• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman

Tanaman rosela diklasifikasikan dengan kingdom Plantae, divisio Spermatophyta, subdivisio Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Malvales,

famili Malvaceae, genus Hibiscus, species Hibiscus sabdariffa L. (Mardiah, dkk., 2009).

Batang merupakan herba tahunan yang bisa mencapai ketinggian 0,5-3 meter. Bentuk batang bulat, tegak, berkayu, banyak percabangan dan berwarna merah.Pada batang melekat daun yang tersusun berseling, warnanya hijau

berbentuk bulat telur dengan pertulangan menjari dan tepi beringgit (Widyanto dan Nelistya, 2008).

Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan menjari dan letaknya berseling dan pinggiran daun bergerigi dan daun berwarna hijau berbentuk hijau (bulat telur) dengan ujung daun yang meruncing atau bercangap. Daun memiliki tulang-tulang menjari warna merah dan tepi beringgit dengan banyak kelenjar pada permukaan bawahnya daun letaknya berselang-seling (spiral) mengelilingi batang tanaman yang terdiri dari tangkai daun, helai daun dan tidak mempunyai upih (vagina) dan panjang daun dapat mencapai 6-15 cm dan lebar 5-8 cm (Wijayanti, 2010).

Bunga rosela yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga tunggal, artinya pada setiap tangkai hanya terdapat satu bunga. Bunga ini mempunyai 8-11 helai kelopak yang berbulu, panjangnya 1cm, pangkalnya saling berlekatan dan berwarna merah dan ukuran bunga cukup besar, diameter ketika sedang mekar lebih dari 12,5 cm dan memiliki dasar bunga pendek. Kelopak bunga ini

sering dianggap sebagai bunga oleh masyarakat. Bagian inilah yang sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman. Mahkota bunga berbentuk corong, terdiri dari 5 helaian, panjangnya 3-5 cm. Tangkai sari merupakan tempat melekatnya kumpulan benang sari berukuran pendek dan tebal, panjangnya sekitar 5 mm dan lebar sekitar 5 mm. Putiknya berbentuk tabung, berwarna kuning atau merah, bunga rosela bersifat hermaprodit (mempunyai bunga jantan dan bunga betina) sehingga mampu menyerbuk sendiri (Mardiah, dkk., 2009).

Buah berbentuk kerucut, berambut, terbagi menjadi 5 ruang, berwarna merah. Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih muda, biji berwarna putih dan setelah tua berubah menjadi abu- abu (Maryani dan Kristina, 2005).

Syarat Tumbuh Iklim

Tanaman rosela tumbuh optimal di daerah dengan ketinggian kurang dari 600 meter diatas permukaan laut dan semakin tinggi dari permukaan laut pertumbuhan rosela akan terganggu. Rosela dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis dengan suhu rata- rata bulanan 24-320C namun rosela masih dapat toleran pada suhu kisaran 10-360C untuk menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, rosela memerlukan waktu 4-5 bulan dengan suhu malam tidak kurang dari 210C (Mardiah, dkk., 2009).

Tanaman rosela sangat dipengaruhi oleh penyinaran matahari. Pada periode penyinaran matahari, kurang dari 12,5 jam maka tanaman cepat mengakhiri pertumbuhan vegetatif dan beralih ke generatif. Sebaliknya saat penyinaran matahari lebih dari 12,5 jam maka pertumbuhan vegetatif terus berlangsung

sampai optimal. Penanaman rosela di Kalimantan Selatan yang sesuai pada bulan Oktober sampai dengan November dimana pada bulan tersebut bertepatan dengan turunnya hujan dan peredaran matahari mendekati khatulistiwa (hari panjang) (Santoso, 2006).

Jika curah hujan tidak mencukupi dapat diatasi dengan pengairan yang baik. Periode kering dibutuhkan rosela untuk pembungaan dan produksi biji sedangkan hujan atau kelembaban yang tinggi selama masa panen dan pengeringan dapat menurunkan kualitas kelopak bunga dan dapat menurunkan produksi. Curah hujan rata-rata yang dibutuhkan rosela 140-270 mm per bulan dengan kelembaban udara di atas 70% jika curah tidak mencukupi bisa diatasi dengan pengairan yang baik. Periode kering dibutuhkan rosela untuk pembungaan dan produksi biji (Maryani dan Kristina, 2005).

Rosela merupakan tanaman berhari pendek (untuk induksi pembungaan memerlukan panjang hari waktu kurang dari 12 jam). Bila ditanam pada bulan-bulan foto periode pendek akan cepat berbunga dan pendek. Untuk keperluan diambil bunganya, waktu yang tepat adalah bulan April-Mei. Rosela toleran terhadap sedikit naungan dan dapat tumbuh di green house, tetapi pertumbuhan terbaik ditunjukkan pada tanaman yang ditanam di lapangan pada kondisi cahaya penuh. Waktu tanam juga dapat mempengaruhi kandungan kimia kelopak rosela. Rosela yang ditanam pada bulan Mei menghasilkan antosianin, protein dan karbohidrat total lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditanam pada bulan April atau Juni (Wijayanti, 2010).

Tanah

Berbagai jenis tanah dapat ditanami rosela, terutama struktur yang dalam, bertekstur ringan dan berdrainase baik.Rosela toleran terhadap tanah masam dan agak alkalin, tetapi tidak cocok ditanam di tanah salin atau berkadar garam tinggi. Kemasaman tanah (pH) optimum untuk rosela adalah 5,5-7 dan masih dapat toleran pada pH 4,5-8,5. Selain itu, rosela tidak tahan terhadap genangan air (Mardiah, dkk., 2009).

Struktur tanah yang baik untuk budidaya tanaman rosela adalah yang berstruktur remah atau gembur dan tanah mudah mengikat air. Tanah yang baik

untuk tanaman adalah tanah yang banyak mengandung bahan organik dan banyak organisme tanah yang dapat menguraikan bahan organik

(Widyanto dan Nelistya, 2008). Periode Panen

Panen merupakan pekerjaan akhir dari budidaya tanaman tetapi merupakan awal dari pekerjaan pasca panen yaitu melakukan persiapan untuk penyimpanan dan pemasaran dan yang dituju dalam pemanenan adalah mengumpulkan komoditas dari lahan penanaman pada taraf kematangan yang tepat dengan kerusakan yang minimal yang dilakukan secepat mungkin dengan biaya yang rendah. Untuk mendapatkan hasil panen yang baik hal utama yang perlu diperhatikan pada pemanenan yaitu menentukan periode panen yang tepat (Mardiah, dkk., 2009).

Beberapa tanaman lain juga memiliki periode panen dan umur panen fisiologis seperti halnya rosela yakni jambu mete, makadamia, kemiri, melinjo dan asam. Periode panen pada jambu mete menunjukkan bahwa masak

fisiologisnya benih pada umur 37 hari setelah antesis hari setelah tanam atau 41 hari setelah inisiasi bunga,tanaman makadamia masak fisiologisnya umur 147 hari setelah berbunga, kemiri benih mencapai masak fisiologis umur 38 minggu setelah antesis, melinjo masak fisiologisnya pada umur 160-180 hari setelah

antesis, tanaman asam umur 9 bulan setelah terjadi pembuahan (Hasanah dan Sukarman, 2003).

Pemanenan benih ketumbar periode kedua dan ketiga lebih baik dibandingkan periode pertama, hal ini diduga hasil panen periode kedua dan ketiga mengalami fase reproduktif yang lebih dominan dibandingkan fase vegetatif. Akibatnya tanaman lebih banyak menyimpan hasil fotosintesis untuk perkembangan buah daripada untuk pertumbuhan vegetatif setelah dilakukan pemanenan periode pertama, persaingan antar buah yang tersisa pada tanaman menjadi lebih kecil sehingga perkembangan embrio dan pembentukan cadangan makanan dapat menjadi lebih baik (Hasanah, 2002).

Pemetikan rosela lebih mudah dilakukan pada pagi hari daripada sorehari. Hal ini disebabkan karena kadar air tanaman masih tinggi sehingga tangkai pada kelopak masih segar. Pemanenan rosela dilakukan dengan menggunakan alat karena kelopak sulit dipotong dan untuk menghindari kerusakan setelah satu kali dipanen, buah atau kapsul yang berisi biji dipisahkan dari kelopak. Biasanya biji akan dikeringkan untuk dijadikan benih untuk ditanam kembali dan juga dapat pula dijadikan sebagai produk minuman sedangkan kelopak rosela dapat diolah menjadi berbagai macam produk makanan dan minuman yang menyehatkan (Wijayanti, 2010).

Masak fisiologis benih merupakan saat panen benih yang tepat dan pada saat tersebut benih mempunyai bobot kering dan vigor yang maksimum. Penundaan waktu panen sering berakibat latten terhadap mutu benih sehingga mutu benih kurang optimal (Hasanah, 2002).

Viabilitas Benih

Mutu benih yang baik merupakan dasar produktivitas pertanian yang lebih baik. Kondisi sebelum, selama dan sesudah panen menentukan mutu benih walaupun mutu benih yang dihasilkan baik, penanganan yang kurang baik akan menyebabkan mutu langsung menurun (Hasanah, 2002).

Viabilitas potensial adalah viabilitas benih pada kondisi optimum yang secara potensial mampu menghasilkan tanaman normal. Viabilitas potensial

ditetapkan dengan menggunakan tolak ukur daya berkecambah benih (Sadjad, 1994).

Berdasarkan pada kondisi lingkungan pengujian viabilitas benih dapat dikelompokkan ke dalam viabilitas benih dalam kondisi lingkungan sesuai (favourable) dan viabilitas benih dalam kondisi lingkungan tidak sesuai (unfavourable). Pengujian viabilitas benih dalam kondisi lingkungan tidak sesuai termasuk kedalam pengujian vigor benih. Perlakuan dengan kondisi lingkungan sesuai sebelum benih dikecambahkan tergolong untuk menduga parameter vigor daya simpan benih sedangkan jika kondisi lingkungan tidak sesuai diberikan selama pengecambahan benih maka tergolong dalam pengujian untuk menduga parameter vigor kekuatan tumbuh benih (Mugnisjah dkk.,1994).

Benih yang dipanen sebelum tingkat fisiologisnya tercapai tidak mempunyai viabilitas tinggi bahkan pada beberapa jenis tanaman, benih yang

demikian tidak akan dapat berkecambah. Diduga pada tingkat tersebut benih memiliki cadangan makanan yang cukup dan pembentukan embrio sebelum sempurna (Sutopo, 1998).

Viabilitas benih atau daya hidup benih dicerminkan oleh dua informasi masing – masing daya kecambah dan kekuatan tumbuh dapat ditunjukkan melalui gejala metabolisme benih dan atau gejala pertumbuhan. Uji viabilitas benih dapat dilakukan secara tak langsung, misalnya dengan mengukur gejala-gejala metabolisme ataupun secara langsung dengan mengamati dan membandingkan unsure-unsur tumbuh penting dari benih dalam suatu priode tertentu. Struktur pertumbuhan yang dinilai terdiri dari akar, batang, daun dan daun lembaga. Harga tengah antara kedua nilai pengujian di laboratorium tersebuat akan menjadi nilai tumbuh di lapangan (Sutopo, 1998).

Mutu fisiologik adalah mutu benih yang ditentukan oleh daya hidup (viabilitas) benih sehingga mampu menghasilkan tanaman yang normal. Klasifikasi mutu benih didasarkan pada kinerja fisik seperti kebersihan, kesegaran butiran serta keutuhan keadaan kulit benih tanpa ada luka atau retak-retak. Kondisi lingkungan baik sebelum maupun sesudah masak fisiologik dapat mempengaruhi mutu benih. Pada saat masak fisiologik, benih memiliki berat kering maksimum serta viabilitas dan vigor yang paling tinggi. Pada benih jambu mete menunjukkan bahwa benih yang dipanen pada saat masak fisiologis (42 hari setelah antesis) mempunyai daya berkecambah 100% namun apabila benih dipanen 3 hari setelah masak fisiologis, daya berkecambah menurun dengan cepat sampai 46,60% (Hasanah, 2002).

Vigor Benih

Secara umum vigor diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh normal pada lingkungan yang sub optimal.Vigor benih dicerminkan oleh dua informasi tentang viabilitas, masing-masing kekuatan tumbuh dan daya simpan benih. Kedua nilai fisiologis ini menempatkan benih pada kemungkinan keadaan biofisik lapangan produksi sub optimum atau sesudah benih melampaui suatu periode simpan lama (Sutopo, 1998).

Vigor disini dihubungkan dengan kekuatan benih atau kekuatan kecambah, kemampuan benih untuk menghasilkan perakaran dan pucuk yang kuat pada kondisi yang tidak menguntungkan dan bebas mikroorganisme. Kehilangan vigor dapat dianggap sebagai suatu tahap perantara dari kehidupan benihnya,

yaitu yang terjadi antara awal dan akhir proses kemunduran (kematian) (Justice dan Louis, 1994).

Vigor benih maksimum dan berat kering benih maksimum merupakan

sebagian dari ciri-ciri tercapainya masak fisiologis. Selanjutnya Copeland dan Mc Donald (2001) menyatakan bahwa benih yang telah masak

fisiologis telah mempunyai cadangan makanan sempurna sehingga dapat menunjang pertumbuhan kecambah. Tingkat kemasakan benih dapat dicirikan dari tingkat kemasakan buahnya (Murniati, dkk., 2008).

Kemunduran benih yang menyebabkan menurunnya vigor dan viabilitas benih merupakan awal kegagalan dalam kegiatan pertanian sehingga harus dicegah agar tidak mempengaruhi produktivitas tanaman. Menurut Sadjad (1972) kemunduran benih adalah mundurnya mutu fisiologis benih yang dapat

menimbulkan perubahan menyeluruh di dalam benih, baik fisik, fisiologi maupun kimiawi yang mengakibatkan menurunnya viabilitas benih (Hartati,dkk., 1999).

Benih mencapai kematangan fisiologis sewaktu terikat dengan tanaman induknya. Pada saat kematangan fisiologis itu benih memiliki viabilitas dan vigor benih yang maksimal demikian pula dengan berat keringnya. Pertumbuhan tanaman induk yang baik merupakan syarat yang mantap sewaktu kematangan benihnya. Hal inilah yang menjamin tingginya viabilitas dan vigor benih tersebut selanjutnya penyakit dan hama, kekurangan air serta kekurangan makanan, baik pada tanaman induk sewaktu pertumbuhan dan perkembangannya atau pada waktu pematangan fisik benih tersebut, faktor yang demikian berpengaruh terhadap tingginya viabilitas dan vigor benih (Kartasapoetra, 2003).

Benih dari kebanyakan jenis tanaman menjadi masak sewaktu bobot keringnya mencapai maksimum. Hampir semua benih secara fisiologis masak pada saat tersebut namun ada juga beberapa pengecualian. Vigor benih tertinggi tercapai pada saat benih masak secara fisiologis. Sejak saat itu benih perlahan-lahan kehilangan vigor dan akhirnya mati (Justice dan Bass, 1994).

Perkecambahan Benih

Menurut fisiologiwan benih, perkecambahan benih adalah berkembangnya struktur penting dari embrio yang ditandai dengan munculnya struktur tersebut dengan menembus kulit benih, sedangkan menurut teknologiwan benih, perkecambahan benih adalah muncul dan berkembangnya struktur penting dari embrio serta menunjukkan kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman normal pada keadaan alam yang menguntungkan. Dari definisi tersebut tampak bahwa kondisi lingkungan tidak hanya cukup untuk pertumbuhan awal dari benih,

tetapi juga untuk perkembangan kecambah selanjutnya. Penentuan kecambah yang normal dilakukan selama batas periode pengujian perkecambahan menurut International Seed Testing Association (ISTA) dan Associationof Official Seed Analysis (AOSA) yang berbeda-beda untuk masing-masing spesies (Sutopo, 1985).

Daya berkecambah benih erat hubungannya dengan tingkat kematangan benih. Daya berkecambah benih akan meningkat dengan bertambah matangnya benih dan mencapai perkecambahan maksimum jauh sebelum masak fisiologis atau bobot kering maksimum tercapai sampai masak fisiologis tercapai, perkecambahan maksimum (100 %) ini konstan, tetapi sesudah itu akan menurun dengan kecepatan yang sesuai dengan keadaan yang tidak menguntungkan di lapangan dan semakin keadaan di lapangan tidak menguntungkan maka semakin cepat penurunan daya kecambah benih (Tim Pengampu, 2011).

Daya kecambah menggambarkan kemampuan benih untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman pada kondisi optimum, sedangkan bobot kering kecambah normal merupakan tolak ukur viabilitas potensial yang menggambarkan banyaknya cadangan makanan yang tersedia sehingga bila dikondisikan pada lingkungan yang sesuai mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Bobot kering kecambah yang tinggi dapat menggambarkan pemanfaatan cadangan makanan dalam benih efisien (Berlin, dkk., 1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan secara umum ada dua faktor yang dapat mempengaruhi perkecambahan suatu benih, yaitu faktor dari benih itu sendiri dan faktor lingkungan. Faktor dari benih itu sendiri meliputi (1)

tingkat kematangan, (2) ukuran, dan (3) dormansi, sedangkan faktor lingkungan meliputi (a) air, (b) suhu, (c) udara, dan (d) cahaya (Hendrawati, 1993).

Kecambah normal merupakan kecambah yang memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi tanaman normal jika ditanam dengan kondisi lingkungan yang mendukung, memiliki hipokotil, epikotil, yang berkembang baik, tanpa kerusakan terutama pada jaringan pendukung dan bagi kotiledon plumula normal (Kuswanto, 1997).

Penurunan daya kecambah dipengaruhi oleh penurunan kadar air benih. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air benih berkolerasi positif dengan daya berkecambah benih. Benih sebagai organisme hidup masih melakukan proses respirasi yang menghasilkan panas, air dan CO2 dan persamaan respirasi tersebut sebagai berikut C6H12O6 +6O2 = 6CO2 + 6 H2O + 673 kg kalori semakin tinggi kadar air benih respirasi berjalan semakin intensif sehingga panas, air dan CO2 yang dihasilkan semakin tinggi pula. Panas dan uap air yang dihasilkan dibebaskan sebagai produk respirasi. Kondisi demikian memberikan keadaan sekeliling yang baik bagi jasad renik untuk berkembang dan menambah laju kemunduran benih. Harington (1972) menyatakan bahwa pada kadar air 18-20 % terjadi pemanasan akibat pernafasan yang berjalan relatif cepat, antara 12-14 % jamur akan tumbuh baik pada permukaan atau di dalam benih, kadar air 4-8 % penyimpanan secara tertutup akan lebih baik (Hendrawati, 1993).

PENDAHULUAN

Dokumen terkait