• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi tanaman kelapa sawit menurut Allorerung et al. (2010) adalah Kingdom: Plantae, Divisi: Embryophyta siphonagama, Kelas: Angiospermae, Ordo: Monocotyledonae, Famili: Arecaceae (Dahulu Palmae), Sub-famili: Cocoideae, Genus: Elaeis, Spesies: Elaeis guineensis Jacq.

Sebagaimana tanaman monokotil, kelapa sawit memiliki akar serabut yang terdiri dari akar utama, akar sekunder, akar tersier, dan akar rambut. Akar utama (primer) merupakan akar yang pertumbuhannya lurus vertikal ke bawah, searah pusat bumi. Fungsi utama akar primer adalah menunjang batang agar batang tetap berdiri kokoh. Akar sekunder dan akar tersier biasanya menyebar secara horizontal hingga radius yang sama panjang daun, pada zontal hingga radius yang sama dengan panjang daun, pada kedalaman kurang dari 150 cm, bahkan sebagian muncul ke permukaan tanah. fungsi utama akar sekunder adalah menjangkau unsur hara dan air dalam tanah (Hadi, 2004).

Batang kelapa sawit tumbuh tegak (phototrophy) dibalut oleh pangkal pelepah daun. Batang berbentuk silinderis dan mempunyai diameter 45 - 60 cm pada tanaman dewasa. Bagian bawah umumnya lebih besar (gemuk) di sebut bongkol batang atau bowl. Sampai tanaman berumur 3 tahun batang belum terlihat karena masih terbungkus kelapa yang belum tunas. Tergantung dari varietas dan kondisi lingkungannya yaitu pupuk yang diberikan, iklim, kerapatan tanam; kecepatan tumbuh pertahun rata-rata 20 - 60 cm. Tinggi tanaman juga sangat

Daun terdiri atas tangkai daun (petiole) yang apada kedua tepinya terdapat dua baris duri (spines). Tangkai daun bersambung dengan tulang daun utama (rachis), yang jauh lebih panjang dari tangkaiaa dan pada kiri-kanannya terdapat anak-anak daun (pinna; pinnata). Daun pertama yang keluar pada stadium benih berbentuk lanset (lanceolate), beberapa minggu kemudian berbentuk daun seperti bulu (pinnate) atau menyirip. Misalnya pada bibit berumur lima bulan susunan daun terdiri atas 5 lanset, 4 berbelah dua dan 10 berbentuk buluh . susunan daun kelapa mirip dengan kelapa (nyiur), yaitu membentuk daun menyirip (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).

Susunan bunga terdiri dari karangan bunga yang terdiri dari bunga jantan (tepung sari) dan bunga betina (putik). Namun, ada juga tanaman kelapa sawit yang hanya memproduksi bunga jantan. Umumnya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam dua tandan yang terpisah. Namun, adakalanya bunga jantan dan betina terdapat dalam tandan yang sama. Bunga jantan selalu masak lebih dahulu pada bunga betina. Karena itu, penyerbukannya sendiri antara bunga jantan dan betina dalam satu tandan sangat jarang terjadi. Masa reseptif (masa putik dapat menerima tepung sari) adalah 3 x 24 jam. Setelah itu, putik akan berwarna hitam dan mengering (Sastrosayono, 2003).

Hasil utama perkebunan kelapa sawit adalah buah kelapa sawit. Selanjutnya, buah kelapa sawit di proses (ekstraksi) di pabrik penggiling (mill) sehingga menghasilkan ekstrak, berupa minyak kelapa sawit yang mentah atau CPO (Crude Palm Oil) dan minyak kelapa sawit KPO (Kernel Palm Oil). Tandan bunga betina yang telah menjadi buah disebut tandan buah segar (TBS). Setiap TBS pada tanaman dewasa umumnya terdiri dari 1.000 - 2.000 buah. Setiap buah

berdiameter 1,5 - 3 cm. Berat setiap butir buah adalah 10 – 30 g, sehingga satu TBS pada tanaman dewasa beratnya mencapai 10- 40 kg. Pada umur 3 tahun atau saat tanaman berbuah untuk pertama kali, berat TBS adalah 3 – 6 kg (Soehardjo, 1999).

Pada umumnya tanaman kelapa sawit menghasilkan jenis buah nigrescens atau virescens (Hartley, 1988). Buah nigrescens mengakumulasi antosianin dalam jumlah yang besar sehingga menyebabkan warnanya ungu gelap hingga hitam pada bagian ujung buah dan kuning pada bagian dasar saat belum matang, dengan perubahan warna yang sedikit dari bagian ujungnya saat pematangan. Buah virescens berwarna hijau saat belum matang, dan menjadi oranye karena akumulasi karotenoid dan degradasi klorofil yang berhubungan dengan pematangan buah (Sambanthamurthi et al., 2000).

Dalam kondisi utuh (tidak pecah), biji kelapa sawit bersifat dorman sampai sekitar enam bulan. Kondisi dorman ini dapat dipatahkan, antara lain dengan pemanasan biji (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).

Syarat Tumbuh

Curah hujan yang ideal berkisar 2.000 – 3.500 mm/th yang merata sepanjang tahun dengan minimal 100 mm/bulan. Di luar kisaran tersebut tanaman akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan berproduksi. Curah hujan antara 1700 – 2.500 mm/th dan 3.500 – 4.000 mm/th menyebabkan tanaman akan mengalami sedikit hambatan. Di lokasi dengan curah hujan kurang dari 1.450 mm/th dan lebih dari 5.000 mm/th sudah tidak sesuai untuk sawit. Suhu

sangat erat kaitannya dengan tinggi tempat di atas permukaan laut (dpl). Tinggi tempat optimal adalah 200 m dpl, dan disarankan tidak lebih dari 400 m dpl, meskipun di beberapa daerah, seperti di Sumatera Utara, dijumpai pertanaman sawit yang cukup baik hingga ketinggian 500 m dpl. Di daerah yang banyak berawan menyebabkan intensitas matahari yang diterima daun sawit menjadi lebih rendah. Sebaliknya meskipun curah hujan relatif tinggi tetapi lebih banyak terjadi sore hingga malam dan perawanan kurang, maka intensitas matahari bias cukup untuk mendukung fotosintesis yang tinggi. Makin tinggi tempat, suhu makin rendah dan biasanya disertai perawanan yang lebih lama atau curah hujan yang tinggi dan makin menjauh dari garis khatulistiwa penyinaran matahari makin berkurang. Kelapa sawit memerlukan lama penyinaran antara 5 dan 12 jam/hari (Allorerung et al., 2010).

Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai

dan muara sungai. Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5,0 – 5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase

(beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 15o (Kiswanto et al., 2008).

PCR (Polymerase Chain Reaction)

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik sederhana yang digunakan untuk memperbanyak molekul DNA secara invitro di dalam laboratorium. Hasil perbanyakan molekul DNA sangat banyak, karena jumlah perbanyakan molekul DNA bertambah secara eksponensial. Oleh sebab itu, ribuan

molekul DNA dapat dibuat dalam waktu yang singkat. PCR dapat diaplikasikan dalam analisis genetik, seperti: diagnosis medis, dan forensik. PCR merupakan metode yang sangat sensitif sehingga dari satu pasang molekul DNA dapat diperbanyak menjadi jutaan kali lipat setelah 30 - 40 siklus PCR (Mullis, 1990).

PCR banyak digunakan untuk banyak keperluan karena memiliki beberapa keuntungan diantaranya cepat, memerlukan DNA dalam jumlah yang sedikit, dan dapat dilakukan pada tahap dini dengan teknik isolasi DNA sederhana. Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan dalam reaksi PCR adalah sekuen primer, dNTP, enzim polymerase, dan suhu annealing (Graham, 1997).

Kemajuan teknologi telah memungkinkan para ilmuan untuk meniru urutan nukleotida suatu gen dengan cara melakukan amplifikasi DNA dengan teknik reaksi berantai polimerase (PCR). Amplifikasi DNA dilakukan secara in vitro (di dalam tabung) dengan menggunakan: (1) enzim DNA polymerase; (2) dNTP (dinukleotida triphosphat; (3) oligonukleotida primer; dan (4) molekul DNA cetakan (DNA template) (Yuwono, 2006).

Reaksi PCR secara umum dilakukan dalam empat tahap. Molekul DNA rantai ganda akan diurai menjadi molekul tunggal dengan pemanasan. Primer akan menempel pada molekul DNA rantai tunggal pada tempat yang sudah ditentukan. Selanjutnya enzim polimerase akan memperpanjang primer dengan basa nitrogen yang tersedia. Tahapan tersebut merupakan cara untuk menggandakan molekul DNA yang diinginkan (Mullis, 1990). Tahap peleburan (melting) atau denaturasi merupakan tahap awal reaksi yang berlangsung pada suhu tinggi, yaitu 94 – 96 °C

(sampai 5 menit) untuk memastikan semua utas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi template bagi primer. Tahap kedua adalah penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA template yang komplementer uruta basanya. Hal ini dilakukan pada suhu antara 45 – 60°C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Tahap ketiga adalah pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA-polimerase yang dipakai. Proses ini biasanya menggunakan Taq-polimerase dan dilakukan pada suhu 72°C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit. Setelah tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Tahap 4 menunjukkan perkembangan yang terjadi pada siklus-siklus selanjutnya. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa utas baru menjadi template bagi primer lain dan akhirnya terdapat utas DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial. Tahapan amplifikasi DNA dapat dilihat pada Gambar 1.

Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidak terjadi 100 %, hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah polimerase DNA terbatas, dan kemungkinan terjadinya reannealing untai target. Ukuran primer yang pendek kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan menyebabkan berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh juga pada efektifitas dan efisiensi proses PCR (Handoyo dan Rudiretna, 2000).

Genetik Beta Karoten

Didapati nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi sebesar 84,8% untuk karakter kandungan beta karoten pada tanaman kelapa sawit. Hal ini mengindikasikan adanya peran efek gen aditif. Dapat diambil kesimpulan bahwa faktor genetik untuk karakter kandungan beta karoten lebih berperan dari pada faktor lingkungan (Putri, 2010).

Heritabilitas beta karoten pada gandum durum (Santra et al., 2005) dan sorghum (Reddy et al., 2005) bervariasi mulai 67 hingga 99%. Nilai duga heritabilitas pada selada dan jagung lebih rendah namun tergolong cukup tinggi yaitu 50,81%. Studi sebelumnya telah disepakati bahwa faktor lingkungan berpengaruh sangat kecil sekali terhadap karakter karotenoid.

Moehs et al. (2001) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa dalam lintasan metabolisme pembentukan kandungan beta karoten pada buah, yang berperan adalah enzim kunci yaitu lycopene β-cyclase, yang diduga dikendalikan oleh satu gen (single gen) yaitu gen lycopene β-cyclase, sehingga nilai duga

varietas tanaman tomat beta karoten rendah dengan varietas beta karoten tinggi telah diteliti. Gen tunggal yang dinyatakan sebagai gen B, didapatkan untuk pewarisan beta karoten berdasarkan analisis populasi F1, F2, dan Fa dari persilangan tersebut. Gen ini diyakini berperan sebagai lycopene untuk membentuk beta karoten. Gen-gen yang lain diasumsikan fungsinya sebagai pengubah komponen yang lebih sederhana dari beta karoten seperti zeta karoten dan phytofluene menjadi lycopene pada saat gen tersebut ada dalam keadaan heterozigot atau homozigot dominan (Lincoln, 1950).

Rasid et al., (2003) yang melakukan penelitian di Malaysia berhasil mendapatkan fragmen sekuen DNA sebesar 675 bp melalui RT-PCR yang menyandi lycopene β-cyclase dari jaringan mesokarp kelapa sawit umur 17 minggu. Disebutkan di dalam penelitannya bahwa dugaan koding sekuen lycopene

β-cyclase kelapa sawit memiliki kesamaan 80% dengan lycopene β-cyclase dari

tanaman Narcisus pseudonarcissus, Sandersonia aurantiaca, Citrus sinensis dan Capsicum annuum yang berperan dalam pembentukan beta karoten. Penelitian amplifikasi RT-PCR oleh Rasid et al. (2008) pada E. oleifera telah berhasil melakukan kloning koding sekuen partial DNA untuk phytoene synthase gene.

Rasid et al. (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa secara

keseluruhan pola ekpresi gen target lycopene β-cyclase (lcyb) dan

lycopene ε-cyclase (lcye) mengindikasikan beberapa tingkatan regulasi diferensial

dari gen-gen ini dipengaruhi oleh stadia perkembangan maupun tipe jaringan tanaman kelapa sawit. Dalam jaringan mesokarp, lcyb terkespresi cukup tinggi pada mesokarp muda (5 minggu setelah anthesis (MSA)). Tingkatan ekspresi lalu menurun pada jaringan mesokarp berumur 7, 9, 11, 13, 15 MSA dan meningkat

lagi pada 17 dan 19 MSA hingga hampir menyamai tingkatan ekspresi gen pada 5 MSA. Sebaliknya tingkat ekspresi gen lcye rendah pada jaringan mesokarp di semua stadia.

Primer Spesifik

Primer berfungsi sebagai penginisiasi reaksi polimerase DNA secara in vitro. Tanpa primer reaksi polimerase DNA tidak akan terjadi meskipun enzim dan komponen lainnya sedah tersedia. Selain itu, primer bertanggung jawab untuk mengenali dan menandai fragmen sampel DNA (template DNA) yang akan diamplifikasi (Zein dan Prawiradilaga, 2013).

Beberapa teknik analisis keanekaragaman genetik seperti RAPD, RFLP, dan DGGE membutuhkan amplifikasi daerah genom tertentu dari suatu organisme. Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus) untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri dari 10 - 20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin harus spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut. Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang primer, komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik (Suryanto, 2003).

ujung 3’-OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses annealing biasanya dilakukan selama 1 - 2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikan menjadi 72oC selam 1,5 menit. Pada suhu ini DNA polimerase akan melakukan proses polimerase rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerase, rantai DNA akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA yang baru hasil polimerase selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikan suhu inkubasi menjadi 95oC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerase berikutnya (Yuwono, 2006).

Memilih primer yang sesuai mungkin adalah faktor tunggal yang paling penting mempengaruhi polymerase chain reaction (PCR). Amplifikasi spesifik dari target yang diharapkan membutuhkan primer yang tidak dapat cocok dengan target lainnya pada beberapa orientasi dan dalam jarak tertentu yang memungkinkan terjadinya proses amplifikasi yang tidak diinginkan. Proses mendesain primer spesifik pada umumnya melibatkan dua tahap. Pertama, daerah apit primer yang diinginkan dapat diciptakan baik secara manual ataupun menggunakan software tool; lalu dicari database sekuen nukleotida yang sesuai menggunakan alat seperti BLAST untuk mengamati target-target potensial (Ye et al., 2012)

PENDAHULUAN

Dokumen terkait