• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi dan Morfologi

Tanaman bawang putih adalah herba semusim berumpun yang memiliki ketinggian sekitar 60 cm. Tanaman ini banyak ditanam di ladang daerah pegunungan yang cukup mendapat sinar matahari. Batangnya batang semu dan berwarna hijau. Bagian bawahnya bersiung-siung, bergabung menjadi umbi besar berwarna putih. Tiap siung terbungkus kulit tipis dan kalau diiris baunya sangat tajam. Daunnya berbentuk pita (pipih memanjang), berakar serabut, dan bunganya berwarna putih (Asiamaya, 2000).

Secara taksonomi, tanaman bawang putih dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Devisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotiledone Ordo : Lilliflorae Bangsa : Liliaceae Genus : Allium

Species : Allium sativum

Sumber : Wibowo (1994)

Kandungan Bawang Putih

Bawang putih mengandung bermacam-macam zat kimia yang berkomposisi sedemikian rupa sehingga menimbulkan khasiat yang berguna bagi manusia maupun hewan. Menurut Reynold (1982), sejumlah senyawa bisa diekstrak dari bawang putih antara lain: air, protein, lemak, karbohidrat, vitamin B komplek, vitamin C, mineral kalsium, fosfor, magnesium dan kalium. Komposisi kimia bawang putih per 100 gram yang dapat dimakan, baik mentah maupun bubuk dapat dilihat dalam Tabel 1.

Reynold (1982) juga menambahkan bahwa bawang putih mengandung zat-zat kimia aktif lainnya seperti allicin, skordinin, alliil, saponin, diallylsulfida dan prophyl allyl sulfida, serta methilalil trisulfida. Allicin (thiopropen sulfinic acid allyl ester) merupakan senyawa yang diduga dapat menurunkan kadar kolesterol darah

4 dan diduga mempunyai daya bunuh parasit. Skordinin memberi bau yang tidak sedap pada bawang putih, tetapi senyawa ini berkhasiat sebagai antiseptik. Kandungan alliil (propenyl sulfinyl alanina) memberikan bau yang khas pada bawang putih dan juga berfungsi sebagai antiseptik dan antioksidan. Saponin berasal dari kata sapo (bahasa latin = sabun) merupakan senyawa permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dengan air. Pada beberapa tahun saponin tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari tumbuhan dengan hasil yang baik sebagai bahan baku hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan. Kandungan saponin dalam bubuk bawang putih dapat menyebabkan sel-sel cacing menjadi terhidrolisis. Diallyl sulfida dan prophyl allyl sulfida bersifat antelmintika dan trombolik (penghancur gumpalan darah). Methilalil trisulfida merupakan zat yang dapat mencegah terjadinya perlengketan sel darah merah.

Tabel 1. Komposisi Kimia Bawang Putih per 100 gram yang Dapat Dimakan Jumlah Kandungan Mentah Bubuk Air (g) 58,58 6,446 Energi (kkal) 149 332,261 Protein (g) 6,36 16,798 Lemak (g) 0,5 0,759 Karbohidrat (g) 33,07 72,711 Kalsium (mg) 181 79,5 Fosfor (mg) 153 416,667 Kalium (mg) 401 1.101,25 Sumber : Asiamaya (2000)

Menurut Asiamaya (2000), bawang putih mentah dan bubuk mengandung protein berturut-turut 6,36 dan 16,798 gram/100 gram. Protein tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan biji pepaya sebagai antelmintika yaitu 24,3 gram/100 gram (Setiaji, 2003). Kandungan lemak pada bubuk bawang putih juga lebih rendah dari biji pepaya yaitu 0,759 gram/100 gram, sedangkan pada biji pepaya 25,3 gram/100 gram. Karbohidrat bubuk bawang putih mencapai 72,711 gram/100 gram. Nilai

5 tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan karbohidrat biji pepaya yaitu 32,5 gram/100 gram.

Perubahan Kimia Bawang Putih

Menurut Amagase et al. (2001), umbi bawang putih mengandung polisakarida, protein, enzim, asam-amino, S-alilsistein, sulfoksida dan γ -glutamylcysteines. Kandungan tersebut dapat membentuk alliin melalui pemecahan sel. Apabila bawang putih mengalami proses pemotongan, enzim allinase dengan cepat menguraikan alliin untuk membentuk cytotoxic dan odoriferus alkyl alkane-thiosulfinates seperti allicin. Allicin melalui jalur dekomposisi cepat menghasilkan bahan lainnya seperti diallyl sulfida, diallyl disulfida dan diallyl trisulfida. Pada saat yang bersamaan γ-glutamylcysteines pada umbi bawang putih diubah menjadi S-allyl cysteine (SAC) melalui penuaan alami. Komponen umbi bawang putih dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian larut minyak dan bagian larut air. Komponen larut minyak antara lain dialil sulfida (DAS), dialil disulfida (DADS), dialil trisulfida dan ayone, sedangkan komponen yang larut air seperti S-alilsistein (SAC), S-alilmerkaptosistein, dan asam amino. Komponen kimiawi bawang putih bisa dilihat dalam Gambar 1.

6 Hubungan Kandungan Bawang Putih dengan Infeksi Cacing Ascaridia galli Bawang putih mengandung bahan berkhasiat antelmintik allicin yang setelah diteliti lebih lanjut terdiri dari dialilsulfida, dialil disulfida, dialil trisulfida, propil alil disulfida, suatu enzim sulfhdril yang dapat menembus dinding telur dan cacing. Enzim sulfhdril mempunyai kemampuan kuat berikatan dengan enzim fosfofruktokinase dari sel (telur dan cacing). Enzim fosfofruktokinase berfungsi mengkatalis perubahan fruktosa-6-fosfat menjadi fruktosa-1,6-difosfat pada jalur glikolitik protein dan glukosa, karena berikatan dengan allicin menyebabkan perubahan fruktosa-6-fosfat tidak terjadi dan pada akhirnya ATP tidak terbentuk. Tidak terbentuknya ATP menyebabkan pembelahan sel di dalam telur tidak akan berlangsung sehingga pada akhirnya embrio tidak terbentuk. Tidak terbentuknya ATP menyebabkan cacing akan kekurangan tenaga dan akhirnya mati (Bagus, 2003). Hubungan Kandungan Bawang Putih dengan Sintesa Kolesterol

Nyoman (1997) berpendapat bahwa pengaruh bawang putih pada lipid darah kemungkinan disebabkan oleh senyawa-senyawa yang mengandung sulfur yang terdapat di dalamnya seperti allicin. Allicin merupakan senyawa aktif disulfida tidak jenuh yang mempunyai efek hipokolesterolemia dengan mekanisme sebagai berikut : 1. Rantai alil propil dari allicin dengan mudah akan tereduksi menjadi rantai propil sehingga menurunkan kadar NADPH dalam tubuh, padahal NADPH dibutuhkan dalam biosintesa kolesterol, sehingga sintesa kolesterol terganggu.

2. Allicin juga mempunyai sifat mengikat pada bagian fungsional dari enzim KoA pada gugusan sulfhidril yang diperlukan untuk biosintesa kolesterol.

Piperazine Piperazine sebagai Antelmintika

Antelmintika atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi parasit cacing di dalam lumen usus atau jaringan badan (Sukarban dan Santoso, 1995). Permin dan Hansen (1998) mendefinisikan antelmintika sebagai komponen yang membunuh cacing atau menyebabkan mereka dikeluarkan dari saluran pencernaan atau organ-organ dan jaringan yang mereka tempati di dalam tubuh inang. Antelmintika yang ideal adalah mempunyai spektrum yang luas, tidak toksik, batas keamanan yang tinggi, cepat dimetabolisme, mudah

7 diaplikasikan, dan biayanya murah. Kegagalan pengobatan antelmintika dapat disebabkan oleh kesalahan dalam perhitungan dosis, reinfeksi inang, kesalahan pemilihan antelmintika dan resistensi antelmintika. Resistensi menurut Permin dan Hansen (1998) adalah kenaikan kemampuan individu parasit secara signifikan dalam mentoleransi dosis pengobatan yang secara umum dapat mematikan sebagian besar individu parasit dalam populasi normal pada spesies hewan yang sama. Resistensi antelmintik terkait dengan frekuensi pemakaian obat, waktu pengobatan, faktor biologis, dan genetik cacing.

Bahan Aktif Piperazine

Pemberian piperazine melalui oral bisa dalam bentuk adipat, sitrat, hidrat, atau fosfat. Kandungan bahan aktif pada masing-masing garamnya berbeda-beda. Bahan aktif beberapa derivat piperazine bisa dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Bahan Aktif Beberapa Derifat Piperazine

Derifat Piperazine Bahan aktif (%)

Piperazine sitrat Piperazine adipat Piperazine dihidroklorida Piperazine heksahidrat Piperazine fosfat Piperazine sulfat 35 48 50-53 44 42 46

Sumber : Booth dan McDonald (1982)

Efek Antelmintika

Piperazine dan garam-garamnya bertindak seperti GABA (γ-aminobutyric acid) yang merangsang flaccid paralysis (kelumpuhan yang diikuti kelemahan) sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel pada parasit nematoda dan cacing mudah dikeluarkan oleh gerakan peristaltik usus (EMEA, 2001).

Ascaridia galli

Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Soulsby (1986), klasifikasi cacing Ascaridia galli sebagai berikut : Filum : Nemathelminthes; Kelas : Nematoda; Subkelas : Secenentea; Ordo : Ascaridia; Superfamili : Ascaridoidea; Famili : Ascarididae; Genus : Ascaridia.

8 Ascaridia galli adalah cacing nematoda berukuran besar, tebal dan berwarna putih kekuningan. Cacing jantan memiliki ukuran panjang 50-76 mm dan lebar 0,49-1,21 mm, sedangkan cacing betina memiliki panjang 60-116 mm dan lebar 0,9-1,8 mm. Ekor cacing jantan memiliki sayap yang lebih jelas, dilengkapi dengan 10 pasang papil yang pendek, besar dan alat penghisap dengan sisi yang tebal (Kusumamihardja, 1992). Gambar cacing Ascaridia galli jantan dan betina disajikan pada Gambar 2. Telur yang dihasilkan berbentuk oval, belum berkembang pada saat bertelur, dan berdinding licin.

Cacing jantan Cacing betina

Gambar 2. Cacing Ascaridia galli Jantan dan Betina (Perbesaran 10x) Siklus Hidup

Menurut Kusumamihardja (1992), cacing Ascaridia galli memiliki siklus hidup yang langsung yaitu telur dikeluarkan bersama tinja. Cacing Ascaridia galli akan mencapai tahap infektif dalam waktu 10 hari atau lebih. Telur akan mati pada kondisi kering dan terkena cahaya matahari langsung. Telur infektif akan termakan oleh hewan, kemudian masuk ke saluran pencernaan dan akan menetas di dalam usus halus. Untuk mendukung terjadinya penetasan telur membutuhkan CO2 sebagai faktor terpenting. Selain itu agen pereduksi, komposisi garam, pH yang bervariasi dan suhu juga mempengaruhi laju penetasan. Seminggu kemudian pada periode pertumbuhan, larva merayap dan membenam di dalam mukosa usus yang menyebabkan pendarahan usus halus. Rata-rata cacing menghabiskan waktu 17 hari dalam selaput lendir usus halus untuk melakukan proses molting menjadi cacing muda. Larva kemudian kembali ke lumen usus untuk selanjutnya menjadi cacing dewasa dan bertelur kembali. Seluruh masa perkembangan cacing, sejak telur infektif ditelan hingga menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu 6-8 minggu (Kusumamihardja, 1992). Siklus hidup cacing Ascaridia galli dapat dilihat pada Gambar 3.

9

Keterangan :

Siklus hidup cacing Ascaridia galli dimulai dari keluarnya telur bersamaan dengan feses ayam, kemudian berkembang menjadi telur infektif (L1) yang berisi larva infektif (L2) pada hari ke-10 atau lebih. Telur infektif yang tertelan inang definitif akan menetas dalam usus dan larva hidup dalam lumen usus selama 8 hari sesudah infeksi. Antara hari kedelapan dan ketujuhbelas larva menempel pada mukosa usus. Larva ekdisis menjadi larva ketiga (L3) pada hari kedelapan dan ekdisis menjadi larva keempat (L4) pada hari ke 14-15 sesudah infeksi, kemudian larva kembali ke lumen usus dan berkembang menjadi cacing dewasa sekitar 6-8 minggu setelah infeksi.

Gambar 3. Siklus Hidup Cacing Ascaridia galli (Kusumamihardja, 1992)

Patogenitas Ascaridia galli

Kulkarni et al. (1993) menyatakan bahwa infeksi Ascaridia galli adalah penyebab masalah yang kompleks dalam kesehatan ayam. Infeksi Ascaridia galli pada ayam muda lebih rentan daripada ayam dewasa. Lesio-lesio pada mukosa duodenum dapat terjadi pada ayam muda, selain itu juga dapat mengakibatkan penurunan penyerapan vitamin A, enteritis, anemia serta diare. Ayam menjadi kurus, lemah dan produksi telurnya menurun. Pada infeksi yang berat dapat menyebabkan penyumbatan usus oleh cacing dewasa.

Telur keluar bersama feses ayam Telur menetas dalam usus halus Berpenetrasi dalam mukosa usus (moulting) Kembali ke usus halus menjadi cacing dewasa Cacing A. galli dewasa bertelur di usus halus Telur infektif pada hari ke-10 atau lebih Telur tertelan inang definitif

10 Peradangan mukosa umumnya diikuti gangguan dalam pencernaan, penyerapan dan sekresi zat-zat yang berperan dalam proses pencernaan makanan. Perubahan patologi anatomi yang terlihat adalah kekurusan yang sangat menyolok pada daerah dada dan paha. Kepucatan pada daerah paruh dan jengger yang mengindikasikan anemia. Kerusakan pada mukosa duodenum terjadi pada saat cacing muda menancapkan diri pada mukosa (Soulsby, 1986).

Infektifitas dan Kebutuhan Cacing dalam Saluran Pencernaan Inang

Kelangsungan hidup parasit dalam tubuh inangnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini sangat berpengaruh pada perkembangan maupun kelangsungan hidup dan daya tahan cacing Ascaridia galli mulai dari penetasan telur infektif sampai mapan dalam saluran pencernaan inang. Infektifitas adalah kemampuan cacing untuk menginfeksi atau daya infeksi pada inang sehingga mencapai tahap perkembangan tertentu. Infektifitas cacing pada inang dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain dosis infeksi atau jumlah telur infektif yang tertelan oleh inang.

Tubuh cacing membutuhkan karbohidrat, protein, serta lipid untuk hidup. Umumnya cacing nematoda menyimpan glikogen di jaringan sebagai cadangan energi. Pada cacing Ascaridia galli akan terjadi penurunan jumlah glikogen jika inangnya (unggas) tidak mau makan. Cacing Ascaridia galli lebih banyak membutuhkan karbohidrat daripada protein karena jumlah enzim pencerna proteinnya lebih sedikit daripada cacing yang lain (Zalizar, 2006).

Ayam Kampung

Ayam kampung merupakan salah satu keluarga ayam buras yang berukuran kecil dan bentuknya agak ramping. Berat badannya mencapai 700-800 gram pada umur 3 bulan, dan produksi telurnya mencapai 135 butir/tahun (Iskandar, 2004). Salah satu ciri ayam kampung adalah sifat genetisnya yang tidak seragam. Warna bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan cermin dari keragaman genetisnya.

Sistem pemeliharaan tradisional tidak dapat menghasilkan produksi yang maksimum baik dari segi produksi daging maupun telur (Martojo et al., 1995). Menurut Sinurat (1991) ayam buras memperoleh sebagian zat nutrisi dari

11 lingkungannya sehingga sulit untuk menyusun ransum sesuai dengan kebutuhan zat gizi secara tepat karena jumlah zat gizi yang didapat dan jenis sumber pakan yang tersedia pada suatu lingkungan dengan lingkungan yang lainnya sangat bervariasi. Kebutuhan gizi untuk ayam paling tinggi yaitu selama minggu awal dari kehidupan, oleh karena itu perlu diberikan ransum yang cukup mengandung energi, protein, mineral, dan vitamin dalam jumlah yang seimbang. Berdasarkan hasil penelitian Candrawati (1999), kebutuhan energi metabolis ayam kampung umur 0-8 minggu sebesar 2.970,2 kkal/kg dan protein 19%.

Ayam kampung yang dipelihara secara tradisional di pedesaan mencapai dewasa kelamin pada umur 6-7 bulan dengan bobot badan 1,4-1,6 kg. Margawati (1989) melaporkan bahwa berat badan ayam kampung umur 8 minggu yang dipelihara secara ekstensif hanya mencapai 258 gram, sedangkan ayam kampung yang dipelihara intensif pada umur yang sama dapat mencapai 637 gram. Rendahnya pertambahan bobot badan pada anak ayam buras yang dipelihara secara ekstensif, karena adanya penyakit serta kurang terpenuhinya kebutuhan gizi sehingga menghambat laju pertumbuhan.

Lemak Darah Metabolisme Lemak

Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006), bahan makanan mengandung lemak akan mengalami lubrikasi dan mastikasi di dalam mulut. Proses mekanis dilanjutkan pada gerakan peristaltik dalam kerongkongan dan pada saat makanan berada pada lambung. Di dalam lambung, enzim lipase yang diproduksi lambung memulai proses hidrolisa bahan makanan yang mengandung lemak tinggi. Pada waktu trigliserida meninggalkan lambung dan masuk ke duodenum, maka sel-sel dalam usus halus mengeluarkan hormon cholecystokinin yang akan ditranspor dalam darah menuju kelenjar empedu. Getah empedu disintesa oleh sel-sel dalam hati yang kemudian disimpan dalam kelenjar empedu sampai zat tersebut diperlukan untuk pencernaan lemak.

Produk akhir pencernaan lemak dalam saluran usus halus adalah monogliserida, asam lemak, dan kolesterol. Beberapa fosfolipid dan trigliserida dengan rantai pendek dan medium akan tetap terdapat dalam bentuk esensial dalam zat makanan. Dalam lumen usus halus, monogliserida, asam-asam lemak, kolesterol,

12 fosfolipid bersatu dengan empedu membentuk agregat khusus disebut micelles. Garam empedu bertindak sebagai pengemulsi yang akan bergabung bersama komponen asam lemak untuk diabsorbsi melalui dinding usus halus. Absorpsi lemak terutama melalui permukaan jejunum. Micelle lemak bersama-sama dengan trigliserida rantai pendek dan medium diabsorbsi secara langsung ke dalam mukosa sel jejunum. Pada saat kandungan lemak dalam micelle diabsorpsi, maka garam empedu tetap tinggal dalam lumen untuk diabsorbsi kembali. Asam-asam lemak yang diangkut ke dalam darah akan terikat dengan protein serta albumin (Piliang dan Djojosoebagio, 2006). Diagram absorpsi zat makanan lemak dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram Absorpsi Zat Makanan Lemak (Piliang dan Djojosoebagio, 2006)

Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006), sesudah lemak dicerna dan diabsorpsi, maka lemak tersebut baru dapat dimanfatkan oleh jaringan tubuh, kemudian oleh lipoprotein. Jika lemak yang terdapat dalam sirkulasi diperlukan untuk fungsi sel, maka enzim lipoprotein lipase akan melepaskan bagian lemak dari

13 karier protein dan menghidrolisis komponen trigliserida menjadi gliserol dan asam-asam lemak. Molekul-molekul lemak ini sekarang siap untuk masuk ke dalam sel untuk selanjutnya dimanfaatkan jaringan-jaringan tubuh.

Kolesterol

Jumlah kolesterol bervariasi baik untuk setiap individu maupun pada setiap organ tubuh. Mekanisme pengaturan kolesterol di dalam tubuh hewan pada dasarnya tergantung pada sintesis kolesterol dan ekskresi steroid dalam feses. Beberapa faktor yang mempengaruhi kolesterol serum adalah keturunan, umur, musim, diet serat, dan obat tertentu (Menge et al., 1974).

Kolesterol disintesis dalam tubuh, terutama oleh sel-sel hati, usus halus dan kelenjar adrenal, meskipun seluruh sel-sel mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sterol. Hasil sintesa kolesterol ditransport di antara jaringan yang terikat pada lipoprotein, terutama kilomikron dan lipoprotein dengan densitas rendah. Semua jaringan tubuh mempunyai kemampuan untuk mensintesis kolesterol, tetapi paling aktif adalah hati. Sintesis kolesterol terdiri dari tiga tingkat yaitu : 1) Pengubahan asetil CoA menjadi senyawa antara tioester berkarbon enam, 3-hidroksi-3-metilglutaril CoA (HMGCoA), 2) Pengubahan HMGCoA menjadi skualen, suatu hidrokarbon asiklik yang mengandung 30 atom karbon, dan 3) Pengubahan skualen menjadi siklik dan diubah menjadi sterol dengan 27 atom karbon yaitu kolesterol (Ismadi, 1993).

Lipoprotein

Lipid dalam darah berbentuk kompleks makromolekul yang disebut lipoprotein. Kompleks ini terdiri atas gabungan fraksi lipid dengan protein khusus yang disebut apoprotein. Pembentukannya dalam rangka membuat lipid seolah-olah dapat larut dalam air plasma, sebab seperti diketahui lipid umumnya bersifat hidrofobik. Fraksi lipid yang paling sulit larut seperti trigliserida ditempatkan sebagai inti lipoprotein. Fraksi yang bersifat bipolar adalah kolesterol bebas, kolesterol ester, fosfolipid dan asam lemak bebas (Mayes et al., 1992).

Lipoprotein digunakan sebagai sarana khusus untuk mengangkut kolesterol dalam darah ke bagian tubuh yang membutuhkan (Brunzell et al., 1978). Lipoprotein adalah suatu partikel dengan struktur tertentu yang mempunyai susunan sebagai berikut :

14 1. Bagian inti di tengah sel, merupakan bagian non polar yang terdiri dari

trigliserida dan ester kolesterol.

2. Bagian permukaan, merupakan lapisan polar terdiri dari kolesterol bebas, fosfolipid, dan apoprotein (Brunzell et al., 1978).

Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006), lipoprotein dalam plasma darah digolongkan dalam beberapa fraksi, yaitu :

1. Kilomikron (chylomicron) : komponen utamanya adalah trigliserida, tipe lipoprotein densitas rendah yang berasal dari absorpsi lemak intestine post-prandial. Peranan utamanya adalah transport lipid eksogen, trigliserida dan membawa sebagian kolesterol.

2. VLDL(Very LowDensity Lipoprotein) : yang disintesa dalam hati dan kaya akan trigliserida endogen. Dalam darah akan mengalami degradasi menjadi LDL. Fungsi utama sebagai pembawa trigliserida yang dibawa dari hati ke jaringan-jaringan lain dalam tubuh, terutama ke jaringan-jaringan adiposa yang disimpan.

3. LDL (Low Density Lipoprotein) : mengandung banyak ester kolesterol. LDL merupakan hasil degradasi dari VLDL melalui IDL. Kompleks inilah yang mampu melakukan penetrasi ke dalam sel melalui reseptor khusus di permukaan sel. LDL merupakan lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar untuk disebarkan ke seluruh endotel jaringan perifer pembuluh nadi.

4. HDL (High Density Lipoprotein) : mempunyai densitas yang tinggi karena kandungan apoproteinnya yang tinggi. Fungsinya mengambil kolesterol dari jaringan perifer untuk dibawa ke hati guna mengalami degradasi dan kolesterol hasil pemecahannya diekskresi melalui empedu.

Menurut Miller (1979) fungsi lipoprotein plasma adalah sebagai alat pengangkut trigliserida dan kolesterol dalam darah. Sistem pengangkutan lemak dalam darah dapat dibagi dalam dua jalur yaitu :

1. Jalur pengangkutan lemak eksogen yang mengangkut kolesterol dan trigliserida dari usus.

2. Jalur pengangkutan lemak endogen yang terdiri atas: a) pengangkutan kolesterol dan trigliserida dari hati ke jaringan perifer, b) pengangkutan kolesterol dari jaringan perifer ke hati.

15 Swenson (1984) menyatakan bahwa kolesterol darah ayam petelur berkisar 125-200 mg/dl darah. Penelitian Salim (2001) menunjukkan kandungan kolesterol ayam buras yang diberi ransum komersial, rataannya adalah 130,16 mg/dl. Berdasarkan hasil penelitian Nyoman (1997), kadar kolesterol darah ayam broiler berkisar antara 149-193 mg/dl. Kadar HDL dan LDL ayam broiler berturut-turut yaitu 73,00-100,30 mg/dl dan 38,50-66,30 mg/dl.

METODE

Dokumen terkait