• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cacing parasitik dan gambaran darah pada ikan maskoki (Carassius auratus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Cacing parasitik dan gambaran darah pada ikan maskoki (Carassius auratus)"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

BANJAR ARSI PURBO SEJATI (B04070090). Parasitic Worm and Leukocyte Profile of Goldfish (Carassius auratus). Under direction Dr. drh. Risa Tiuria, Ms. And Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, Ms.

This research was conducted to observe the parasitic worms on the goldfish and see the relationship between the infestation of worms with the hematology of goldfish. The organs which examined were the gills and the intestines. This research used 30 samples. Ten samples were taken from the Pasar Anyar Bogor Tengah, ten samples from Batu Tulis Bogor Selatan and ten samples from Baranang Siang Bogor Timur. The results showed that the gills of goldfish were 100% infected with parasitic worms. The intestines were not infected with parasitic worms. Parasites that identificated in goldfish’s gills were Monopisthocotylea and Dactylogyrus sp.. Leukocyte profile of the goldfish showed an increase in the neutrophils and the eosinophils.

(2)

CACING PARASITIK DAN GAMBARAN LEUKOSIT PADA

IKAN MASKOKI (Carassius auratus)

BANJAR ARSI PURBO SEJATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

ABSTRACT

BANJAR ARSI PURBO SEJATI (B04070090). Parasitic Worm and Leukocyte Profile of Goldfish (Carassius auratus). Under direction Dr. drh. Risa Tiuria, Ms. And Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, Ms.

This research was conducted to observe the parasitic worms on the goldfish and see the relationship between the infestation of worms with the hematology of goldfish. The organs which examined were the gills and the intestines. This research used 30 samples. Ten samples were taken from the Pasar Anyar Bogor Tengah, ten samples from Batu Tulis Bogor Selatan and ten samples from Baranang Siang Bogor Timur. The results showed that the gills of goldfish were 100% infected with parasitic worms. The intestines were not infected with parasitic worms. Parasites that identificated in goldfish’s gills were Monopisthocotylea and Dactylogyrus sp.. Leukocyte profile of the goldfish showed an increase in the neutrophils and the eosinophils.

(4)

RINGKASAN

BANJAR ARSI PURBO SEJATI (B04070090). Cacing Parasitik dan Gambaran Leukosit Ikan Maskoki (Carassius auratus). Dibawah Bimbingan Dr. drh. Risa Tiuria, Ms. Sebagai Pembimbing I dan Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, Ms. Sebagai Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati cacing parasitik yang berada pada ikan maskoki serta melihat pengaruh kecacingan terhadap gambaran leukosit ikan. Organ yang diperiksa berupa insang dan usus. Penelitian ini menggunakan 30 sampel ikan. Sepuluh sampel ikan diambil dari Pasar Anyar Bogor Tengah, sepuluh sampel Batu Tulis Bogor Selatan dan sepuluh sampel Baranang Siang Bogor Timur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa insang ikan maskoki 100% terinfeksi cacing parasitik. Usus ikan tidak terinfeksi cacing parasitik. Parasit yang menyerang insang ikan maskoki teridentifikasi berupa cacing dari sunkelas Monopisthocotylea dan Dactylogyrus sp.. Gambaran leukosit ikan maskoki menunjukkan adanya peningkatan sel neutrofil dan sel eosinofil.

(5)

CACING PARASITIK DAN GAMBARAN LEUKOSIT PADA

IKAN MASKOKI (Carassius auratus)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut PertanianBogor

Oleh:

BANJAR ARSI PURBO SEJATI

B04070090

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

CACING PARASITIK DAN GAMBARAN LEUKOSIT IKAN MASKOKI (Carassius auratus)

Adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skirpsi ini.

Bogor, November 2011

Banjar Arsi Purbo Sejati

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Cacing parasitik dan gambaran darah pada ikan maskoki (Carassius auratus)

Nama : Banjar Arsi Purbo Sejati

NIM : B04070090

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.drh. Risa Tiuria, M.S. Dr.drh. Damiana Rita Ekastuti,M.S. NIP: 196304301987032001 NIP: 1962021219862001

Diketahui

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Dr. Nastiti Kusumorini NIP: 196212051987032001

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini mampu terselesaikan dengan baik.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaiksn penghargaan dan ucapan terimakasih setinggi-tingginya kepada orang-orang yang telah berperan dalam penyusunan tugas akhir ini. Ucapan terimakasih tersebut disampaikan kepada: 1. Dr. Drh. Risa Tiuria, MS selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. drh.

Damiana Rita Ekastuti, MS selaku dosen pembimbing kedua atas kesempatan, bimbingan, petunjuk, masukan dan dorongan yang sangat membantu penulis dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Drh. H Muchidin Noordin selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini.

3. My Beloved Family: Papa, Mama, kak Putri Indonesia Sejati, Kak Gati, adek Anjar dan seluruh keluarga besar serta eyang atas dukungan yang diberikan selama ini.

4. Rekan satu penelitian, Amalia Mukhlis Rahman dan David Kusmawan atas kerjasama dan dukungan selama penelitian.

5. Pak Eman (staf bagian Helminthologi), Bu Wiwik dan Pak Engkos atas bantuannya.

6. Adi N, Wulan, Ati, Sheila, Mega, dan Tami atas bantuan, koreksian, dukungan, dan saran berharga yang diberikan.

7. Teman-teman Gianuzi 44 atas kebersamaannya selama ini.

8. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak mungkin disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terimakasih.

Terlepas dari kekurangan yang ada penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi mereka yang memerlukan.

Bogor, November 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Abepura pada tanggal 19 Juni 1989 sebagai anak Kedua dari empat bersaudara, dari Pasangan Sudarmo Di Suryo dan Wahtu Kustiarini.

Pendidikan dasar ditempuh di SDN Perumnas 1 Waena, kemudian dilanjutkan pada SMP Negeri 11 Jayapura, lalu dilanjutkan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Abepura. Penulis diterima sebagai mahasiswi IPB pada Fakultas Kedokteran Hewan tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

(11)

i

Tujuan Penelitian ….………..………..….…...

Manfaat Penelitian ………..………..…...…

TINJAUAN PUSTAKA ………..………

Ikan Maskoki (Carassius auratus) ………..…… Darah Ikan Maskoki ………...…..………..….…

Cacing Parasitik Pada insang dan Usus ……….………

(12)

ii Saran ………..

DAFTAR PUSTAKA ………..…….… 25

(13)

iii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Oranda Fancy Goldfish ………...…. 4

2 Saluran Pencernaan Ikan Maskoki ………. 5

3 Gambaran Sel Darah Putih Ikan ……… 7

4 Gyrodactylus sp. ………...………… 10

5 Dactylogyrus ………...……….. 10

6 Diplectanum Collinsi ……… 12

(14)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Gambaran Leukosit Normal Ikan Maskoki ………. 6

Tabel 2 Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki .………. 17

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor ………..….. 17

Tabel 4 Jumlah cacing pada ikan di Bogor ……… 21

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan hias air tawar merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia

yang mempunyai peluang besar untuk menghasilkan devisa negara di sektor non

migas. Ikan hias air tawar memiliki keindahan yang menjadi daya tarik tersendiri

bagi penghobi maupun untuk pembudidaya ikan hias. Salah satu jenis ikan hias air

tawar yang populer adalah ikan maskoki (Carassius auratus). Ikan ini memiliki kemampuan yang cukup adaptif terhadap kondisi lingkungan. Namun di dalam

pemeliharaannya, ikan maskoki tetap tidak lepas dari masalah kesehatan seperti

terserang penyakit.

Penyakit dapat disebabkan oleh berbagai agen. Menurut Gusrina (2008), ada

dua jenis agen yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit yaitu agen patogen

dan agen non patogen. Kehadiran agen patogen dapat mempengaruhi pemilik ikan

dan individu ikan itu sendiri. Penyakit pada ikan menyebabkan penurunan kualitas

ikan, kematian ikan, kerugian materiil, kegagalan budidaya, dan dapat berujung

pada bangkrutnya usaha (Prayitno 2002). Kehadiran agen patogen tertentu dalam

tubuh inang dapat menyebabkan timbulnya kerusakan, stres bahkan kematian.

Menurut Gusrina (2008), contoh agen non patogen berupa keracunan dan

kekurangan gizi, sedangkan contoh agen patogen berupa virus, bakteri, dan cacing

parasit.

Ikan maskoki merupakan anggota dari famili Cyprinidae. Menurut Anshary

(2008), ikan dari famili tersebut termasuk jenis ikan yang paling rentan terhadap

berbagai infeksi parasit. Kehadiran cacing parasit menyebabkan adanya respon

pada tubuh, salah satunya berupa perubahan gambaran leukosit ikan.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi cacing parasitik pada ikan

maskoki dan untuk melihat pengaruh kecacingan terhadap gambaran leukosit pada

(16)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai

jenis cacing parasitik yang menyerang insang dan saluran pencernaan ikan

(17)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Ikan Maskoki (Carassius auratus) pertama kali dibudidayakan oleh masyarakat Cina pada tahun 960-1729. Awalnya bentuk ikan maskoki seperti ikan

Mas (Cyprinus carpio L), bedanya ikan maskoki tidak memiliki sepasang sungut di mulutnya

popularitas ikan maskoki mulai menanjak. Di sinilah bermunculan ikan maskoki

dengan bentuk tubuh yang bervariasi dan unik. Perkembangan ikan maskoki

kemudian merambah hingga ke negeri Jepang.

Di negeri matahari terbit ikan maskoki terus mengalami perkembangan

pesat sehingga menghasilkan bentuk yang lebih bervariatif seperti saat ini. Dari

negeri Sakura, ikan maskoki mulai menyebar ke seluruh dunia, termasuk

Indonesia

besar agak menonjol ke luar dan warna sisik yang menarik. Ikan maskoki

tergolong mudah dipelihara karena sifatnya cukup adaptif terhadap lingkungan

yang baru. Tak mengherankan jika ikan maskoki dengan berbagai varietasnya

tersebar di seluruh dunia

Ikan maskoki masuk ke dalam Kingdom Animalia, Subkingdom Eumetazoa,

Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Infrafilum Gnathostomata, Kelas

Actinopterygii, Subkelas Neopterygii, Superordo Teleostei, Ordo Clupeiformes,

Family Cyprinidae, Genus Carassius dan Spesiesnya berupa Carassius auratus

(Freyhof 2004).

Salah satu jenis ikan maskoki yang populer adalah Ikan maskoki varietas

Oranda (Spencer). Ikan ini memiliki keunikan yang terletak pada kepalanya yang

berjambul dan memiliki sirip punggung (Iskandar dan Sitanggang 2003), hal

tersebut dapat diamati pada Gambar 1.

Ikan maskoki merupakan ikan hias air tawar yang hidup di perairan dengan

air yang mengalir tenang serta berudara sejuk

hewan omnivora (Watson et al 2004) dan bukan hewan kanibal sehingga dapat dipelihara secara koloni dalam satu lingkungan pemeliharaan (Iskandar dan

(18)

4 Suhu optimal air untuk hidup ikan maskoki adalah 18-24ºC.

Mempertahankan suhu untuk terus berada dalam kisaran suhu optimal perlu

dilakukan. Karena pemeliharaan di luar suhu optimal dapat menekan sistem

kekebalan tubuh ikan dan akan menyebabkan penurunan nafsu makan serta

gangguan pada pertumbuhan ikan. Ikan maskoki dapat hidup dalam air yang

memiliki kandungan oksigen minimal 5 mg/L, pH 7-7.8, tingkat amoniak terlarut

maksimal 0,05 mg/L dan tingkat nitrit terlarut maksimal 0,05 mg/L (Watson et al

2004).

Ikan maskoki dianggap sebagai ikan yang tangguh karena dapat bertahan

hidup di air berkualitas buruk. Walaupun demikian, kualitas air penting di

perhatikan agar pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ikan berjalan optimal

(Watson et al 2004). Ikan maskoki dapat hidup hingga umur 30 tahun dengan panjang mencapai 23 inches (58 cm) dan berat mencapai 2,7 kg .

Ikan maskoki memiliki organ interna dan eksterna yang keseluruhan organ

tersebut memiliki ciri dan fungsi tertentu untuk mendukung kelangsungan hidup

ikan (Yanong 2003). Insang merupakan salah satu organ interna ikan maskoki

yang memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup ikan. Peranan penting

tersebut adalah sebagai media pertukaran gas (Campbell et al 2004). Insang terdiri dari lamela insang primer, lamela insang sekunder dan tulang rawan insang.

Lamela primer adalah lamela yang bersentuhan langsung dengan tulang rawan

insang dan lamela sekunder merupakan percabangan dari lamela primer (Yanong

2003).

Insang akan mengoptimalkan ekstraksi oksigen dari air dan merupakan

(19)

5 keluar diantara celah insang lewat gerakan terkoordinasi dari rahang dan

operculum (penutup insang), agar terjadi ventilasi. Ventilasi yang dimaksudkan berupa aktivitas inhalasi dan ekshalasi atau proses mengambil oksigen dan

melepaskan karbon dioksida lewat pernafasan. Ketika ventilasi terjadi, darah

mengalir dengan arah yang berlawanan dengan aliran air yang mengalir, oksigen

akan masuk ke dalam aliran darah dan CO2 akan dibuang ke air (Campbell et al 2004).

Usus merupakan salah satu organ interna ikan yang mengambil peranan

dalam sistem pencernaan. Usus berbentuk seperti tabung memanjang yang

melingkar-lingkar dan mengisi sebagian besar rongga abdomen. Makanan yang

ditangkap oleh mulut akan masuk ke dalam rongga mulut, melewati faring,

esofagus, bola usus (intestinal bulb), usus kemudian sisa makanan yang tidak diserap akan dikeluarkan lewat anus (Sarbahi 1951).

(20)

6 Bola usus merupakan kantung hasil pembengkakan anterior usus yang

berfungsi untuk menyimpan makanan. Bola usus tidak memiliki kelenjar lambung

dan memiliki mukosa yang mirip dengan mukosa usus (Khanna dan Yadav 2004).

Usus ikan maskoki sendiri terbagi atas usus depan, usus belakang dan rektum.

Perbedaan antara usus depan, usus belakang, dan rektum terletak pada pola lipatan

dari membran mukosa. Usus depan memiliki pola lipatan berupa garis dan sudut

sedangkan usus belakang memiliki pola lipatan berupa garis yang berbelit-belit.

Pola lipatan rektum ikan maskoki berupa pola miring melintang (Sarbahi 1951).

Darah Ikan Maskoki

Seperti pada mamalia, ikan memiliki komponen darah berupa sel darah

merah atau eritrosit dan sel darah putih atau leukosit. Setiap spesies pada hewan,

baik itu mamalia, reptil maupun ikan memiliki kisaran nilai parameter hematologi

yang berbeda. Gambaran leukosit normal pada ikan maskoki dapat terlihat pada

Tabel 1.

Tabel 1 Gambaran leukosit normal ikan maskoki

No Diferensial leukosit (%)

Leukosit Normal Ikan Maskoki

Watson (1963) Loventhal (1930) Lewbart (2006)

1. Limfosit 92 73 70

Limfosit merupakan sel leukosit berbentuk bulat, tidak teratur dengan inti

yang besar (Gao et al. 2007). Limfosit merupakan sel leukosit yang paling umum ada dalam darah ikan, berupa 85% dari seluruh total populasi sel leukosit

(V´azquez dan Guererro 2007). Limfosit berfungsi memediasi respon imun

humoral dan respon imun seluler. Ketika sel limfosit berkontak dengan bahan

asing (antigen), akan terjadi proliferasi sel limfosit yang kemudian akan

menyebabkan dikeluarkannya antibodi imunoglobulin oleh sistem imun. Respon

imun humoral merupakan respon kekebalan tubuh yang dimediasi oleh antibodi

(21)

7 Monosit merupakan sel-sel besar dengan nukleus besar dan sitoplasmanya

berisi granul-granul kecil yang tersebar. Monosit berfungsi dengan menanggapi

infeksi dan merupakan prekursor dari makrofag. Hal ini menyebabkan sel

monosit memainkan peran penting dalam imunitas non spesifik dan respon

inflamasi (AMC 2008).

Eosinofil, neutrofil dan basofil pada ikan termasuk dalam granulosit leukosit

atau sel leukosit yang memiliki granul-granul (V´azquez dan Guererro 2007).

Granulosit terlibat dalam mekanisme pertahanan non-spesifik, yaitu mereka

menanggapi adanya bahan asing dalam tubuh tetapi tidak mengenali antigen

tertentu. Sel-sel ini bermigrasi ke bagian tubuh di mana invasi terjadi dan

menghancurkan partikel asing dengan fagositosis atau dengan membunuh

langsung yang dikenal sebagai respon sitotoksik (AMC 2008).

.

Gambar 3. Gambaran sel darah Putih ikan: A) l adalah Limfosit; B) m adalah Monosit; C) eo adalah Eosinofil; D) Neutrofil; E) eosinofil (V´azquez dan Guererro 2007); F) Monosit; G) Limfosit (Gao et al. 2007).

Pada ikan sehat, yang paling umum ditemukan diantara ketiga granulosit

tersebut adalah sel neutrofil dan granulosit leukosit yang sangat jarang ditemukan

adalah sel basofil (V´azquez dan Guererro 2007). Neutrofil umumnya memiliki

(22)

8 berbentuk elips tidak teratur. Memiliki inti yang dapat diamati seperti berbentuk

pita, bentuk tapal kuda, membentuk segmen terhadap sumbu dan tidak simetris.

Eosinofil merupakan sel darah putih khusus (leukosit PMN) yang dapat

diwarnai dengan pewarna asam seperti eosin, namun sel eosinofil dapat pula di

identifikasi dengan pewarnaan sederhana seperti pewarnaan giemsa (AMC 2008).

Eosinofil memiliki sitoplasma yang besar berbentuk bola dengan granul-granul

yang hampir menutupi. Inti sel eosinofil biasanya berbentuk bulat, kadang

berbentuk seperti ginjal atau tapal kuda tetapi lebih teratur (Gao et al. 2007). Sel-sel ini terlibat dalam penghancuran parasit internal dan dalam modulasi inflamasi

reaksi alergi (AMC 2008).

Cacing Parasitik Pada Insang dan Usus

Ikan Cyprinidae termasuk jenis ikan yang paling rentan terhadap berbagai

infeksi parasitik (Anshary 2008). Menurut FAO (1991), Metazoa yang bersifat

parasit seperti cacing parasit pada kelas tertentu (monogenea, cestoda dan

digenea) merupakan agen-agen yang memegang peranan pada penyakit ikan.

Monogenea merupakan salah satu kelas dari hewan yang tak bertulang

belakang yang termasuk dalam phylum Platyhelminthes. Monogenea memiliki arti

sebagai dilahirkan sekali, hal ini mengacu pada siklus hidupnya yang sederhana

(Williams dan Williams 1994) dan tanpa inang perantara (Lasee 2004). Pada

infeksi yang berat, cacing dari kelas monogenea dapat membunuh ikan yang

menjadi inangnya. Umumnya monogenea memiliki bentuk tubuh panjang dan

transparan (Williams dan Williams 1994).

Monogenea memiliki organ lampiran berbeda pada bagian belakang tubuh

mereka (haptor) yang dilengkapi dengan kait atau klem khusus. Kait atau klem

khusus ini dapat dipakai untuk menusuk epitel dan berpegangan pada inang.

Sebagian besar monogenea berkembang biak dengan meletakkan telur yang

menetaskan larva bersilia (onchomiracidia) dan cepat menjadi dewasa dan

melekat pada inang (William dan William 1994).

Ikan air tawar yang terserang monogenea akan terlihat lesu, berenang di

dekat permukaan, mencari sisi kolam dan nafsu makan menjadi menurun. Insang

(23)

9 toleran terhadap oksigen yang rendah. Infeksi monogenea yang parah pada kulit

dan insang dapat menyebabkan kerusakan hebat bahkan kematian. Investasi

monogenea yang besar juga akan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri

dan jamur (Klinger dan Floyd 2009). Monogenea memiliki dua sub kelas yaitu

Monopisthocotylea dan Polyopisthocotylea.

Monopisthocotylea merupakan salah satu subkelas dari monogenea. Cacing

dari subkelas Monopisthocotylea memiliki organ tubuh sederhana dan biasanya

satu haptor dengan 1-2 jangkar dengan lingkaran yang interkoneksi. Umumnya

parasit cacing dari subkelas ini memiliki ukuran yang jauh lebih kecil daripada

cacing dari subkelas Polyopisthocotylea. Parasit ini dapat ditemukan di kerokan

permukaan kulit atau di insang yang diamati dengan menggunakan mikroskop

(Wiliams dan Wiliams 1994).

Pada infeksi cacing yang berat, kait cacing dapat menyebabkan iritasi pada

kulit dan insang serta meningkatkan produksi lendir. Kulit mungkin memiliki

bercak putih terutama di belakang sirip. Ikan akan menunjukkan kebiasaan berupa

menggosokkan tubuh mereka pada sisi kolam dan berenang dengan terlalu liar

atau dengan lesu (Wiliams dan Wiliams 1994). Monopisthocotylea memiliki tiga

ordo yaitu Capsalidea, Dactylogridea dan Gyrodactylidea (David 2010a), namun

Monopisthocotylea yang menyerang insang ikan air tawar biasanya berasal dari

ordo Dactylogridea dan Gyrodactylidea (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cacing parasitik pada Gambar 4 masuk ke dalam genus Gyrodactylus,

Famili Gyrodactylidae, Ordo Gyrodactylidea, Sub Kelas

Kelas Monogenea, Subphylum

Subkingdom Gyrodactylus

merupakan salah satu genus cacing parasit yang menginfeksi insang dari ikan air

tawar. Cacing ini memiliki embrio yang sedang berkembang yang dapat terlihat di

(24)

10 Gambar 4. Gyrodactylus sp. memiliki kait yang terletak pada embrio (E). The episthaptor (O) mengandung banyak kait dan jangkar. Perbesaran -- 100/xm (Yanong 2003).

Strategi reproduksi ini memungkinkan populasi Gyrodactylus dapat menjadi banyak dengan cepat, terutama pemeliharaan di dalam sistem tertutup. (Klinger

dan Floyd 2009). Gyrodactylus dewasa memiliki Ophisthaptor yang tidak mengandung batil isap, tetapi memiliki sederet kait-kait kecil berjumlah 16 buah

di sepanjang tepinya dan sepanjang kait besar di tengah-tengah (Gusrina 2008).

Dactylogyrus (Gambar 5) masuk dalam genus Dactylogyrus, Famili Dactylogyridae, Subordo Dactylogyrinea, Ordo Dactylogyridea, Subkelas

Monopisthocotylea, Kelas Monogenea, Subphylum Neodermata, Phylum

Platyhelminthes, Subkingdom Eumetazoa dan Kingdom Animalia (David 2010a).

Gambar 5. Dactylogyrus (Jarkovskỳet al. 2004 dalam Abdullah 2009)

(25)

11 terdapat pada bagian posterior. Kepala Dactylogyrus memiliki 4 lobe dengan dua pasang mata yang terletak di daerah pharynx (Gusrina 2008).

Cacing dari subkelas Polyopisthocotylea memiliki ukuran tubuh yang jauh

lebih besar daripada cacing parasit Monopisthocotylea dan biasanya dapat dengan

mudah dilihat dengan mata telanjang. Cacing dari subkelas ini memiliki haptor

sederhana dengan organ perlekatan atau pengisap yang kompleks dan umumnya

cacing ini memakan darah. Cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea

menghasilkan telur yang lebih sedikit dari pada cacing dari subkelas

Monopisthocotylea. Namun cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea lebih

patogen dibandingkan cacing parasit dari subkelas Monopisthocotylea (Wiliams

dan Wiliams 1994).

Cacing parasit dari subkelas Polyopisthocotylea cenderung lebih umum

hidup di lingkungan laut. Beberapa spesies dari subkelas Polyopisthocotylea yang

berada di air tawar biasanya memiliki inang alami yang berasal dari laut.

Peningkatan jumlah cacing yang menginfeksi inang yang sama tidak cepat namun

kebiasaan memakan darah menyebabkan kerusakan serius pada inang (Wiliams

dan Wiliams 1994).

Diplectanum collinsi (Gambar 6) merupakan salah satu spesies yang berasal dari ordo Diplectanum collinsi berasal dari genus

Fa

filum

Cacing parasit ini ditemukan di air tawar. Inang asli cacing parasit ini berasal dari

laut, namun ia dapat hidup dengan menjadi parasit di beberapa ikan air tawar.

Cacing ini memiliki Squamodisks yang menempati sebagian besar haptor. Lingkaran haptor berbentuk seperti bumerang dan memiliki dua pasang jangkar.

Cacing ini memiliki ukuran panjang sekitar 635-675 mm (Wiliams dan Wiliams

1994).

Secara garis besar, Ikan dapat terjangkit dan tertular penyakit melalui air

yang tercemar oleh penyakit, melalui gesekan atau kontak badan (mekanik)

dengan ikan yang sakit, melalui peralatan yang digunakan dalam menangani ikan,

terbawa oleh pakan hidup atau tumbuhan ke kolam baru (Afrianto dan Liviawati

(26)

12 Gambar 6. Diplectanum Collinsi (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cestoda atau cacing pita memiliki bentuk tubuh pipih seperti pita dan

bersifat parasit pada saluran pencernaan vertebrata (Natadisastra dan Agoes

2005). Cestoda memiliki scolex yang dilengkapi dengan kait-kait, organ

penghisap, atau keduanya. Skolex tersebut terdiri atas proglotida dengan tingkat

kematangan yang berbeda pada tiap segmen. Semakin jauh proglotida dari leher

maka proglotida itu semakin matang atau dewasa (Levine 1990).

Cestoda merupakan cacing hemafrodit yaitu memiliki kelamin jantan juga

kelamin betina. Cestoda memiliki siklus hidup yang kompleks sebab

membutuhkan inang antara dalam siklus hidupnya. Ikan dapat menjadi inang

perantara kedua atau dapat pula menjadi inang definitif tergantung pada jenis

cestoda yang menyerang.

Jika ikan adalah inang perantara, larva akan menembus keluar dari sistem

pencernaan untuk pengembangan lebih lanjut dan menunggu sampai inang

tersebut (ikan) dimakan oleh inang berikutnya (inang definitif). Jika ikan adalah

inang definitif, cacing dewasa akan hidup dalam sistem pencernaan inang akhir

tanpa melakukannya banyak kerugian (Aquafarmer 2004). Kehadiran cacing

dewasa pada saluran cerna dapat menyebabkan penurunan berat badan dan perut

menjadi kurus (Afrianto dan Liviawaty 1992). Sebab cacing akan menyerap

nutrisi yang berada di usus ikan.

Menurut Noble dan Noble (1989) digenea merupakan cacing parasit yang

memiliki batil hisap berbentuk mangkuk dan lubang ekskretoris posterior. Batil

hisap digenea ada dua yaitu batil hisap anterior atau batil hisap mulut dan

asetabulum yang terletak di tengah tubuh cacing. Telur digenea yang menetas

menjadi larva bersilia (mirasidium) akan dimakan oleh inang perantara pertama

(27)

13 Setiap sporosist parasit aseksual menghasilkan banyak larva (rediae) yang pada

gilirannya menghasilkan larva infektif (serkaria) yang akan berenang

meninggalkan siput. Serkaria ini akan menginfeksi inang perantara kedua, encyst, dan menjadi metaserkaria. Jika menemukan inang yang tepat (inang definitif),

metasersaria akan berkembang menjadi cacing dewasa.

Digenea merupakan parasit permanen pada banyak ikan laut, ikan air tawar,

amfibi, reptil, mamalia dan burung. Tahap larva terjadi pada berbagai invertebrata

dan vertebrata. Digenea dapat berada di dalam usus, perut, atau mulut, atau

kadang-kadang paru-paru dan organ lainnya. Bentuk larva terjadi di hampir semua

(28)

14

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2010 di

laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan,

Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan maskoki,

akuades, NaCl fisiologis, Giemsa 10%, gliserol, etanol, xylol, dan pewarna

Acetocarmine. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquarium, timbangan, alas bedah berupa gabus yang dilapisi plastik berwarna hitam,

penggaris, tissue, gelas objek, gelas penutup, kertas label, botol plastik, alat bedah (gunting, pinset, dan skalpel), cawan petri, lemari pendingin bersuhu 4 ⁰C, pipet,

mikroskop stereo, mikroskop cahaya, video mikrometer, dan jarum.

Metode Penelitian

1. Isolasi Cacing

Penelitian ini diawali dengan melakukan pemilihan lokasi pengambilan

sampel ikan (di Pasar Anyar Bogor Tengah, di Batu Tulis Bogor Selatan dan

Baranang Siang Bogor Timur) yang dilakukan secara acak dengan jumlah 10 ekor

dari tiap lokasi. Ikan-ikan yang telah dipilih secara acak dimasukkan ke dalam

kantong plastik yang telah diberi air dan oksigen secukupnya lalu dibawa ke

laboratorium.

Sesampainya di laboratorium Helmintologi Fakultas Kedokteran Hewan

IPB, ikan dimasukkan ke dalam aquarium dan dibiarkan semalaman dengan

tujuan mengurangi stres. Keesokan harinya, satu demi satu ikan sampel ditimbang

berat badannya menggunakan timbangan digital dan diukur panjang tubuhnya.

Setelah diukur, ekor ikan digunting lalu dibuat ulas darah. Kemudian dibunuh

(29)

15 insang dan saluran pencernaan dipisahkan dari tubuh lalu dimasukkan ke dalam

cawan petri yang telah diisi NaCl Fisiologis. Cawan petri tersebut dimasukkan ke

dalam lemari pendingin bersuhu 4 ⁰C minimal selama 10 jam dengan tujuan agar

cacing tersebut dapat berelaksasi dan mengeluarkan kaitnya agar dapat terlepas

dari organ insang dan saluran pencernaan. Cacing yang telah diisolasi dari sampel

organ, dimasukkan ke dalam botol plastik berisi alkohol 70% dan ditambahkan 2

tetes gliserin dengan tujuan untuk mengurangi penguapan di dalam botol. Tahap

selanjutnya yaitu dilakukan proses pewarnaan terhadap cacing parasitik.

2. Pewarnaan darah

Pewarnaan darah ikan maskoki diawali dengan pembuatan preparat ulas

darah lalu dilanjutkan dengan pewarnaan Giemsa. Pembuatan preparat ulas darah

dilakukan dengan cara meneteskan darah pada gelas objek. Gelas objek kedua

diletakkan dengan sudut 45º di atas gelas objek pertama, kemudian digeser ke

belakang menyentuh darah sehingga darah menyebar. Gelas objek kedua

kemudian digeser ke arah yang berlawanan sehingga membentuk suatu lapisan

tipis darah. Preparat ulas darah dibiarkan kering. Setelah itu dilanjutkan dengan

proses fiksasi dengan cara merendam preparat di dalam larutan metanol selama 5

menit, kemudian dikeringkan. Preparat kemudian dimasukkan ke dalam larutan

Giemsa selama 30 menit setelah itu dicuci dan dikeringkan. Selanjutnya preparat

diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x (dengan minyak imersi),

dan dilakukan penghitungan masing-masing jenis leukosit hingga mencapai

jumlah 100 sel leukosit (AMC 2008).

3. Pewarnaan Cacing

Spesimen cacing direndam dengan pewarnaan Acetocarmine selama 30 menit sampai 3 jam hingga spesimen berwarna merah cerah. Setelah perendaman,

spesimen dibilas dengan etanol 70% dan direndam dengan larutan asam alkohol

yang merupakan 99 bagian etanol 70% dan 1 bagian HCl selama 5-7 menit.

Kemudian spesimen tersebut direndam dengan etanol secara bertingkat yaitu

(30)

16 Larutan Acetocarmine diperoleh dari 100 ml aquades dicampur dengan 100 ml asam asetat glasial. Kemudian ditambahkan bubuk lithium carmine ke dalam larutan tersebut hingga menjadi jenuh. Selanjutnya larutan tersebut dipanaskan

pada suhu 900C selama 15 menit dan ditambahkan etanol 70% sebanyak 200 ml ke dalam larutan tersebut (Yamaguti 1958).

Spesimen cacing dibilas dengan etanol 70% dan direndam dengan larutan

asam alkohol yang merupakan 99 bagian etanol 70% dan 1 bagian HCl selama 5-7

menit hingga menjadi warna merah. Kemudian spesimen tersebut direndam

dengan etanol secara bertingkat yaitu etanol 70%, 85%, 95%, dan absolute selama 5 menit. Hal ini bertujuan untuk dehidratasi. Kemudian dilanjutkan dengan

clearing yang terdiri dari lactophenol dan xylol untuk membuat spesimen transparan dan di’mounting’ dengan Entellan. (Yamaguti 1958).

Analisis Data Tingkat Infeksi

Analisis data kecacingan dilakukan dengan penghitungan prevalensi

(pendugaan proporsi) dari cacing parasit di sampel dan menggunakan rumus

penghitungan statistik berupa jumlah ikan yang terinfeksi cacing parasitik dibagi

dengan jumlah ikan yang diperiksa lalu hasil pembagian tersebut dikalikan dengan

(31)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di

daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan

Baranang Siang Bogor Timur. Dari ketiga lokasi pengambilan sampel ikan

maskoki tersebut diketahui bahwa ikan maskoki dipelihara pada kondisi yang

tidak berbeda jauh (Tabel 2). Namun ikan maskoki di Bogor Tengah ditempatkan

di satu akuarium tanpa diberi tanaman hias, sedangkan ikan maskoki di Bogor

Timur dan Bogor Selatan ditempatkan pada satu akuarium bersama ikan hias jenis

lain.

Tabel 2 Kondisi pemeliharaan ikan maskoki

No Parameter Bogor Tengah Bogor Selatan Bogor Timur 1.

Prevalensi Kecacingan Pada Ikan Maskoki

Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki di Bogor disajikan pada

Tabel 3.

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

No. Lokasi Pengambilan Jumlah Ikan yang diperiksa

Ikan maskoki di Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor Selatan dan

Baranang Siang Bogor Timur memiliki nilai prevalensi kecacingan sebesar 100%

di insang dan 0% di usus. Berdasarkan kategori yang dikembangkan oleh

Williams dan Williams (1996), tingkat prevalensi kecacingan pada insang ikan

(32)

18 tingkat prevalensi kecacingan pada usus ikan maskoki masuk kedalam kategori

infeksi almost never (<0.01).

Tingkat prevalensi kecacingan yang tinggi di insang mungkin dikarenakan

insang ikan bersentuhan langsung dengan lingkungan luar (air), sehingga

kemungkinan cacing parasit insang yang ada di lingkungan dapat menempel pada

insang. Nilai prevalensi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor intrinsik

dan faktor eksterinsik. Faktor intrinsik berupa kekebalan individu, jenis kelamin,

dan ukuran tubuh ikan. Sementara itu, faktor eksterinsik berupa kualitas air,

kualitas sanitasi kolam, dan populasi ikan yang terlalu padat (Noble & Noble

1989).

Identifikasi Cacing Parasitik pada Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Hasil dari identifikasi cacing Parasitik Pada Ikan Maskoki adalah insang

ikan maskoki dari Pasar Anyar Bogor Tengah terinfeksi oleh cacing parasitik dari

kelas Monogenea yaitu Dactylogyrus sp. (gambar 1A, 1B, 1C) dan cacing dari subkelas Monophytochotylea (1D). Sedangkan insang ikan maskoki dari Batu

Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur terinfeksi oleh

Dacytylogyrus sp. (gambar 2A dan 2B untuk Batu Tulis Bogor Selatan, Gambar 3A dan 3B untuk Baranang Siang Bogor Timur).

Cacing cacing parasit (Cacing gambar 1A, 1B,1C, 2A, 3A, 3B)

teridentifikasi sebagai Dacytylogyrus sp. karena memiliki seperti kepala kelenjar, 2 pasang spot mata, garis haptor, 1-2 pasang kait utama dan beberapa pasang

jangkar (kait marginal) di bagian opishaptor seperti Dacytylogyrus sp. pada umumnya. Cacing parasitik (Gambar 2B) awalnya sulit teridentifikasi dikarenakan

bagian anterior cacing tersebut terlipat. Namun, adanya dua pasang kait, dua

pasang spot mata, dan bagian anterior yang diperkirakan memiliki kepala kelenjar

menyebabkan cacing ini teridentifikasi sebagai Dactylogyrus sp.. Cacing-cacing yang ditemukan memiliki bentuk anterior dan posterior yang mirip satu sama lain

yang membedakan adalah bentuk kait, ukuran panjang dan lebar tubuh. Hal

tersebut mungkin dikarenakan cacing-cacing yang ditemukan merupakan spesies

yang berbeda. Identifikasi cacing parasit belum dapat dilakukan hingga tingkat

(33)

19 Gambar 7 Cacing-cacing parasitik yang berada di insang ikan maskoki 1A)

Dactylogyrus sp.; 1B) Dactylogyrus sp.; 1C) Dactylogyrus sp.; 1D) Monopisthocotylea; 2A) Dactylogyrus sp.; 2B) Dactylogyrus sp.; 3A) Dactylogyrus sp.; 3B) Dactylogyrus sp..

1C

2A

Kait Utama 1B

2B

3A

(34)

20 Cacing pada gambar 1D memiliki haptor serta kait pada bagian ujung

posterior tubuh seperti pada cacing-cacing pada kelas monogenea. Cacing tersebut

juga memiliki satu pasang kait dan 2 pasang spot mata seperti cacing dari genus

Dactylogyrus namun karena bentuk mulut penghisap yang berbeda menyebabkan cacing ini tidak dapat digolongkan ke dalam genus Dactylogyrus. Walaupun begitu, cacing parasitik ini (Gambar 1D) masih masuk ke dalam subkelas

Monopisthocotylea karena memiliki posisi mulut di ventral.

Infeksi yang berat dari Monogenea baik itu Dactylogyrus sp. maupun cacing dari subkelas Monophytochotylea dapat menyebabkan hiperplasia epitel,

hancurnya epitel insang dan hipersekresi lendir yang menyebabkan terganggunya

pertukaran oksigen sehingga menyebabkan terjadinya kematian karena sesak

nafas. Selain itu, keberadaan parasit Monogenea juga dapat meyebabkan

terjadinya lesi sekunder oleh jamur, bakteri, dan mikroorganisme lain. Infestasi

yang berat biasanya disebabkan oleh sanitasi yang buruk, kualitas air yang buruk,

atau aliran air yang tidak memadai. Walaupun demikian, cacing parasit

Monogenea trematoda tidak bersifat zoonosis (Kent dan Fournie 2007).

Dactylogyrus sp. merupakan cacing parasit yang melekat pada insang ikan air tawar. Cacing parasit tersebut dapat menyerang insang dari ikan maskoki, ikan

mas, Fundulus grandis, dan spesies lainnya. Ikan yang terinfeksi dalam jumlah besar dapat menunjukkan tanda-tanda klinis berupa gerakan pernapasan yang

cepat, menjadi lesu, berenang di dekat permukaan, dan menolak makanan. Infeksi

oleh Dactylogyrus sp. dengan jumlah cacing parasit yang tinggi akan mempengaruhi kesehatan ikan dan dapat menyebabkan kematian (Kent dan

Fournie 2007). Keadaan tersebut menyebabkan gangguan contohnya kerugian

pada budidaya ikan.

Jumlah Cacing Parasitik pada Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Jumlah cacing parasitik pada ikan maskoki dari Pasar Anyar Bogor tengah,

Batu Tulis Bogor Selatan dan Baranang Siang Bogor Timur dapat diamati pada

(35)

21 Tabel 4 Jumlah cacing pada ikan di Bogor

No Lokasi Berat Badan

Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan maskoki yang berasal dari Bogor Tengah

memiliki ukuran tubuh yang paling besar dan memiliki rata-rata jumlah cacing

paling banyak jika dibandingkan dengan ikan sampel dari Bogor Selatan dan

Bogor Timur. Menurut Ozer dan Ozturk (2005), ikan berukuran besar memiliki

jumlah parasit yang lebih banyak. Ukuran tubuh yang besar akan memberikan

area permukaan insang yang lebih luas untuk parasit, peningkatan aliran air yang

lebih tinggi dan ketersediaan makanan yang lebih banyak.

Keberadaan cacing parasit di ikan juga bergantung pada tingkat stres dan

imunitas dari tiap individu ikan. Timbulnya stres akan mempengaruhi kemampuan

ikan untuk secara efektif melindungi diri terhadap infeksi parasit. Imunitas ikan

yang rendah akan menyebabkan ikan dapat terinfeksi parasit dalam jumlah

banyak. Selain stres dan imunitas, faktor intrinsik seperti umur ikan juga akan

mempengaruhi kecacingan. Menurut Noble dan Noble (1989), semakin tua inang

akan semakin resisten. Inang yang lebih tua dapat mengandung jumlah parasit

yang lebih besar. Ikan muda memiliki respon antibodi yang lebih lambat karena

imunitas bawaan pada hewan muda belum cukup untuk menghadapi ektoparasit

yang ada di lingkungan karena belum cukup berkembang (Abdulghani et al 2009). Menurut Reed et al. (2009) salah satu pencegahan yang efektif untuk menghilangkan parasit patogen pada ekspor dan impor ikan hidup adalah dengan

dilakukannya karantina. Saat karantina, perlu dilakukan biopsi pada ikan hidup

tersebut untuk mengidentifikasi cacing parasit. Untuk mengurangi atau

meminimalkan jumlah cacing parasitik monogenea pada ikan air tawar, ikan dapat

dimasukkan ke dalam air garam selama 30 menit. Perlakuan tersebut akan

menyebabkan pengurangan jumlah parasit bahkan kematian parasit karena

ketidakmampuan parasit dalam mentoleransi salinitas. Dengan adanya adaptasi

(36)

22

Sel Leukosit Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Leukosit pada ikan maskoki terdiri dari sel limfosit, sel neutrofil, sel

eosinofil, sel monosit, dan sel basofil. Pengamatan terhadap diferensial sel

leukosit dilakukan untuk mengetahui komposisi dari leukosit.

Tabel 5 Diferensial Leukosit ikan maskoki

No Diferensial

Leukosit Normal Ikan Maskoki

(%) Watson

Menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993),

persentase leukosit normal ikan maskoki berupa 10.5% neutrofil, 0.5% basofil,

73% Limfosit, 8.6% monosit dan 8% eosinofil. Menurut Watson (Watson 1930,

diacu dalam Stoskopf 1993), ikan maskoki memiliki kisaran leukosit normal

berupa 5% neutrofil, 0.2% basofil, 92% limfosit dan 2% eosinofil. Sedangkan

menurut Lewbart (2006) ikan maskoki memiliki 29% neutrofil, nilai limfosit

sebesar 70% dan nilai monosit sebesar 1%.

Jumlah sel limfosit sampel ikan maskoki dari Bogor Tengah sebesar 31.7%,

49.5% untuk sampel ikan dari Bogor Selatan, dan 34.9% untuk sampel ikan dari

Bogor Timur. Persentase tersebut dinilai jauh lebih rendah dari persetase sel

limfosit ikan maskoki normal baik menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu

dalam Stoskopf 1993) yaitu 73%, Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf

1993) yaitu 92%, dan menurut Lewbart (2006) yaitu 70%. Ikan maskoki dari

Bogor Tengah memiliki jumlah sel eosinofil sebesar 24.9%, ikan dari Bogor

Selatan memiliki jumlah sel eosinofil 20.2%, dan ikan dari Bogor Timur memiliki

jumlah sel eosinofil sebesar 23.6%. Jumlah sel eosinofil tersebut lebih tinggi jika

(37)

23 Jumlah sel neutrofil ikan maskoki dari Bogor Tengah sebesar 32.5%, 23.1%

untuk ikan dari Bogor Selatan, dan 36.5% untuk ikan dari Bogor Timur.

Persentase tersebut dinilai lebih tinggi dari persetase sel neutrofil ikan maskoki

normal menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993)

yaitu 10.5% dan menurut Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993)

yaitu 5%.

Ikan maskoki dari Bogor Tengah memiliki 10% sel monosit, ikan dari

Bogor Selatan memiliki jumlah sel monosit 4.4%, dan ikan dari Bogor Timur

memiliki jumlah sel monosit sebesar 5%. Dari hasil penelitian didapatkan 0%

untuk semua sel basofil baik dari ikan maskoki Bogor Tegah, Bogor Selatan

maupun Bogor Timur. Menurut Hrubec dan Smith (2010). Kehadiran sel basofil

jarang dilaporkan. Hal ini dikarenakan jumlah sel basofil yang rendah atau

dikarenakan morfologi sel basofil yang tidak terawetkan dengan baik pada

preparat yang difiksasi dengan alkohol. Identifikasi sel basofil paling baik dengan

menggunakan acid toluidine blue stain.

Jika dibandingkan antara hasil penelitian dengan diferensial sel leukosit

normal menurut Loewenthal (Loewenthal 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) serta

Watson (Watson 1930, diacu dalam Stoskopf 1993) dan Lewbart (2006)

ditemukan bahwa diferensial sel leukosit sampel ikan mengalami peningkatan sel

eosinofil dan peningkatan sel neutrofil. Hal tersebut dapat dikarenakan ikan

maskoki terinfestasi cacing parasit (Tabel 3).

Kecacingan dapat memberikan pengaruh pada leukosit berupa peningkatan

persentase sel eosinofil. Kecacingan juga dapat menyebabkan stres yang akan

meningkatkan persentase sel neutrofil serta akan menurunkan persentase sel

limfosit dari kisaran normal. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan

oleh Martins et al. (2004) bahwa infestasi cacing parasitik dapat menyebabkan terjadinya neutrofilia dan eosinofilia pada ikan yang terinfeksi.

Kehadiran cacing parasit dapat menyebabkan kerusakan pada lamela insang

dan menimbulkan stres. Menurut Menurut Hrubec dan Smith (2010), stres dan

inflamasi dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel neutrofil. Hal ini mungkin

didukung oleh fungsi sel neutrofil sebagai pertahanan pertama tubuh terhadap

(38)

24 bahan mikrobisidal untuk membunuh parasit yang terlalu besar untuk dimakan.

Banyak juga cacing yang memiliki lapisan permukaan yang tebal sehinga resisten

terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag (Baratawidjaja 2006). Hal

tersebut diantisipasi tubuh dengan memunculkan sel eosinofil sebagai pertahanan

tubuh spesifik terhadap kecacingan.

Cacing dapat merangsang produksi antibodi nonspesifik. Selanjutnya

eosinofil diaktifkan dan mensekresikan granul enzim yang menghancurkan

parasit. sel Eosinofil lebih efektif dibandingkan leukosit lain karena sel eosinofil

memiliki granul yang lebih toksik jika dibandingkan dengan enzim proteoilitik

(39)

25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sampel ikan maskoki yang diperiksa positif mengalami kecacingan pada

insang dengan nilai prevalensi kecacingan yaitu 100%. Tingkat infestasi parasit

cacing di usus ikan maskoki adalah 0%. Jenis cacing parasitik yang menyerang

insang berasal dari subkelas monogenea berupa Dactylogyrus sp. dan cacing dari subkelas Monopisthocotylea. Hasil perhitungan leukosit menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah sel eosinofil dan sel neutrofil yang disebabkan

oleh adanya infeksi cacing parasit.

Saran

1. Pembudidayaan ikan maskoki perlu dilakukan dalam lingkungan yang

terjaga kebersihan lingkungan pemeliharaannya. Hal tersebut dilakukan

agar terhindar dari cacing parasit yang dapat mengganggu kesehatan dari

ikan maskoki.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan

kepadatan populasi ikan maskoki terhadap infeksi cacing parasitik.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh

lingkungan pemeliharaan seperti kualitas air, jenis makanan terhadap

(40)

26

DAFTAR PUSTAKA

Abdulghani N, Nurhayati APD, Nugraha MA. 2009. Derajat infeksi Argulus sp.

Pada ikan maskoki (Carassius auratus) di desa Bangoan kecamatan Kedungwaru kabupaten Tulungagung. BSS 1:1-8.

Abdullah SMA. 2009. Additional Records of Dactylogyrus (Monogenea) from Some Cyprinid Fishes From Darbandikhan Lake Iraq. Jordan Journal of Biological Sciences 2:145-150.

Afrianto E, Liviawaty E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

[AMC] Aqualex Multimedia Consortium. 2008. Basic Techniques in Fish Haematology. [terhubung berkala]

Anshary H. 2008. Tingkat infeksi parasit pada ikan mas koi (Cyprinus carpio) pada beberapa lokasi budidaya ikan hias di Makassar dan Gowa (Parasitic Infections Of Koi Carp Cultured In Makassar And Gowa). K. Sains & Teknologi 8:139-147.

Aquafarmer. 2004. Tapeworms (Cestoda). [Terhubung berkala] http://www.holar. is/ ~aquafarmer/node1. html [13 Oktober 2011]

Bachtiar Y, Tim Lentera. 2002. Mencegah Maskoki Mudah Mati. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Baratawidjaja KG. 2006. Imonologi Dasar Edisi Ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Brooker C. 2005. Churchill Livingstone’s Mini Encyclopaedia Of Nursing 1st

edition. Elsevier Ltd: Singapura.

Campbell NAReece JB, MitchellLG. 2004. Biologi Jilid 3 EdisiKelima. Jakarta: Erlangga.

David G. 2010a. Dactylogyrus. Fauna europaea versi 2.4 . [terhubung berkala]

David G. 2010b. Gyrodactilus. Fauna europaea versi 2.4. [terhubung berkala]

FAO. 1991. Diagnostics, Prevention And Therapy Of Fish Diseases And Intoxications. [Terhubung berkala]. http://www.fao.org/docrep/field/

003/AC160E/AC160E03.htm [14 Mei 2011].

(41)

27 Gao Z et al. 2007. Haematological characterization of loach Misgurnus

anguillicaudatus: Comparison among diploid, triploid and tetraploid specimens. Elsevier 147:1001–1008.

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 3. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Hrubec TC, Smith SA. 2010. Hematology of Fishes. Di dalam: Weiss DJ dan Wardrop KJ, editor. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition: Hematology of fishes. Singapure: Wiley-Blackwell. Hlm 994-1003.

Iskandar, SitanggangM. 2003. Memilih dan merawat Maskoki Impor Berkualitas. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Kent ML, Fournie JW. 2007. Parasites of fishes. Di dalam Baker ED, editor:

Flynn’s Parasites Of Laboratory Animals. Ed ke-2. State avenue: Blackwell publishing.

Khanna DR, Yadav PR. 2004. Biology of Fishes. New delhi: Discovery Publishing House.

Klinger RE, Floyd RF. 2009. Introduction to Freshwater Fish Parasites 1.

University of Florida IFAS Extension; CIR716.

Lasee B. 2004. Parasitology Capter 8 on Laboratory NWFHS Procedures Manual. Ediki ke-2. [terhubung berkala]

Levine ND. 1990. Buku Ajar Protozoologi Verteriner. Ashadi G, Penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Parasitology.

[Marine Biological Laboratory]. 2003. Universal Biological Indexer and Organizer. [terhubung berkala] Mei 2011].

Martins ML, Dias MT, Fujimoto RY, Onaka EM, Nomura DT. 2004. Hematological alteration of Leporinus macrocephalus (Osteichtyes: Anostomidae) naturally infected by Goezia leporini (Nematoda: Anisakidae) in fish pond. Arq. Bras Med Vet Zootec 56(5):640-646.

Natadisastra D, Agoes R. 2005. Parasitologi kedokteran. EGC: Jakarta

(42)

28 Ozer A, Ozturk T. 2005. Dactylogyrus cornu Linstow, 1878 (Monogenea)

infestations on Vimba (Vimba vimba tenella (Nordmann, 1840)) caught in the sinop region of Turkey in relation to the host factors. Turk J Vet Anim Sci 29:1119-1123.

Prayitno BI. 2002. Peran Budidaya Perairan Khususnya Penanganan Penyakit Ikan dalam Pengelolaan Sumber Perikanan.[terhubung berkala]. http//www.eprints.undip.ac.id/287/1/S._Budi_Prayitno.pdf. [9 Feb 2011].

Reed P, Floyd RF, Klinger R. 2009. Monogenean Parasites of Fish. University of Florida IFAS Extension; FA28.

Sarbahi DS. 1951. Studies Of The Digestive Tracts And The Digestive Enzymes Of The Goldfish, Carassius Auratus (Linnaeus) And The Largemouth Black Bass, Micropterus Salmoides (Lacepede). Biological Bulletin 100:224-257

Sarkar S. 2010. Oranda Fancy Goldfish. [terhubung berkala]

Stoskopf MK. 1993. Fish Medicinal. Philadelphia:W.B. Saunders Company.

Street, R. 2002. Carassius auratus, Animal Diversity Web. [terhubung berkala]

V´azquez GR, Guerrero GA. 2007. Characterization of blood cells and hematological parameters in Cichlasoma dimerus (Teleostei, Perciformes).

Elsevier 39:151–160.

Watson A, Craig H, Pouder EJ, Debora B. 2004. Species Profile: Koi and Goldfish. SRAC Publication; 7201.

Wiliams LB, Wiliams EH. 1994. Parasites of Puerto Rican Freswater Sport Fishes. Antillean College Press: Mayaguez.

Williams EH, Williams LB. 1996. Parasites Of Offshore Big Game Fishes Of Puerto Rico And The Western Atlantic. Mayaguez: Antillean College Press.

Yamaguti S. 1958. Systema Helminthum. Volume ke-1: Protozoa and Metazoan Infections Second Edition. Canada.

(43)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan hias air tawar merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia

yang mempunyai peluang besar untuk menghasilkan devisa negara di sektor non

migas. Ikan hias air tawar memiliki keindahan yang menjadi daya tarik tersendiri

bagi penghobi maupun untuk pembudidaya ikan hias. Salah satu jenis ikan hias air

tawar yang populer adalah ikan maskoki (Carassius auratus). Ikan ini memiliki kemampuan yang cukup adaptif terhadap kondisi lingkungan. Namun di dalam

pemeliharaannya, ikan maskoki tetap tidak lepas dari masalah kesehatan seperti

terserang penyakit.

Penyakit dapat disebabkan oleh berbagai agen. Menurut Gusrina (2008), ada

dua jenis agen yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit yaitu agen patogen

dan agen non patogen. Kehadiran agen patogen dapat mempengaruhi pemilik ikan

dan individu ikan itu sendiri. Penyakit pada ikan menyebabkan penurunan kualitas

ikan, kematian ikan, kerugian materiil, kegagalan budidaya, dan dapat berujung

pada bangkrutnya usaha (Prayitno 2002). Kehadiran agen patogen tertentu dalam

tubuh inang dapat menyebabkan timbulnya kerusakan, stres bahkan kematian.

Menurut Gusrina (2008), contoh agen non patogen berupa keracunan dan

kekurangan gizi, sedangkan contoh agen patogen berupa virus, bakteri, dan cacing

parasit.

Ikan maskoki merupakan anggota dari famili Cyprinidae. Menurut Anshary

(2008), ikan dari famili tersebut termasuk jenis ikan yang paling rentan terhadap

berbagai infeksi parasit. Kehadiran cacing parasit menyebabkan adanya respon

pada tubuh, salah satunya berupa perubahan gambaran leukosit ikan.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi cacing parasitik pada ikan

maskoki dan untuk melihat pengaruh kecacingan terhadap gambaran leukosit pada

(44)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai

jenis cacing parasitik yang menyerang insang dan saluran pencernaan ikan

(45)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Maskoki (Carassius auratus)

Ikan Maskoki (Carassius auratus) pertama kali dibudidayakan oleh masyarakat Cina pada tahun 960-1729. Awalnya bentuk ikan maskoki seperti ikan

Mas (Cyprinus carpio L), bedanya ikan maskoki tidak memiliki sepasang sungut di mulutnya

popularitas ikan maskoki mulai menanjak. Di sinilah bermunculan ikan maskoki

dengan bentuk tubuh yang bervariasi dan unik. Perkembangan ikan maskoki

kemudian merambah hingga ke negeri Jepang.

Di negeri matahari terbit ikan maskoki terus mengalami perkembangan

pesat sehingga menghasilkan bentuk yang lebih bervariatif seperti saat ini. Dari

negeri Sakura, ikan maskoki mulai menyebar ke seluruh dunia, termasuk

Indonesia

besar agak menonjol ke luar dan warna sisik yang menarik. Ikan maskoki

tergolong mudah dipelihara karena sifatnya cukup adaptif terhadap lingkungan

yang baru. Tak mengherankan jika ikan maskoki dengan berbagai varietasnya

tersebar di seluruh dunia

Ikan maskoki masuk ke dalam Kingdom Animalia, Subkingdom Eumetazoa,

Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Infrafilum Gnathostomata, Kelas

Actinopterygii, Subkelas Neopterygii, Superordo Teleostei, Ordo Clupeiformes,

Family Cyprinidae, Genus Carassius dan Spesiesnya berupa Carassius auratus

(Freyhof 2004).

Salah satu jenis ikan maskoki yang populer adalah Ikan maskoki varietas

Oranda (Spencer). Ikan ini memiliki keunikan yang terletak pada kepalanya yang

berjambul dan memiliki sirip punggung (Iskandar dan Sitanggang 2003), hal

tersebut dapat diamati pada Gambar 1.

Ikan maskoki merupakan ikan hias air tawar yang hidup di perairan dengan

air yang mengalir tenang serta berudara sejuk

hewan omnivora (Watson et al 2004) dan bukan hewan kanibal sehingga dapat dipelihara secara koloni dalam satu lingkungan pemeliharaan (Iskandar dan

(46)

4 Suhu optimal air untuk hidup ikan maskoki adalah 18-24ºC.

Mempertahankan suhu untuk terus berada dalam kisaran suhu optimal perlu

dilakukan. Karena pemeliharaan di luar suhu optimal dapat menekan sistem

kekebalan tubuh ikan dan akan menyebabkan penurunan nafsu makan serta

gangguan pada pertumbuhan ikan. Ikan maskoki dapat hidup dalam air yang

memiliki kandungan oksigen minimal 5 mg/L, pH 7-7.8, tingkat amoniak terlarut

maksimal 0,05 mg/L dan tingkat nitrit terlarut maksimal 0,05 mg/L (Watson et al

2004).

Ikan maskoki dianggap sebagai ikan yang tangguh karena dapat bertahan

hidup di air berkualitas buruk. Walaupun demikian, kualitas air penting di

perhatikan agar pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ikan berjalan optimal

(Watson et al 2004). Ikan maskoki dapat hidup hingga umur 30 tahun dengan panjang mencapai 23 inches (58 cm) dan berat mencapai 2,7 kg .

Ikan maskoki memiliki organ interna dan eksterna yang keseluruhan organ

tersebut memiliki ciri dan fungsi tertentu untuk mendukung kelangsungan hidup

ikan (Yanong 2003). Insang merupakan salah satu organ interna ikan maskoki

yang memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup ikan. Peranan penting

tersebut adalah sebagai media pertukaran gas (Campbell et al 2004). Insang terdiri dari lamela insang primer, lamela insang sekunder dan tulang rawan insang.

Lamela primer adalah lamela yang bersentuhan langsung dengan tulang rawan

insang dan lamela sekunder merupakan percabangan dari lamela primer (Yanong

2003).

Insang akan mengoptimalkan ekstraksi oksigen dari air dan merupakan

(47)

5 keluar diantara celah insang lewat gerakan terkoordinasi dari rahang dan

operculum (penutup insang), agar terjadi ventilasi. Ventilasi yang dimaksudkan berupa aktivitas inhalasi dan ekshalasi atau proses mengambil oksigen dan

melepaskan karbon dioksida lewat pernafasan. Ketika ventilasi terjadi, darah

mengalir dengan arah yang berlawanan dengan aliran air yang mengalir, oksigen

akan masuk ke dalam aliran darah dan CO2 akan dibuang ke air (Campbell et al 2004).

Usus merupakan salah satu organ interna ikan yang mengambil peranan

dalam sistem pencernaan. Usus berbentuk seperti tabung memanjang yang

melingkar-lingkar dan mengisi sebagian besar rongga abdomen. Makanan yang

ditangkap oleh mulut akan masuk ke dalam rongga mulut, melewati faring,

esofagus, bola usus (intestinal bulb), usus kemudian sisa makanan yang tidak diserap akan dikeluarkan lewat anus (Sarbahi 1951).

(48)

6 Bola usus merupakan kantung hasil pembengkakan anterior usus yang

berfungsi untuk menyimpan makanan. Bola usus tidak memiliki kelenjar lambung

dan memiliki mukosa yang mirip dengan mukosa usus (Khanna dan Yadav 2004).

Usus ikan maskoki sendiri terbagi atas usus depan, usus belakang dan rektum.

Perbedaan antara usus depan, usus belakang, dan rektum terletak pada pola lipatan

dari membran mukosa. Usus depan memiliki pola lipatan berupa garis dan sudut

sedangkan usus belakang memiliki pola lipatan berupa garis yang berbelit-belit.

Pola lipatan rektum ikan maskoki berupa pola miring melintang (Sarbahi 1951).

Darah Ikan Maskoki

Seperti pada mamalia, ikan memiliki komponen darah berupa sel darah

merah atau eritrosit dan sel darah putih atau leukosit. Setiap spesies pada hewan,

baik itu mamalia, reptil maupun ikan memiliki kisaran nilai parameter hematologi

yang berbeda. Gambaran leukosit normal pada ikan maskoki dapat terlihat pada

Tabel 1.

Tabel 1 Gambaran leukosit normal ikan maskoki

No Diferensial leukosit (%)

Leukosit Normal Ikan Maskoki

Watson (1963) Loventhal (1930) Lewbart (2006)

1. Limfosit 92 73 70

Limfosit merupakan sel leukosit berbentuk bulat, tidak teratur dengan inti

yang besar (Gao et al. 2007). Limfosit merupakan sel leukosit yang paling umum ada dalam darah ikan, berupa 85% dari seluruh total populasi sel leukosit

(V´azquez dan Guererro 2007). Limfosit berfungsi memediasi respon imun

humoral dan respon imun seluler. Ketika sel limfosit berkontak dengan bahan

asing (antigen), akan terjadi proliferasi sel limfosit yang kemudian akan

menyebabkan dikeluarkannya antibodi imunoglobulin oleh sistem imun. Respon

imun humoral merupakan respon kekebalan tubuh yang dimediasi oleh antibodi

(49)

7 Monosit merupakan sel-sel besar dengan nukleus besar dan sitoplasmanya

berisi granul-granul kecil yang tersebar. Monosit berfungsi dengan menanggapi

infeksi dan merupakan prekursor dari makrofag. Hal ini menyebabkan sel

monosit memainkan peran penting dalam imunitas non spesifik dan respon

inflamasi (AMC 2008).

Eosinofil, neutrofil dan basofil pada ikan termasuk dalam granulosit leukosit

atau sel leukosit yang memiliki granul-granul (V´azquez dan Guererro 2007).

Granulosit terlibat dalam mekanisme pertahanan non-spesifik, yaitu mereka

menanggapi adanya bahan asing dalam tubuh tetapi tidak mengenali antigen

tertentu. Sel-sel ini bermigrasi ke bagian tubuh di mana invasi terjadi dan

menghancurkan partikel asing dengan fagositosis atau dengan membunuh

langsung yang dikenal sebagai respon sitotoksik (AMC 2008).

.

Gambar 3. Gambaran sel darah Putih ikan: A) l adalah Limfosit; B) m adalah Monosit; C) eo adalah Eosinofil; D) Neutrofil; E) eosinofil (V´azquez dan Guererro 2007); F) Monosit; G) Limfosit (Gao et al. 2007).

Pada ikan sehat, yang paling umum ditemukan diantara ketiga granulosit

tersebut adalah sel neutrofil dan granulosit leukosit yang sangat jarang ditemukan

adalah sel basofil (V´azquez dan Guererro 2007). Neutrofil umumnya memiliki

(50)

8 berbentuk elips tidak teratur. Memiliki inti yang dapat diamati seperti berbentuk

pita, bentuk tapal kuda, membentuk segmen terhadap sumbu dan tidak simetris.

Eosinofil merupakan sel darah putih khusus (leukosit PMN) yang dapat

diwarnai dengan pewarna asam seperti eosin, namun sel eosinofil dapat pula di

identifikasi dengan pewarnaan sederhana seperti pewarnaan giemsa (AMC 2008).

Eosinofil memiliki sitoplasma yang besar berbentuk bola dengan granul-granul

yang hampir menutupi. Inti sel eosinofil biasanya berbentuk bulat, kadang

berbentuk seperti ginjal atau tapal kuda tetapi lebih teratur (Gao et al. 2007). Sel-sel ini terlibat dalam penghancuran parasit internal dan dalam modulasi inflamasi

reaksi alergi (AMC 2008).

Cacing Parasitik Pada Insang dan Usus

Ikan Cyprinidae termasuk jenis ikan yang paling rentan terhadap berbagai

infeksi parasitik (Anshary 2008). Menurut FAO (1991), Metazoa yang bersifat

parasit seperti cacing parasit pada kelas tertentu (monogenea, cestoda dan

digenea) merupakan agen-agen yang memegang peranan pada penyakit ikan.

Monogenea merupakan salah satu kelas dari hewan yang tak bertulang

belakang yang termasuk dalam phylum Platyhelminthes. Monogenea memiliki arti

sebagai dilahirkan sekali, hal ini mengacu pada siklus hidupnya yang sederhana

(Williams dan Williams 1994) dan tanpa inang perantara (Lasee 2004). Pada

infeksi yang berat, cacing dari kelas monogenea dapat membunuh ikan yang

menjadi inangnya. Umumnya monogenea memiliki bentuk tubuh panjang dan

transparan (Williams dan Williams 1994).

Monogenea memiliki organ lampiran berbeda pada bagian belakang tubuh

mereka (haptor) yang dilengkapi dengan kait atau klem khusus. Kait atau klem

khusus ini dapat dipakai untuk menusuk epitel dan berpegangan pada inang.

Sebagian besar monogenea berkembang biak dengan meletakkan telur yang

menetaskan larva bersilia (onchomiracidia) dan cepat menjadi dewasa dan

melekat pada inang (William dan William 1994).

Ikan air tawar yang terserang monogenea akan terlihat lesu, berenang di

dekat permukaan, mencari sisi kolam dan nafsu makan menjadi menurun. Insang

(51)

9 toleran terhadap oksigen yang rendah. Infeksi monogenea yang parah pada kulit

dan insang dapat menyebabkan kerusakan hebat bahkan kematian. Investasi

monogenea yang besar juga akan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri

dan jamur (Klinger dan Floyd 2009). Monogenea memiliki dua sub kelas yaitu

Monopisthocotylea dan Polyopisthocotylea.

Monopisthocotylea merupakan salah satu subkelas dari monogenea. Cacing

dari subkelas Monopisthocotylea memiliki organ tubuh sederhana dan biasanya

satu haptor dengan 1-2 jangkar dengan lingkaran yang interkoneksi. Umumnya

parasit cacing dari subkelas ini memiliki ukuran yang jauh lebih kecil daripada

cacing dari subkelas Polyopisthocotylea. Parasit ini dapat ditemukan di kerokan

permukaan kulit atau di insang yang diamati dengan menggunakan mikroskop

(Wiliams dan Wiliams 1994).

Pada infeksi cacing yang berat, kait cacing dapat menyebabkan iritasi pada

kulit dan insang serta meningkatkan produksi lendir. Kulit mungkin memiliki

bercak putih terutama di belakang sirip. Ikan akan menunjukkan kebiasaan berupa

menggosokkan tubuh mereka pada sisi kolam dan berenang dengan terlalu liar

atau dengan lesu (Wiliams dan Wiliams 1994). Monopisthocotylea memiliki tiga

ordo yaitu Capsalidea, Dactylogridea dan Gyrodactylidea (David 2010a), namun

Monopisthocotylea yang menyerang insang ikan air tawar biasanya berasal dari

ordo Dactylogridea dan Gyrodactylidea (Wiliams dan Wiliams 1994).

Cacing parasitik pada Gambar 4 masuk ke dalam genus Gyrodactylus,

Famili Gyrodactylidae, Ordo Gyrodactylidea, Sub Kelas

Kelas Monogenea, Subphylum

Subkingdom Gyrodactylus

merupakan salah satu genus cacing parasit yang menginfeksi insang dari ikan air

tawar. Cacing ini memiliki embrio yang sedang berkembang yang dapat terlihat di

(52)

10 Gambar 4. Gyrodactylus sp. memiliki kait yang terletak pada embrio (E). The episthaptor (O) mengandung banyak kait dan jangkar. Perbesaran -- 100/xm (Yanong 2003).

Strategi reproduksi ini memungkinkan populasi Gyrodactylus dapat menjadi banyak dengan cepat, terutama pemeliharaan di dalam sistem tertutup. (Klinger

dan Floyd 2009). Gyrodactylus dewasa memiliki Ophisthaptor yang tidak mengandung batil isap, tetapi memiliki sederet kait-kait kecil berjumlah 16 buah

di sepanjang tepinya dan sepanjang kait besar di tengah-tengah (Gusrina 2008).

Dactylogyrus (Gambar 5) masuk dalam genus Dactylogyrus, Famili Dactylogyridae, Subordo Dactylogyrinea, Ordo Dactylogyridea, Subkelas

Monopisthocotylea, Kelas Monogenea, Subphylum Neodermata, Phylum

Platyhelminthes, Subkingdom Eumetazoa dan Kingdom Animalia (David 2010a).

Gambar 5. Dactylogyrus (Jarkovskỳet al. 2004 dalam Abdullah 2009)

Gambar

Tabel 1   Gambaran Leukosit Normal Ikan Maskoki   ………………………….  6
Gambar 3 Saluran Pencernaan ikan Maskoki (Sarbahi 1951)
Tabel 1. Tabel 1 Gambaran leukosit normal ikan maskoki
Gambar 4. Gyrodactylus sp. memiliki kait yang terletak pada embrio (E). The
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Bakteri dan Cacing Parasitik pada Hati dan Saluran Pencernaan Ikan Belut (Monopterus albus) adalah karya saya dengan arahan

Jenis dan Jumlah Parasit yang ditemukan pada organ insang dan saluran pencernaan (usus) Ikan Patin (Pangasius djambal) Umur 5-6 Bulan. Ikan Organ yang diperiksa (Jenis dan

Transportasi dengan media air sistem tertutup biasanya dilakukan untuk mengirim ikan dalam jumlah yang relatif banyak, pada jarak yang jauh, dan waktu yang relatif lama, misalnya

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keberadaan bakteri dan cacing parasitik pada insang dan pencernaan ikan patin ( Pangasius

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jenis cacing parasitik yang sering menginfeksi insang ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) di wilayah tambak Situ Daun,

Butiran pigmen yang tersebar di dalam sel menyebabkan sel menyerap sinar dengan sempurna sehingga terjadi peningkatan warna sisik yang menyebabkan warna sisik

Jumlah cacing yang ditemukan berjumlah 13 dan terdapat 6 jenis cacing berbeda dengan perincian sebagai berikut: 1 cacing termasuk dalam filum Nemathelminthes,

Prevalensi dan Intensitas Ikan Maskoki ( Carassius auratus ) yang Terserang Lernaea cyprinacea di Sentra Budidaya Ikan.. Maskoki Kabupaten Tulungagung, Jawa