• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

2 TINJAUAN PUSTAKA

Industri Maritim di Indonesia

Definisi Industri menurut UU Perindustrian No 5 Tahun 1984 adalah kegiatan ekonomi yang mengelola bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya termasuk kegiatan rancangan bangun dan perekayasaan industri. Industri merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Selain itu industrialisasi juga tidak terlepas dari usaha untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara optimal. Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi adalah bagian dari industri. Hasil industri tidak hanya berupa barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.

10

Definisi industri maritim menurut San Diego Maritime Industry Report 2012 adalah suatu industri yang berhubungan dengan aktivitas maritim. Mengacu pada definisi tersebut, maka dapat dikemukakan disini bahwa Industri maritim merupakan perusahaan yang kegiatannya menyediakan produk dan layanan yang berkaitan dengan sektor maritim. Secara umum, industri maritim mencakup semua perusahaan yang bergerak di bisnis merancang, membangun, manufaktur, memperoleh, operasi, penyediaan, perbaikan dan/atau pemeliharaan kapal, atau bagian komponennya, mengelola dan/atau operasi jalur pelayaran, dan jasa perdagangan, galangan kapal, dermaga, kereta api laut, bengkel laut, pengiriman dan jasa pengiriman barang dan perusahaan sejenis (Makundan, 2007; Kosuri, 2011). Industri ini muncul juga termasuk komponen penting dari minyak dan gas serta energi terbarukan.

Lambatnya pembangunan dan perkembangan industri maritim di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, hambatan pada sistem finansial. Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia sampai saat ini belum berpihak kepada sektor maritim. Kedua, hambatan sistem perpajakan. Sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tentang pelaksanaan pajak pertambahan nilai yang dibebaskan atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu dan/atau penyerahan jasa kena pajak tertentu, bahwa sektor perkapalan mendapat pembebasan pajak. Namun semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16, tentang pajak pertambahan nilai yang terutang pada impor atau pada saat perolehan barang kena pajak tertentu disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan. Artinya kebijakan tersebut kurang signifikan. Jika pengusaha menjual kapalnya sebelum 5 tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5 persen dari harga penjualan (PPn 10 persen, PPh impor 7,5 persen dan bea masuk 5 persen). Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahun, paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak menanggung rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Namun, pengusaha harus membayar pajak terutang kepada negara sesuai Pasal 16 tersebut. Jika demikian, industri maritim di negara ini terhambat oleh kebijakan fiskal yang dianut. Sebaliknya, yang terjadi di Singapura pemerintah akan memberikan insentif, seperti pembebasan bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi perusahaan pelayaran yang bertransaksi di atas USD 20 juta. Mereka sadar bahwa investasi di industri pelayaran bersifat slow yielding sehingga diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah Singapura juga membebaskan pajaknya.

Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji tenaga Indonesia 1/3 gaji dari tenaga kerja asing, tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggung jawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan berawak 100 persen orang Indonesia sangat tinggi (UU No 17 tahun 2008). Sebaliknya, jika kapal berawak 100 persen asing yang mahal, ternyata pendapatan perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.

Keempat, persoalan klasifikasi industri maritim di tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan kendali Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan. Sistem klasifikasi di Indonesia seperti ini membuat industri maritim

11 Indonesia semakin sulit berkembang. Semua kapal yang diklasifikasi atau disertifikasi, tidak mendapatkan pengakuan dari asuransi perkapalan global. Kondisi ini terjadi karena dalam melakukan klasifikasi kapal, masih kurang profesional, penilaiannya diragukan semua pihak. Patut diduga klasifikasi kapal masih sarat dengan praktek-praktek yang tidak selayaknya. Sebab itu sebagian pemilik kapal memilih tidak meregister kapalnya di Indonesia, tetapi di Hongkong, Malaysia atau Singapura. Akibatnya pelaksanaan UU No 17 tahun 2008 tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena mereka menganggap klasifikasi yang dikeluarkan PT BKI hanya sebagai syarat pelengkap sehingga diragukan oleh kalangan industri maritim global terutama kalangan shipping manufacture dan pelayaran.

Industri maritim Indonesia akan dapat berkembang dengan pesat dan siap bersaing dengan industri sejenis jika pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan secara bersama memberi kemudahan perijinan dan memberi prioritas untuk dapat mengakses sumber pembiayaan. Salah satu kebijakan yang harus dilakukan, adalah merevitalisasi atau deregulasi di sektor fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif. Perombakan total di lingkungan lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian perlu dilakukan, begitu juga pada sistem pendidikannya, agar sesuai dengan arah kebijakan pembangunan Indonesia, perlu dilakukan peninjauan ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendikbud agar Indonesia mempunyai SDM maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Bunga bank yang tinggi dan kurangnya perhatian lembaga keuangan dan perbankan dalam memberikan perkreditan kepada perusahaan pelayaran nasional, menyebabkan investor di bidang penyiapan infrastruktur angkutan laut kurang berjalan dengan baik dan lancar. Jasa kelautan yang terdiri dari segala jenis kegiatan yang bersifat menunjang dan mempelancar kegiatan penyediaan infrastruktur sektor kelautan seperti jasa pelayan pelabuhan, keselamatan pelayaran, perdagangan, pengembangan sumber daya kelautan seperti pendidikan, pelatihan dan penelitian serta profesionalitas sumber daya manusia (SDM) dan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan yang berkualitas merupakan faktor yang menentukan dalam penyiapan infrastruktur industri dan jasa maritim sektor transportasi laut.

Industri Perkapalan di Indonesia

Sebagai Negara maritim yang mempunyai wilayah perairan yang sangat luas, Indonesia tentunya memerlukan moda transportasi laut untuk dapat menjangkau pulau-pulau dan menghubungkan daratan yang satu ke daratan yang lainnya. Pada kondisi ini peran kapal sangatlah penting dan dibutuhkan, yang fungsinya tidak hanya sebagai sarana transportasi penumpang dan barang, namun juga berfungsi untuk mendukung sistem pertahanan di wilayah perairan Indonesia. Selain itu sistem transportasi laut yang baik akan dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional terutama untuk wilayah kepulauan dan wilayah-wilayah lain yang terpencil yang sulit dijangkau menggunakan moda transportasi lain.

12

Konstelasi geografis dan kondisi morfologis wilayah negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat besar, meliputi Luas Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional. Menurut data dari Dinas Hidro Oseanografi TNI AL luas wilayah perairan Indonesia adalah 5,9 Jt Km² jauh melebihi daratannya yaitu: 1,9jt Km². Hal ini telah membawa suatu konsekwensi alamiah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, yaitu adanya kesadaran akan ruang hidup, habitat manusia tempat tumbuh dan mengembangkan diri serta menjaga kelangsungan hidupnya, dengan demikian ruang hidup bangsa Indonesia sebagai negara maritim perlu difahami secara nasional dan dijadikan pijakan dasar kebijakan nasional dalam rangka mengembangkan diri untuk membangun bangsa serta mencapai tujuan dan kepentingan nasional.

Berdasarkan kondisi geopolitis, geostrategis serta makna laut yang demikian penting bagi keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa, maka negara Indonesia harus mampu mengamankan dan memberdayakan seluruh wilayah perairan yuridiksi nasional sebagai bagian dari ruang hidup bangsa, dengan segala potensi dan sumber daya nasional yang terkandung di dalamnya sebagai modal dasar negara dalam melaksanakan pembangunan nasional guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Namun tentu saja untuk mampu mengamankan dan memberdayakan segala potensi dan sumber daya alam yang terkandung di laut, perlu didukung dengan segala sarana dan prasarana infrastruktur maupun suprastruktur yang sangat kompleks, meliputi aspek sumber daya manusia, sumber daya buatan (khususnya teknologi kemaritiman) serta sistem manajemen kelautan yang terpadu dan menyeluruh. Mengingat bahwa di dalam konteks pembangunan nasional di laut terdapat beberapa lembaga atau instansi baik pemerintah maupun non pemerintah yang sama-sama mempunyai kepentingan di laut.

Apabila melihat besarnya potensi laut nusantara yang demikian besar, sudah seharusnya negara Indonesia mempunyai infrastruktur maritim yang kuat, seperti pelabuhan yang lengkap dan modern, sumber daya manusia (SDM) di bidang maritim yang berkualitas, serta kapal-kapal angkutan laut yang berklasifikasi, mulai dari yang digunakan untuk jasa pengangkutan manusia, barang, migas, kapal penangkap ikan sampai dengan armada TNI Angkatan Laut (TNI AL). Kondisi tersebut belum dapat tercapai karena industri maritim Indonesia belum mendapatkan prioritas dan belum dikelola dengan tepat. Beberapa persoalan yang dihadapi selama ini, seperti kebijakan fiskal (pajak) yang belum berpihak pada pertumbuhan industri, lemahnya pasokan material dan permesinan, keengganan perbankan untuk memfasilitasi pembiayaan, hingga beberapa kasus ketidak-transparanan proyek pembangunan kapal oleh pemerintah yang lebih mempercayai perusahaan asing dibanding perusahaan dalam negeri. Sehingga tidak satupun negara yang segan dan menghormati Indonesia sebagai bangsa maritim.

Industri perkapalan merupakan industri padat karya dan padat modal yang memiliki daya saing tinggi, sehingga dukungan pemerintah sebagai pemegang kewenangan sangat penting. Menurut Ship Management International (2006), faktor kebijakan moneter dan fiskal, masih sulitnya akses dana perbankan dan tingginya bunga menjadi beban para pelaku usaha. Industri kapal juga diharuskan membayar pajak dua kali lipat. Masalah lain adalah minimnya keterlibatan perbankan. Perbankan enggan menyalurkan kredit kepada industri perkapalan.

13 Mereka beranggapan, industri perkapalan penuh risiko karena kontrol terhadap industri ini sulit. Selain itu, masalah lahan yang digunakan industri perkapalan terutama galangan kapal besar berada di daerah kerja pelabuhan dan hak pengelolaan lahan (HPL)-nya dikuasai PT Pelindo. Sehingga Industri perkapalan masih sangat tergantung pada HPL. Padahal, jika ada keleluasaan lahan di pelabuhan akan memberikan peluang kepada industri kapal untuk lebih berkembang.

Sesuai data yang ada di Dinas Potensi Maritim TNI AL terdapat sekitar 246 buah industri perkapalan yang tersebar di seluruh Indonesia, meskipun masih terkonsentrasi mayoritas di pulau Jawa, terdiri dari perusahaan besar dan kecil, hal ini merupakan bukti bahwa industri perkapalan Indonesia sangat potensial. Kondisi ini jika dikelola dengan tepat dan mendapat political will pemerintah dengan porsi yang besar maka bukan tidak mungkin akan menjadi suatu kekuatan maritim yang besar dan handal. Untuk itu jika industri perkapalan Indonesia ingin berkembang dan siap bersaing dengan industri sejenis, maka pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan dan pihak lain yang terkait, perlu melakukan kajian secara seksama untuk merumuskan kebijakan untuk memajukan industri maritim di Indonesia. Perlu juga dilakukan revitalisasi atau deregulasi sektor fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif, selanjutnya melakukan perombakan total di lingkungan lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian mengakui keberadaannya. Kemudian, hal yang tidak kalah penting adalah menyusun ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendiknas supaya Indonesia mempunyai SDM maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Kebijakan pemerintah terhadap Industri Perkapalan Nasional (galkapnas) cukup memberikan harapan dalam menuju mewujudkan kemandirian (Mabesal, 2003). Perkembangan Industri dalam negeri pada akhir-akhir ini mulai memberikan kebanggaan bagi bangsa Indonesia dengan telah mengaplikasikan berbagai kemajuan teknologi modern.

1. Perkembangan Industri Perkapalan Nasional. Perkembangan Industri Perkapalan Nasional yang ada di Indonesia dapat digambarkan dalam fakta-fakta sebagai berikut :

a. Industri kapal nasional merupakan Industri yang memiliki nilai strategis karena menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak, keterkaitan luas terhadap industri pendukung, berperan vital mendukung sistem transportasi dan pertahanan negara .

b. Industri Perkapalan Nasional saat ini telah mampu membangun dan memperbaiki kapal-kapal sebagai berikut (Mabesal 2003)(Mabesal 2003): (1) Kapal Tanker (Oil Tanker) pesanan Pertamina/PT PAL Indonesia; (2) Kapal Penumpang sampai dengan kapasitas 500 penumpang pesanan PT PELNI/PT PAL Indonesia; (3) Kapal Trailer (Ferry Ro-Ro) 19.000 DWT pesanan Redesi AB Gotland (ekspor)/PT. DKB; (4) Kapal Keruk sampai dengan kapasitas 12.000 ton pesanan PT Timah / PT. DKB; (5) Kapal Barang antara lain: (a) Kapal Full Container s/d 1.600 TEU’S (tipe Palwo Buono)/PT. PAL Indonesia; (b) Kapal Penyeberangan sampai dengan kapasitas 5.000 GRT dan (c) kapal Cargo milik Pemda Merauke/ PT. Dok dan Perkapalan Surabaya;

14

(6) Kapal TNI Angkatan Laut antara lain: (a) Kapal Patroli (FPB-57 dan FPB-28) untuk keperluan Angkatan Laut, Polisi dan Bea Cukai/PT. PAL Indonesia; (b) Kapal Patroli KAL-35/36 Meter untuk keperluan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal)/ Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan (Fasharkan) Mentigi.

2. Kemampuan Galangan Kapal Nasional (Galkapnas), meliputi:

a. Kemampuan dalam membangun Kapal. Kemampuan galangan kapal dalam membangun kapal baru khususnya untuk kapal-kapal niaga dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup baik. Hal ini terlihat dari cukup banyaknya permintaan dari berbagai perusahaan luar untuk pembuatan kapal-kapal baru dengan tonase 3000 s/d 15.000 DWT di PT. PAL. Investasi Injasmar dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 terus mengalami peningkatan, dimana jumlah perusahaan industri dok dan galangan kapal yang telah terdaftar sebanyak ± 246 perusahaan termasuk 5 perusahaan BUMN yang bergerak dibidang industri pembuatan kapal baru, reparasi kapal/docking dan industri terkait lainnya. Fasilitas terbesar yang dimiliki untuk membangun kapal baru berupa berth building dock dengan kapasitas s/d 50.000 DWT adalah PT. PAL Indonesia dan PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (DKB), dan sudah pernah melaksanakan pembangunan kapal-kapal tanker dengan tonage 3.000 s/d 17.500 DWT, kapal niaga/General Cargo Semi Container s/d 4.200 DWT, kapal penumpang s/d kapasitas 500 penumpang, kapal curah (Bulk Carrier) dengan tonage s/d 42.000 DWT. Sedangkan kemampuan galangan kapal nasional membangun kapal perang masih sangat terbatas. Pembangunan kapal perang yang dilaksanakan oleh PT. PAL sebagai galangan kapal terbesar di Indonesia, hanya sampai pada kapal klas Fast Patrol Boat 57 (FPB-57), Kapal Cepat Peluru Kendali 45 (KCR 45), dan KCR 60 itupun hampir seluruh komponen yang ada didalamnya merupakan produksi luar negeri, serta masih harus mendapatkan lisensi dari negara lain. Selain itu, tenaga kerja yang digunakan juga masih sebagian besar menggunakan tenaga asing. b. Kemampuan Pemeliharaan dan Perbaikan Kapal. Kemampuan dalam mereparasi kapal niaga yang telah mampu dilaksanakan oleh Galkapnas adalah kemampuan mereparasi kapal berbagai jenis dan ukuran di atas dok (docking repair) sampai dengan ukuran 65.000 DWT, mereparasi kapal berbagai jenis dan ukuran di atas air (floating repair dan sealing repair) sampai dengan ukuran 150.000 DWT. Sedangkan untuk pemeliharaan dan perbaikan kapal-kapal perang, sampai saat ini hanya mampu untuk kapal-kapal atas air. Sedangkan untuk pemeliharaan kapal selam, masih harus dikirim keluar negeri atau mendatangkan tenaga asing ke Indonesia. Dalam melaksanakan pemeliharaan dan perbaikanpun tidak semua komponen dapat diperbaiki di dalam negeri antara lain engine governoor dan Gas Turbin. Bahkan untuk peralatan persenjataannya masih harus mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa alih teknologi yang ada dalam kapal tersebut belum berjalan dengan baik.

15 Industri Perikanan

Sebagai Negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut, dan potensi perikanan yang sangat melimpah, maka Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk mengembangkan industri yang berbasis pada perikanan. Potensi perikanan yang besar jika dikelola dengan baik dapat dijadikan penopang ketahanan pangan yang efektif (Srinivasan, 2010). Pengelolaan industri perikanan yang baik dan terencana, dipayungi dengan peraturan-peraturan yang tepat sasaran akan memberikan nilai tambah yang besar tehadap pendapatan negara (Lugten dan Andrew, 2008), juga untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat, maka seharusnya dipermudah bagi pelaku industri yang akan melakukan investasi di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Perdagangan tahun 2012 dan Statistik Perikanan dan Kelautan 2012, ekspor produk hasil laut Indonesia pada Januari 2012 adalah sebanyak 67.214 ton dengan nilai USD 214.516. Sebagian besar dari produk hasil laut Indonesia diekspor ke Thailand, China, Jepang, Amerika Serikat, dan Vietnam. Sementara itu, Korea Selatan berada di peringkat ke-9 dari negara tujuan ekspor kelompok produk ini dengan volume sebesar 2.386 ton senilai USD 4,936 (Kemendag 2012). Terbatasnya pelabuhan perikanan yang mempunyai fasilitas yang memadai berdampak pada penurunan kualitas ikan tangkapan sehingga mengurangi nilai ekonomisnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan kebijakan pengembangan pelabuhan perikanan terpadu yang akan dapat menjamin kualitas ikan tangkapan (Agustinus, 2007). Selain itu diperlukan juga system kelembagaan yang memungkinkan dilakukanya aktivitas eksport di beberapa wilayah Indonesia.

Sumber daya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Sumber daya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain: tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut.

Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tertuang dalam Peraturan menteri Nomor Per.15/Men/2012 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014, pada tahun 2011 kontribusi seluruh sektor ekonomi kelautan terhadap PDB baru mencapai 22%, dimana seharusnya itu dapat di tingkatkan menjadi 30-60%, hal itu sudah dibuktikan oleh negara-negara yang punya potensi kelautan lebih kecil seperti Thailand, Korea Selatan dan Jepang (Dyck dan Sumaila, 2010). Selanjutnya dari data sementara tahun 2013, PDB Perikanan mencapai 6,45%, jauh melampaui PDB nasional yang hanya 5,82%, hal ini tentu menjadi sesuatu yang membanggakan di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hasil audit yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011-2012, dimana potensi pendapatan sektor perikanan laut sebesar Rp365 triliun, sedangkan yang diterima hanya Rp65 triliun, sehingga dari sini ditemukan nilai kerugian negara sebesar Rp 300 triliun yang merupakan selisih dari potensi pendapatan dengan pendapatan riil yang diterima negara. Menjadi sangat menarik dilihat jika kedepan bahwa kebijakan menteri Kelautan dan Perikanan yaitu program industrialisasi kelautan dan perikanan dengan pendekatan ekonomi biru (Blue Economy) menjadi

16

prioritas mengingat sejauh ini menghasilkan hal yang positif jika melihat pencapaian PDB perikanan pada tahun 2013. Akan tetapi perhatian terhadap sistem logistik bidang perikanan harus ditingkatkan, karena peningkatan produksi perikanan akan mempunyai pengaruh yang besar dalam meningkatkan perekonomian masyarakat hanya jika diikuti dengan sistem logistik yang baik (Mai dkk, 2010; Manning dkk, 2006).

Terdapat berbagai kesenjangan yang masih mewarnai pembangunan perikanan di Indonesia baik secara nasional maupun secara lokal administratif pengelolaan. Berbagai prasarana yang dibangun oleh pemerintah, seperti pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat-tempat pendaratan ikan yang tersebar di berbagai wilayah belum memberikan hasil yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan, berbagai model pengaturan dan kebijakan yang diambil belum dapat menyentuh secara baik terhadap permasalahan mendasar yang ada (Yahya, 2001; Cunningham, 2009).

Industri Pelayaran di Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran adalah Negara kepulauan yang berciri Nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas -batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dalam upaya untuk mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan untuk mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional, diperlukan sistem transportasi nasional yang handal. Sistem transportasi nasional tersebut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan memperkokoh kedaulatan negara. Moda transportasi yang sangat vital untuk Negara kepulauan adalah menggunakan moda laut. Industri pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim, merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan sistem transportasi yang aman, efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis (Hetherington C dkk, 2006; Paonangan, 2014).

Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM.49 Tahun 2005, Sistem Transportasi Nasional adalah tatanan transportasi yang terorganisasi secara kesisteman yang terdiri dari transportasi jalan, transportasi kereta api, transportasi sungai dan danau, transportasi penyeberangan, transportasi laut, transportasi udara, serta transportasi pipa, yang masing-masing terdiri dari sarana dan prasarana, kecuali pipa, yang saling berinteraksi dengan dukungan perangkat lunak dan perangkat keras membentuk suatu sistem pelayanan jasa transportasi yang efektif dan efisien, berfungsi melayani perpindahan orang dan atau barang, yang terus berkembang secara dinamis. Mengacu hal tersebut, maka industri pelayaran merupakan bagian penting dari sistem transportasi nasional yang mempunyai peran penting dalam pendistribusian pangan terutama ke wilayah terpencil dan merupakan bagian penting dari

17 sistem logistik nasional. Pembangunan industri pelayaran harus mengacu adan mengikuti peraturan yang berlaku secara internasional yang tergabung dalam International Maritme Organization (IMO). Aspek keselamatan keamanan pelayaran harus menjadi perhatian serius pemerintah agar industry pelayaran dapat berkembang pesat (Supit, 2009).

Industri Jasa Pelabuhan

Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan

Dokumen terkait