang dipelihara secara feedlot dengan pemberian pakan banyak mengandung biji-bijian dan selalu berada di dalam kandang sering kekurangan vitamin A dan D, sehingga dalam penggemukan sapi daging perlu ditambahkan vitamin tersebut (Presto and Wills, 1982).

Good Farming Practice (GFP)

Good Farming Practice menurut Departement of Agriculture, Food and Rural Development (2001) merupakan cara beternak yang baik dan benar, yang memperhatikan lingkungan dan memenuhi standar minimal sanitasi dan

12 kesejahteraan ternak. Good Farming Practice (GFP) juga termasuk di dalamnya aturan yang berlaku di lingkungan, hygiene atau sanitasi, kesejahteraan ternak, identifikasi, registrasi ternak, serta kesehatan ternak. Aspek-aspek utama dalam GFP yaitu manajemen nutrisi, manajemen lahan rumput, perlindungan sungai dan sumber air, pemeliharaan habitat liar, pemeliharaan batas peternakan, penggunaan pestisida dan bahan kimia yang berhati-hati, perindungan situs-situs bersejarah, pemeliharaan penampakan visual peternakan dan lingkungannya, pemeliharaan catatan peternakan, kesejahteraan ternak, hygiene atau sanitasi, tidak menggunakan bahan yang dilarang, penggunaan obat hewan yang bertanggung jawab dan pengetahuan peternak tentang GFP. Ruang lingkup pedoman budidaya ternak sapi potong yang baik meliputi empat aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan, dan pengawasan (Direktorat Jenderal Produksi Peternakan, 2000).

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Kegiatan magang penelitian dilakukan di PT Lembu Jantan Perkasa Serang, Banten. Magang penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Pengamatan dan pengambilan data di perusahaan dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2011.

Materi

Bahan-bahan yang digunakan pada magang penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas ternak sapi, hasil pengamatan wawancara, kuisioner dan lembar evaluasi penerapan Good Farming Practices (GFP) serta Standard Operating Procedure (SOP). Data sekunder merupakan data periode tahun 2009-2010 yang terdiri atas sejarah perusahaan, struktur organisasi, SOP (perkandangan, recording ternak, dan penanganan ternak baru datang), populasi sapi penggemukan, kematian, pemberian pakan dan kualitas pakan, performa produksi ternak penggemukan, pemilihan sapi bakalan dan evaluasi sapi potong, pengelolaan limbah, karyawan, penjualan serta pembelian ternak. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, meteran, dan termohygrometer.

Prosedur Teknik Pengambilan data

Data primer didapatkan melalui wawancara kuisioner dan lembar pengamatan checklist yang berisikan instumen Standard Operating Procedure serta observasi langsung di lapangan. Wawancara, kuisioner, dan observasi berpedoman pada instrumen Good Farming Practices sapi penggemukan (Direktorat Jenderal Produksi Peternakan, 2000). Pengisian kuisioner dilakukan oleh berbagai pihak yang berkompeten atau ahli dalam perusahaan tersebut. Kuisioner yang akan disebar berjumlah 15 eksemplar. Wawancara dilakukan kepada farm manager, kepala unit dan supervisor masing-masing unit. Data sekunder diperoleh dari PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten.

14 Rancangan

Studi ini dilakukan untuk membandingkan penerapan Good Farming Practices sapi penggemukan yang diterapkan di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten dengan pedoman pengemukan sapi potong yang baik yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Selain itu juga melakukan wawancara, observasi, pengumpulan data produksi dan manajemen.

Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan sapi di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten terutama dalam penerapan Good Farming Practices sapi potong serta membandingkan penerapannya dengan pedoman pengemukan sapi potong yang baik yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Produksi Peternakan.

Peubah yang diamati

1. Evaluasi pelaksanaan Good Farming Practices

Dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan magang di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten dan terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum

Sejarah dan Pekembangan

PT Lembu Jantan Perkasa (LPJ) merupakan perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang breeding, fattening dan trading sapi potong dan didirikan pada tahun 1990 oleh Bapak Djaya Gunawan. Visi PT LJP adalah meningkatkan kualitas dan modernisasi tata niaga sapi potong, yang bertujuan untuk menunjang usaha peningkatan gizi masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan ternak sapi potong dalam lingkup regional dan nasional. Perusahaan ini memiliki kantor pusat yang terletak di jalan Tarum Barat E11-12 No.8, Jakarta Timur. Perusahaan terdaftar pada Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) dengan nomor registrasi 015/APFINDO/1995 tanggal 29 Agustus 1995 dan fokus pada usaha di bidang perdagangan, impor dan penggemukan sapi potong.

PT LJP merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak di bidang penggemukan dan pembibitan secara intensif. PT LJP merupakan salah satu perusahaan penggemukan sapi terbaik di Indonesia. PT LJP memiliki beberapa cabang perusahaan yaitu Serang-Banten, Cikalong-Bandung, Langkat-Medan dan Sawah Lunto-Padang.

Lokasi Usaha

PT LPJ terletak di Jalan Raya Serang-Pandeglang km 9,6 Desa Sindangsari, Kecamatan Pabuaran, Serang-Banten. Perusahaan ini berada sekitar 200 m dari jalan raya dan memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 200 m di atas permukaan air laut. Suhu udara di PT LJP sekitar 27,9-32 oC dan curah hujan sebesar 1500-3000 mm per tahun dengan jumlah hujan rata-rata 141 hari per tahun. PT LJP

Dokumen terkait