• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi, Morfologi, dan Daur Hidup Pyricularia oryzae Cav.

Blas merupakan penyakit padi tertua yang penyebarannya meliputi semua negara penanam padi dan merupakan penyakit utama pada padi gogo. Penyakit ini telah menyerang lebih dari 70 negara penghasil padi di dunia (Thurston, 1984). Berdasarkan laporan pertama tahun 1637 dalam buku Agronomic Practices,

diketahui bahwa sejak zaman dinasti Ming di Cina sudah ditemukan penyakit demam padi oleh Soong Ying Shin yang kemudian disebut blas. Nama penyebab penyakit ini ditemukan oleh Cavara pada tahun 1891 dan sebutan blas pertama kali diberikan oleh Mitkalf pada tahun 1907 (Ou, 1972).

Pyricularia oryzae Cav. penyebab penyakit blas merupakan golongan cendawan yang secara morfologi tidak berbeda dengan Pyricularia grisea yang diketahui banyak menyerang jenis rumput-rumputan dan gulma (Rush, 1992). Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi Pyricularia oryzae adalah sebagai berikut : termasuk Kingdom Myceteae, dengan Divisi Amastigomycota, Sub Divisi Deuteromycotina, Kelas Deuteromycetes, Ordo Moniliales, dan Famili Moniliaceae.

Konidiofor dari P. oryzae bersekat, antara 2-4 sekat, berkelompok dari setiap stroma, jarang bercabang, kelabu, licin dan membentuk konidia pada ujungnya (Semangun, 1971). Miselium septat, multinukleat, hifa bercabang. Konidiofor dan konidia dapat dengan mudah dihasilkan dari luka keabu-abuan. Konidiofor simpel, jarang bercabang, keabuan, septat dan ramping. Konidia oval, 2-septat ketika dewasa, dan meruncing hingga tumpul pucuknya, tergantung ras funginya. Sel-sel konidium multinukleat. Setiap inti memiliki dua kromosom besar dan kecil ( Chou dan Li, 1965 dalam Singh, 1978).

Cendawan blas termasuk polisiklus, dimana akan terjadi siklus yang berkelanjutan. Tahap-tahap yang terjadi meliputi inokulasi, penetrasi, infeksi, kolonisasi, reproduksi, diseminasi (penyebaran spora) dan sporogenesa (inokulum bertahan pada gulma, tanah, dan sisa-sisa tanaman) (Sinaga, 1996). Daur hidup P. oryzae berawal dari pelepasan spora ole h embun atau hujan dan dibawa oleh

angin. Cendawan yang tumbuh kemudian menghasilkan lebih banyak spora. Konidia atau spora yang terbang terbawa angin kemudian jatuh pada daun padi. Pembentukan spora mencapai puncak pada 3-8 hari setelah timbul gejala awal. Spora dihasilkan oleh bercak sekitar 6 Hari Setelah Inokulasi (HSI).

Satu bercak bisa mencapai 2000-6000 spora per hari dalam dua minggu. Spora umumnya dilepas dini hari, sekitar pukul 02.00-06.00. Daerah tropis juga bisa terjadi pelepasan spora pada siang hari. Peranan air hujan sangat penting untuk pelepasan spora. Banyaknya spora yang ditangkap oleh daun tergantung pada kecepatan angin dan posisi atau sudut kemiringan daun (Semangun, 1991). Spora kemudian berkecambah dan cendawan menembus permukaan daun atau masuk ke dalam daun melalui stomata. Cendawan lalu tumbuh dan setelah 4-5 hari menimbulkan bercak pada daun. Bercak juga bisa terjadi pada buku dan bagian malai. Bercak memanjang runcing pada kedua ujungnya (belah ketupat) dengan ukuran dan bentuk berbeda menurut varietas padinya (Balitbangtan, 1991).

Cara Penyerangan dan Gejala Penyakit Blas

Konidiospor berkecambah pada permukaan daun dan menghasilkan apresoria coklat pada pucuk pembuluh, dimana infeksi akan berkembang dan melakukan penetrasi pada sel-sel epidermal melalui kutikula. Setelah invasi, fungi berhasil berkembang melalui percabangannya dan memasuki epidermal tetangga atau sel-sel tetangga dengan penetrasi langsung (Yoshi, 1937 dalam Matsuo et. al, 1995).

Luka akibat serangan P. oryzae bisa terjadi pada semua bagian tanaman, namun jarang sekali menyerang pada batang. Karakter luka pada helai daun beragam sesuai kondisi lingkungan dan tingkat ketahanan tanaman inang. Luka pada awalnya berwarna sering putih hingga abu-abu hijau denga n pinggir hijau gelap. Luka yang lebih tua biasanya memutih hingga keabu-abuan dengan pingir menguning. Bentuknya beragam, tapi biasanya berbentuk seperti permata atau belah ketupat. Ukuran luka bervariasi sesuai dengan umur tanaman dan tingkat ketahanan tanaman. Luka pada helai daun saat fase reproduktif biasanya lebih luas

daripada tanaman yang masih muda. Infeksi pada bagian lain dari tanaman adalah pada pangkal malai, pelepah daun dan ruas batang (Singh, 1978).

Keragaman Patogen dari Ras Pyricularia oryzae Cav.

Tahun 1922, Sasaki di Jepang mencatat keberadaan ras-ras patogen P. oryzae. Sejak 1950-an, beberapa negara terutama Jepang, Amerika, dan Taiwan kemudian mempelajari ras-ras tersebut secara lebih intensif. Masing- masing negara menggunakan set yang berbeda dari varietas yang beragam. Banyak ras yang diidentifikasi di setiap negara tersebut. Kemudian pada 1960-an ada juga laporan mengenai ras-ras berikutnya dari Philipina, Indonesia, Korea, dan Kolombia (Ou, 1975 dalam Bonman, 1992).

P. oryzae diketahui mempunyai banyak ras fisiologi yang berbeda-beda sifat dan virulensinya. Pada tahun 1975, IRRI sudah melaporkan adanya 260 ras fisiologi (Semangun, 1991). Konidium-konidium yang dihasilkan oleh suatu biakan murni yang berasal dari konidium tunggal dapat berkembang menjadi banyak ras (Thurston, 1984). Patogenisitas dipengaruhi oleh perbedaan mekanisme metabolisme dan senyawa-senyawa kimia yang terdapat pada cendawan P. oryzae (Otsuka et al., 1963). Para peneliti Jepang dan India membuktikan bahwa P. oryzae mampu membentuk beberapa macam toksin, antara lain ß-picolinic acid, pyricularin, pyriculol, dan tenuazonic acid (Ou, 1985). Keragaman patogen dari P. oryzae sangat kompleks. Perubahan patogenisitas berlanjut seiring pertumbuhan fungi. Konidia dihasilkan pada luka tunggal, kultur konidia tunggal, atau dari pertumbuhan hifa ujung. Pada satu dari tiga sel konidia mungkin bisa berbeda rasnya. Satu tipe luka blas memproduksi 2000-6000 konidia. Jika lebih dari satu isolat monokonidial diuji, lebih dari 150 ras diketahui di Philipina yang diidentifikasi dari luka tunggal atau kultur tunggal.

Edwina dan Amir (1987) menemukan 27 ras blas berdasarkan perbedaan reaksinya dengan tujuh varietas diferensial di Indonesia, yaitu Asahan, Cisokan, IR 64, Krueng Aceh, Cisadane, Cisanggarung, dan Kencana Bali. Mogi et al.

(1991) juga menemukan 27 ras dimana sebanyak sembilan ras adalah ras yang dominan, yaitu 001, 003, 023, 041, 051, 101, 113, 133 dan 201. Nasution et al

(1993) dalam Makmur (2003), menemukan 15 ras baru dari 20 ras yang diidentifikasi di Taman Bogo, Lampung dan Kerang Agung, Sumatera Utara.

Tabel 1. Penentuan Ras P. oryzae dan Distribusi Patogenisitas Berdasarkan Reaksinya Terhadap Tujuh Varietas Diferensial di Indonesia.

Varietas

Ras dominan Nilai

skor 001 003 023 041 133 173 201 Asahan Cisokan IR 64 K. Aceh Cisadane Cisanggarung Kencana Bali T T T T T T R T T T T T R R T T T R T R R T T R T T T R T R T R R R R T R R R R R R R R T T T T R 200 100 40 20 10 2 1 Keterangan : Ras-ras semakin virulen searah tanda panah

T : Tahan R : Rentan

Sumber : Mogi et al., (1991)

Mekanisme perubahan keragaman yang sangat cepat belum banyak diketahui. Studi saat ini menunjukkan bahwa banyak sel-sel dalam miselium dan konidia adalah uninukleat. Anastomosis dari hifa telah sering diamati. Beberapa peneliti awal percaya bahwa sel-sel multinukleat dan heterokariotik (Ou, 1975

dalam Bonman, 1992).

Mekanisme Ketahanan Tanaman Padi Terhadap Blas

Resistensi tanaman adalah kemampuan untuk mencegah pertumbuhan patogen dalam sel-sel tanaman (Takahashi, 1963). Tanaman tergolong tahan jika tidak terserang atau hanya sedikit kerusakan yang terjadi akibat serangan patogen tersebut. Kerentanan tanaman dicirikan sebaliknya, yaitu banyaknya serangan dan kerusakan oleh patogen penyebab penyakit (Nelson, 1975). Resistensi tanaman terhadap penyakit bisa dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam tanaman (Otsuka et al., 1963).

Ketahanan karena faktor luar antara lain dipengaruhi oleh lingkungan. Banyak faktor yang mendukung kemudahan padi gogo terserang blas. Faktor tersebut diantaranya kondisi kelembaban tanah, kadar Nitrogen serta kelembaban udara. Menurut Thurston (1995), tanaman yang tumbuh pada kondisi kelembaban tanah yang tinggi menjadikannya lebih resisten dibandingkan pada kondisi lahan kering. Itulah mengapa padi gogo sering digunakan sebagai bahan perakitan varietas yang tahan terhadap penyakit blas. Kadar Nitrogen yang tinggi juga bisa meningkatkan infeksi P. oryzae, oleh karena itu konsentrasi Nitrogen yang tinggi juga bisa digunakan dalam pengujian untuk evaluasi ketahanan terhadap blas. Efek kelembaban udara yang tinggi adalah embun yang menyediakan air bebas untuk digunakan bagi perkembangan konidia, dan pada kelembaban antara 90-92% berpeluang untuk menginfeksi padi. Lingkungan yang kering pada padi gogo juga membuka peluang terserang blas lebih besar dibanding padi sawah. Pada kondisi kering tersebut, salah satu unsur hara yang terganggu penyerapannya adalah silikat, yang merupakan bahan penting penyusun dinding sel. Siregar (1981) menambahkan, silikat yang tidak banyak dilarutkan oleh air menyebabkan hanya sedikit yang bisa diserap tanaman sehingga dinding sel menjadi lebih mudah ditembus cendawan P. oryzae. Berdasarkan penelitian Miyake dan Adachi (1922) dalam IRRI (1963), melaporkan bahwa varietas yang tahan memiliki kandungan silikat yang lebih tinggi jika dibanding varietas yang rentan. Ada dua faktor yang menyebabkan silikat mampu meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap blas. Pertama adalah silikat yang terdeposisi pada jaringan epidermal secara mekanis melindungi invasi hifa. Kedua adalah secara fisiologi, silikat meningkatkan asimilasi amonium dan mengendalikan peningkatan pada pelarutan komponen nitrogen, termasuk asam amino dan amida yang merupakan bahan perkembangbiakan hifa (Matsuo et al, 1995). Derajat resistensi meningkat seiring meningkatnya jumlah penggunaan silikat dan jumlah akumulasi silikon pada tanaman padi (Miyake dan Ikeda, 1932 dalam IRRI, 1963). Jumlah aplikasi nitrogen yang berlebih dapat menurunkan akumulasi silikat pada tana man. Hal ini dikuatkan oleh banyak peneliti (IRRI, 1963). Jumlah sel-sel tersilifikasi per unit area lebih banyak pada daun bagian bawah dan semakin menurun pada daun bagian atas selama fase perkembangan vegetatif. Pada fase pemasakan jumlah

sel-sel tersilifikasi per unit area meningkat secara cepat pada daun yang paling atas. Polimerisasi asam silikat memenuhi sela pada misel selulosa yang membentuk membran selulosa silikat. Tanaman padi yang tumbuh pada kondisi yang bebas silikon menunjukkan tingkat respirasi yang abnormal. Berdasarkan hasil- hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa transportasi dan deposisi silikon pada tanaman padi berhubungan erat dengan transpirasi, karena silikon berada pada sepanjang jalur transpirasi. Lapisan silika gel pada epidermis juga berfungsi untuk mengontrol transpirasi serta menghalangi invasi fungi dan serangga. Aplikasi ammonium sulfat mampu mengurangi kehilangan ketahanan dari epidermis daun sehingga mampu menahan serangan blas.

Menurut Amir (1985), sistem budidaya juga berpengaruh terhadap sifat kerentanan padi gogo terhadap blas. Beberapa kebiasaan petani seperti penggunaan pupuk yang melebihi dosis anjuran terutama urea, membiarkan jerami padi, serta penggunaan pestisida yang tidak tepat bisa memicu meluasnya serangan blas, bahkan bisa menyebabkan terbentuknya ras baru yang semula tidak ditemukan.

Efek dari bentuk N yang diserap mungkin berdampak secara langsung terhadap kerentanan tanaman. Osuna-Canizalez et al., (1991) dalam Bonman (1992) membuktikan bahwa tanaman yang diberi NO3-N pada nutrisi kulturnya lebih rentan daripada yang diberikan NH4+-N. Mereka menyimpulkan bahwa bentuk N mempengaruhi mekanisme pertumbuhan yang menyebabkan kerentanan terhadap blas.

Lama pengembunan juga berpengaruh secara langsung pada patogen. Pada temperatur optimum (sekitar 25oC), patogen dapat menginfeksi tanaman setelah 6-8 jam pengembunan. Pada suhu sekitar 16oC infeksi terjadi kemudian setelah 16-20 jam. Temperatur di atas 28oC mendukung pertumbuhan P. oryzae tapi juga merangsang ketahanan inang. Tanaman lebih rentan pada temperatur rendah, sekitar 20oC, akan mendukung kemudahan infeksi walaupun pertumbuhan patogen saat itu rendah.

Ketahanan tanaman meliputi ketahanan lengkap dan ketahanan parsial (Roumen, 1993). Ketahanan lengkap jika terdapat interaksi yang berbeda dari varietas tanaman terhadap berbagai macam ras patogen, sehingga tanaman hanya

tahan pada ras patogen tertentu. Ketahanan parsial jika interaksi antara varietas tanaman dan berbagai ras patogen sama, sehingga tanaman bisa menahan berbagai serangan ras patogen. Ketahanan lengkap dapat diintroduksikan ke tanaman relatif mudah dan dampaknya akan terlihat dengan cepat yaitu adanya reaksi hipersensitifitas tanaman. Ketahanan lengkap berhubungan dengan plastisitas patogen. Jika tanaman memiliki ketahanan lengkap dan mendapat serangan ras patogen, maka patogen bisa menjadi plastis dan dapat memproduksi gen mematikan yang menyerang dan membentuk gen resistansi sehingga ras patogen lebih kuat menyerang atau membentuk ras yang lebih baru. Ketahanan parsial sebaliknya tidak berhubungan dengan plastisitas patogen. Patogen tidak mendapat keuntungan dengan membentuk ras baru karena tanaman mampu menahan serangan seluruh ras patogen. Kultivar dengan ketahanan parsial tetap menjadi kultivar yang tahan walaupun ras patogen menjadi beragam (Roumen, 1993).

Van der Plank (1975) mendefinisikannya sebagai ketahanan vertikal untuk ketahanan lengkap dan katahanan horisontal untuk ketahanan parsial. Ketahanan vertikal ditentukan oleh karakter kualitatif yang dikontrol oleh beberapa gen mayor atau monogenik sedangkan ketahanan horizontal dikontrol oleh gen-gen minor atau poligenik. Kriteria dari ketahanan vertikal adalah tipe luka, bukan jumlah luka. Ketahanan horizontal berdampak pada keduanya yaitu jumlah dan tipe luka dimana tipe luka memperlihatkan banyaknya sporulasi. Jumlah luka pada tanaman yang memiliki ketahanan horizontal lebih sedikit daripada varietas yang rentan pada kondisi yang sama dan diinokulasi dengan jumlah spora yang sama. Waktu yang diperlukan untuk luka baru hingga membentuk spora (periode antara inokulasi dan sporulasi selanjutnya) pada tanaman yang memiliki ketahanan horizontal lebih lama dibanding pada tanaman dengan ketahanan vertikal. Banyaknya sporulasi pada luka lebih sedikit pada ketahanan horizontal daripada vertikal (Van der Plank, 1975).

Permasalahan utama yang muncul dalam pemuliaan untuk ketahanan penyakit adalah mekanisme katahanan yang spesifik dan kemampuan parasit yang spesifik serta variabilitasnya. Ketahanan yang spesifik adalah kemampuan tanaman yang hanya efektif dalam melawan satu spesies parasit atau biasa disebut ketahanan spesifik-patogen (Van der Plank, 1968 dalam Parlevliet, 1993).

Kemampuan parasit adalah kemampuan dalam memanfaatkan tanaman sebagai sumber nutrisi, termasuk menemukan lokasi inang (Littlefield dan Heath, 1979

dalam Parlevliet, 1993). Penelitian kemudian diarahkan untuk mendapat gen-gen ketahanan yang mampu menahan serangan beberapa ras sekaligus melalui pendekatan bioteknologi. Laporan pertama pada studi genetik ketahanan terhadap blas disampaikan oleh Sasaki pada tahun 1922. Setelah 66 tahun kemudian penelitian terbagi menjadi dua fase. Fase pertama pada awal kemajuan penelitian, percobaan dilakukan untuk memperkirakan jumlah gen- gen yang mengontrol ketahanan. Pada fase kedua dimana studi intensif telah dilakukan untuk mengidentifikasi gen-gen ketahanan, strain-strain fungi yang telah diketahui patogenisitasnya digunakan untuk inokulasi. Penelitian yang dilakukan Sasaki membuka jalan untuk studi genetik hubungan inang-patogen yang berkembang pada 1960-an.

Distribusi geografis gen-gen ketahanan yang dihasilkan antara lain Pi-a

diidentifikasi pada varietas dari Jepang, Korea, Cina, India dan Pakistan. Pi-I

pada varietas dari Jepang, Korea dan USA, Pi-k dan Pi-km dari varietas Jepang dan Cina. Pi-kp dari varietas Jepang dan Pakistan, Pi-kh dari varietas Jepang, Vietnam, India dan USA, Pi-ks dari varietas Jepang, China dan USA. Pi-ta, Pi-ta2

dari varietas Jepang, China dan Philipina. Pi-z dari varietas Jepang, USA dan Perancis, Pi-zdari varietas India, Jepang, Thailand dan Malaysia. Pi-b, Pi-t dari varietas Jepang, Malaysia dan Indonesia dan Pi-sh dari varietas Jepang (Matsuo et al, 1995).

Studi pewarisan menunjukkan bahwa ketahanan dikendalikan oleh gen utama dominan atau gen utama dominan dan resesif yang dilatarbelakangi gen-gen minor (Makmur, 2003). Makmur juga menyatakan metode silang balik untuk mendapatkan ketahanan gen- gen utama sukar dilaksanakan, oleh karena itu metode untuk menghimpun gen- gen ketahanan lebih memungkinkan.

Berdasarkan hasil penelitian dari Rusdiansyah (2002), sifat ketahanan blas terhadap ras 033 pada tetua donor Oryza glumaepatula menunjukkan sekurang-kurangnya dikendalikan oleh gen dominan dengan interaksi yang kompleks. Hasil penelitian tersebut menggunakan ras 033 dan 041, dimana hasilnya disimpulkan

bahwa yang mengendalikan ketahanan untuk kedua ras tersebut berbeda dan bersifat independent satu dengan yang lainnya.

Utami (2000) dalam Rusdiansyah (2002) menyimpulkan bahwa dari hasil pengujian pada progeni BC2F3 hasil keturunan silang balik IR 64/Oryza rufipogon/IR 64 terhadap tiga ras 173, 033, dan 001 menunjukkan bahwa sifat ketahanan pada O. rufipogon dikendalikan oleh banyak gen. Penelitian terbaru yang dilakukan Utami (2005) menunjukkan bahwa karakter ketahanan terhadap patogen blas bersifat kuantitatif dengan aksi gen epistasis duplikat untuk ras 001 dan 033, dan epistasis komplementer untuk ras 173.

Para tim ahli di International Rice Blast Genome Consortium and the Whitehead Institute for Genome Research di Cambridge, Massachusetts bekerjasama dengan U. S. Department of Agriculture-National Science Foundation Microbial Genome Sequencing Program, telah memetakan dan mempublikasikan genom P. oryzae yang bisa diakses via internet untuk memudahkan para peneliti dari negara lain memanfaatkannya. Para ahli mengidentifikasi ada sekitar 40 juta pasang basa pada genom P. oryzae yang tersimpan dalam fragmen DNA yang disebut BACs (Bacterial Artificial Chromosomes) (Dalke, 2002).

Metode Pengujian Terhadap Penyakit Blas

Upaya pengembangan metode pengujian atau teknik inokulasi sangat penting untuk menganalisis gen-gen ketahanan (Kiyosawa dan Ando, 1970 dalam

Matsuo et. al., 1995). Metode inokulasi buatan antara lain dengan menyemprotkan suspensi spora pada tanaman, menyuntikkan suspensi spora pada tanaman, inokulasi pelepah daun, menusukkan suspensi spora dan lain- lain. Tanaman-tanaman biasanya diuji di tingkat persemaian. Penyemprotan suspensi spora pada tana man adalah metode yang paling sering digunakan. Menyemprot tanaman di dalam kamar tertutup menghasilkan lebih banyak deposit spora yang seragam pada daun daripada menyemprot secara langsung pada tanaman di ruang terbuka. Biasanya gejala mulai muncul pada hari keempat setelah inokulasi di bawah suhu sekitar 24-28 oC. Pembacaan dapat dilakukan mulai hari keenam atau ketujuh. Suspensi spora juga dapat disuntikkan ke pseudostem atau lingkar pelepah daun.

Pada metode inokulasi pelepah daun biasanya dilakukan pada tanaman tua. Tanaman dipotong dan dengan menurunkan suspensi spora yang ditempatkan di dalam pelepahnya. Pelepah yang diinokulasi dinkubasi sekitar 40 jam di petridish pada suhu 28o C. epidemis pada permukaan dalam kemudian dikerik keluar dan diuji dibawah mikroskop. Jumlah perkembangan miselia dari konidia tunggal pada sel-sel epidermal mengindikasikan tingkat kerentanan. Suspensi spora juga dapat disuntikkan pada pelepah daun paling atas yang mendekati malai ketika setengah malai telah muncul. Metode ini memberi persentase infeksi yang tinggi hingga 100%.

Menggunakan metode inokulasi daun, Takahashi (1963) menganalisa segregasi pada generasi F2 hasil persilangan antara varietas yang berbeda keahanannya. Hasilnya mengindikasikan varietas tahan memiliki satu,dua dan tiga gen-gen dominan. Abumiya (1959) dalam Takahashi (1963) kemudian menyatakan adanya resiko yang didapat dengan menggunakan metode inokulasi daun untuk pengujian rasio segregasi. Asai et. al. (1975) dalam Matsuo et. al,

(1995), juga melaporkan varietas yang diuji memperlihatkan perbedaan reaksi pada inokulasi semprot dan daun.

Efisiensi Infeksi Relatif (RIE) adalah komponen penting dari ketahanan parsial sesuai dengan hasil studi komponen ketahanan parsial, yaitu jumlah luka bersporulasi yang berkembang, ukuran luka dan periode laten. Genotipe-genotipe dengan tingkat ketahanan parsial yang tinggi memperlihatkan luka yang lebih sedikit dengan area sporulasi lebih kecil dibandingkan genotipe yang rentan. Analisis genetik menunjukkan bahwa RIE dikontrol oleh beberapa gen minor. Ketahanan parsial secara cepat meningkat sesuai umur daun. Semakin tinggi tingkat ketahanan parsial pada genotipe, semakin cepat jaringan daun menjadi tahan. Tingginya tingkat ketahanan terutama diekspresikan pada penurunan secara cepat terhadap luka bersporulasi (Roumen, 1993).

Studi mendetail dari komponen ketahanan parsial memperlihatkan bahwa jumlah luka merupakan komponen yang penting, dan tidak ditemukan adanya variasi genetik dari periode laten. Jumlah luka dikeahui ditentukan oleh gen-gen minor. Ketahanan diekspresikan dengan pengurangan secara cepat dari jumlah luka. Genotipe dengan level ketahanan parsial yang tinggi memperlihatkan sedikit

luka yang biasanya memiliki bercak berspora lebih kecil diandingkan yang rentan (Roumen,1993).

Kiyosawa (1970) dalam Matsuo et. al. (1995) menyatakan resistensi yang diuji dibawah kondisi lapang dianggap lebih tepat untuk menjelaskan bahwa ketahanan yang secara komplet menghalangi sporulasi disebut true resistance, sedangkan pada pengurangan luka sporulasi disebut field resistance.

Dokumen terkait