• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi botani tanaman Kelapa Sawit adalah divisio Spermatophyta, dengan subdivisio Pteropsida, Kelapa Sawit tergolong dalam kelas Angiospermae, dan subkelas Monocotyledoneae, ordo dari Kelapa Sawit adalah Cocoidae, Famili dari Kelapa Sawit adalah Palmae, dan genusnya adalah Elaeis, serta spesies dari Kelapa Sawit adalah Elaeis guinensis (Hadi, 2004).

Akar tanaman Kelapa Sawit berfungsi sebagai penunjang struktur batang, menyerap air dan unsur hara dari dalam tanah, serta sebagai salah satu alat respirasi. Sistem perakaran Kelapa Sawit merupakan sistem akar serabut yang terdiri atas akar primer, sekunder, tersier, dan kuartener. Akar primer panjangnya dapat mencapai 15 cm dan mampu bertahan hingga 6 bulan. Akar primer bercabang membentuk akar sekunder dengan diameter 2 - 4 mm yang mengarah ke atas mendekati permukaan tanah. Akar sekunder bercabang membentuk akar tersier yang berdiameter 1 - 2 mm dan membentuk akar kuartener yang berada di dekat pemukaan tanah dengan panjang 2 cm dan berdiameter 0.5 mm. Akar tersier dan kuartener inilah yang paling aktif mengambil air dan hara lain dari dalam tanah. Pada tanaman di lapangan akar-akar tersebut berada 2-2,5 m dari pangkal pokok atau diluar piringan. Akar primer yang keluar dari pangkal batang (bulb) mencapai puluhan ribu banyaknya dengan diameter 5-10 mm. Akar primer ini kebawah tanah hanya mencapai kedalaman 1,5 m saja (Lubis, 2008).

Jumlah pelepah daun tanaman Kelapa Sawit bergantung pada umur tanaman. Pada tanaman dewasa dapat dijumpai 40 - 56 pelepah. Setiap pelepah terdiri atas 100 – 160 pasang anak daun. Pada pelepah daun terbentuk dua baris

duri pada kedua sisinya dengan duri yang sangat tajam. Pelepah daun Kelapa Sawit berpenampang melintang menyerupai bentuk segi tiga, dengan luas penampang 100-112 cm2, dengan ketebalan dinding (lapisan epidermis: sklereid dan silica) dapat mencapai hingga 4-6 mm. Parenkim pelepah daun memiliki dimensi serat sebagai berikut : panjang antara 70-150 cm, diameter serat 0,08- 0,8 mm (Intara dan Dyah, 2012).

Daun Kelapa Sawit merupakan daun majemuk dan mempunyai filotaksi 1/8 yang memutar ke kanan ataupun ke kiri, tetapi sebagian besar daun memutar

ke kanan. Stomata umumnya terletak pada permukaan anak daun saja (Lubis, 1992). Buah Kelapa Sawit terdiri atas beberapa bagian, yaitu eksokarp,

perikarp, mesokarp, endokarp, dan kernel. Mesokarp yang masak mengandung 45 - 50 % minyak dan berwarna merah kuning karena mengandung karoten.

Kelapa Sawit merupakan tanaman monoceous atau berumah satu, artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon, tetapi tidak pada tandan yang sama. Walaupun demikian, kadang-kadang dijumpai juga bunga jantan dan bunga betina pada satu tandan (hermafrodit). Setiap ketiak daun hanya dapat menghasilkan satu infloresen (bunga majemuk). Bunga Kelapa Sawit merupakan bunga majemuk yang terdiri dari kumpulan spikelet dan tersusun dalam infloresen yang berbentuk spiral. Setelah tanam Kelapa Sawit mulai berbunga pada umur 12-14 bulan, tetapi bunga yang menjadi tandan buah ekonomis dipanen pada umur 2,5 tahun. Bunga betina atau bunga jantan keluar dari ketiak pelepah daun (Lubis, 2008).

Tandan bunga dibungkus oleh seludang bunga. Seludang bunga akan pecah 15-30 hari sebelum anthesis. Tandan bunga betina terdiri atas 100-200

spikelet dan tiap spikelet memiliki 15-20 bunga betina. Akan tetapi, tidak semua bunga berhasil membentuk buah terutama buah bagian dalam, sehingga tandan tanaman dewasa dapat diperoleh 600-2.000 buah (tergantung besarnya tandan buah). Tandan bunga jantan terdiri atas 100-250 spikelet yang panjangnya mencapai 10-20 cm. Tiap spikelet memiliki 500-1.500 bunga kecil yang mengandung jutaan tepung sari (Lubis, 2008).

Buah terbentuk dari bunga betina yang telah dibuahi pada spikelet. Karena kondisi terjepit maka buah bagian dalam berukuran lebih kecil dibandingkan buah bagian luar. Buah akan matang dan siap dipanen setelah 5-6 bulan setelah penyerbukan. Iklim kering yang panjang biasanya memperlambat laju pemasakan (Sianturi, 1991).

Buah Kelapa Sawit tersusun dari kulit buah yang licin dan keras (epicarp).daging buah (mesocarp) dari susunan serabut (fibre) dan mengandung minyak, kulit biji (endocarp) atau cangkang atau tempurung yang berwarna hitam dan keras.daging biji (endosperm) yang berwarna putih dan mengandung minyak.serta lembaga (embryo). Perkembangan jumlah tandan dan berat tandan berbanding terbalik. Semakin bertambah umur tanaman maka jumlah tandan yang dihasilkan semakin menurun. Akan tetapi, berat tandan yang dihasilkan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Sipayung et al, 2012).

Biji pada Kelapa Sawit adalah bagian dari buah dan bisa diperoleh dengan membuang daging buah. Biji terdiri cangkang (endocarp), inti (endosperm), dan lembaga (embrio). Embrio Kelapa Sawit panjangnya 3 mm, berdiameter 1,2 mm, berbentuk silindris dengan 2 bagian utama. Bagian yang tumpul permukaannya berwarna kuning dan bagian lain yang berwarna putih bentuknya agak tajam.

Bakal biji terdiri 3 ruang tetapi setelah penyerbukan dan menjadi buah, ruang yang berkembang hanya sat, kadang-kadang dijumpai dua ruang. Jika endosperm mendapat air yang mengembang dan kemudian lembaganya akan berkecambah (Soehardjo, 1999).

Syarat Tumbuh Iklim

Unsur-unsur ilkim yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Kelapa Sawit meliputi curah hujan, radiasi matahari, temperatur dan kelembapan udara. Secara umum, kekurangan air pada Kelapa Sawit dapat menyebabkan hal-hal berikut: a) buah lambat masak, b) bobot tandan buah berkurang dan hasil ekstraksi CPO menurun, c) jumlah tandan buah menurun hingga sembilan bulan kemudian, dan d) jumlah bunga jantan meningkat sedangkan bunga betina menurun (Siregar et al., 2005).

Temperatur udara pada batas-batas tertentu berpengaruh terhadap metabolisme sel-sel pada organ tanaman yang akhirnya mempengaruhi pertumbuhan dan produksi. Suhu optimal rata-rata yang diperlukan Kelapa Sawit adalah 24-28°C. Tinggi rendahnya suhu berkaitan erat dengan ketinggian lahan dari permukaan laut. Oleh karena itu, ketinggian lahan yang baik adalah 0-400 mdpl, karena pada ketinggian tersebut temperatur udara diperkirakan 27-32°C.

Temperatur udara yang rendah pada bulan-bulan tertentu menghambat penyerbukan bunga sehingga mengganggu pembentukan buah (Hadi, 2005).

Untuk dapat mencapai pertumbuhan yang optimum Kelapa Sawit memerlukan persyaratan tumbuh tanaman diantaranya adalah lahan berada pada dataran rendah dengan ketinggian tempat<700 m dpl( diatas permukaan

laut), temperatur berkisar antara 20–35°C dengan temperatur optimum 25–28°C.

Curah hujan yang optimum sekitar 1.700–2.500 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun dan bulan kering kurang dari 2 bulan (Khoon et al, 2005).

Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi Kelapa Sawit meliputi curah hujan, radiasi sinar matahari, suhu, dan kelembaban udara. Iklim sangat berpengaruh terhadap variasi pertumbuhan Kelapa Sawit. Salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap produktifitas Kelapa Sawit adalah air.

Ketersediaan air ini sangat dipengaruhi oleh curah hujan, irigasi yang diberikan ke perkebunan serta kapasitas tanah dalam menahan air (Hadi, 2004).

Curah hujan merupakan sumber penyediaan air tanah sehingga merupakan komponen penting dari aspek iklim disamping matahari, kelembapan udara dan radiasi sinar maatahari (Satyawibawa dan Widyastuti, 1997). Curah hujan ideal untuk tanaman Kelapa Sawit berkisar 2000 – 2500 mm per tahun dan tersebar merata sepanjang tahun. Jumlah penyinaran rata-rata sebaiknya tidak kurang dari 6 jam per hari. Temperatur optimum untuk tanaman Kelapa Sawit antara 22 – 23

oC. Keadaan angina tidak terlalu berpengaruh karena tanaman Kelapa Sawit lebih

tahan terhadap angina kencang dibandingkan dengan tanaman lainnya (Zimmer, 2009).

Kisaran rata-rata suhu udara tahunan yang optimum untuk Kelapa Sawit 25 oC – 28 oC, tetapi masih dapat berproduksi pada rata-rata suhu udara tahunan antara 24 oC – 38 oC. Kombinasi antara curah hujan dan suhu udara sangat berperan dalam mekanisme membuka dan menutupnya stomata daun yang berujung pada proses fotosintesis (Risza, 2009). Suhu optimal rata-rata yang diperlukan oleh Kelapa Sawit adalah 27oC - 32oC. Tinggi rendahnya suhu

berkaitan erat dengan ketinggian lahan dari permukaan air laut. Oleh karena itu, ketinggian lahan yang baik untuk perkebunan Kelapa Sawit adalah 0-400 m dpl, karena pada ketinggian tersebut temperatur udara diperkirakan 27 oC - 32 oC (Hadi, 2004).

Tanah

Kelapa Sawit dapat tumbuh pada jenis tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5,0- 5,5. Kelapa Sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase (beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman Kelapa Sawit sebaiknya tidak lebih dari 15o (Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 2008).

Sifat fisik tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman Kelapa Sawit ialah memiliki solum yang dalam lebih dari 80 cm, karena baik untuk perkembangan akar sehingga efisiensi penyerapan hara tanaman akan lebih baik. Tekstur tanah yang paling ideal untuk Kelapa Sawit adalah lempung atau lempung berpasir dengan komposisi 20-60% pasir, 10-40% lempung dan 20-50% liat. Struktur tanah yang paling ideal untuk Kelapa Sawit adalah perkembangannya kuat, konsistensi gembur sampai agak teguh dan permeabilitas sedang. Selain itu,ketebalan gambut yang baik adalah 0-0,6 m dan tidak dijumpai laterite (Soehardjo, 1999).

Meskipun Kelapa Sawit tidak berbeda jauh dengan tumbuhan dari familia palmae lain misalnya pinang, palem, kelapa, aren, dan lain lain yang dapat tumbuh di hampir semua jenis tanah, namun karena diinginkan produksi yang

optimal dalam jangka waktu yang lama, maka jenis tanah untuk budidaya Kelapa Sawit harus memenuhi standart atau persyaratan yang dapat menunjang pertumbuhan dan produksi yang optimal, yaitu tanah yang subur (Hadi, 2004).

Curah hujan dan hari hujan

Kebutuhan air pada tanaman Kelapa Sawit sangat tinggi dan pentingnya air untuk pertumbuhan dan produksi sangat dibutuhkan oleh tanaman Kelapa Sawit. Tumbuhan memerlukan sumber air yang tetap untuk tumbuh dan berkembang, setiap kali air menjadi pembatas.pertumbuhan berkurang dan biasanya berkurang pula hasil panen tanaman budidaya, jumlah pengurangan hasil panen ini biasanya dipengaruhi oleh genotip, kehebatan kekurangan air, dan tingkat perkembangan (Dalimunte, 2004).

Curah hujan adalah air hujan yang jatuh di permukaan tanah selama jangka waktu tertentu, diukur dalam satuan tinggi kolom di atas permukaan horizontal, apabila tidak terjadi penghilangan-penghilangan oleh proses penguapan, pengaliran dan peresapan ke dalam tanah. Curah hujan dinyatakan dalam tinggi air (mm) diukur dengan penakar hujan dengan luas moncong 100 cm2. Satu hari hujan adalah periode 24 jam terkumpulnya curah hujan setinggi 0.5 mm atau lebih dan curah hujan dengan tinggi kurang dari ketentuan tersebut, hari hujan dianggap nol tetapi curah hujan tetap diperhitungkan (Siregar et al, 2006).

Air hujan merupakan sumber air utama untuk tanaman perkebunan.

Mangoensoekarjo (2007) menyatakan curah hujan optimal untuk tanaman Kelapa Sawit adalah 1.250 – 2.500 mm/tahun, sedangkan Hadi (2004) menunjukkan bahwa curah hujan yang ideal untuk pertumbuhan tanaman Kelapa Sawit adalah 2.500 – 3.000 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun serta tidak

terdapat 7 bulan kering berkepanjangan dengan curah hujan di bawah 120 mm dan tidak terdapat bulan basah dengan hujan lebih dari 20 hari.

Kelebihan air yang dikarenakan tingginya curah hujan dapat menyebabkan kegagalan matang tandan pada bunga yang telah mengalami anthesis. Curah hujan yang tinggi biasanya diikuti dengan penambahan hari hujan. Hari hujan yang banyak mengakibatkan penurunan intensitas penyinaran matahari sehingga laju fotosintesis turun dan dapat menyebabkan turunnya produktivitas. Curah hujan yang tinggi mendorong peningkatan pembentukan bunga, tetapi di lain pihak dapat menghambat penyerbukan karena sebagian serbuk hilang terbawa aliran air hujan. Sedangkan curah hujan yang rendah akan menghambat pembentukan daun, yang akan menghambat pembentukan bunga di ketiak daun (Nugraheni, 2007).

Curah hujan rendah juga menyebabkan cekaman kekeringan sehingg dalam mempertahankan kandungan air, terjadi penutupan stomata pada siang hari pada akhirnya berpengaruh pula pada fotosintesis dan transpirasi yang mengakibatkan terjadinya aborsi bunga betina dan menunda pembukaan daun muda (pupus) atau dengan kata lain terjadi pengurangan bunga betina, penurunan produksi pada musim kering juga disebabkan gugurnya tandan bunga yang telah

mekar dan berpengaruh terhadap pembentukan jenis kelamin bunga (Manalu, 2008).

Pola curah hujan tahunan mempengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit, curah hujan yang tinggi dapat menghambat kegiatan panen karena rusaknya sarana transportasi dan kesulitan pemanen dalam pengumpulan berondolan karena bercampur dengan tanah. Curah hujan yang tinggi mendorong peningkatan pembentukan bunga, tetapi menghambat terjadinya penyerbukan

karena serbuk sari hilang terbawa aliran air dan serangga penyerbuk tidak keluar dari sarangnya dan juga kegagalan matang tandan pada bunga yang telah mengalami anthesis. Proses pematangan buah dipengaruhi keadaan curah hujan, bila curah hujan tinggi buah Kelapa Sawit cepat memberondol (PPKS, 2006).

Curah hujan yang optimal untuk tanaman Kelapa Sawit adalah 2.000 - 3.000 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan tidak lebih dari 180 hari per tahun.

Hujan yang merata sepanjang tahun kurang baik karena pertumbuhan vegetatif akan lebih dominan daripada pertumbuhan generatif. Sehingga bunga/buah yang terbentuk relatif lebih sedikit. Sebaliknya, curah hujan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan timbulnya masalah terutama sulitnya upaya peningkatan kualitas jalan pembukaan lahan, pemeliharaan, pemupukan dan pencegahan erosi (Barkhah, 2012).

Umur Tanam

Tinggi rendahnya produktivitas tanaman Kelapa Sawit di suatu kebun dipengaruhi oleh komposisi umur tanaman yang ada di kebun tersebut. Semakin luas komposisi umur tanaman remaja dan tanaman tua, semakin rendah pula produktivitas per hektarnya. Komposisi umur tanaman berubah setiap tahunnya sehingga juga berpengaruh terhadap pencapaian produksi per hektar per tahunnya.

Lubis (1992) menyatakan bahwa produktivitas maksimal tanaman Kelapa Sawit dapat dicapai ketika tanaman berumur 7 – 11 tahun.

Umur tanaman berpengaruh pada pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman Kelapa Sawit. Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan vegetatif tanaman Kelapa Sawit yaitu berpengaruh dalam pembentukan pelepah yakni jumlah pelepah, panjang pelepah dan jumlah anak daun. Tanaman yang

berumur tua jumlah pelepah dan anak daun yang dihasilkan lebih banyak. Pelepah yang terbentuk juga lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang masih muda. Ini berkolerasi positif terhadap ketersediaan makanan bagi tanaman karena pelepah berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis.

Kelapa Sawit yang memiliki komposisi umur tanam muda akan memiliki jumlah janjang yang lebih banyak tetapi berat janjang yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang memiliki komposisi umur tanaman yang lebih tua. Kondisi ini berpengaruh pada BJR kebun yang berpengaruh terhadap pencapaian produksi TBS yang diharapkan (Prihutami, 2011).

Umur tanaman menentukan dosis dan jenis pupuk yang digunakan dalam aplikasi pupuk. Pemupukan di areal TM dengan dosis yang tepat dan interval yang teratur dapat mencapai status hara tanah dan tanaman yang optimal untuk menghasilkan produktivitas yang optimal dan berkelanjutan. Hal yang perlu diperhatikan sebelum dilakukan pemupukan adalah keadaan infrastruktur blok yang akan dipupuk, seperti kondisi jalan, jembatan, alat transportasi, dan alat-alat lain seperti takaran pupuk. Blok yang akan dipupuk harus jelas karena perlakuan dosis tiap blok mungkin akan berbeda (Simatupang, 2010).

Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan generatif yakni berpengaruh terhadap organ reproduksi tanaman yaitu dalam proses pembentukan dan perkembangan buah. Kelapa Sawit yang memiliki komposisi umur tanam muda akan memiliki jumlah janjang yang lebih banyak tetapi berat janjang yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang memiliki komposisi umur tanaman yang lebih tua. Kondisi ini berpengaruh pada BJR kebun yang

berpengaruh terhadap pencapaian produksi TBS yang diharapkan (Prihutami, 2011).

Pupuk

Budidaya Kelapa Sawit meliputi beberapa tahapan kegiatan yaitu persiapan areal, pembibitan, penanaman, sensus pokok, penyulaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman (HPT), pengendalian gulma, kastrasi, penunasan, pemanenan, dan pemanfaatan limbah, Pemupukan adalah menambahkan suatu bahan atau material pada media tanam atau tanaman sehingga tanaman dapat bereproduksi dan mempunyai kualitas produksi dengan baik.

Salah satu dari kegiatan pemeliharaan yang memerlukan perhatian intensif yaitu pemupukan. Hal tersebut karena biaya pemupukan tergolong tinggi, kurang lebih 30 % dari total biaya produksi atau 40 – 60 % dari biaya pemeliharaan sehingga menuntut pihak praktisi perkebunan untuk secara tepat menentukan jenis dan kualitas pupuk yang akan digunakan dan mengelolanya mulai dari pengadaan

hingga aplikasinya di lapangan baik secara teknis maupun manajerial (Winarna et al. 2003).

Mangoensoekarjo dan Semangun (2005), unsur - unsur hara yang dibutuhkan dalam pertumbuhan tanaman merupakan bagian dari sel-sel dalam tubuh tanaman ataupun berfungsi melancarkan berlangsungnya proses metabolisme. Oleh karena itu kebutuhan akan unsur hara berlangsung sepanjang kehidupan tanaman. Berikut ini merupakan unsur makro yang dibutuhkan oleh tanaman Kelapa Sawit sebagai berikut:

Nitrogen merupakan unsur hara penting yang diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman, pembentukan protein, sintesis klorofil, membantu proses metabolisme, dan pada tanaman muda diperlukan untuk menunjang agar saat TM batangnya sehat dan kuat. Gejala defisiensi N umumnya dijumpai pada tanaman di tanah mineral, antara lain daun pada pelepah tua berwarna hijau pucat sampai kuning.

Phosfor merupakan unsur hara penting yang diperlukan untuk energi pada proses asimilasi, mendorong pembentukan perakaran pada awal pertumbuhan tanaman, dan meningkatkan daya absorbsi hara dari dalam tanah. Gejala defisiensi P yaitu tanaman tumbuh kerdil dengan pelepah yang pendek, tajuk berbentuk piramida terbalik, dan batang yang meruncing.

Kalium merupakan unsur hara penting yang diperlukan untuk membantu proses fotosintesis pada daun dan metabolisme tanaman, menjaga keseimbangan Mg dalam tanaman, penting dalam menentukan jumlah dan pembentukan ukuran janjangan, serta penting dalam ketahanan tanaman dalam serangan penyakit.

Gejalah defisiensi K yaitu pelepah daun tua pada bagian bawah berwarna kuningtua kecokelatan dan berbintik orange (orange spot).

Magnesium merupakan unsur hara penting yang dalam penyusunan klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis. Gejala defisiensi Mg yaitu tampak dari helai daun tua sebagian menguning dan sebagian lagi tetap berwarna hijau. Daun tampak berwarna kuning khususnya jika terkena sinar matahari.

Penentuan jenis dan dosis pupuk pada tanaman Kelapa Sawit dilakukan oleh lembaga penelitian seperti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan.

Rekomendasi pemupukan yang diberikan oleh lembaga penelitian selalu mengacu

pada 4T yaitu : tepat jenis, tepat dosis, tepat cara, dan tepat waktu pemupukan.

Namun demikian dalam pelaksanaannya sering dijumpai penyimpangan dalam aplikasi pemupukan di lapangan sehingga sasaran pemupukan untuk mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman sesuai dengan standar sulit tercapai (Darmosarkoro et all, 2003).

Penggunaan pupuk majemuk pada tanaman Kelapa Sawit menghasilkan tidak dianjurkan. Selain biaya per unit hara lebih maha, manajemen aplikasinya juga akan lebih sulit. Secara teoritis pupuk majemuk memiliki bebrapa keunggulan, namun upaya pengurangan dosis pupuk majemuk perlu memperoleh perhatian yang serius. Kesalahan dalam aplikasi pupuk majemuk lambat tersedia di masa lampau terbukti menimbulkan kerusakan serius terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman Kelapa Sawit. Oleh sebab itu, semua teknologi pemupukan yang akan digunakan pada perkebunan Kelapa Sawit harus diuji lebih dahulu efektivitasnya sehingga tidak menimbukan kerugian bagi perkebunan (Darmosarkoro et all, 2003).

Jumlah Janjang

Produksi TBS tidak terlepas dari komponen-komponen produksi yang mempengaruhinya. Ada empat komponen produksi tanaman Kelapa Sawit yang dikenal juga dengan istilah faktor pengali produksi, meliputi: jumlah bunga betina per pohon, jumlah TBS per pohon, Berat Janjang Rata-Rata (BJR), dan jumlah pohon produktif.

Berdasarkan penelitian Prihutami (2011) di Sungai Bahaur Estate Kalimantan Tengah menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komponen jumlah bunga betina per pohon dengan jumlah janjang per pohon

sedangkan untuk perbandingan komponen produksi dengan komponen produksi lainnya menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata Komponen Berat Janjang Rata-Rata (BJR) dan komponen pohon produktif memiliki pengaruh yang tidak nyata. Jika dilihat dari produksi TBS terhadap BJR yang diperoleh, produksi yang diperoleh terus meningkat sedangkan BJR yang diperoleh menurun. Hal ini disebabkan oleh kondisi kebun yang memiliki tingkat heterogenitas umur tanaman yang tinggi yang berpengaruh kepada pencapaian BJR kebun beragam.

Hubungan Hujan, Pupuk, Jumlah Janjang dan Umur Tanamam Terhadap Produktivitas Kelapa Sawit

Hubungan curah hujan terhadap produktivitas Kelapa Sawit sangat erat kaitannya, Yunita (2010) dari hasil penelitiannya di kebun Sei Lala PT Tunggal Perkasa Plantations Indragiri Hulu Riau menyatakan bahwa penurunan produktivitas tanaman Kelapa Sawit dipengaruhi oleh curah hujan. Produktivitas tanaman Kelapa Sawit terbesar diperoleh saat curah hujan terbesar pula (curah hujan > 100 mm/bulan), akan tetapi pada curah hujan 60–100 mm/bulan produktivitas tanaman Kelapa Sawit yang dihasilkan lebih kecil daripada produktivitas tanaman pada curah hujan < 60 mm/bulan.

Curah hujan sangat mempengaruhi nilai lolosan tajuk pada tegakan Kelapa Sawit, Pasaribu et al. (2012) dari hasil penelitiannya di perkebunan Kelapa Sawit di PPKS sub unit Kalianta Kabun Riau menyatakan bahwa besar kecilnya curah hujan sangat mempengaruhi nilai lolosan tajuk dan aliran batang serta intersepsi yang terjadi setiap bulannya. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa lolosan tajuk pada tegakan Kelapa Sawit cukup tinggi di wilayah ini. Pada bulan Desember 2009 nilai lolosan tajuk mencapai 353.9 mm. Tingginya nilai lolosan tajuk pada bulan ini dikarenakan oleh tingginya curah hujan pada bulan tersebut.

Sebaliknya pada bulan Juni 2011 memiliki curah hujan yang rendah sehingga perolehan nilai olosan tajuk pada bulan ini hanya sebesar 2.2 mm.

Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan dan produksi tanaman Kelapa Sawit adalah di atas 2000 mm dan merata sepanjang tahun. Hujan yang tidak turun selama 3 bulan menyebabkan pertumbuhan kuncup daun terhambat sampai hujan turun (anak daun atau janur tidak dapat memecah). Hujan yang lama tidak

Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan dan produksi tanaman Kelapa Sawit adalah di atas 2000 mm dan merata sepanjang tahun. Hujan yang tidak turun selama 3 bulan menyebabkan pertumbuhan kuncup daun terhambat sampai hujan turun (anak daun atau janur tidak dapat memecah). Hujan yang lama tidak

Dokumen terkait