• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ayam ras pedaging atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan ayam broiler merupakan ayam dengan pertambahan badan yang sangat cepat dengan perolehan timbangan berat badan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek, yaitu pada umur 5 – 6 minggu berat badannya bisa mencapai 1,3 – 1,8 kg (Cahyono, 1995). Ensminger (1992), USDA menjelaskan bahwa ayam broiler adalah ayam pedaging (biasanya dijual 6-8 minggu), yang beratnya mencapai 1,36 – 2,26 kg dagingnya empuk dan lunak, mudah dikunyah dan tulang kartilago fleksibel.

Ayam broiler menurut Priyatno (2003) adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhannya cepat, sebagai penghasil daging dengan konversi makanan irit dan siap potong pada umur muda yaitu 35 – 45 hari dengan bobot 1,2 – 1,9 kg/ekor.

Hardini (2004) menjelaskan bahwa ayam broiler adalah hasil dari pengembangan prinsip genetika pada ayam petelur yang kemudian menghasilkan ayam dengan produksi daging tinggi dalam waktu yang singkat. Pertumbuhan yang cepat sebagai penghasil dahing dikatakan oleh Pym dan Nicholls (1979) karena pola makannya. Apabila pakan diberikan secara ad libitum, ayam pedaging akan berhenti makan setelah kenyang dan selanjutnya akan segera minum dan istirahat sehingga pembentukan daging akan lebih efisien (Hardini, 2004).

Daging Ayam

Kebutuhan daging ayam mengalami peningkatan yang pesat, karena beberapa alasan, diantaranya karena daging ayam relatif murah dibandingkan daging lain, dari segi kesehatan daging ayam lebih baik karena mengandung sedikit lemak dan kaya protein. Daging ayam mempunyai rasa yang dapat diterima semua golongan masyarakat dan cukup mudah diolah menjadi produk olahan yang bernilai tinggi, mudah disimpan dan mudah dikonsumsi (Priyatno, 2003).

Mountney (1983) menjelaskan bahwa daging ayam adalah daging yang cukup ekonomis dengan kandungan gizi yang tinggi, rendah kalori serta mengandung asam lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh dan asam amino esensial. Serat daging ayam

mudah untuk dipotong dan dicerna serta dapat bercampur baik dengan bumbu atau makanan lain. Kandungan nutrisi daging ayam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Daging Ayam

Nutrisi Jumlah (%)

Air 75

Protein 21

Lemak 3

Karbohidrat Kurang dari 1

Mineral 1

Vitamin Kurang dari 1

Sumber : Cross dan Overby (1988)

Protein pada daging ayam terdiri dari protein miofibril 50-55%, sarkoplasma 30-35% dan fraksi stroma 3-6% (Sams, 2001). Daging ayam mempunyai komposisi protein yang sangat baik karena mengandung semua asam amino esensial serta mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Secara umum, daging unggas memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan lainnya. (Cross dan Overby, 1988).

Ayam menyimpan cadangan energi sebagai lemak dan sebagian besar disimpan dalam jaringan tubuh (jaringan adiposa) (Rose, 1997). Kandungan lemak daging ayam sangat tergantung pada umur, jenis kelamin dan spesies (Mountney, 1983).

Karbohidrat dalam daging ayam terdapat dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kadar glikogen kurang dari 1% sedangkan asam laktat merupakan hasil utama dari proses glikolisis glikogen pada fase postmortem dan ketika ayam disembelih (Forrest et. al., 1975).

Ensminger (1992) menyebutkan bahwa mineral pada daging ayam terdiri dari makromineral dan mikromineral. Makromineral terdiri dari Ca, P, Mg, Na dan Kalium, sedangkan yang temasuk mikromineral adalah Fe, Cu dan Zn. Mountney (1983) menjelaskan bahwa daging ayam merupakan sumber vitamin yang baik untuk niasin, thiamin, riboflavin dan asam askorbat.

Daging ayam dapat dipasarkan dengan tiga bentuk yaitu: (1) sebagai karkas yang sudah dieviserasi, (2) potongan komersial tanpa tulang, dan (3) potongan

daging ayam dengan tulang (Rose, 1997). Tipe otot ayam dibagi menjadi tiga tipe: (1) otot merah, terikat pada skeleton, (2) otot jantung, strukturnya mirip dengan otot merah, (3) otot putih, terdapat pada dinding pembuluh darah dan sistem pencernaan (Rose, 1997).

Otot merah menurut Lawrie (1985), mempunyai serabut otot berwarna merah lebih banyak daripada serabut otot putih dan mengandung lebih banyak mioglobin, lemak, Fe, Na, Cu dan Zn. Pada otot putih, lebih banyak mengandung protein terlarut, jaringan otot dan glikogen tinggi serta lebih banyak mengandung serabut otot putih. Rose (1997), menyatakan bahwa yang termasuk dalam otot putih pada daging ayam adalah pada daging dada dan otot merah adalah daging paha.

Secara umum potongan komersial karkas dibagi menjadi empat yaitu: dada, paha, sayap dan punggung. Daging dada merupakan bagian dengan persentase daging yang lebih tinggi dari potongan komersial dan dengan bentuk yang lebih disukai konsumen (Rose, 1997). Lesson dan Summer (1980), menyatakan bahwa dada merupakan komponen utama pada unggas dan secara kuantitatif lebih berat dibandingkan bagian paha, sayap dan punggung. Hal ini menunjukkan bahwa dada berkembang lebih dominan daripada bagian karkas lainnya selama pertumbuhan. Selanjutnya disebutkan bahwa persentase dada broiler adalah 28%, paha 18%, punggung 25% dan sayap 13% dari berat karkas (Merkley, et al., 1980).

Daging Dada Ayam

Komposisi kimia dan karakteristik daging dada ayam setelah dipotong ditampilkan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Komposisi Kimia dan Karakteristik Daging Dada Ayam Sesaat Setelah Dipotong

Kualitas Daging dada ayam

Komposisi kimia (%) Air Protein Lemak Karakteristik Daging pH

Air terlepas (%) selama 24 jam Susut masak (%) 74,4 21,8 3,2 5,8 7,3 23,5 Sumber : Rose (1997)

Tabel 2. menunjukkan bahwa komponen terbesar pada daging dada ayam broiler adalah sebesar 74,4% dan pH akhir yang dihasilkan rendah yaitu 5,8. Menurut Judge et al. (1989), otot dada sebagian besar tersusun atas serabut putih yang sifat kontraksinya cepat, tetapi berlangsung singkat, metabolisme oksidatif rendah, metabolisme glikolitik dan glikogen tinggi. Hal ini berkaitan dengan pemecahan glikogen yang lebih tinggi, sehingga pembentukan asam laktat lebih besar. Oleh karena itu pH akhir otot dada rendah.

Distribusi otot skeletal dalam unggas tergantung pada aktivitasnya untuk terbang. Sebagian besar unggas tidak menggunakan sayapnya untuk terbang walaupun mempunyai otot dada yang lebar. Otot dada ayam hanya digunakan untuk mengepak-ngepak dengan tujuan untuk menghindari bahaya predator. Daging dada hanya membutuhkan konsentrasi mioglobin yang rendah, oleh karena itu daging dada mempunyai warna yang lebih terang atau disebut daging putih.

Kualitas Daging Ayam

Kualitas daging didefinisikan sebagai istilah yang menggambarkan semua karakteristik daging termasuk didalamnya adalah sifat fisik, kimia, biokimia, mikrobiologi, kebersihan, sensori (penampakan umum) dan kandungan nutrisi (Anadon, 2002). Mead (1984) juga mengatakan bahwa kualitas dari daging ayam didefinisikan kedalam syarat – syarat tertentu, seperti nilai nutrisi, kondisi higienis dan karakteristik sensori seperti warna, flavor, bau dan tekstur. Aspek tersebut penting bagi konsumen untuk menyeleksi dan memutuskan produk yang akan dibeli dan dikonsumsi. Permasalahan yang sering dihadapi adalah bahwa pertumbuhan broiler disertai dengan penambahan lemak tubuh, hal ini akan berpengaruh terhadap: (1) kehilangan daya mengikat air, (2) ketengikan, (3) oksidasi, (4) perubahan warna, (5) kerusakan tulang pada karkas.

Ada beberapa macam masalah kualitas, pengaruhnya dan cara menanganinya harus diperhatikan terus menerus baik itu sifat fisik, kimia atau mikrobiologinya, tetapi sebagian besar penampilan kualitas daging dipengaruhi oleh sifat fisik. Masalah yang sering dihadapi adalah adanya kontaminasi atau bahwa penampilan fisik pada produk tidak sesuai dengan yang diinginkan konsumen. Masalah penampilan fisik seperti warna, flavor, bau, ukuran, bentuk adalah faktor kualitas penting yang dipandang secara subjektif (Sams, 2001).

Warris (2000) mengatakan bahwa penanganan sebelum postmortem dapat mempengaruhi kualitas daging ayam karena dapat mempengaruhi keasaman atau perkembangan waktu rigor. Selanjutnya dikatakan bahwa daging dada termasuk daging yang pale, soft dan exudative (PSE). Daging PSE mempunyai glikolisis anaerob yang tinggi selama pemotongan. Glikolisis yang tinggi ini mengakibatkan penurunan pH yang cepat pula. pH ultimat daging PSE pada umumnya rendah yaitu sekitar 5,2 – 5,4.

Daging ayam mudah mengalami penurunan kualitas sebagai akibat dari adanya perlakuan yang kurang baik pada saat ayam masih hidup, pada saat penanganan atau pada saat penyimpanan yang kurang sempurna (Sams, 2001). Kerusakan pada daging ayam belum tentu mengakibatkan kebusukan. Kerusakan daging ayam dapat terjadi karena pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dalam jumlah banyak, aksi enzim dalam daging tersebut dan reaksi kimia dan perubahan sifat fisik dari daging selama penyimpanan (Frazier dan Westhoff, 1978).

Enzim yang berada dalam daging mulai aktif pada keadaan segera setelah hewan dipotong. Setelah enzim tidak aktif lagi dan persediaan glikogen habis, maka bakteri yang berada dalam daging akan mulai berkembang terus (Libby, 1975).

Kebusukan yang disebabkan oleh bakteri dimulai dengan fermentasi glukosa dan glikogen yang terdapat pada daging ayam. Hasil fermentasi glukosa dan glikogen tidak menyebabkan bau busuk dan tidak berhubungan dengan kebusukan (Sams, 2001). Protein adalah bahan selanjutnya yang akan difermentasi setelah karbohidrat di dalam daging ayam mulai habis. Hasil metabolisme protein akan menghasilkan produk yang sangat erat hubungannya dengan indikator kebusukan. Bakteri, khususnya Pseudomonas, akan memproduksi amonia selama metabolisme asam amino yang menyebabkan pH daging meningkat selama kebusukan (Ray, 2000).

Sifat Fisik Daging Ayam Nilai pH

pH merupakan jumlah ion hidrogen (H+) dalam larutan. Air murni (aquadest) akan memisahkan jumlah ion hidrogen (H+) dan ion hidroksil (OH-). pH didefinisikan sebagai –log 10 dari konsentrasi ion hidrogen (H+) (Warris, 2000). Nilai pH yang diperoleh merupakan jumlah ion (H+) yang terdapat dalam daging. pH

daging merupakan tingkat keasaman daging setelah pemotongan dan merupakan salah satu perubahan pokok dari konversi otot menjadi daging.

Ketika hewan dipotong, sel individu masih hidup dan metabolisme tubuhnya masih berlanjut dengan menggunakan cadangan energi yang masih tersimpan. Pada kondisi tersebut hewan akan kehilangan banyak darah sehingga hilang juga suplai oksigen, oleh karena itu metabolisme sel secara berangsur-angsur berubah dari metabolisme aerobik menjadi metabolisme anaerobik. Metabolisme tersebut berjalan lambat karena menggunakan energi cadangan sehingga metabolisme anerobik kurang efisien. Hal ini menyebabkan suplai ATP menurun dan dihasilkan asam laktat seiring dengan meningkatnya aktifitas anaerobik. Ketika asam laktat mulai dihasilkan maka akan terjadi perubahan sel otot yaitu perubahan pH dari pH mendekati netral (7) menjadi pH yang lebih asam sekitar 5,7. Penurunan ini menyebabkan pengurangan aktivitas beberapa ATP yang memproduksi enzim, dan selanjutnya akan mengurangi produksi ATP (Sams, 2001).

Buckle et al., (1987) menambahkan bahwa setelah ternak dipotong akan terjadi perubahan pH. Besarnya perubahan pH tergantung pada jumlah cadangan glikogen sebelum ternak dipotong yang akan diubah menjadi asam laktat. Perubahan glikogen otot menjadi asam laktat akan terhenti bila glikogen otot habis atau setelah enzim glikolitik menjadi tidak aktif. Pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap enzim glikolitik pada kondisi seperti ini telah dicapai pH ultimat daging.

Perubahan pH daging terjadi karena tidak adanya oksigen, maka ion hidrogen yang dilepas pada proses glikolisis tidak dapat diikat oleh oksigen sehingga terjadi akumulasi ion hidrogen dalam otot. Ion hidrogen ini kemudian dipergunakan untuk merubah asam piruvat menjadi asam laktat. Akibat asam laktat yang tertimbun ini, pH daging turun dengan cepat dan mengakibatkan kerusakan struktur protein (Forrest, et al., 1975).

Menurut Price dan Schweigert (1971), nilai pH akhir yang tinggi diatas 5,8 akan meningkatkan kemampuan mengikat air, karena cairan daging terikat oleh proteinnya. Hal ini menyebabkan warna daging lebih gelap. Rose (1997), mengatakan bahwa pH akhir juga mempengaruhi kekerasan daging ayam. Apabila ayam dipotong dalam kondisi stress maka cadangan glikogen dalam otot rendah

akibatnya pH akhir yang dihasilkan melebihi pH ultimat daging dan oleh sebab itu daging yang dihasilkan menjadi kering, keras dan gelap. Berikut hubungan antara tipe penurunan pH dengan warna daging (Tabel 3).

Tabel 3. Hubungan Antara Nilai pH Akhir dengan Warna Daging

pH akhir Tipe penurunan Warna daging

6,0 - 6,5 5,7 - 6,0 5,3 - 5,7 5,3 - 5,6 5,0 5,1 - 5,4 naik lagi 5,3 - 5,6 Agak Lambat Agak Lambat Lambat Cepat Cepat Cepat Gelap Agak Gelap Normal

Normal - agak gelap Gelap - pucat tetapi berair Pucat dan berair

Sumber : Cassens (1966)

Tabel di atas menunujukkan bahwa pH akhir yang tinggi akan menghasilkan warna dengan daging yang gelap sedangkan nilai pH akhir diantara 5,5 - 5,7 menghasilkan warna daging normal dan semakin rendah nilai pH akhir daging (<5,3) warna daging akan semakin pucat dan berair. Awal rigormortis dihubungkan dengan nilai penurunan pH intramuskular. Yang terjadi dalam broiler dan kalkun adalah 2-4 jam postmortem, sedangkan pada daging sapi (daging merah) adalah 10 jam postmortem. Daging merah mencapai pH ultimat pada 2-3 jam postmortem (pH 6,0-5,9), sedangkan pH ultimat untuk broiler (Otot putih) tercapai pada 8 jam postmortem. Waktu yang panjang pada awal rigor dan penurunan pH yang lambat dalam otot putih menunjukkan bahwa otot putih tersebut mempunyai cadangan energi yang tinggi terutama glikogen (Stewart et al., 1984).

Lama penyimpanan pada suhu ruang berpengaruh langsung terhadap perubahan pH postmortem karena temperatur yang tinggi dapat meningkatkan laju glikolisis dan mempercepat mulainya perombakan cadangan energi pada saat kematian, sehingga dapat meningkatkan laju penurunan pH (Pearson & Young, 1989).

Kadar Air

Air merupakan komponen terbesar pada daging (Sams, 2001). Air adalah media cair sebagai media transportasi, nutrisi, hormon dan produk – produk buangan

metabolit. Air juga merupakan media universal berbagai reaksi kimia dan proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh hewan (deMan, 1997).

Menurut Lakkonen (1973), air merupakan komponen terbesar pada daging dalam bentuk terikat dan air bebas dalam otot. Air yang terikat dengan otot adalah sejumlah air yang bersatu dengan protein dan berbeda dengan air bebas. Air bebas secara mekanik ditahan oleh membran protein dan protein filamen lain kemungkinan ditahan juga oleh kekuatan elektrostatik peptida.

Kadar air dalam daging terdapat dalam tiga konsentris pada molekul protein. Tiga konsentris tersebut antara lain (1) hidrasi primer yang merupakan grup aktif yang terdapat dalam molekul protein, (2) hidrasi sekunder, yang akhirnya bergabung dengan air bebas sebagai tempat ke-3 (Price and Sweighert, 1971).

Daya Mengikat Air (DMA)

Dalam otot (hewan yang masih hidup) kira-kira 10 % air terikat pada protein otot. Akan tetapi sebagian besar air dalam otot terikat pada bagian antar filamen tebal dan filamen tipis pada protein. Kontraksi pada filamen ini disebabkan oleh perbedaan interaksi antara aktin dan myosin. Selama proses rigormortis daging akan mengalami penyusutan dan air akan dikeluarkan. Faktor yang mempengaruhi pembentukan filamen dan tingkat keasaman yang terjadi selama postmortem juga akan mempengaruhi jumlah air yang keluar dari daging (Mead, 1984).

Menurut Lawrie (1985), faktor yang mempengaruhi daya mengikat air antara lain adalah umur, jenis ternak, fungsi otot, pH, lemak intramuskular, nutrisi, stress dan pengolahan. Faktor lain yang mempengaruhi daya mengikat air adalah (1) tidak adanya tempat pada protein miofibril yang menghasilkan jumlah aktomiosin komplek sebagai cadangan energi dan (2) perkembangan rigormortis yang menyebabkan Mg2+ dan Ca2+ dalam sarkoplasma mengikat gugus reaktif pada protein (Anadon, 2002).

Hamm (1962), kemampuan daging mengikat air disebabkan oleh protein otot. Sekitar 34 % dari protein ini larut dalam air. Hanya sekitar 3% dari kemampuan otot mengikat air total yang disebabkan oleh protein yang larut dalam air (plasma). Kemampuan otot mengikat air terutama disebabkan oleh aktomiosin, komponen utama miofibril.

Daya mengikat air daging tergantung dari banyaknya gugus reaktif protein. Pada pH rendah, karena banyak asam laktat maka gugus reaktif protein berkurang, daya mengikat air berkurang, hal ini menyebabkan makin banyaknya air daging yang keluar (Forrest et al., 1975). Daya mengikat air diperbaiki oleh nilai pH yang tinggi, hal ini disebabkan protein sarkoplasma sangat mudah rusak dalam suasana asam dan cenderung untuk kehilangan daya mengikat air pada pH dibawah 6,2 (Buckle et al.,1987).

Produksi asam laktat dan penurunan pH yang terjadi setelah pemotongan menyebabkan protein terdenaturasi, kehilangan solubilitas protein dan secara keseluruhan terjadi pengurangan gugus reaktif untuk mengikat air pada protein otot. Hal ini terjadi pada pH otot yang telah mencapai titik isolektrik. Pada pH ini muatan positif dan muatan negatif pada gugus reaktif seimbang. Oleh karena itu akan mengurangi jumlah gugus yang bereaksi dengan molekul air dan mengurangi kemampuan protein otot untuk mengikat air (Anadon, 2002).

Menurut Pearson dan Young (1989), titik minimal daya mengikat air bersamaan dengan pencapaian pH rendah yaitu antara 5,0 – 5,1 yang juga bertepatan dengan titik isoelektrik protein otot. pada titik isoelektrik, muatan protein berada dalam keadaan seimbang, sehingga meningkatkan ikatan antara gugus molekul. Oleh karena itu lebih sedikit air yang terperangkap dalam jaringan protein miofibril seperti pada Gambar 1 (Price and Scweighert, 1971).

Gambar 1. Pengaruh Nilai pH Terhadap Jumlah Air Terikat Dalam Daging yang Berpengaruh Terhadap Penyebaran Muatan pada Miofilamen.

Price and Scweighert (1971), menjelaskan bahwa Gambar 1, filamen pada kondisi (a) kelebihan muatan positif sehingga daya mengikat air daging akan meningkat pada pH kurang dari 5,0, (b) filamen dalam keadaan seimbang muatan positif sama dengan muatan negatif dan merupakan titik minimum daya mengikat air daging, (c) filamen kelebihan muatan negatif dan menyebabkan peningkatan daya mengikat air daging.

Warris (2000) mengatakan bahwa nilai pH daging berpengaruh pada daya ikat air. Pada pH yang tinggi struktur protein longgar dan hal ini menyebabkan struktur serat dagingnya juga longgar, sehingga daging mampu mengikat air daging lebih banyak. Sebaliknya dengan pH rendah, strukturnya mengkerut dan menyebabkan penekanan air untuk keluar dari daging menjadi besar dan struktur serat dagingnya juga menjadi mengkerut dan menyebabkan daging tidak mampu mengikat air lebih baik, artinya daya ikat air menjadi rendah.

Aktivitas Air (aw)

Winarno (1992) menyatakan bahwa aktivitas air (aw) merupakan jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya, sehingga sangat menentukan dalam kerusakan bahan pangan. Air bebas secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain-lain. Bagian air ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw

minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri aw : 0,90. khamir : 0,80 – 0,90, dan kapang aw : 0,6 – 0,7.

Daging segar mempunyai aw sekitar 0,990 dan pembusukan mudah sekali terjadi karena bertumbuhnya berbagai mikroorganisme. Penurunan aw akan meningkatkan tingkat pertumbuhan fungi, ragi dan bakteri. Nilai aw yang optimum untuk beberapa bahan makanan yang dapat diracuni oleh Staphilococcus aureus kira-kira 0,995 (Lawrie, 1985).

Troller and Cristian (1978) mengatakan bahwa pada saat mikroba tumbuh dilingkungan baru, maka yang mungkin terjadi adalah tumbuh (survival) atau mati (death). Pada dasarnya mikroba tumbuh makin tinggi dengan menurunnya nilai aw. Seperti dijelaskan pada Gambar 2.

Gambar 2. Pengaruh Nilai aw Terhadap Rata-rata Pertumbuhan Bakteri Sumber: Sperber, 1983 Dalam Troller and Cristian (1978)

Beberapa mikroorganisme tumbuh baik pada kisaran aw 0,91-0,99.aw adalah faktor kritis yang dapat menentukan keamanan bahan pangan. Pengukuran aw dapat digunakan untuk memprediksi mikroorganisme mana yang akan tumbuh dan mana yang tidak dapat tumbuh. aw bukan merupakan air akan tetapi merupakan ukuran atau batas terendah air yang dapat digunakan oleh mikroorganisme (Anonimous, 2002).

Postmortem Perubahan Biokimia

Setelah pemotongan, maka akan terjadi perubahan biokimia, konversi otot menjadi daging. Perubahan biokimia ini akan menentukan kualitas akhir daging. Perkembangan rigormortis adalah faktor penting dalam proses kematian dan penting untuk menentukan kualitas daging. Pada saat hewan dipotong, maka akan terjadi pengeluaran darah, sehingga sel otot akan terus berlanjut menggunakan dan menghasilkan ATP selama cadangan glikogen masih tersedia (Greaser, 1986). Forrest et al., (1975) mengatakan bahwa tidak adanya darah setelah hewan dipotong menyebabkan penyediaan oksigen ke otak berhenti dan tidak ada lagi glikogen dalam otot sehingga hasil sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan dari otot dan mulai terjadi perubahan pada otot menjadi daging meliputi perubahan suhu, perubahan pH dan terjadinya proses rigormorti.

Menurut Eskin (1971), terhentinya respirasi menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur jaringan otot hewan serta menurunnya jumlah ATP dan kreatin fosfat (CP) sebagai sumber energi. Hal ini ditandai dengan terjadinya

kekakuan (rigor) pada jaringan otot beberapa saat setelah hewan mati. Menurut Hamm (1981), jika CP habis, sintesa ATP diperoleh melalui glikolisis anaerob yang mengubah glikogen menjadi asam laktat. Dengan demikian pada fase awal kematian hewan hanya terjadi penurunan pH secara bertahap sementara jumlah ATP masih relatif konstan.

Perubahan biokimia postmortem dalam konversi otot menjadi daging hampir sama antara aves dan mamalia. Akan tetapi glikolisis dan rigormortis terjadi lebih cepat pada unggas dibandingkan dengan spesies daging merah (Gray et al., 1974). Berbeda dengan spesies lain, perubahan saat postmortem pada unggas terjadi dalam waktu yang singkat dan rigor sempurna terjadi kira-kira 1 jam setelah pemotongan (Dransfeield and Sosnicki, 1999).

Menurut Palupi (1986), sesaat setelah hewan dipotong, perubahan biokimia dalam jaringan masih terjadi. Proses kontraksi menyebabkan jaringan otot menjadi karkas dan kaku sedangkan proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong (fase postmortem) adalah pre-rigor, rigormortis dan pasca rigormortis. Pada fase pre-rigor, daging masih lunak karena daya ikat air dan jaringan otot masih tinggi. Pada fase rigormortis, jaringan otot menjadi kaku. Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menyebabkan fase rigormortis berlangsung cukup lama. Fase pasca rigormortis adalah fase pembentukan aroma dan pada fase ini daging menjadi lunak kembali, karena daya ikat air kembali meningkat sehingga daging menjadi empuk.

Glikolisis

Glikolisis adalah pemecahan glukosa untuk menghasilkan asam laktat karena tidak adanya oksigen. Dalam kondisi anaerobik, 2 molekul ATP pada setiap molekul glukosa dirombak dirubah menjadi asam laktat.

Baca selengkapnya

Dokumen terkait