• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Tanaman Jagung

Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1-3 meter, ada varietas yang mencapai ketinggian hampir 6m. Tinggi tanaman biasanya diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan (Wikipedia, 2007).

Sistem perakaran jagung terdiri dari akar primer, akar lateral, akar horizontal dan akar udara. Akar lateral adalah akar yang tumbuh memanjang ke samping, akar udara adalah akar yang tumbuh dari bulu-bulu di atas permukaan tanah, sedangkan akar primer adalah akar yang pertama kali mincul pada saat biji berkecambah dan tumbuh ke bawah (Najiyati dan Danarti, 1994).

Defoliasi

Pembuangan sejumlah daun atau defoliasi pada tanaman jagung dari banyak penelitian pada umumnya menunjukkan penurunan hasil. Lebih banyak daun yang dibuang dan lebih cepat dilakukan menyebabkan penurunan yang lebih besar (Ismail, Saefuddin dan Zulfica, 1975).

Menurut Kiesselbach (1945) bahwa daun bagian atas dari tanaman jagung setelah pembentukan tassel adalah jauh lebih efisien dalam fotosintesa daripada daun bagian bawah. Pembuangan daun bagian atas sepanjang pembentukan tassel menyebabkan penurunan produksi (Kiesselbach, 1945 dalam Ismail, Saefuddin dan Zulfica, 1975).

Jika tanaman mengalami pemangkasan batang maupun defoliasi, maka luas organ fotosintesanya berkurang. Besarnya pengaruh pemangkasan batang maupun defoliasi terhadap hasil panen tergantung pada luasnya daun yang hilang, waktu pemangkasan maupun defoliasi dan posisi daun pada tajuk (Eik dan Hanway, 1966 dalam Mimbar dan Susylowati, 1995).

Daun bagi tanaman merupakan salah satu organ asimilatory penting bagi tanaman. Keberadaan daun pada tanaman ditinjau dari lama tumbuh maupun jumlah daun akan memberikan kontribusi terhadap jumlah asimilat yang dihasilkan. Oleh karena itu berkurangnya jumlah daun akibat pengaruh defoliasi akan memberikan pengaruh terhadap asimilat yang dihasilkan dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap perkembangan dan hasil suatu tanaman. Asimilat bagi tanaman merupakan salah satu sumber energi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Suminarti, 2000).

Mimbar dan Susylowati (1995) melaporkan bahwa pemangkasan bunga jantan dan defoliasi seluruh daun kecuali empat daun di atas tongkol dan satu daun pada tongkol memberikan hasil panen jagung yang tinggi.

Di beberapa daerah sentra produksi jagung, pemangkasan bagian atas atau pucuk tanaman yang dilaksanakan sekitar 24 hari setelah sebagian tongkol jagung sudah berambut ternyata tidak mempengaruhi produksi jagung. Namun di lain pihak hasil pemangkasan pucuk tanaman tersebut dapat digunakan sebagai makanan ternak sehingga memberi nilai tambah bagi petani (Adisarwanto dan Widyastuti, 2000).

Egharevba, Horrocks dan Zuber (1976) melaporkan bahwa pemangkasan jagung yang lebih awal akan memberikan hasil panen yang lebih sedikit.

Gadner, Pearce dan Mitchel (1985) mengatakan agar dapat memanfaatkan radiasi matahari secara efisien, tanaman harus dapat menyerap sebagian besar radiasi matahari secara efisien, tanaman harus dapat menyerap sebagian besar radiasi oleh jaringan daun. Untuk meningkatkan penyerapan cahaya dan menghindari kompetisi antar tajuk tanaman, serta meminimalkan persaingan dalam memperebutkan unsur hara, tindak agronomi defoliasi disertai dengan pemupukan yang memadai adalah suatu alternatif.

Potensi Tanah Salin

Tanaman jagung merupakan tanaman yang memiliki adaptasi luas baik ditinjau dari aspek tanah maupun iklim. Dari segi tanah, tanaman jagung mampu tumbuh pada kisaran pH 4-7,5. Sedangkan dari segi iklim, tanaman tropis ini masih mampu tumbuh pada daerah antara 0°-50° LU hingga 0º-40º LS.

Dengan melihat syarat tumbuh ini tanaman jagung masih mampu tumbuh pada tanah salin yang pada umumnya berada di tepi laut dimana intrusi air laut menyebabkan kandungan garam tanah menjadi tinggi.

Rawa pasang surut adalah rawa yang genangannya dipengaruhi pasang surut air laut (Santun, 2004). Pemanfaatan lahan ini dalam upaya pengembangan pertanian berpeluang cukup besar.

Luas lahan rawa di Indonesia sebesar 33.4 juta hektar yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya, 20,1 juta hektar merupakan lahan pasang surut (Hidayat, 2002).

Potensi lainnya dari tanah salin ini adalah kandungan air laut yang terdiri dari bermacam-macam unsur baik yang berasal dari dasar laut sendiri maupun dari daratan. Kadar rata-rata garam-garam terpenting alam air laut disajikan pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Kadar Rata-rata Garam-garam Terpenting dalam Air Laut (Taiz dan Zeiger, 1991).

Jenis Garam Kepekatan (g.l-1) Jenis ion ++ Kepekatan (mM)

NaCl 28.14 Na+ 457.0 MgCl 3.81 Cl- 536.0 MgSO4 1.75 Mg2+ 56.0 CaSO4 1.28 SO42- 28.0 K2SO4 0.82 K+ 9.7 CaCO3 0.12 Ca2+ 10 KBr 0.10 HCO3- 2.3

Total Garam Terlarut (g.l-1) 32.0 Potensial Osmotik (MPa) -2.4

Masalah utama lahan salin selain kandungan garam yang tinggi terutama Na+ dan Cl- juga sistem drainase tanah yang jelek (Adiwiganda, 1985).

Drainase yang jelek akan menghalangi pembasuhan garam-garam lapisan tanah yang lebih bawah. Penggenangan yang berulang-ulang oleh air laut mengakibatkan penumpukan garam-garam pada zona perakaran dan secara berkala akan membuat tanah menjadi semi rawa dimana dapat tertimbun sejumlah senyawa atau unsur beracun seperti gas-gas NO dan CO yang dapat menjadi toksik bagi tanaman (Manurung, 1987).

Buruknya drainase dapat diatasi dengan perbaikan sistem irigasi (Adiwiganda, 1985). Namun air bergaram merupakan faktor yang paling bertanggung jawab terhadap peningkatan salinitas tanah.

Upaya pendekatan lain untuk memanfaatkan lahan salin adalah dengan mencari tanaman yang toleran terhadap garam (Ichman et al., 1984).

Pengaruh Salinitas

Secara umum terdapat 3 kendala utama dalam pertumbuhan tanaman sebagai akibat cekaman salinitas (Sopandie, 2003), yaitu : 1) defisit air/dehidrasi air yang disebabkan oleh rendahnya potensial air dari media tumbuh, 2) ketidakseimbangan hara yang disebabkan oleh pengaruh dari ion salin (Na+ dan Cl- ) dengan hara esensial lain terutama kation Ca, NO3 dan fosfat baik dalam proses penyerapan maupun dalam translokasi, dan 3) toksisitas spesifik karena tingginya akumulasi Na+ dan Cl- di dalam sitoplasma.

Pada umumnya pengaruh salinitas adalah terjadinya abnormalitas metabolisme karena menurunnya potensial air di daun sehingga kandungan air menurun ; Livingston dan de Jong (1988) melaporkan bahwa daun gandum yang diberi larutan garam pada potensial air -4, 67 MPa, temperatur 5ºC kandungan airnya menurun sampai 12 jam setelah aplikasi, selanjutnya stabil saat mencapai tingkat yang sangat rendah.

Meningkatnya salinitas telah dilaporkan pula menurunkan aktivitas sejumlah enzim dalam jaringan tanaman, seperti enzim glutamin sintetase (GS), glutamat sintetase (NADH-GOGAT), glutamat dehidrogenase (NADH –GDH), nitrat reduktase (NR) dan NADP-isositrat dehidrogenase (Khattack, dkk, 1991).

Kandungan ion-ion spesifik seperti Na, Cl, Ca, Fe, Mg, Cu dan Zn baik di jaringan daun maupun di jaringan batang telah dijumpai meningkat dengan meningkatnya NaCl (Yang, Newton dan Miller, 1980), tetapi kandungan P dan K di dalam jaringan tanaman terutama daun menurun, sedangkan kandungan N cenderung meningkat (Sulaiman, 1991).

Mekanisme Toleransi Salinitas

Mekanisme toleransi tanaman terhadap salinitas meliputi mekanisme morfologi dan fisiologi. Mekanisme morfologi dilakukan dengan cara pengurangan jumlah daun untuk memperkecil kehilangan air dari tanaman dan melakukan pengubahan struktur khusus, yaitu penebalan dinding sel untuk mempertahankan keseimbangan air tanaman (Sopandie, 2003).

Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi yang dapat diturunkan dan unik dapat ditemukan pada halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi alami pada rawa pantai dan rawa asin. Salinitas menyebabkan perubahan struktur yang memperbaiki keseimbangan air tanaman sehingga potensial air dalam tanaman dapat mempertahankan turgor dan seluruh proses biokimia untuk pertumbuhan dan aktivitas yang normal. Perubahan struktur mencakup ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil persatuan luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada permukaan daun, serta lignifikasi akar yang lebih awal (Harjadi dan Sudirman, 1988).

Ukuran daun yang lebih kecil sangat penting untuk mempertahankan turgor. Sedangkan lignifikasi akar diperlukan untuk penyesuaian osmose yang sangat penting untuk memelihara turgor yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas normal.

Respon perubahan struktural dapat beragam pada berbagai jenis tanaman dan tipe salinitas. Salinitas klorida umumnya menambah sukulensi pada banyak spesies tanaman. Sukulensi terjadi dengan meningkatnya konsentrasi SO4. Dengan adaptasi struktural ini konduksi air akan berkurang dan mungkin akan menurunkan kehilangan air pada transpirasi. Namun pertumbuhan akar yang terekspos pada lingkungan salin biasanya kurang terpengaruh dibandingkan dengan pertumbuhan tajuk atau buah. Hal ini diduga terjadi akibat perbaikan keseimbangan dengan mempertahankan kemampuan menyerap air.

Mekanisme fisiologi meliputi pengaturan potensial osmotik larutan sel (osmoregulator). Sistem kompartmentasi dan ekskresi, serta integritas membran sel (osmoregulator), sistem kompartmensi dan ekskresi, serta integritas akar (Sopandie, 2003).

Pemanfaatan lahan yang mempunyai salinitas tinggi dapat dilakukan melalui penggunaan varietas tahan dan cara budidaya jagung sehingga dapat menunjang program ekstensifikasi (Gedoan, Indra Dewa dan Syukur, 2004).

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait