• Tidak ada hasil yang ditemukan

Papan Partikel Tanpa Perekat

Semakin tingginya perhatian masyarakat internasional terhadap permasalahan lingkungan membuat para peneliti dan ahli di bidang teknologi papan komposit terus berusaha mengembangkan produk yang lebih ramah lingkungan. Masalah lingkungan yang potensial timbul pada proses produksi papan komposit adalah keberadaan perekat dalam proses pembuatannya. Sebagaimana diketahui, perekat yang paling populer digunakan dewasa ini adalah perekat-perekat berbasis formaldehida. Li (2002) menyatakan bahwa 96,6% perekat yang digunakan dalam industri kayu dewasa ini merupakan perekat yang berbasis formaldehida. Formaldehida ini memiliki sejumlah kelemahan karena selama proses pembuatan maupun penggunaannya, senyawa ini dapat terlepas ke udara dan membahayakan kesehatan. Emisi formaldehida potensial sebagai penyebab kanker, menyebabkan iritasi pada mata dan kerongkongan dan gangguan pernapasan (Roffael 1993). Selain itu perekat-perekat berbasis formaldehida umumnya menggunakan bahan baku turunan minyak bumi. Fakta ini menunjukkan bahwa keberlangsungan suplai bahan baku perekat tersebut tidak akan lestari atau tidak terbarukan.

Dengan demikian maka dibutuhkan inovasi teknologi untuk mencari teknologi alternatif yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Salah satu metode yang dikembangkan adalah teknologi papan partikel tanpa menggunakan perekat atau binderless particleboard. Beberapa metode yang digunakan dalam pengembangan teknologi papan partikel dan papan serat tanpa perekat adalah dengan metode steam explosion dalam penyiapan serat, perlakuan pendahuluan dengan enzim, injeksi uap panas, serta metode oksidasi.

Penelitian pembuatan papan serat dari sawit dengan metode steam explosion dilakukan oleh Laemsak dan Okuma (2000). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sifat-sifat mekanis papan berhubungan secara linear dengan peningkatan kerapatan. Dari hasil-hasil yang disajikan, tampak bahwa hanya dengan kerapatan 0,9 g cm-3 atau lebih, papan serat tanpa perekat yang dihasilkan mampu mencapai keteguhan patah dan keteguhan rekat yang cukup baik yaitu masing-masing

13 sebesar 100 kgf cm-2 dan 3,2 kgf cm-2 untuk papan dengan tebal 12 mm dan 78 kgf cm-2 serta 7,8 kgf cm-2 untuk papan dengan tebal 6 mm. Disimpulkan bahwa steam explosion dengan tekanan 25 kgf cm-2 selama 5 menit menghasilkan papan dengan sifat-sifat terbaik. Dijelaskan juga bahwa ikatan antar serat terjadi akibat adanya hubungan antara lignin dan furfural.

Penelitian penggunaan bambu sebagai bahan baku pembuatan papan serat tanpa perekat dengan menggunakan metode steam explosion juga telah dilakukan oleh Nugroho (2000). Dalam penelitian tersebut, digunakan bambu moso (Phyllostachys pubescens Mazel) dari Jepang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa papan serat yang memiliki keteguhan patah dan keteguhan rekat yang dapat memenuhi JIS A 5908 tipe 8 adalah papan dengan kerapatan 0,8 kgf cm-3 atau lebih, sementara papan yang memiliki modulus elastisitas yang memenuhi standar yang sama hanya papan yang memiliki kerapatan minimal 0,9 kgf cm-3.

Penelitan dengan metode steam explosion juga dilakukan oleh Kungsuwan

et al. (2005) yang menggunakan kayu bekas pakai sebagai bahan baku. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa proses steam explosion menyebabkan sebagian lignin terekspos di permukaan serat dan ia menyimpulkan bahwa keberadaan lignin di permukaan serat inilah yang berperan dalam ikatan antar serat. Meskipun demikian, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Widsten et al. (2004), telah menyimpulkan bahwa reaktivitas lignin pada permukaan kayu bukan hanya sekadar diakibatkan oleh banyaknya lignin pada permukaan serat setelah perlakuan ekstraksi dengan aseton, tetapi kemungkinan disebabkan oleh jumlah lignin berberat molekul rendah.

Dalam penelitian lain, Okuda et al. (2005) mengemukakan bahwa pelunakan lignin akibat kempa panas, ikatan kimia yang dibentuk oleh asam karboksilat bebas dan peningkatan struktur lignin terkondensasi berperan penting dalam mekanisme ikatan antar serat. Ia menyimpulkan bahwa suhu kempa juga berperan penting dalam proses terjadinya ikatan.

Pembuatan papan partikel dengan perlakuan pendahuluan berupa aktivasi secara enzimatik diuraikan oleh Kharazipour & Hutterman (1998). Dalam penelitian tersebut dijelaskan tentang pengaruh pH selama proses inkubasi yang diberi perlakuan berupa pemberian laccase dan peroksidase serta hidrogen

14 peroksida. Hasil yang dilaporkan menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan membutuhkan pH optimal yang berbeda. Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa nilai internal bond papan serat kerapatan sedang (MDF) yang dibuat cukup tinggi, yaitu masing-masing sebesar 11 kgf cm-2 dan 6,8 kgf cm-2. Faktor-faktor kunci yang perlu diperhatikan dalam aktivasi menggunakan enzim adalah pH, jumlah enzim, suhu, dan waktu inkubasi. Waktu inkubasi adalah masalah krusial karena ia harus cukup lama untuk memastikan bahwa lignin telah diaktivasi, namun di sisi lain tidak boleh terlalu lama agar lignin pada permukaan serat tidak terdegradasi.

Tinjauan pemanfaatan perlakuan enzimatik juga telah dilakukan oleh Widsten & Kandelbauer (2008a; 2008b) untuk memperbaiki ikatan dalam papan serat. Meskipun disimpulkan bahwa perlakuan pendahuluan sangat baik untuk memperbaiki kualitas ikatan pada papan serat, namun untuk papan partikel masih dibutuhkan tambahan lignin teknis untuk dapat menghasilkan papan partikel dengan kualitas yang baik. Dijelaskan juga bahwa untuk aplikasi di industri, teknologi tersebut masih menemui sejumlah kendala seperti harga enzim yang mahal, kebutuhan investasi untuk mengubah sistem produksi, serta adanya tambahan lignin teknis pada pembuatan papan partikel yang membuatnya tidak praktis. Masalah-masalah tersebut tampaknya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Pengembangan papan partikel dengan menggunakan injeksi uap panas dikembangkan secara intensif oleh Kawai et al. (2002), Xu et al. (2003), Widyorini et al. (2005a), Widyorini et al. (2005b), Widyorini et al. (2005c), Xu et al. (2005), Xu et al. (2006). Hasil penelitian Kawai et al. (2002) menunjukkan bahwa penggunaan metode injeksi uap panas dalam pembuatan papan partikel tanpa perekat dari core kenaf menghasilkan papan partikel dengan nilai keteguhan rekat yang cukup tinggi pada kerapatan papan 0,65 g cm-3 atau lebih. Disimpulkan bahwa sifat-sifat mekanis papan akan meningkat seiring dengan peningkatan kerapatannya. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan bahwa tekanan injeksi uap panas yang lebih tinggi (6 atm vs 10 atm) menghasilkan papan dengan sifat-sifat fisik dan mekanis yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Xu et al. (2003) menunjukkan hal yang sama dalam hal hubungan kerapatan

15 papan dengan sifat-sifat mekanisnya. Disimpulkan juga bahwa waktu injeksi uap panas yang lebih lama (20 menit) akan menghasilkan papan dengan stabilitas dimensi yang lebih baik dibandingkan dengan waktu injeksi uap panas yang lebih singkat (6 menit).

Usaha untuk meningkatkan sifat mekanis papan partikel dari core kenaf juga telah dilakukan oleh Xu et al. (2005). Dalam penelitian tersebut ditambahkan serat dari bagian luar batang kenaf sebagai pelapis permukaan papan. Metode yang digunakan terdiri atas dua macam yaitu proses satu tahap di mana serat kenaf pada bagian permukaan dan partikel dari core kenaf untuk core papan dikempa langsung secara bersamaan, sementara proses dua tahap dilakukan dengan terlebih dahulu membuat papan partikel dari core kenaf kemudian tahap selanjutnya dilapisi dengan serat kenaf. Disimpulkan bahwa proses satu dan dua tahap menghasilkan papan dengan sifat-sifat yang relatif sama kecuali dalam hal pengembangan tebal. Namun demikian ia merekomendasikan proses pembuatan dua tahap untuk menghindari resiko delaminasi, khususnya pada papan dengan kerapatan di atas 0,45 g cm-3.

Keberhasilan aplikasi teknologi injeksi uap panas dalam pembuatan papan partikel tanpa perekat dengan menggunakan core kenaf juga telah diadopsi oleh Widyorini et al. (2005a) pada pembuatan papan partikel dengan menggunakan bagas sebagai bahan baku. Berbeda dengan yang ditemukan oleh Xu et al. (2003), waktu injeksi uap panas yang lama (15 menit) menyebabkan delaminasi papan, khususnya papan dengan kerapatan 0,6 g cm-3. Meskipun demikian, seperti halnya pada core kenaf, teknologi injeksi uap panas untuk pembuatan papan partikel tanpa perekat juga menghasilkan papan dengan sifat fisik dan mekanis yang lebih baik dibandingkan metode konvensional dengan kempa panas.

Untuk memahami proses kimia yang terjadi dalam pembuatan papan partikel dari core kenaf dengan metode injeksi uap panas, maka Widyorini et al. (2005b), melakukan penelitian perubahan kimia partikel kenaf akibat perlakuan injeksi uap panas. Ia berpendapat bahwa perlakuan injeksi uap panas akan menyebabkan degradasi komponen kimia partikel yang menyebabkannya menjadi lebih termoplastis. Komponen kimia partikel yang termoplastis tersebut membuatnya mudah terdeformasi membentuk matriks yang stabil. Selama proses

16 injeksi uap panas, komponen kimia akan terdegradasi, berpolimerisasi, dan membentuk jaringan yang stabil dalam waktu yang singkat. Selanjutnya untuk menemukan kondisi proses injeksi uap panasyang optimal, maka Widyorini et al. (2005c) telah melakukan penelitian mengenai topik tersebut dan ia menyimpulkan bahwa tekanan 0,8-1 MPa selama 10-15 menit adalah kondisi yang sesuai untuk menghasilkan papan partikel dengan ikatan yang optimal.

Usaha lebih lanjut untuk memanfaatkan core kenaf telah dilakukan oleh

Xu et al. (2006). Dalam penelitiannya ia membuat papan serat tanpa perekat

dengan menggunakan metode yang lebih sederhana yaitu kempa panas. Ia menyimpulkan bahwa kondisi pembuatan serat kenaf akan menentukan kualitas papan serat yang dihasilkan. Secara umum kenaf yang dimasak dengan tekanan tinggi dan waktu yang lebih lama akan menghasilkan papan dengan kekuatan rekat yang lebih baik.

Hasil-hasil penelitian pemanfaatan core kenaf untuk pembuatan papan partikel dengan metode injeksi uap panas mengindikasikan bahwa peranan hemiselulosa sangat penting dalam teknik ini. Oleh karena itu aplikasi teknologi tersebut kemungkinan akan lebih menarik pada bahan-bahan yang kaya akan hemiselulosa.

Usaha pembuatan papan partikel tanpa perekat juga dikembangkan dengan metode lain yaitu melalui oksidasi partikel atau serat kayu dengan menggunakan hidrogen peroksida dan katalis. Dibandingkan dengan perlakuan enzimatik maupun sistem injeksi uap panas, penelitian dengan metode ini tampak tidak intensif dilakukan. Penelitian oksidasi dengan hidrogen peroksida dan katalis dilakukan oleh Karlsson & Westermark (2002). Dalam penelitian tersebut, ia

menggunakan partikel kayu jenis norway spruce dan scot pine. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa oksidasi partikel kayu dengan peroksida untuk membuat papan partikel dengan ketebalan 4,2 mm menghasilkan papan dengan nilai keteguhan rekat yang cukup tinggi yaitu 14 kgf cm-2 pada kadar peroksida 20%. Namun demikian, ia menyatakan bahwa papan partikel dengan kerapatan di bawah 0,8 g cm-3 sulit menghasilkan sifat-sifat fisik dan mekanis yang baik.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Widsten et al. (2003) yang membuat papan serat tanpa perekat melalui proses kering dengan menggunakan hidrogen

17 peroksida dan fero sulfat sebagai oksidator. Menurut Nguyen (1982), penggunaan hidrogen peroksida dan fero sulfat akan menghasilkan hidroksil radikal yang sangat elektrofilik dan cenderung menyerang lignin yang kaya elektron, meskipun karbohidrat juga akan dipengaruhi. Reaksi antara hidroksil radikal dengan lignin tersebut akan menghasilkan phenoksi radikal, hidroksilasi dan demetoksilasi. Mekanisme reaksi antara hidroksil radikal dengan lignin disajikan pada Gambar 3.

Sumber: Widsten (2002)

Gambar 3. Reaksi antara unit aromatik lignin dengan hidroksil radikal; (A) formasi phenoksi radikal oleh abstraksi unit phenolik lignin, (B) formasi phenoksi radikal melalui demetoksilasi, (C) hidroksilasi cincin aromatik. Tahap pertama reaksi adalah penambahan hidroksil radikal pada unit aromatik

Meskipun phenoksi radikal diharapkan membentuk ikatan pada permukaan serat ketika diberi perlakuan kempa panas, namun pada kenyataannya ikatan yang terbentuk dapat bermacam-macam. Hal tersebut diakibatkan oleh kompleksitas permukaan serat yang teroksidasi. Pada saat serat kayu yang teraktivasi dikempa panas, tipe-tipe ikatan kovalen dan ikatan sekunder akan dibentuk (Widsten 2002). Beberapa dari mekanisme ikatan tersebut disajikan pada Gambar 4.

Uraian di atas menjelaskan mekanisme ikatan yang akan terbentuk dalam pembuatan papan serat tanpa perekat melalui oksidasi serat kayu dengan hidrogen peroksida. Meskipun demikian, efektivitas aplikasi sistem ini pada pembuatan papan partikel masih diragukan (Widsten P 7 Januari 2009, komunikasi pribadi). Untuk mengkonfirmasi ikatan yang berperan dalam pembuatan papan partikel

18 tanpa perekat, maka Pantze et al. (2008) telah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa ikatan ester yang merupakan ikatan kovalen adalah salah satu tipe ikatan yang berperan penting dalam pembentukan ikatan antar partikel kayu yang dioksidasi.

Sumber: Widsten et al. (2002).

Gambar 4. Proses ikatan yang mungkin terjadi melalui interaksi permukaan kayu yang teroksidasi. (A) penggabungan radikal phenoksi, (B) Esterifikasi, (C) Ikatan hidrogen, (D) Kondensasi lignin dan Furfural.

Potensi dan Karakteristik Beberapa Jenis Bahan Baku

Keunggulan utama papan partikel dibandingkan dengan produk kayu solid yaitu dapat dibuat dari berbagai jenis bahan baku berkualitas rendah. Karakter demikian sangat penting mengingat semakin terbatasnya suplai kayu untuk beragam kebutuhan dan semakin tingginya permintaan produk-produk kayu. Hasil penelitian Massijaya (2003) menunjukkan bahwa konsumsi kayu dalam negeri telah mencapai 80 juta m³ pada tahun 2002, padahal pasokan kayu, khususnya dari hutan alam tidak sampai 10 juta m3 tahun-1. Bahkan, berdasarkan data yang dirilis oleh Departemen Kehutanan (2009), suplai kayu dari hutan alam hanya mencapai

19 4,6 juta m3 pada tahun 2008. Oleh karena itu diperlukan pengembangan pemanfaatan bahan baku alternatif.

Sumber bahan baku alternatif dapat berasal dari jenis-jenis kayu yang ada di hutan rakyat ataupun bahan berlignoselulosa bukan kayu. Data yang dirilis oleh Departemen Kehutanan (2009) menunjukkan bahwa suplai kayu dari hutan rakyat pada tahun 2008 mencapai 2 juta m3. Angka tersebut berarti hampir separuh dari jumlah kayu yang disuplai dari hutan alam. Angka realisasi ini sesungguhnya masih di bawah potensi kayu hutan rakyat secara nasional yang diperkirakan mencapai 9,3 juta m3 tahun-1 dengan jenis-jenis kayu seperti sengon, jati, mahoni, akasia, dan pinus (Suhariyanto 2003). Perkiraan potensi tersebut diperoleh dari luas hutan rakyat yang telah mencapai 1.265.460 ha. pada saat itu.

Selain kayu dari hutan rakyat, potensi bahan baku lainnya untuk papan partikel adalah bambu. Meskipun data secara pasti belum diketahui, namun di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 ha. hutan bambu (Muin et al. 2006). Meskipun luasan tersebut tampak kecil, namun pertumbuhan bambu yang sangat cepat membuatnya memiliki kemampuan menghasilkan biomassa dalam jumlah yang sangat besar. Hutan bambu dapat menghasilkan biomassa tujuh kali lebih banyak daripada pepohonan (PT. Bambu Nusantara), sementara menurut Nugroho (2000), bambu menghasilkan biomassa empat sampai lima kali lipat dibandingkan jenis kayu daun lebar. Bambu mencapai tinggi dan tebal maksimal dalam waktu yang sangat singkat. Cepatnya pertumbuhan bambu tersebut membuatnya telah tercatat dalam Guinness Book of Record (1999) di mana beberapa jenis bambu termasuk dalam kelompok tumbuhan yang pertumbuhannya paling cepat. Beberapa jenis di antaranya bahkan tumbuh luar biasa dengan pertambahan tinggi 91 cm hari-1.

Karakteristik Bambu

Bambu merupakan ‘perennial grasses’ yang termasuk dalam subfamili Bambusoidae, famili Poaceae atau Graminiae atau suku rumput-rumputan dengan batang berkayu dan beruas-ruas. Terdapat sekitar 1200-1300 jenis bambu yang ada di dunia (Widjaja 2001), dan sekitar 100 jenis di antaranya memiliki nilai ekonomi yang penting (Diver 2001). Data yang dikemukakan Maoyi and Bay

20 (2004) menunjukkan semakin banyaknya jenis bambu yang dikenal, yaitu di Asia saja telah ditemukan lebih dari 1200 jenis.

Pemanfaatan bambu sebagai bahan baku industri sering dijumpai pada produk-produk konstruksi, tangga, pagar, kontainer, mebel, dan beberapa produk kerajinan tangan. Selain pemanfaatan bambu yang umum tersebut, maka untuk menggunakan bambu secara lebih tepat guna dan lebih luas, beberapa penelitian tentang karakteristik dan sifat-sifat dasarnya juga telah dilaksanakan.

Hasil penelitian Londono et al. (2002) menunjukkan bahwa batang bambu

jenis Guadua angustifolia dari Kolumbia terdiri atas 40% serat, 51% parenkim,

dan 9% jaringan vascular. Hasil penelitian Latif et al. (1990) pada jenis Bambusa vulgaris, Bambusa bluemeana, dan Gigantochloa scortechinii berumur 1–3 tahun menunjukkan bahwa ukuran vaskular bundle (rasio radial : tangensial) dan panjang serat berkorelasi positif terhadap modulus elastisitas dan tegangan pada batas proporsi. Ia menjelaskan bahwa bambu yang memiliki serat yang lebih panjang akan lebih kaku jika ukuran vascular bundle-nya lebih besar. Adapun hubungan antara panjang serat dengan keteguhan geser adalah negatif. Tebal dinding serat berkorelasi positif dengan keteguhan tekan dan modulus elastisitas akan tetapi berkorelasi negatif dengan keteguhan patah.

Li (2004) dan Li et al. (2004) melaporkan bahwa sifat mekanis bambu meningkat dengan peningkatan umurnya. Penelitian yang ia lakukan lebih lanjut menunjukkan bahwa konsentrasi vascular bundle meningkat dari bagian dalam ke luar (Li et al. 2007). Dalam penelitian yang sama ditemukan pula bahwa terdapat peningkatan berat jenis yang signifikan antara bambu berumur 1 tahun dan 3 tahun yang disebabkan oleh peningkatan jumlah sel dalam vascular bundle dan penebalan sekunder dinding sel. Akan tetapi meskipun kandungan holoselulosa dan lignin klason juga meningkat pada umur 3 tahun namun nilainya relatif kecil. Demikian pula halnya dengan kandungan ekstraktif yang juga meningkat dari umur 1 tahun ke umur 3 tahun

Hasil penelitian tentang sifat kimia bambu dikemukakan oleh Gusmailina dan Suwardi (1988) yang menyatakan bahwa bambu memiliki kadar selulosa yang berkisar 42,4%-53,6%, kadar lignin berkisar 19,8%-26,6%, kadar abu 1,24%-3,77%, kadar silika 0,10%-1,28%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air dingin)

21 4,5%-9,9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air panas) 5,3%-11,8% dan kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzena) 0,9%-6,9%. Penelitian Li et al. (2007) menunjukkan bahwa bambu Phyllostachys pubescens mengalami peningkatan kandungan holoselulosa dan α-selulosa dari pangkal ke ujung batang, akan tetapi kandungan lignin (klason) dan kadar abunya tidak berbeda nyata. Lapisan luar batang memiliki kadar holoselulosa, α-selulosa, dan lignin (Klason) yang paling tinggi dibandingkan bagian lainnya dan memiliki kadar ekstraktif dan kadar abu yang paling rendah. Di sisi lain, kandungan silika epidermis tiga kali lebih tinggi dari lapisan paling dalam bambu.

Selanjutnya, penelitian tentang sifat fisik bambu dikemukakan oleh Dransfield & Widjaja (1995) yang menyatakan bahwa kadar air bambu meningkat dari bawah ke atas dari umur 1–3 tahun, tetapi kemudian menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim hujan jika dibandingkan dengan pada musim kemarau. Hadjib dan Karnasudirdja (1986) mengemukakan bahwa beberapa hal yang memengaruhi sifat fisik dan mekanis bambu adalah umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau ruas), posisi radial dari luar sampai ke bagian dalam dan kadar air bambu. Berbeda dengan kayu yang mengalami perubahan dimensi setelah kadar air menurun di bawah titik jenuh serat, dinding sel dan diameter bambu mengalami penyusutan segera setelah bambu kehilangan air (Tewari 1992). Bambu yang berumur lebih tua (3 tahun) memiliki stabilitas dimensi yang

lebih tinggi dibandingkan bambu yang lebih muda (1 tahun) (Latif et al. 1993).

Hasil penelitian Lee et al. (1994) menunjukkan bahwa penyusutan pada arah radial jauh lebih besar, yaitu dua kali lipat dibandingkan dengan arah tangensial, sementara penyusutan pada arah longitudinalnya relatif dapat diabaikan.

Berdasarkan pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik dan sifat-sifat bambu, maka dewasa ini penggunaan bambu telah berkembang semakin luas di antaranya sebagai bahan baku produk panel. Panel bambu multi fungsi yang dibuat dengan cara menggabungkan produk bilik rakyat dengan bambu bulat menggunakan perekat telah dikembangkan oleh Purwito (2005). Jenis panel bambu tersebut dapat digunakan sebagai komponen dinding, lantai, balok, penutup atap, dan pencetak beton. Noermalicha (2005) telah mengembangkan

22 suatu rancang bangun laminasi lengkungan bambu sebagai sebuah fenomena desain berbasis teknologi menggunakan bambu betung, bambu tali, dan bambu andong. Pemanfaatan bambu sebagai bahan baku papan semen telah dilakukan oleh Suhasman et al. (2008a). Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa penggunaan bambu pada berbagai kelas umur (bambu muda, dewasa, dan tua) ternyata menghasilkan papan semen dengan kualitas yang relatif sama.

Selain itu, usaha perbaikan sifat-sifat bambu juga terus dilakukan oleh Hadi et al. (2006, 2007, dan 2008) yang meneliti upaya perbaikan sifat-sifat fisik dan mekanis bambu melalui modifikasi kimia maupun impregnasi dengan monomer tertentu menemukan adanya perbaikan sifat fisik dan mekanis bambu melalui berbagai perlakuan seperti penggunaan metil metakrilat maupun stirena. Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Suhasman et al. (2008b) yang meneliti perubahan sifat-sifat fisik dan mekanis dari tiga jenis bambu dengan perlakuan stirena, di mana berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh perbaikan sifat-sifat fisik bambu.

Karakteristik Kayu Sengon

Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) merupakan salah satu dari anggota genus Paraserianthes yang terdiri atas empat jenis dan termasuk dalam famili leguminosae (Mandang & Pandit 2002). Struktur anatomi secara makroskopik menunjukkan bahwa kayu tersebut tidak memiliki batas yang jelas antara kayu gubal dengan kayu teras. Kayu teras umumnya berwarna putih sampai merah jambu muda atau cokelat muda kemerahan dengan sedikit gambar atau bahkan tidak ada gambar sama sekali. Serat biasanya berpadu, kadang-kadang lurus, tekstur tergolong kategori sedang. Lingkaran tumbuh tidak jelas, pori dapat dilihat dengan mata telanjang. Parenkim termasuk parathrakea dan jarang. Secara mikroskopik struktur anatomi kayu sengon memiliki pori tersebar 1–3 mm

-2

, soliter, kebanyakan sirkular sampai oval dengan diameter tangensial rata-rata 160-340 m, perforasi sederhana, tidak terdapat tylosis. Parenkim sedikit, parathracheal vasisentric dan tersebar. Jari-jari 6-12 mm-1, sempit, kebanyakan uniseriat dan yang lainnya biseriat (Soerianegara & Lemmens, 1994). Menurut Massijaya (1992), berat jenis kayu sengon adalah 0,28. Berat jenis ini sesuai

23 dengan kisaran berat jenis kayu yang dikemukakan oleh Mandang dan Pandit (2002) yang berkisar antara 0,24 sampai 0,49 dengan rata-rata 0,33. Kayu sengon termasuk kelas kuat IV – V dan kelas awet IV – V.

Penelitian tentang sifat fisik dan morfologis serta sifat kimia kayu sengon telah dilakukan oleh Massijaya (1992). Data hasil penelitian tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fisis dan morfologis serta sifat kimia kayu sengon

Dokumen terkait