• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Sebelumnya

Penelitian terkait e-Government dilakukan oleh Tambouris (2001) yang melakukan kajian usulan dari sistem platform Governmental Markup Language

(GML). GML akan menjadi aplikasi Extensible Markup Language (XML) untuk mendukung life-event dan akan dipromosikan sebagai standar untuk mendukung interoperabilitas antara portal nasional dan instansi pemerintahan lain yang menyediakan konten ke portal. Penelitian pada pelayanan perizinan usaha online (Online Business Licensing Service/OBLS) dilakukan oleh Thomson & Koh pada tahun 2010, yang menghasilkan usulan konseptual tentang multi-agensi pada lembaga terkait perizinan usaha. Penelitian ini menghasilkan kajian keberhasilan pelayanan perizinan usaha online (Online Business Licensing Service/OBLS) dari segi biaya dan kenyamanan. Penelitian lainnya terkait layanan perizinan juga dilakukan oleh Ramessur (2009). Penelitian ini membahas mengenai e- Governance dan Online Public Services dengan studi kasus pemerintahan Mauritania. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa e-Governance telah meningkatkan penyediaan layanan e-service dalam segi informasi yang lebih jelas, kualitas baik, layanan modern dan proses yang cepat tetapi masih kurang dari segi keamanan.

Definisi, Konsep, Manfaat dan Model Tahap e-Government

Perkembangan teknologi informasi telah membuka cakrawala baru dalam memperbaiki sistem pemerintahan tradisional yang boros biaya, tidak efisien, dan lambat, sehingga tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman (Yong, 2003). Saat ini pemerintah dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas dirinya sehingga dapat melayani masyarakat dengan lebih baik. Transformasi dari government 1.0 ke government 2.0 selain dapat memperbaiki sistem lama juga diharapkan untuk lebih terbuka, transparan, dan demokratis (Lenihan, 2003).

Konsep e-Government dideskripsikan secara beragam oleh masing-masing individu atau komunitas. Hal tersebut dapat di lihat dari berbagai definisi di bawah ini mengenai e-Government dengan sudut pandang berbeda:

1. Bank Dunia (World Bank) 2001, mendefinisikan e-Government sebagai: “E-Government refers to the use by government agencies of information technologies (such as Wide Area Networks, the Internet, and mobile computing) that have the ability to transform relations with citizens, businesses, and other arms of government.”

2. United Nation Development Programme (UNDP) 2002, mendefinisikan

e-Government sebagai: “E-government is the application of Information and Communication Technology (ICT) by government agencies.” (UN- DPEPA, 2002).

3. Scholl (2003) menyatakan bahwa e-Government adalah semua proses warga negara dalam pemerintahan yang diselenggarakan melalui perantara jaringan komputer.

4. Nurhadryani (2009) menyatak bahwa e-Governance adalah e- Governance dapat diartikan sebagai penggunaan Information Communication Technologies (ICTs) dalam proses governance dimana terdapat banyak sektor yang terlibat (tidak hanya sectorpublik tapi juga sektor privat dan sektor non-pemerintah) serta terjadi antar level governance yang berbeda (level 1 international, regional 1, nasional, regional 2 dan local).

Secara umum, e-Government didefinisikan sebagai penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan. e-Government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif, atau administrasi publik. Model penyampaian yang utama adalah Government-to-Citizen atau

Government-to-Customer (G2C), Government-to-Business (G2B), serta

Government-to-Government (G2G). Tujuan penerapan e-Government adalah untuk mencapai suatu tata pemerintahan yang baik (good governance). Komponen tata pemerintahan yang baik (good governance) yakni responsive, transparent,

Menurut Indrajit (2002) konsep e-Government berkembang didasarkan atas tiga kecenderungan:

1. Masyarakat bebas memilih bilamana dan darimana yang bersangkutan ingin berhubungan dengan pemerintahnya untuk melakukan berbagai transaksi atau mekanisme interaksi yang diperlukan selama 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu (non-stop);

2. Untuk menjalankan mekanisme interaksi tersebut masyarakat dapat dan boleh memilih berbagai kanal akses (multiple channels), baik yang sifatnya tradisional (konvensional) maupun yang paling moderen, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun kerja sama antara pemerintah dengan sektor swasta atau institusi non komersial lainnya;

3. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai koordinator utama yang memungkinkan berbagai hal yang diinginkan masyarakat tersebut terwujud, artinya pemerintah akan membuat sebuah suasana yang kondusif agar tercipta sebuah lingkungan penyelenggaraan pemerintahan seperti yang dicita-citakan rakyatnya tersebut.

Sementara itu pada sisi lain menurut Indrajit (2002) e-Government dianggap sebagai internet-based government (pemerintahan online yang berbasis internet). Namun, terdapat juga teknologi pemerintahan elektronik non-internet yang dapat digunakan dalam konteks ini, seperti; telepon, faksimil, personal digital assistant

(PDA), short message service (SMS), multimedia messaging service (MMS), jaringan dan layanan nirkabel (wireless networks and services), Bluetooth, closed circuit television (CCTV), sistem penjejak (tracking systems), Radio Frequency Identification (RFID), indentifikasi biometrik, manajemen dan penegakan peraturan lalu lintas jalan, kartu identitas (KTP), kartu pintar (smart card) serta aplikasi near field communication (NFC) lainnya, teknologi polling station, penyampaian layanan pemerintahan berbasis TV (Television) dan radio, e-letter, fasilitas komunitas online, newsgroup dan electronic mailing list, chat online, serta teknologi pesan instan (instant messenger). Ada pula sejumlah sub-kategori dari e-Government spesifik seperti mobile government (m-government),

ubiquitous government (u-government), dan aplikasi GIS/GPS untuk e- Government (g-government). Oleh karena itu, maka konsep e-Government

sebenarnya tidak berhenti pada pemanfaatan jaringan teknologi komunikasi informasi berupa internet saja tetapi penggunaan teknologi komunikasi dan informasi lain atau terpadu yang ikut mendukung pelaksanaan pemerintahan dalam rangka menuju pada efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.

Efisiensi terdiri atas dua elemen yaitu waktu dan biaya (Tjahjono, 2009). Efisiensi waktu sebagai proses peningkatan kecepatan melalui standarisaasi, digitalisasi dan otomasi disamping pemrosesan informasi yang lebih cepat dimana meningkatan efisiensi waktu. Efisiensi biaya terdiri dari biaya yang sulit untuk diukur (intangible cost) dan biaya yang bisa diukur (tangible cost). Dampak teknologi informasi komunikasi (TIK) terhadap biaya yang sulit diukur berupa berkurangnya sosialisasi, penurunan moral dari dampak penggunaan teknologi informasi komunikasi (TIK) dan internet. Tangible cost contohnya adalah biaya

hardware, software, dan layanan telekomunikasi. Disamping biaya, teknologi informasi komunikasi (TIK) juga berdampak pada manfaat (benefit), baik berupa manfaat yang mudah dihitung (tangible benefit) maupun manfaat yang sulit dihitung (intangible benefit). Dengan demikian maka dapat diperoleh suatu karakteristik konsep e-Government sebagai berikut (Indrajit, 2002):

1. Merupakan suatu mekanisme interaksi baru antara pemerintah dengan masyarakat dan kalangan lain yang berkepentingan (stakeholder);

2. Melibatkan penggunaan teknologi informasi (terutama internet); 3. Memperbaiki mutu (kualitas) pelayanan yang selama berjalan.

Dari konsep yang komprehensif di atas maka diketahui beberapa manfaat dari pelaksanaan e-Government antara lain (Indrajit, 2002):

1. Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder- nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efisiensi di berbagai bidang kehidupan bernegara; 2. Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas penyelenggaraan

pemerintahan dalam rangka penerapan konsep Good Governance di pemerintahan (bebas KKN);

3. Mengurangi secara signifikan biaya administrasi, relasi, dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk keperluan aktivitas sehari-hari;

4. Memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber- sumber pendapatan baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan;

5. Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara cepat dan tepat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan dengan berbagai perubahan global dan trend yang ada;

6. Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan publik secara merata dan demokratis.

Proses menuju e-Government adalah proses evolusi yang terdiri atas beberapa tahap atau fase-fase pengembangan. Beberapa tulisan analitik telah dilakukan oleh Gartner Group, World Bank maupun United Nations (PBB). Masing-masing lembaga ini menyusun suatu konsep model tahapan e Government. Ketiga model tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Model World Bank

Tahapan yang didefinisikan oleh World Bank merupakan model yang paling sederhana. Model ini mengukur derajat interaksi yang diciptakan dari sistem (situs web) yang dimiliki oleh pemerintah. Bentuk-bentuk keterlibatan ini seragam dengan model tahapan klasik yang banyak dikutip tentang evolusi situs web di dunia komersial. Tiga tahap tersebut adalah (a) Publish, (b) Interact, (c) Transact

(Andersen & Henriksen, 2006).

Tabel 1 Tahapan e-Government World Bank Tahap 1 Publish Tahap 2 Interact Tahap 3 Transact Publikasi informasi

Komunikasi dua arah (email)

Transaksi pelayanan

online

2. Model Gartner Group

Model Gartner menambah tahap keempat sebagai suatu tahapan akhir yang mentransformasikan birokrasi pemerintahan untuk menghasilkan kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Tiga tahap awal model Gartner selaras dengan tiga tahap pada model World Bank. Empat tahapan tersebut adalah: (a) Presence, (b) Interaction, (c) Transaction, (d) Transformation (Baum & Di Maio, 2000)

Tabel 2 Tahapan e-Government Gartner Group Tahap 1 Presence Tahap 2 Interaction Tahap 3 Transaction Tahap 4 Transformation Keberadaan situs web Kemampuan melakukan navigasi dengan bantuan fasilitas search engine Layanan secara online Pelayanan satu pintu

3. Model United Nations (PBB)

Model ini merupakan model yang dipakai oleh Badan Administrasi Pemerintahan PBB, (Division for Public Administration and Development Management, UNPAN) untuk mengklasifikasikan tahapan e-Government dari negara-negara yang disurvei dalam laporan tahunannya tentang “E-Government Readiness Report”. Dalam model ini tahapan awal dipecah menjadi dua tahap yaitu: tahapan “Presence A” yang masih sangat sederhana (disebut sebagai tahap

Emerging) dan tahapan “Presence B” dengan fitur-fitur tambahan yang lebih kompleks (disebut sebagai tahap Enhanced). Secara keseluruhan tahapan dalam model PBB ini dibagi menjadi lima tahapan yaitu: (a) Emerging, (b) Enhanced, (c) Interaction, (d) Transactional, (e) Seamless(Andersen & Henriksen, 2006).

Tabel 3 Tahapan e-Government United Nations Tahap 1 Emerging Tahap 2 Enhance Tahap 3 Interactive Tahap 4 Transactional Tahap 5 Seamless

Situs web Kemunculan situs web semakin meluas Interaksi dua arah Pelayanan online Layanan yang terintegrasi Pelayanan publik

Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Kemenpan, 2003). Sedangkan menurut Ojo et al. (2007) pelayanan publik merupakan layanan-layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada customer (masyarakat) dan stakeholder. Pelayanan publik dapat diberikan pada tingkat maturity

(kematangan) yang berbeda, dari mulai informasi prosedur layanan, adanya dukungan online untuk download dan upload formulir dan dokumen pendukung serta untuk layanan transaksi.

Pelayanan publik dapat dibagi menjadi tiga kelompok (Kemdagri, 2008) yaitu :

1. Kelompok pelayanan administratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan publik;

2. Kelompok pelayanan barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik;

3. Kelompok pelayanan jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dihasilkan publik.

Pelayanan publik dapat diselenggarakan dengan pola-pola sebagai berikut :

1. Fungsional, yaitu pola pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan, sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya;

2. Terpusat, yaitu pola pelayanan publik yang diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan;

3. Terpadu Satu Atap, merupakan penyelenggaraan layanan oleh beberapa Kantor/Dinas/Badan yang membuka loket secara bersama-sama;

4. Terpadu Satu Pintu, merupakan penyelenggaraan terpadu yang seluruh prosesnya dilakukan dalam satu lokasi dan dikoordinasi oleh satu Kantor/Dinas/Badan;

5. Gugus Tugas, yaitu pelayanan yang diberikan oleh petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi pemberi layanan tertentu.

Perizinan

Menurut Kemdagri Nomor 20 Tahun 2008, izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Sedangkan perizinan adalah pemberian legalitas kepada orang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha. Definisi lain perizinan

menurut Ojo et al. (2007) adalah layanan yang memberikan berbagai macam hak akses pemerintahan kepada warga negara, bisnis, dan asosiasi. Perizinan memungkinkan suatu penggunaan layanan yang lebih luas dari sarana untuk merancang strategi bisnis dan relasi (Gangadharan & Andrea, 2011).

Kebijakan e-Government di Indonesia

Kebijakan Pengembangan dan Strategi e-Government terdapat pada Inpres nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e- Government yang berisi: “Pengembangan e-Government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien”. Melalui pengembangan e-Government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi informasi. Adapun tingkatan e-Government menurut Inpres nomor 3 Tahun 2003, yakni :

1. Tingkat 1: Persiapan, meliputi pembuatan situs informasi di setiap lembaga, penyiapan SDM, penyiapan sarana akses yang mudah, misalnya warnet dan lain-lain;

2. Tingkat 2: Pematangan, meliputi pembuatan situs informasi publik interaktif dan pembuatan antar muka keterhubungan dengan lembaga lain;

3. Tingkat 3: Pemantapan, meliputi pembuatan situs transaksi pelayanan publik dan pembuatan interoperabilitas aplikasi dan data dengan lembaga lain;

4. Tingkat 4: Pemanfaatan, meliputi pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat interagency relationship (G2G), Government to Business

(G2B) dan Government to Citizen (G2C ) yang terintegrasi.

Menurut panduan dari Kominfo (2003), isi minimal pada setiap situs web pemerintah daerah (pemda) mencakup:

Menjelaskan secara singkat tentang keberadaan pemerintahan daerah (pemda) bersangkutan (sejarah, moto, lambang dan arti lambang, lokasi dalam bentuk peta, visi, dan misi).

2. Pemerintahan Daerah

Menjelaskan struktur organisasi yang ada di pemda bersangkutan (eksekutif, legislatif) beserta nama, alamat, telepon, email dari pejabat daerah. Jika memungkinkan biodata dari pimpinan daerah ditampilkan agar masyarakat luas mengetahuinya.

3. Geografi

Menjelaskan antara lain keadaan topografi, demografi, cuaca dan iklim, sosial dan ekonomi, budaya dari daerah bersangkutan. Semua data dalam bentuk numerik atau statistik harus mencantumkan nama instansi dari sumber datanya.

4. Peta Wilayah dan Sumberdaya

Menyajikan batas administrasi wilayah dalam bentuk peta wilayah (dari Bakosurtanal) dan juga sumberdaya yang dimiliki oleh daerah bersangkutan dalam bentuk peta sumberdaya (dikeluarkan oleh instansi pemda yang mempunyai tugas pokok dan fungsi pembuat peta) yang dapat digunakan untuk keperluan pengguna.

5. Peraturan/Kebijakan Daerah

Menjelaskan peraturan daerah (perda) yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah bersangkutan. Melalui situs web pemerintah daerah ini semua perda yang dikeluarkan disosialisasikan kepada masyarakat luas.

6. Buku Tamu

Tempat untuk menerima masukan dari pengguna situs web pemda bersangkutan.

Kajian Perkembangan Perizinan di Indonesia

Salah satu jenis pelayanan publik yang memiliki indikasi buruk dalam penyelengaraannya adalah pelayanan perizinan. Pelayanan perizinan selama ini dianggap sebagai salah satu faktor penghambat masuknya investasi (Kurniasih&Anwaruddin, 2007). Hal tersebut tercermin dari banyaknya jumlah

tahapan untuk memulai bisnis di Indonesia yaitu mencapai 12 tahapan. Sementara waktu yang dibutuhkan untuk memulai bisnis mencapai 151 hari atau yang terlama kedua di Asia.

Buruknya kinerja pelayanan perizinan oleh birokrasi bukan saja terjadi di tingkat nasional tapi yang paling krusial justru di tingkat daerah. Seiring dengan otonomi daerah, bentuk kebijakan yang paling popular di tingkat daerah adalah perizinan. Perizinan di satu sisi merupakan wujud nyata kewenangan daerah dan di sisi lain merupakan sumber pendapatan daerah. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang penyelenggaraan pelayanan publik,namun sampai pada tataran pemerintahan daerah masih belumdirespons secara optimal. Perkembangan e-Government di Indonesia

Dinamika pemerintahan di Indonesia sangat berpengaruh dalam perkembangan e-Government Indonesia. Dilihat dari pelaksanaan aplikasi e- Government, data dari Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (Pandi) dan Kementrian Dalam Negeri (Kemdagri), menunjukkan bahwa Indonesia baru memiliki:

1. 6.788 domain go.id (Pandi, 2012);

2. 399 website pemerintah daerah (pemda) Kabupaten (Kemdagri, 2010); 3. 98 website pemerintahan daerah (pemda) Kota (Kemdagri, 2010)

Beberapa pemerintah daerah (pemda) memperlihatkan kemajuan cukup berarti. Bahkan Pemkot Surabaya sudah mulai memanfaatkan e-Government

untuk proses pengadaan barang dan jasa (e-procurement). Beberapa pemda lain juga berprestasi baik dalam pelaksanaan e-Government seperti: Pemprov DKI Jakarta, Pemprov DI Yogyakarta, Pemprov Jawa Timur, Pemprov Sulawesi Utara, Pemkot Yogyakarta, Pemkot Bogor, Pemkot Tarakan, Pemkab Kebumen, Pemkab Kutai Timur, Pemkab Kutai Kartanegara, Pemkab Bantul, dan Pemkab Malang.

Sementara itu jumlah pelanggan dan pengguna Internet masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan total penduduk Indonesia. Hingga akhir 2007 berbagai data yang dikompilasi Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) memberikan jumlah pelanggan internet masih pada kisaran 25 juta. Rendahnya penetrasi internet ini jelas bukan suatu kondisi yang baik untuk mengurangi

lebarnya kesenjangan digital (digital divide) yang telah disepakati pemerintah Indonesia dalam berbagai pertemuan Internasional.

Banyak orang menganggap apabila suatu Kota atau Kabupaten berhasil melakukan Pelayanan Publiknya berbasis Teknologi Informasi Komunikasi (TIK), maka untuk Kota/Kabupaten lain bahkan pelayanan pemerintahan lainnya pasti berhasil. Kenyataan tidak sesederhana itu karena karakteristik Kabupaten-Kota yang satu dengan Kabupaten/Kota yg lain berbeda. Otonomi daerah ada plus minus nya bagi jalannya pemerintahan. Demikian pula dampaknya terhadap pembangunan e-Government didaerah maupun dipusat. Tidak mudah untuk mengintegrasikan Sistem aplikasi sebagaimana blue print sistem aplikasi e- Government yang sudah dibuat 2004 oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi. Adanya Dewan Teknologi Informasi Komunikasi Nasional (DeTIKNas) yang sudah dibentuk satu setengah tahun yang lalu, belum terasa kiprahnya bagi pembangunan e-Government di daerah-daerah (Provinsi maupun pemerintah kabupaten/Kota). Semula Komunitas Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) sangat berharap keberadaan DeTIKNas akan menjadi Akselerator pembangunan e-Government di Indonesia. Ternyata belum..Beberapa contoh dalam hal ini Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK), Single Identity Number (SIN) yang sejak 2004 sudah dicanangkan. Hal ini juga terungkap pada evaluasi 1 tahun DeTIKNas. Kalaupun ada pemerintah kabupaten/Kota yang menonjol e-Government nya. Pemerintah pusat, dalam hal ini departemen departemen terkait tidak bisa banyak berharap, demikian pula pemerintah daerah yang mayoritasnya tidaklah memprioritaskan pembangunan e-Government

(Usman, 2008) Proses Bisnis

Proses bisnis merupakan suatu langkah ataupun aktivitas yang saling berhubungan dengan menggunakan orang, informasi dan sumber daya lainnya untuk menciptakan nilai/value suatu produk kepada internal/eksternal customer (Alter, 1996). Pengertian proses bisnis lainnya menurut Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan) & Reformasi Birokrasi (RB) nomor 12 tahun 2011 adalah tatalaksana (business process) merupakan sekumpulan aktivitas kerja terstruktur dan saling terkait yang menghasilkan keluaran yang

sesuai dengan kebutuhan pengguna. Sedangkan menurut Laudon & Laudon (2006) proses bisnis adalah suatu cara unik dalam mengorganisasi aktivitas kerja, informasi, dan pengetahuan untuk menghasilkan suatu produk atau layanan yang bernilai. Proses bisnis merupakan arus kerja konkret dari aktivitas kumpulan pengetahuan, material dan informasi. Proses bisnis pada perusahaan dapat menjadi sumber kekuatan kompetitif jika proses tersebut memungkinkan perusahaan untuk berinovasi secara lebih baik. Proses bisnis dapat juga berarti kewajiban jika didasarkan pada cara kerja yang sudah ketinggalan zaman yang menghalangi kemampuan reaktif dan efisiensi organisasi.

Menurut Lindsay et al. (2003) proses bisnis adalah kumpulan kegiatan yang berhubungan dan terstruktur yang dilakukan oleh satu atau lebih organisasi untuk beberapa tujuan tertentu. Dalam sebuah organisasi hasil proses bisnis merupakan hasil dalam penyediaan layanan atau dalam produksi barang, bagi para

stakeholder internal atau eksternal. Untuk menggambarkan bisnis proses dapat menggunakan empat perspektif antara lain (Corradini et al. , 2010):

1. Bisnis proses sebagai mesin deterministik;

2. Bisnis proses sebagai sistem dinamis yang kompleks; 3. Bisnis proses interaksi umpan balik;

4. Bisnis proses sebagai konstruksi sosial.

Untuk memahami suatu proses bisnis maka dapat digunakan Work Centered Analysis yang melihat proses bisnis merupakan dari sebuah sistem. Work Centered Analysis terdiri atas enam elemen sebagai berikut (Alter, 1996):

1. Konsumen/Pemakai, merupakan konsumen internal maupun eksternal yang memanfaatkan keluaran (output) dari proses bisnis;

2. Produk, merupakan keluaran (output) dari proses bisnis;

3. Proses bisnis, merupakan langkah atau aktivitas yang menggunakan orang, informasi, dan sumber lainnya untuk menciptakan produk yang memiliki nilai tambah kepada pengguna atau pemakai baik dari sisi internal maupun eksternal;

4. Participant/ pelaku, merupakan orang yang terlibat secara langsung dalam sistem;

6. Teknologi, didefinisikan sebagai perangkat komputer dan telekomunikasi yang menggunakan proses bisnis.

Hubungan antara keenam elemen diatas dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini:

Gambar 1 Elemen dalam Work Centered Analysis (Alter, 1996) Metode Pengembangan Sistem

Pengembangan sistem yang digunakan adalah pendekatan model waterfall.

Waterfall dapat berarti menyusun suatu sistem yang baru untuk menggantikan sistem yang lama secara keseluruhan atau memperbaiki sistem yang telah ada (Pressman, 2005). Di bawah ini adalah representasi model proses waterfall. Metode waterfall merupakan metode pengembangan sistem informasi yang dapat dijadikan dasar dalam pembangunan sistem informasi.

Gambar 2 Model Waterfall (Pressman, 2005)

Pada Gambar diatas terlihat empat tahapan model waterfall yakni, analisis sistem (analysis). Pada tahap analisis dilakukan proses analisis pada sistem, yang dapat berupa analisis terhadap kebutuhan data dan informasi yang harus dipenuhi, analisis terhadap upaya pengembangan, serta alternatif pemecahan masalah untuk proses pada fase-fase berikutnya. Fase selanjutnya desain sistem (design) yakni,

tahapan perancangan sistem berfokus pada perancangan perangkat lunak atau program (arsitektur software) dengan menentukan struktur data yang digunakan, detail algoritma prosedural serta perancangan terhadap antarmuka (design interface). Desain dikerjakan setelah kebutuhan selesai dikumpulkan secara lengkap. Pada fase pembuatan sistem (coding) yakni, hasil perancangan harus diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa mesin yang dapat dibaca. Desain program diterjemahkan ke dalam kode-kode dengan menggunakan bahasa pemrograman yang sudah ditentukan. Setelah fase perancangan sistem (design) fase selanjutnya adalah pengujian sistem (testing) yakni pengujian berfokus pada logika internal perangkat lunak dan pada eksternal fungsional, yaitu mengarahkan pengujian untuk menemukan kesalahan-kesalahan dan memastikan bahwa input yang dibatasi akan memberikan hasil aktual yang sesuai dengan hasil yang dibutuhkan. Pada tahap ini juga dilakukan pengetesan terhadap pengoperasian yang berujung pada kesiapan untuk diimplementasikan.

Dokumen terkait