• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Ikan Maskoki (Carassius auratus) pertama kali dibudidayakan oleh masyarakat Cina pada tahun 960-1729. Awalnya bentuk ikan maskoki seperti ikan Mas (Cyprinus carpio L), bedanya ikan maskoki tidak memiliki sepasang sungut di mulutnya popularitas ikan maskoki mulai menanjak. Di sinilah bermunculan ikan maskoki dengan bentuk tubuh yang bervariasi dan unik. Perkembangan ikan maskoki kemudian merambah hingga ke negeri Jepang.

Di negeri matahari terbit ikan maskoki terus mengalami perkembangan pesat sehingga menghasilkan bentuk yang lebih bervariatif seperti saat ini. Dari negeri Sakura, ikan maskoki mulai menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia besar agak menonjol ke luar dan warna sisik yang menarik. Ikan maskoki tergolong mudah dipelihara karena sifatnya cukup adaptif terhadap lingkungan yang baru. Tak mengherankan jika ikan maskoki dengan berbagai varietasnya tersebar di seluruh dunia

Ikan maskoki masuk ke dalam Kingdom Animalia, Subkingdom Eumetazoa, Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Infrafilum Gnathostomata, Kelas Actinopterygii, Subkelas Neopterygii, Superordo Teleostei, Ordo Clupeiformes, Family Cyprinidae, Genus Carassius dan Spesiesnya berupa Carassius auratus

(Freyhof 2004).

Salah satu jenis ikan maskoki yang populer adalah Ikan maskoki varietas Oranda (Spencer). Ikan ini memiliki keunikan yang terletak pada kepalanya yang berjambul dan memiliki sirip punggung (Iskandar dan Sitanggang 2003), hal tersebut dapat diamati pada Gambar 1.

Ikan maskoki merupakan ikan hias air tawar yang hidup di perairan dengan air yang mengalir tenang serta berudara sejuk hewan omnivora (Watson et al 2004) dan bukan hewan kanibal sehingga dapat dipelihara secara koloni dalam satu lingkungan pemeliharaan (Iskandar dan Sitanggang 2003).

4 Suhu optimal air untuk hidup ikan maskoki adalah 18-24ºC. Mempertahankan suhu untuk terus berada dalam kisaran suhu optimal perlu dilakukan. Karena pemeliharaan di luar suhu optimal dapat menekan sistem kekebalan tubuh ikan dan akan menyebabkan penurunan nafsu makan serta gangguan pada pertumbuhan ikan. Ikan maskoki dapat hidup dalam air yang memiliki kandungan oksigen minimal 5 mg/L, pH 7-7.8, tingkat amoniak terlarut maksimal 0,05 mg/L dan tingkat nitrit terlarut maksimal 0,05 mg/L (Watson et al

2004).

Ikan maskoki dianggap sebagai ikan yang tangguh karena dapat bertahan hidup di air berkualitas buruk. Walaupun demikian, kualitas air penting di perhatikan agar pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ikan berjalan optimal (Watson et al 2004). Ikan maskoki dapat hidup hingga umur 30 tahun dengan panjang mencapai 23 inches (58 cm) dan berat mencapai 2,7 kg .

Ikan maskoki memiliki organ interna dan eksterna yang keseluruhan organ tersebut memiliki ciri dan fungsi tertentu untuk mendukung kelangsungan hidup ikan (Yanong 2003). Insang merupakan salah satu organ interna ikan maskoki yang memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup ikan. Peranan penting tersebut adalah sebagai media pertukaran gas (Campbell et al 2004). Insang terdiri dari lamela insang primer, lamela insang sekunder dan tulang rawan insang. Lamela primer adalah lamela yang bersentuhan langsung dengan tulang rawan insang dan lamela sekunder merupakan percabangan dari lamela primer (Yanong 2003).

Insang akan mengoptimalkan ekstraksi oksigen dari air dan merupakan tempat untuk melepaskan karbon dioksida. Ikan memompa air melalui mulut dan

5 keluar diantara celah insang lewat gerakan terkoordinasi dari rahang dan

operculum (penutup insang), agar terjadi ventilasi. Ventilasi yang dimaksudkan berupa aktivitas inhalasi dan ekshalasi atau proses mengambil oksigen dan melepaskan karbon dioksida lewat pernafasan. Ketika ventilasi terjadi, darah mengalir dengan arah yang berlawanan dengan aliran air yang mengalir, oksigen akan masuk ke dalam aliran darah dan CO2 akan dibuang ke air (Campbell et al 2004).

Usus merupakan salah satu organ interna ikan yang mengambil peranan dalam sistem pencernaan. Usus berbentuk seperti tabung memanjang yang melingkar-lingkar dan mengisi sebagian besar rongga abdomen. Makanan yang ditangkap oleh mulut akan masuk ke dalam rongga mulut, melewati faring, esofagus, bola usus (intestinal bulb), usus kemudian sisa makanan yang tidak diserap akan dikeluarkan lewat anus (Sarbahi 1951).

6 Bola usus merupakan kantung hasil pembengkakan anterior usus yang berfungsi untuk menyimpan makanan. Bola usus tidak memiliki kelenjar lambung dan memiliki mukosa yang mirip dengan mukosa usus (Khanna dan Yadav 2004). Usus ikan maskoki sendiri terbagi atas usus depan, usus belakang dan rektum. Perbedaan antara usus depan, usus belakang, dan rektum terletak pada pola lipatan dari membran mukosa. Usus depan memiliki pola lipatan berupa garis dan sudut sedangkan usus belakang memiliki pola lipatan berupa garis yang berbelit-belit. Pola lipatan rektum ikan maskoki berupa pola miring melintang (Sarbahi 1951).

Darah Ikan Maskoki

Seperti pada mamalia, ikan memiliki komponen darah berupa sel darah merah atau eritrosit dan sel darah putih atau leukosit. Setiap spesies pada hewan, baik itu mamalia, reptil maupun ikan memiliki kisaran nilai parameter hematologi yang berbeda. Gambaran leukosit normal pada ikan maskoki dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Gambaran leukosit normal ikan maskoki

No Diferensial leukosit (%)

Leukosit Normal Ikan Maskoki

Watson (1963) Loventhal (1930) Lewbart (2006)

1. Limfosit 92 73 70

2. Eosinofil 2 8

3. Neutrofil 5 10.5 29

4. Monosit 8.6 1

5. Basofil 0.2 0.5

Dari Stoskopf MK. 1993. Fish Medicinal. Philadelphia:W.B. Saunders Company.

Limfosit merupakan sel leukosit berbentuk bulat, tidak teratur dengan inti yang besar (Gao et al. 2007). Limfosit merupakan sel leukosit yang paling umum ada dalam darah ikan, berupa 85% dari seluruh total populasi sel leukosit (V´azquez dan Guererro 2007). Limfosit berfungsi memediasi respon imun humoral dan respon imun seluler. Ketika sel limfosit berkontak dengan bahan asing (antigen), akan terjadi proliferasi sel limfosit yang kemudian akan menyebabkan dikeluarkannya antibodi imunoglobulin oleh sistem imun. Respon imun humoral merupakan respon kekebalan tubuh yang dimediasi oleh antibodi dalam sirkulasi (Aqualex Multimedia Consortium [AMC] 2008).

7 Monosit merupakan sel-sel besar dengan nukleus besar dan sitoplasmanya berisi granul-granul kecil yang tersebar. Monosit berfungsi dengan menanggapi infeksi dan merupakan prekursor dari makrofag. Hal ini menyebabkan sel monosit memainkan peran penting dalam imunitas non spesifik dan respon inflamasi (AMC 2008).

Eosinofil, neutrofil dan basofil pada ikan termasuk dalam granulosit leukosit atau sel leukosit yang memiliki granul-granul (V´azquez dan Guererro 2007). Granulosit terlibat dalam mekanisme pertahanan non-spesifik, yaitu mereka menanggapi adanya bahan asing dalam tubuh tetapi tidak mengenali antigen tertentu. Sel-sel ini bermigrasi ke bagian tubuh di mana invasi terjadi dan menghancurkan partikel asing dengan fagositosis atau dengan membunuh langsung yang dikenal sebagai respon sitotoksik (AMC 2008).

.

Gambar 3. Gambaran sel darah Putih ikan: A) l adalah Limfosit; B) m adalah Monosit; C) eo adalah Eosinofil; D) Neutrofil; E) eosinofil (V´azquez dan Guererro 2007); F) Monosit; G) Limfosit (Gao et al. 2007).

Pada ikan sehat, yang paling umum ditemukan diantara ketiga granulosit tersebut adalah sel neutrofil dan granulosit leukosit yang sangat jarang ditemukan adalah sel basofil (V´azquez dan Guererro 2007). Neutrofil umumnya memiliki ukuran yang lebih besar dari eritrosit, dapat berbentuk bulat, seperti buah pir,

8 berbentuk elips tidak teratur. Memiliki inti yang dapat diamati seperti berbentuk pita, bentuk tapal kuda, membentuk segmen terhadap sumbu dan tidak simetris.

Eosinofil merupakan sel darah putih khusus (leukosit PMN) yang dapat diwarnai dengan pewarna asam seperti eosin, namun sel eosinofil dapat pula di identifikasi dengan pewarnaan sederhana seperti pewarnaan giemsa (AMC 2008). Eosinofil memiliki sitoplasma yang besar berbentuk bola dengan granul-granul yang hampir menutupi. Inti sel eosinofil biasanya berbentuk bulat, kadang berbentuk seperti ginjal atau tapal kuda tetapi lebih teratur (Gao et al. 2007). Sel- sel ini terlibat dalam penghancuran parasit internal dan dalam modulasi inflamasi reaksi alergi (AMC 2008).

Cacing Parasitik Pada Insang dan Usus

Ikan Cyprinidae termasuk jenis ikan yang paling rentan terhadap berbagai infeksi parasitik (Anshary 2008). Menurut FAO (1991), Metazoa yang bersifat parasit seperti cacing parasit pada kelas tertentu (monogenea, cestoda dan digenea) merupakan agen-agen yang memegang peranan pada penyakit ikan.

Monogenea merupakan salah satu kelas dari hewan yang tak bertulang belakang yang termasuk dalam phylum Platyhelminthes. Monogenea memiliki arti sebagai dilahirkan sekali, hal ini mengacu pada siklus hidupnya yang sederhana (Williams dan Williams 1994) dan tanpa inang perantara (Lasee 2004). Pada infeksi yang berat, cacing dari kelas monogenea dapat membunuh ikan yang menjadi inangnya. Umumnya monogenea memiliki bentuk tubuh panjang dan transparan (Williams dan Williams 1994).

Monogenea memiliki organ lampiran berbeda pada bagian belakang tubuh mereka (haptor) yang dilengkapi dengan kait atau klem khusus. Kait atau klem khusus ini dapat dipakai untuk menusuk epitel dan berpegangan pada inang. Sebagian besar monogenea berkembang biak dengan meletakkan telur yang menetaskan larva bersilia (onchomiracidia) dan cepat menjadi dewasa dan melekat pada inang (William dan William 1994).

Ikan air tawar yang terserang monogenea akan terlihat lesu, berenang di dekat permukaan, mencari sisi kolam dan nafsu makan menjadi menurun. Insang terlihat bengkak dan pucat, laju respirasi meningkat dan ikan menjadi tidak

9 toleran terhadap oksigen yang rendah. Infeksi monogenea yang parah pada kulit dan insang dapat menyebabkan kerusakan hebat bahkan kematian. Investasi monogenea yang besar juga akan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur (Klinger dan Floyd 2009). Monogenea memiliki dua sub kelas yaitu Monopisthocotylea dan Polyopisthocotylea.

Monopisthocotylea merupakan salah satu subkelas dari monogenea. Cacing dari subkelas Monopisthocotylea memiliki organ tubuh sederhana dan biasanya satu haptor dengan 1-2 jangkar dengan lingkaran yang interkoneksi. Umumnya parasit cacing dari subkelas ini memiliki ukuran yang jauh lebih kecil daripada cacing dari subkelas Polyopisthocotylea. Parasit ini dapat ditemukan di kerokan permukaan kulit atau di insang yang diamati dengan menggunakan mikroskop (Wiliams dan Wiliams 1994).

Pada infeksi cacing yang berat, kait cacing dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan insang serta meningkatkan produksi lendir. Kulit mungkin memiliki bercak putih terutama di belakang sirip. Ikan akan menunjukkan kebiasaan berupa menggosokkan tubuh mereka pada sisi kolam dan berenang dengan terlalu liar atau dengan lesu (Wiliams dan Wiliams 1994). Monopisthocotylea memiliki tiga ordo yaitu Capsalidea, Dactylogridea dan Gyrodactylidea (David 2010a), namun Monopisthocotylea yang menyerang insang ikan air tawar biasanya berasal dari ordo Dactylogridea dan Gyrodactylidea (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cacing parasitik pada Gambar 4 masuk ke dalam genus Gyrodactylus,

Famili Gyrodactylidae, Ordo Gyrodactylidea, Sub Kelas Kelas Monogenea, Subphylum

Subkingdom Gyrodactylus

merupakan salah satu genus cacing parasit yang menginfeksi insang dari ikan air tawar. Cacing ini memiliki embrio yang sedang berkembang yang dapat terlihat di dalam saluran reproduksi cacing dewasa (parasit vivipar).

10 Gambar 4. Gyrodactylus sp. memiliki kait yang terletak pada embrio (E). The episthaptor (O) mengandung banyak kait dan jangkar. Perbesaran -- 100/xm (Yanong 2003).

Strategi reproduksi ini memungkinkan populasi Gyrodactylus dapat menjadi banyak dengan cepat, terutama pemeliharaan di dalam sistem tertutup. (Klinger dan Floyd 2009). Gyrodactylus dewasa memiliki Ophisthaptor yang tidak mengandung batil isap, tetapi memiliki sederet kait-kait kecil berjumlah 16 buah di sepanjang tepinya dan sepanjang kait besar di tengah-tengah (Gusrina 2008).

Dactylogyrus (Gambar 5) masuk dalam genus Dactylogyrus, Famili Dactylogyridae, Subordo Dactylogyrinea, Ordo Dactylogyridea, Subkelas Monopisthocotylea, Kelas Monogenea, Subphylum Neodermata, Phylum Platyhelminthes, Subkingdom Eumetazoa dan Kingdom Animalia (David 2010a).

Gambar 5. Dactylogyrus (Jarkovskỳet al. 2004 dalam Abdullah 2009)

Dactylogyrus dewasa memiliki ukuran 0.3-2 mm. Dactylogyrus sering menyerang insang ikan air tawar, payau dan laut. Tubuh Dactylogyrus memiliki posterior haptor, 1-2 pasang kait besar dan 14 kait marginal (jangkar) yang

11 terdapat pada bagian posterior. Kepala Dactylogyrus memiliki 4 lobe dengan dua pasang mata yang terletak di daerah pharynx (Gusrina 2008).

Cacing dari subkelas Polyopisthocotylea memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih besar daripada cacing parasit Monopisthocotylea dan biasanya dapat dengan mudah dilihat dengan mata telanjang. Cacing dari subkelas ini memiliki haptor sederhana dengan organ perlekatan atau pengisap yang kompleks dan umumnya cacing ini memakan darah. Cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea menghasilkan telur yang lebih sedikit dari pada cacing dari subkelas Monopisthocotylea. Namun cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea lebih patogen dibandingkan cacing parasit dari subkelas Monopisthocotylea (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea cenderung lebih umum hidup di lingkungan laut. Beberapa spesies dari subkelas Polyopisthocotylea yang berada di air tawar biasanya memiliki inang alami yang berasal dari laut. Peningkatan jumlah cacing yang menginfeksi inang yang sama tidak cepat namun kebiasaan memakan darah menyebabkan kerusakan serius pada inang (Wiliams dan Wiliams 1994).

Diplectanum collinsi (Gambar 6) merupakan salah satu spesies yang berasal dari ordo Diplectanum collinsi berasal dari genus

Fa

filum Cacing parasit ini ditemukan di air tawar. Inang asli cacing parasit ini berasal dari laut, namun ia dapat hidup dengan menjadi parasit di beberapa ikan air tawar. Cacing ini memiliki Squamodisks yang menempati sebagian besar haptor. Lingkaran haptor berbentuk seperti bumerang dan memiliki dua pasang jangkar. Cacing ini memiliki ukuran panjang sekitar 635-675 mm (Wiliams dan Wiliams 1994).

Secara garis besar, Ikan dapat terjangkit dan tertular penyakit melalui air yang tercemar oleh penyakit, melalui gesekan atau kontak badan (mekanik) dengan ikan yang sakit, melalui peralatan yang digunakan dalam menangani ikan, terbawa oleh pakan hidup atau tumbuhan ke kolam baru (Afrianto dan Liviawati 1992).

12 Gambar 6. Diplectanum Collinsi (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cestoda atau cacing pita memiliki bentuk tubuh pipih seperti pita dan bersifat parasit pada saluran pencernaan vertebrata (Natadisastra dan Agoes 2005). Cestoda memiliki scolex yang dilengkapi dengan kait-kait, organ penghisap, atau keduanya. Skolex tersebut terdiri atas proglotida dengan tingkat kematangan yang berbeda pada tiap segmen. Semakin jauh proglotida dari leher maka proglotida itu semakin matang atau dewasa (Levine 1990).

Cestoda merupakan cacing hemafrodit yaitu memiliki kelamin jantan juga kelamin betina. Cestoda memiliki siklus hidup yang kompleks sebab membutuhkan inang antara dalam siklus hidupnya. Ikan dapat menjadi inang perantara kedua atau dapat pula menjadi inang definitif tergantung pada jenis cestoda yang menyerang.

Jika ikan adalah inang perantara, larva akan menembus keluar dari sistem pencernaan untuk pengembangan lebih lanjut dan menunggu sampai inang tersebut (ikan) dimakan oleh inang berikutnya (inang definitif). Jika ikan adalah inang definitif, cacing dewasa akan hidup dalam sistem pencernaan inang akhir tanpa melakukannya banyak kerugian (Aquafarmer 2004). Kehadiran cacing dewasa pada saluran cerna dapat menyebabkan penurunan berat badan dan perut menjadi kurus (Afrianto dan Liviawaty 1992). Sebab cacing akan menyerap nutrisi yang berada di usus ikan.

Menurut Noble dan Noble (1989) digenea merupakan cacing parasit yang memiliki batil hisap berbentuk mangkuk dan lubang ekskretoris posterior. Batil hisap digenea ada dua yaitu batil hisap anterior atau batil hisap mulut dan asetabulum yang terletak di tengah tubuh cacing. Telur digenea yang menetas menjadi larva bersilia (mirasidium) akan dimakan oleh inang perantara pertama (biasanya siput). Mirasidium tersebut akan berubah menjadi sebuah sporosist.

13 Setiap sporosist parasit aseksual menghasilkan banyak larva (rediae) yang pada gilirannya menghasilkan larva infektif (serkaria) yang akan berenang meninggalkan siput. Serkaria ini akan menginfeksi inang perantara kedua, encyst, dan menjadi metaserkaria. Jika menemukan inang yang tepat (inang definitif), metasersaria akan berkembang menjadi cacing dewasa.

Digenea merupakan parasit permanen pada banyak ikan laut, ikan air tawar, amfibi, reptil, mamalia dan burung. Tahap larva terjadi pada berbagai invertebrata dan vertebrata. Digenea dapat berada di dalam usus, perut, atau mulut, atau kadang-kadang paru-paru dan organ lainnya. Bentuk larva terjadi di hampir semua jaringan (Williams dan Williams 1996).

14

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan maskoki, akuades, NaCl fisiologis, Giemsa 10%, gliserol, etanol, xylol, dan pewarna

Acetocarmine. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquarium, timbangan, alas bedah berupa gabus yang dilapisi plastik berwarna hitam, penggaris, tissue, gelas objek, gelas penutup, kertas label, botol plastik, alat bedah (gunting, pinset, dan skalpel), cawan petri, lemari pendingin bersuhu 4 ⁰C, pipet, mikroskop stereo, mikroskop cahaya, video mikrometer, dan jarum.

Metode Penelitian 1. Isolasi Cacing

Penelitian ini diawali dengan melakukan pemilihan lokasi pengambilan sampel ikan (di Pasar Anyar Bogor Tengah, di Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur) yang dilakukan secara acak dengan jumlah 10 ekor dari tiap lokasi. Ikan-ikan yang telah dipilih secara acak dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi air dan oksigen secukupnya lalu dibawa ke laboratorium.

Sesampainya di laboratorium Helmintologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, ikan dimasukkan ke dalam aquarium dan dibiarkan semalaman dengan tujuan mengurangi stres. Keesokan harinya, satu demi satu ikan sampel ditimbang berat badannya menggunakan timbangan digital dan diukur panjang tubuhnya. Setelah diukur, ekor ikan digunting lalu dibuat ulas darah. Kemudian dibunuh dengan cara digunting bagian medulla oblogatanya. Setelah hewan mati, organ

15 insang dan saluran pencernaan dipisahkan dari tubuh lalu dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah diisi NaCl Fisiologis. Cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam lemari pendingin bersuhu 4 ⁰C minimal selama 10 jam dengan tujuan agar cacing tersebut dapat berelaksasi dan mengeluarkan kaitnya agar dapat terlepas dari organ insang dan saluran pencernaan. Cacing yang telah diisolasi dari sampel organ, dimasukkan ke dalam botol plastik berisi alkohol 70% dan ditambahkan 2 tetes gliserin dengan tujuan untuk mengurangi penguapan di dalam botol. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan proses pewarnaan terhadap cacing parasitik.

2. Pewarnaan darah

Pewarnaan darah ikan maskoki diawali dengan pembuatan preparat ulas darah lalu dilanjutkan dengan pewarnaan Giemsa. Pembuatan preparat ulas darah dilakukan dengan cara meneteskan darah pada gelas objek. Gelas objek kedua diletakkan dengan sudut 45º di atas gelas objek pertama, kemudian digeser ke belakang menyentuh darah sehingga darah menyebar. Gelas objek kedua kemudian digeser ke arah yang berlawanan sehingga membentuk suatu lapisan tipis darah. Preparat ulas darah dibiarkan kering. Setelah itu dilanjutkan dengan proses fiksasi dengan cara merendam preparat di dalam larutan metanol selama 5 menit, kemudian dikeringkan. Preparat kemudian dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama 30 menit setelah itu dicuci dan dikeringkan. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x (dengan minyak imersi), dan dilakukan penghitungan masing-masing jenis leukosit hingga mencapai jumlah 100 sel leukosit (AMC 2008).

3. Pewarnaan Cacing

Spesimen cacing direndam dengan pewarnaan Acetocarmine selama 30 menit sampai 3 jam hingga spesimen berwarna merah cerah. Setelah perendaman, spesimen dibilas dengan etanol 70% dan direndam dengan larutan asam alkohol yang merupakan 99 bagian etanol 70% dan 1 bagian HCl selama 5-7 menit. Kemudian spesimen tersebut direndam dengan etanol secara bertingkat yaitu etanol 70%, 85%, 95%, dan absolute selama 5 menit untuk tujuan dehidratasi. Kemudian dilanjutkan dengan clearing yang terdiri dari lactophenol dan xylol untuk membuat spesimen transparan dan di mounthing dengan entelan.

16 Larutan Acetocarmine diperoleh dari 100 ml aquades dicampur dengan 100 ml asam asetat glasial. Kemudian ditambahkan bubuk lithium carmine ke dalam larutan tersebut hingga menjadi jenuh. Selanjutnya larutan tersebut dipanaskan pada suhu 900C selama 15 menit dan ditambahkan etanol 70% sebanyak 200 ml ke dalam larutan tersebut (Yamaguti 1958).

Spesimen cacing dibilas dengan etanol 70% dan direndam dengan larutan asam alkohol yang merupakan 99 bagian etanol 70% dan 1 bagian HCl selama 5-7 menit hingga menjadi warna merah. Kemudian spesimen tersebut direndam dengan etanol secara bertingkat yaitu etanol 70%, 85%, 95%, dan absolute selama 5 menit. Hal ini bertujuan untuk dehidratasi. Kemudian dilanjutkan dengan

clearing yang terdiri dari lactophenol dan xylol untuk membuat spesimen transparan dan di’mounting’ dengan Entellan. (Yamaguti 1958).

Analisis Data Tingkat Infeksi

Analisis data kecacingan dilakukan dengan penghitungan prevalensi (pendugaan proporsi) dari cacing parasit di sampel dan menggunakan rumus penghitungan statistik berupa jumlah ikan yang terinfeksi cacing parasitik dibagi dengan jumlah ikan yang diperiksa lalu hasil pembagian tersebut dikalikan dengan 100%.

17

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur. Dari ketiga lokasi pengambilan sampel ikan maskoki tersebut diketahui bahwa ikan maskoki dipelihara pada kondisi yang tidak berbeda jauh (Tabel 2). Namun ikan maskoki di Bogor Tengah ditempatkan di satu akuarium tanpa diberi tanaman hias, sedangkan ikan maskoki di Bogor Timur dan Bogor Selatan ditempatkan pada satu akuarium bersama ikan hias jenis lain.

Tabel 2 Kondisi pemeliharaan ikan maskoki

No Parameter Bogor Tengah Bogor Selatan Bogor Timur 1. 2. 3. 4. 5. Tempat pemeliharaan Aerator Hiasan aquarium Asal air Makanan Akuarium Ada Tidak ada Sumur Pelet Ikan Akuarium Ada Tanaman Hias Sumur Pelet Ikan Akuarium Ada Tanaman Hias Sumur Pelet Ikan

Prevalensi Kecacingan Pada Ikan Maskoki

Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki di Bogor disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

No. Lokasi Pengambilan Jumlah Ikan yang diperiksa Prevalensi cacing di insang (%) Prevalensi cacing di usus (%) 1. 2. Bogor Tengah Bogor Selatan 10 10 100 100 0 0 3. Bogor Timur 10 100 0

Ikan maskoki di Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur memiliki nilai prevalensi kecacingan sebesar 100% di insang dan 0% di usus. Berdasarkan kategori yang dikembangkan oleh Williams dan Williams (1996), tingkat prevalensi kecacingan pada insang ikan maskoki tersebut masuk ke dalam kategori infeksi always (99-100%). Sedangkan

Dokumen terkait