• Tidak ada hasil yang ditemukan

Industri Maritim dan Peranannya terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Industri Maritim dan Peranannya terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

INDUSTRI MARITIM DAN PERANANNYA

TERHADAP DISTRIBUSI PANGAN DI WILAYAH TERPENCIL

DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN PANGAN NASIONAL

DIDIT HERDIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Industri Maritim dan Peranannya Terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Didit Herdiawan P00660090063.6DM

(4)
(5)
(6)
(7)

RINGKASAN

DIDIT HERDIAWAN. Industri Maritim dan Peranannya terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO, HERMANTO SIREGAR dan HARIANTO.

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin menganalisis pengaruh dari industri maritim dan distribusi pangan terhadap sistem ketahanan pangan nasional. Metode analisis yang digunakan adalah Second Order Structural Equation Modeling. Penelitian

ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi selama ini bahwa di Indonesia masih banyak daerah yang mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap kerawanan pangan, sedang di beberapa daerah lain terjadi surplus pangan. Daerah yang mempunyai kerawanan pangan tinggi telah dipetakan oleh World Food Programme ya ng berupa Food Insecurity Atlas (FIA) diterbitkan pertama pada tahun 2005 dan yang

kedua pada tahun 2009, dimana sebagian besar daerah yang mempunyai tingkat kerawanan pangan tinggi adalah wilayah kepulauan terpencil. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa persoalan yang harus segera diatasi adalah bagaimana mendistribusikan pangan dari daerah yang surplus pangan ke daerah yang rawan pangan.

Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebesar 248, yang terdiri dari unsur pemerintah baik pusat maupun daerah termasuk BUMN, dan unsur swasta yaitu pelayaran rakyat, galangan kapal, dan tokoh masyarakat di wilayah terpencil rawan pangan. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penting yaitu: a). Industri maritim mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem distribusi pangan di daerah terpencil dengan nilai estimasi 0.440 dengan CR = 3.430 dan P= 0.000; b). Model penelitian menunjukkan bahwa sistem distribusi pangan di daerah terpencil mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem ketahanan pangan nasional dengan nilai estimasi = 0.131 dengan CR = 1.095 dan P = 0.002; c). Industri Maritim berpengaruh terhadap sistem ketahanan pangan nasional melalui sistem distribusi pangan dengan nilai estimasi = 0.476 dengan CR = 4.778, dan P = 0.000. Pengujian secara simultan terhadap model penelitian telah memenuhi seluruh kriteria fitting model yang diindikasikan dengan

nilai Chi-Square kecil yaitu 735.186, RMSEA = 0.055, GFI = 0.842, CFI= 0.928, dan

CMIN/DF = 1.447.

Temuan penelitian ini memberi bukti bahwa industri maritim mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap sistem ketahanan pangan nasional melalui sistem distribusi pangan. Berdasarkan hasil temuan tersebut maka strategi yang tepat untuk meningkatkan sistem ketahanan pangan nasional pada sektor maritim adalah dengan meningkatkan perbaikan pada subsektor yang terkait langsung terhadap sistem distribusi meliputi industri pelabuhan, perkapalan, dan pergudangan.

(8)
(9)

SUMMARY

DIDIT HERDIAWAN. Maritime Industry and Contribution to the Distribution of Food on the National Food Security System. Supervised by ARIEF DARYANTO, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO.

The purpose of this research is to analyze influences and contribution of the maritime industry to the distribution of food on the national food security system. The analytical method used is the Second Order Structural Equation Modelling. This research is motivated by the phenomenon that occurred during this period that in Indonesia there are still many areas that have a high vulnerability to food insecurity, while in some other areas of food surplus. Areas that have a high food insecurity has been mapped by the World Food Programme in the form of Food Insecurity Atlas (FIA) first published in 2005 and second in 2009, where most of the areas that have a high level of food insecurity is a remote archipelago. This fact indicates that the issues that must be addressed is how to distribute surplus food from the abundant of food to food-insecure areas.

The sample used in this study amounted to 248 persons who are representatives from both central and local governments, state-owned enterprises, and private elements in the shipping and shipbuilding sectors and as well as community leaders in remote areas of food insecurity. The study produced several important findings namely: a). The maritime industry has a significant impact on the food distribution system in remote areas with the estimated value of 0.440 with CR = 3.430 and P = 0.000; b). Model studies show that food distribution systems in remote areas have a significant impact on national food security system with the estimated value=0.131 with CR=1.095 and P = 0.002; c). Maritime Industry influences on national food security through food distribution systems with estimated value = 0.476 with CR=4.778, P=0.000. Simultaneous testing of the research model has met all the criteria of fitting models indicated by the small value of Chi-Square is 735.186, RMSEA = 0.055, GFI=0.842, CFI=0.928, and CMIN/DF=1.447.

The findings of this research provide evidence that the maritime industry has a significant impact on national food security through food distribution system. Referring to these findings, the appropriate strategy for national food security system maritime sector is to be develop by improving directly related sub-sectors of the distribution systems including: the port industry, shipping, and warehousing.

(10)
(11)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(12)
(13)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Manajemen Bisnis

pada

Program Studi Manajemen dan Bisnis

INDUSTRI MARITIM DAN PERANANNYA

TERHADAP DISTRIBUSI PANGAN DI WILAYAH TERPENCIL

DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN PANGAN NASIONAL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(14)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof Dr Ir Achmad Suryana, MS (Profesor Riset PSEKP)

2. Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MSc

(Asdir Bidang Akademik dan Kemahasiswaan)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof Dr Ir Achmad Suryana, MS (Profesor Riset PSEKP)

(15)

Judul Disertasi : Industri Maritim dan Peranannya terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional.

Nama : Didit Herdiawan NIM : P00660090063.6DM

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Arief Daryanto, MEc Ketua

Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc Anggota

Dr Ir Harianto, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Manajemen dan Bisnis

Dr Ir Arief Daryanto, MEc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

(16)
(17)

PRAKATA

Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanna Wataála atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul Pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan di Wilayah Terpencil dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional. Penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini sangat berguna khususnya bagi penulis sebagai syarat penyelesaian tugas studi doktoral dan umumnya bagi para pengambil kebijakan tentang industri kemaritiman, pendistribusian pangan dan ketahanan pangan, baik di tingkat daerah maupun pusat. Penelitian ini berhasil mengungkapkan beberapa temuan, baik yang berhubungan dengan dinamika faktor-faktor eksternal maupun faktor-faktor internal serta pengaruhnya bagi industri maritim, dalam memperkokoh distribusi pangan dan peningkatan ketahanan pangan di daerah terpencil.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian disertasi ini adalah berkat bantuan, bimbingan dan dorongan serta koreksi dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc, Bapak Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc, Bapak Dr Ir Harianto, MS selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan, masukan, koreksi dan motivasinya. Semoga segala bentuk keahlian dan ilmu yang telah diberikan dengan ikhlas, dicatat sebagai pahala oleh Allah SWT.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Prof Dr H. Susilo Bambang Yudhoyono, MA yang telah memberikan motivasi dan arahan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor di IPB, Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc selaku Rektor IPB, Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr selaku Dekan Sekolah Pasca Sarjana dan Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc selaku Ketua Program Studi Manajemen Bisnis IPB. Tidak lupa kami haturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada para dosen DMB yang profesional dan dengan tulus mencurahkan ilmunya kepada kami hingga selesainya penyusunan disertasi ini. Penghargaan setinggi-tingginya juga kami sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Noer Azam dan Bapak Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, MSc, serta Bapak Prof Dr Ir Marimin MSc yang telah memotivasi dan mengarahkan penulis untuk terus berada dalam time table penyelesaian doktor di DMB IPB.

Mengakhiri ucapan terima kasih, pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada Gubernur Lemhannas RI Bapak Prof Dr Ir Budi Susilo Soepandji, DEA, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana TNI Ade Supandi, SE, dan Laksamana TNI (Purn) Dr Marsetio mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan program Doktor di tengah pelaksanaan tugas penulis sebagai Wakil Kepala Staf TNI AL dan Wakil Gubernur Lemhannas RI.

Kepada istriku, Widyastuti SE, dan putra-putriku Armaidy Makawi SE, Herdianti Merilla Putri SE, Hastuti Viana Putri dan Herdini Aprilia Putri, curahan perhatian dan kasih sayang kalian, telah dan akan, senantiasa menjadi energi dan inspirasi bagi penulis untuk terus melakukan yang terbaik.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 7

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 9

Kebaruan (Novelty) 9

2 TINJAUAN PUSTAKA

Industri Maritim di Indonesia 9

Industri Perkapalan Indonesia 11

Tujuan Perikanan 15

Industri Pelayaran di Indonesia 16

Industri Jasa Pelabuhan 17

MP3EI 18

Sistem Logistik Nasional (Sislognas) 19

Ketahanan Pangan 21

Ketahanan Pangan di Wilayah Terpencil 23

Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional 25

Kajian Penelitian Terdahulu 28

Kerangka Pemikiran Teoritis 31

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian 32

Pendekatan Penelitian 33

Jenis dan Sumber Data 33

Teknik Pengambilan Contoh 33

Definisi Operasional Variabel 34

Model Penelitian 41

Hipotesis Penelitian 41

Persamaan Model Penelitian 42

Penentuan Jumlah Sampel 44

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 48

Pengujian Validitas 48

Pengujian Reliabilitas 50

(20)

DAFTAR ISI (Lanjutan)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Responden 56

Model Konseptual Sistem Ketahanan Pangan Nasional 58

Variabel Ketahanan Pangan 59

Variabel Distribusi Pangan 68

Variabel Industri Maritim 74

Evaluasi Kesesuaian terhadap Model Lengkap 81

Pengaruh Langsung Industri Maritim terhadap Ketahanan Pangan 85 Pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan 85 Pengaruh Distribusi Pangan terhadap National Food Security 85 Pengaruh Industri Maritim terhadap National Food Security Melalui

Distribusi Pangan 86

Pengaruh Industri Maritim dan Distribusi Pangan terhadap National Food Security 86

5 IMPLIKASI MANAJERIAL

Implikasi terhadap Program Ketahanan Pangan Nasional 87

Implikasi terhadap Sektor Industri Maritim 89

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 91

Saran 92

Keterbatasan Penelitian 92

DAFTAR PUSTAKA 93

(21)

DAFTAR TABEL

1 Ringkasan penelitian terdahulu 28

2 Daftar responden di pusat 45

3 Daftar responden tingkat provinsi 46

4 Daftar responden di kabupaten 47

5 Daftar responden dari unsur lain 47

6 Ringkasan daftar responden 48

7 Sebaran responden berdasarkan pengalaman 57

8 Sebaran responden berdasarkan usia 57

9 Sebaran responden berdasarkan pendidikan 58

10 Kebaikan model variabel ketersediaan 60

11 Hubungan variabel ketersediaan 61

12 Nilai kebaikan model variabel ketersediaan perbaikan 61 13 Nilai kebaikan model variabel keterjangkauan 63 14 Nilai kebaikan model variabel keterjangkauan perbaikan 64

15 Hubungan variabel keterjangkauan 64

16 Nilai kebaikan model variabel quality and safety 65 17 Modification indices variabel quality and safety 66 18 Nilai kebaikan model variabel quality and safety perbaikan 66 19 Nilai kebaikan model variabel ketahanan pangan nasional 67 20 Hubungan variabel variabel ketahanan pangan 64 21 Nilai kebaikan model variabel pengembangan sistem 69

22 Hubungan variabel pengembangan sistem 69

23 Nilai kebaikan model variabel pengelolaan sistem 70 24 Nilai kebaikan model variabel pengelolaan sistem perbaikan 71

25 Hubungan variabel pengelolaan sistem 71

26 Nilai kebaikan model variabel distribusi pangan 72 27 Nilai kebaikan model variabel distribusi pangan perbaikan 73

28 Hubungan variabel distribusi pangan 73

29 Nilai kebaikan model variabel Injasmar 75

30 Nilai kebaikan model variabel Injasmar perbaikan 75 31 Hubungan variabel injasmar terhadap indikatornya 76 32 Nilai kebaikan model variabel industri perkapalan 77

33 Hubungan variabel industri perkapalan 77

34 Nilai kebaikan model variabel industri pangan strategis 78 35 Nilai kebaikan model variabel industri maritim 79 36 Nilai kebaikan model variabel industri maritim perbaikan 80

37 Hubungan variabel industri maritim 80

38 Nilai kebaikan model penelitian lengkap 82

39 Hasil perhitungan model lengkap 83

(22)

DAFTAR GAMBAR

1 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Indonesia 2

2 Food security indicator 22

3 Blok diagram kerangka penelitian 32

4 Model konseptual ketahanan pangan 32

5 Model national food security 36

6 Model distribusi pangan 38

7 Model industri maritim untuk ketahanan pangan 40 8 Model lengkap ketahanan pangan di wilayah terpencil 41

9 Model lengkap penelitian 44

10 Langkah teknis analisis SEM 54

11 Model konseptual pengaruh industri maritim terhadap NFS 58

12 Variabel ketahanan pangan nasional 59

13 Variabel ketersediaan 60

14 Variabel ketersediaan revisi 61

15 Variabel keterjangkauan 63

16 Variabel keterjangkauan revisi 63

17 Variabel kualitas dan keamanan 65

18 Variabel kualitas dan keamanan revisi 66

19 Model sistem ketahanan pangan 67

20 Variabel pengembangan sistem 69

21 Variabel pengelolaan sistem 70

22 Variabel pengelolaan sistem revisi 71

23 Variabel distribusi pangan 72

24 Variabel distribusi pangan revisi 73

25 Variabel injasmar 74

26 Variabel injasmar revisi 75

27 Variabel industri perkapalan 76

28 Variabel industri pangan strategis 78

29 Variabel industri maritim 79

30 Variabel industri maritim revisi 80

31 Output path diagram model penelitian 81

(23)
(24)
(25)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan (archipellagic state) dengan 17.499 pulau(Dinas Hidro Oceanografi, 2004), yang letaknya secara geografis sangat strategis, karena berada pada posisi silang di antara benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Hindia dan Pasifik. Pulau-pulau tersebut dihubungkan oleh laut-laut dan selat-selat di nusantara yang merupakan laut yurisdiksi nasional sehingga membentuk sebuah negara kepulauan yang panjangnya 5.110 km dan lebarnya 1.888 km, luas perairan sekitar 3.205.908 km², luas laut teritorial sekitar 300.000 km², perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 2.707.092 km², panjang garis pantai yang sudah diumumkan resmi oleh PBB tahun 2008 adalah 95.181 km, sedang luas daratannya 2.001.044 km². Dengan jumlah pulau yang demikian banyak dan tersebar di wilayah yang luas, banyak wilayah Indonesia yang berada di posisi terpencil. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak wilayah NKRI jauh dari akses ekonomi dan pemerintahan, serta memiliki rintangan alamiah yang membuat wilayah tersebut sulit dijangkau baik melalui transportasi darat, laut maupun udara. Wilayah-wilayah terpencil ini memiliki potensi kerawanan pangan mengingat kondisinya yang sulit dijangkau, serta kontur alamnya yang menyulitkan dikembangkannya tanaman-tanaman pangan. Daerah yang mempunyai kerentanan terhadap ketahanan pangan telah dipetakan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) bekerja sama dengan World Food Programe (WFP) pada tahun 2005, dan diperbaharui pada tahun 2009 dengan melakukan koreksi pada indikatornya, dimana kebanyakan daerah yang mempunyai kerentanan pangan besar adalah daerah-daerah kepulauan terpencil yang sulit dijangkau oleh moda transportasi darat seperti terlihat pada Gambar 1. (DKP dan WFP 2009, 2010, 2013).

Kerawanan pangan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2013 menduduki urutan ke 108 dari 187 negara yang dinilai. IPM Indonesia 2013 yaitu 0.684 yang masih tergolong sedang. IPM indonesia masih lebih rendah dari Malaysia dan Sri Langka yang termasuk kategori IPM tinggi. IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia:

a. Kualitas hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur

dengan harapan hidup saat kelahiran

b. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).

(26)

2

(Sumber: DKP dan World Food Programe, 2010)

Gambar 1 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Indonesia Uu no 5

Kondisi geografis seperti yang terlihat pada Gambar 1 tersebut menuntut pemerintah untuk menetapkan kebijakan dalam Undang-Undang (UU) tentang penciptaan konektivitas antar wilayah di Indonesia, yang diwujudkan dalam bentuk integrasi Sistem Logistik Nasional, Sistem Transportasi Nasional, Pembangunan Wilayah, serta Sistem Komunikasi dan Informasi. Pemerintah juga berupaya mempercepat pembangunan dengan mengimplementasikan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan strategi utama yakni menuju negara maju yang lebih sejahtera melalui percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia 2011-2025, sekaligus penjabaran kebijakan pemerintah tentang poros maritim yang terintegrasi dengan tol lautnya.

MP3EI dibangun berdasarkan tiga pilar utama; (i) pengembangan potensi melalui koridor ekonomi, (ii) memperkuat konektivitas nasional, (iii) mempercepat kemampuan Sumber daya Manusia (SDM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Nasional. Meski ketiga pilar tersebut memiliki ketergantungan yang erat dengan maritim, namun pembangunan aspek maritim belum menjadi prioritas. Kondisi ini merupakan gambaran dari kurangnya pemahaman kemaritiman yang terjadi di pemerintahan. Contoh lain adalah ketika diubahnya Dewan Kemaritiman Indonesia yang didirikan pada 1999 saat Presiden Abdurrahman Wahid menjabat. Dewan ini diubah menjadi Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2007 dengan dikeluarkannya Keppres No. 21 Tahun 2007, dengan alasan nomenklatur DMI (Dewan Maritim Indonesia) memiliki pengertian yang terbatas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas dewan tersebut.

(27)

3 pengertian maritim sebagai hal yang terhubung dengan laut, terutama dalam kaitannya dengan perdagangan lewat laut atau hal-hal menyangkut angkatan laut. Maka jelaslah, bahwa laut hanya sekedar fisik dan bagian kecil dari maritim. Pemahaman ini berdampak terhadap fokus dari pembangunan yang dituangkan dalam rencana jangka panjang pemerintah, masih jauh dari prioritas kemaritiman.

Maritim bukan hanya persoalan perikanan dan kelautan, akan tetapi maritim adalah segala sesuatu kegiatan yang berhubungan dengan kemaritiman/kelautan baik yang langsung maupun tidak langsung (Alexander P, 1998). Sebagai contoh misalnya dari industri maritim; galangan kapal, teknologi perkapalan, desain kapal, perbaikan kapal, manufaktur komponen kapal dan lainnya. Kemudian dari aktivitas ekspor/impor; pemeliharaan, penyediaan, perbaikan, bongkar muat, layanan broker kapal, asuransi untuk para pelaut, jasa angkutan dan pelabuhan. Dari pariwisata diantaranya; wisata pantai, wisata bawah laut, jasa penginapan, wisata sejarah, bahkan budaya masyarakat sekitar pantai yang menjadi daya tarik turis manca negara. Ditambah pula dengan budidaya perikanan, seperti budidaya air tawar, budidaya air payau, dan budidaya laut (Bergheim K dkk, 2015). Itu semua baru sebagian kecil dari aktivitas maritim. Jika Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensi maritim yang ada, bias dibayangkan berapa besar pendapatan negara yang dapat dialokasikan untuk kesejahteraan yang akan mengurangi kemiskinan, dapat membantu mencerdasan bangsa, serta membangun kekuatan Negara (Allison, 2011).

Dalam naskah MP3EI, sudah direncanakan pembangunan transportasi dan infrastruktur laut. Namun nyatanya, alokasi dana masih berpihak kepada pembangunan infrastruktur dan transportasi darat. Tak dapat dipungkiri bahwa tersedianya infrastruktur yang memadai akan memberikan pengaruh positif terhadap sistem perekonomian suatu daerah (Mulyono, 2010). Dilansir dari berita yang dimuat pada website Sektretariat Kabinet RI, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia, Zaldy Masita, mengatakan bahwa selama ini lebih dari 60% investasi MP3EI ditujukan untuk pembangunan darat. Terlihat juga, bahwa yang menjadi konektivitas kawasan strategis dalam MP3EI bukanlah perbaikan atau pembangunan pelabuhan, tetapi justru pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS).

(28)

4

biaya tersebut dapat membengkak, hal tersebut dapat dilihat dari kasus pembangunan Jembatan Suramadu. Dengan panjang 5 km saja, biaya pembangunan Jembatan Suramadu dapat membengkak 20%. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka biaya JSS yang panjangnya mencapai 30 km, dapat membengkak karena harus lebih lebar enam jalur, lebih tebal, menara penyangganya lebih tinggi, dan lebih dalam karena berada di lingkungan yang secara tektonik dan vulkanik sangat aktif (Rosyid 2009).

Pembangunan ekonomi di Negara kepulauan seperti Indonesia sangat membutuhkan industri maritim yang handal agar konektifitas antar pulau dapat terlaksana. Industri Maritim tersebut meliputi Industri Perkapalan, Industri Pelayaran dan Industri Jasa Pelabuhan, untuk mengelola dan mengolah sumber daya kelautan dan sumber daya alam lainnya yang ada, sehingga bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, utamanya dalam ketersediaan pangan di wilayah-wilayah terpencil yang sulit terjangkau oleh jalur transportasi darat dan udara. Pemerintah telah mengembangkan upaya di bidang industri jasa maritim dengan membangun sepuluh sektor ekonomi kelautan unggulan yaitu perikanan tangkap, budi daya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, energi dan sumber daya mineral, serta pariwisata bahari.

Salah satu bagian dari industri jasa maritim adalah industri perkapalan nasional. Industri perkapalan sangat penting bagi negara maritim seperti Indonesia untuk menjamin interaksi dan konektivitas antar pulau tetap terpelihara. Interaksi dan konektivitas ini memungkinkan terjadinya pertukaran komoditas dari satu tempat yang surplus ke tempat lain yang membutuhkan. Dalam konteks ketahanan pangan, industri perkapalan nasional menjadi ujung tombak dalam memelihara transportasi dan distribusi pangan dari sumber (produsen) kepada pengguna (konsumen). Temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Sahara dan Daryanto bahwa pola perdagangan komoditas pangan antar daerah di Indonesia lebih banyak didasarkan pada kepercayaan dari kedua belah pihak yaitu petani dan pembeli. Jika temuan ini diterapkan dalam setting maritim yang kompleks, maka keberadaan industri perkapalan yang tangguh sangat berperan penting untuk menjamin pengambilan hasil pangan yang berumur pendek dari petani, untuk bisa dijual di tempat lain. Ketika kapal-kapal yang digunakan pembeli untuk mengangkut komoditas pangan di suatu daerah terkendala oleh faktor teknis dan non teknis (misalnya cuaca), dan mengakibatkan keterlambatan kedatangan, dapat berakibat pada rusaknya hasil pertanian dan berdampak pada turunnya kepercayaan petani terhadap pembeli.

(29)

5 menguntungkan para pemilik kapal. Membandingkan kenyataan tersebut dengan Indonesia, negara kita yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km menduduki peringkat 4 dari 149 negara dengan garis pantai terpanjang harusnya dapat lebih memanfaatkan sektor maritimnya lebih dibandingkan Belanda agar dapat memajukan dan menyejahterakan bangsa.

Dalam bidang perikanan, menurut data statistik perikanan dan kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2012, konsumsi ikan masyarakat Indonesia baru mencapai 33 kg/tahun per kapita, dan masih mampu dipenuhi oleh produksi nasional. Produksi ikan Indonesia pada 2012 berkisar 15,9 ton. Jika dibandingkan konsumsi daging yang hanya 2,5 kg per tahun per kapita, industri perikanan memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di pasar domestik. Meski demikian, produksi ikan nasional masih jauh dibawah Malaysia dan Jepang. Bahkan, negara seperti Thailand dan Vietnam menjadikan hasil laut sebagai salah satu sumber pemasukan negara dengan memberikan berbagai kemudahan fiskal bagi para nelayan. Para nelayan dari kedua negara ini seringkali mencari ikan di perairan negara lain, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Bagi mereka, laut Indonesia yang memiliki kandungan nutrisi yang sangat kaya, telah menjadi surga bagi beberapa jenis ikan dengan nilai ekonomis yang sangat tinggi. Salah satu perairan di Indonesia yang mempunyai produktivitas ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) yang tinggi adalah perairan Halmahera. Tingginya produktivitas ikan Cakalang di perairan tersebut, akibat pertemuan dua pusaran massa air (pusaran eddy) yang dikenal dengan nama arus pusar Mindanao dan arus pusar Halmahera.

Bidang lain yang termasuk dalam industri jasa maritim adalah industri pelayaran. Industri ini mengatur rute-rute kapal yang menjadi alat transportasi penumpang maupun barang, untuk meningkatkan efisiensi operasionalnya. Dalam industri ini dilibatkan berbagai bentuk transaksi mulai dari penetapan tarif angkut, asuransi, rute yang dilalui, hingga ketenagakerjaan (Roach dan Kirton, 2011). Industri pelayaran di Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menjadi tuan di rumahnya sendiri, meski pemerintah telah menetapkan asas cabotage. Asas ini berarti bahwa semua angkutan barang dan penumpang dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan Indonesia lainnya harus diangkut oleh kapal berbendera Indonesia. Industri ini sangat terkait dengan industri perkapalan yang membangun berbagai kapal untuk dapat memenuhi kebutuhan domestik maupun internasional. Dalam konteks ketahanan pangan, industri pelayaran memiliki sumber daya yang sangat besar untuk dipergunakan dalam mengatur pengangkutan komoditas yang dihasilkan berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu, industri ini juga memiliki pengalaman dan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam situasi krisis untuk mencapai berbagai wilayah-wilayah terpencil.

(30)

6

di wilayah terpencil, pelabuhan-pelabuhan yang dibangun di seluruh wilayah Indonesia akan memberikan kemudahan dalam distribusi pangan dan komoditas, serta mempercepat proses bantuan ketika situasi krisis.

Karakteristik bahan pangan yang tidak dapat bertahan lama, dan ketidakpastian iklim yang dapat menghambat distribusi pangan, maka keberadaan suatu fasilitas penyimpanan/ pergudangan yang memadai merupakan faktor yang sangat penting (Van der Vorst dan Beulens, 2002; Walakira, 2012). Fasilitas ini mendukung kemampuan pelabuhan untuk menampung berbagai komoditas yang akan didistribusikan. Industri ini membutuhkan infrastruktur yang baik dalam hal tersedianya sumber energi dan akses yang cepat dari pelabuhan ke supplier maupun kepada konsumen. Gudang yang baik memiliki sistem pengawasan barang yang disesuaikan dengan karakteristik barang-barang tersebut agar tidak rusak akibat kesalahan penyimpanan. Selain itu, perputaran barang di gudang membutuhkan ketelitian dan kecepatan agar barang yang dikirimkan sesuai dengan yang disepakati, baik dalam hal jumlah maupun kualitasnya. Dalam sistem ketahanan pangan, industri pergudangan berfungsi untuk menampung distribusi komoditi pangan, baik yang akan dikeluarkan maupun yang baru didatangkan. Kondisi gudang yang dikelola dengan baik akan dapat mencegah terjadinya kerusakan bahan pangan baik akibat suhu, gangguan hewan, maupun pencurian. Dengan demikian, distribusi menjadi lebih aman dan sesuai dengan kuantitas dan kualitasnya (McMeekin dkk, 2006).

Ketersediaan pangan bagi masyarakat terpencil sangat penting untuk terus dipelihara agar terbangun kepercayaan masyarakat tersebut terhadap pemerintah (Mohanty dan Peterson, 2005). Dengan kata lain, pemerintah perlu menjamin terbangunnya ketahanan pangan di wilayah-wilayah terpencil ini dengan memanfaatkan industri maritim sebagai sebagai konektor sekaligus katalisator dalam pembangunan ketahanan pangan yang sustainable dan berkelanjutan. Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Zuniga, 2007). Pada tahun 2005, BKP dan WFP menerbitkan Indonesian Food Insecurity Atlas (FIA) 2005 untuk pertama kalinya, dan telah diperbaharui dengan Food Insecurity Atlas (FIA) 2010 yang membahas tentang Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia (FSVA), menyebutkan bahwa ketahanan pangan dibangun atas tiga pilar, yaitu: (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan. Menurut dokumen tersebut, ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan.

(31)

7 berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas (Tarasuk dan Beaton, 1999; Deaton, 1989).

Pemanfaatan pangan menurut FAO (2006a) merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga. Pemahaman akan seyogianya diberikan sejak usia dini kepada anak-anak baik melalui pendidikan formal maupun informal (Lewis, 1992; Korhonen, 1999; Thingkamol, 2011b, 2011c, 2012). Perilaku manusia yang merusak lingkungan telah mengakibatkan kemampuan alam untuk menyediakan bahan makan, sehingga diperlukan strategi untuk menjaga lingkungan hidup untuk dapat meningkatkan ketahanan pangan.

Dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan keterlibatan dan peranan semua pihak sangat dibutuhkan (Arendt dan Sneed, 2008; Barret, 2002). Indonesia secara aktif memanfaatkan peluang perdagangan internasional untuk kegiatan ekspor dan impor komoditas agribisnis, termasuk pangan. Ekspor komoditas agribisnis Indonesia terbesar adalah ke Amerika Serikat dan Jepang, negara ASEAN relatif kecil, kecuali Singapura (Arifin, 2009). Impor Indonesia terbesar dari negara ASEAN menurut data statistik pertanian 2014 adalah beras, terutama dari Thailand, yang jumlahnya meningkat cukup signifikan dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1995 impor beras dari Thailand mencapai 30 persen dari total impor beras Indonesia. Ketergantungan yang sangat besar pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri perlu dihindari, karena akan membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik (Herdiawan. 2011).

Perumusan Masalah

Peningkatan Industri pangan di dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa sangat penting, sehingga kondisi dan proses pemenuhannya menjadi masalah yang sangat peka. Berbagai permasalahan utama yang dihadapi pada saat ini adalah tingginya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Permintaan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, serta perubahan gaya hidup. Dinamika permintaan menyebabkan kebutuhan pangan nasional meningkat dalam jumlah, mutu, dan keberagaman. Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional lambat atau malahan stagnan, karena adanya kompetisi pemanfaatan dan penurunan kualitas sumber daya alam.

(32)

8

suatu wilayah tidak mudah dimanfaatkan untuk mengatasi kerentanan pangan di wilayah lain terutama di wilayah terpencil karena faktor transportasi sebagai sarana distribusi. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah untuk penguatan sistem distribusi sebagai basis ketahanan pangan. Pendistribusian Pangan sangat penting untuk pemerataan ketahanan pangan dan kesejahteraan jika produk unggulan di wilayah-wilayah terpencil dapat ditingkatkan produksinya, tata niaganya, dan kelembagaan yang terkait dengan subsistem agrologistik, maka dapat dijamin bahwa konsep agroindustri dan agribisnis dapat berjalan dengan baik, dan pendapatan petani meningkat. Meningkatnya pendapatan petani akan berkontribusi pada meningkatnya daya beli masyarakat, yang selanjutnya akan mendorong meningkatnya ketahanan pangan individu, ketahanan pangan keluarga, ketahanan pangan wilayah, dan ketahanan pangan nasional. Menyikapi persoalan tersebut pemerintah dituntut untuk merumuskan strategi yang tepat dalam mengatasi permasalahan ketahanan pangan (Maleha dan Susanto, 2006)

Berdasarkan uraian perumusan masalah yang disampaikan sebelumnya dapat dirumuskan pertanyaan utama penelitian sebagai berikut “Bagaimana meningkatkan industri maritim di Indonesia agar distribusi pangan di wilayah terpencil terlaksana dengan baik dan merata sehingga dapat memperkokoh ketahanan pangan nasional?”. Dalam rangka menjawab pertanyaan utama tersebut dibutuhkan pertanyaan-pertanyaan pendukung sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh industri maritim di Indonesia saat ini terhadap ketahanan pangan?

2. Bagaimana pengaruh sistem pendistribusian pangan di wilayah terpencil terhadap ketahanan pangan?

3. Bagaimana pengaruh industri maritim di Indonesia saat ini terhadap ketahanan pangan dan hubungannya dengan pendistribusian pangan di wilayah terpencil?

4. Bagaimana upaya memperkokoh ketahanan pangan melalui kebijakan disektor industri maritim dan pendistribusian pangan di wilayah terpencil?

Tujuan Penelitian

Dengan mengacu kepada latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis pengaruh industri maritim di Indonesia terhadap sistem ketahanan pangan nasional.

2. Untuk menganalisis pengaruh pendistribusian pangan di wilayah terpencil dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan nasional.

3. Untuk menganalisis pengaruh industri maritim di Indonesia terhadap pendistribusian pangan di wilayah terpencil dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan nasional.

(33)

9 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi ilmuan maupun peneliti lainnya yang lebih spesifik dan menarik.

2. Manfaat praktis. Pertama, untuk para pengambil kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan strategis untuk menentukan kebijakan yang berlaku dan pola pendekatan dalam setiap kegiatan untuk dapat bekerja lebih optimal dalam mendukung tugas sehingga dapat menjadi pedoman untuk masa yang akan datang. Kedua, peneliti menggunakan sebagai dasar berpijak dalam melakukan kajian ulang dan mengembangkan penelitian secara lebih terperinci dengan variabel-variabel yang lebih kompleks, dan dapat peneliti gunakan sebagai bahan pelajaran untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Kebaruan (Novelty)

Beberapa hal kebaruan (novelty) dari penelitian ini, yaitu :

1. Pengembangan model ketahanan pangan yang didasarkan pada definisi FAO, GFSI, dan World Food Programe dengan menambahkan variabel Industri Maritim dan Distribusi Pangan di wilayah terpencil.

2. Penerapan model SEM (Structural Equation Model) untuk menguji pengaruh Industri Maritim terhadap Distribusi Pangan dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan nasional.

3. Penerapan model SEM untuk mengetahui sejauh mana industri maritim berpengaruh terhadap ketahanan pangan nasional.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Industri Maritim di Indonesia

(34)

10

Definisi industri maritim menurut San Diego Maritime Industry Report 2012 adalah suatu industri yang berhubungan dengan aktivitas maritim. Mengacu pada definisi tersebut, maka dapat dikemukakan disini bahwa Industri maritim merupakan perusahaan yang kegiatannya menyediakan produk dan layanan yang berkaitan dengan sektor maritim. Secara umum, industri maritim mencakup semua perusahaan yang bergerak di bisnis merancang, membangun, manufaktur, memperoleh, operasi, penyediaan, perbaikan dan/atau pemeliharaan kapal, atau bagian komponennya, mengelola dan/atau operasi jalur pelayaran, dan jasa perdagangan, galangan kapal, dermaga, kereta api laut, bengkel laut, pengiriman dan jasa pengiriman barang dan perusahaan sejenis (Makundan, 2007; Kosuri, 2011). Industri ini muncul juga termasuk komponen penting dari minyak dan gas serta energi terbarukan.

Lambatnya pembangunan dan perkembangan industri maritim di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, hambatan pada sistem finansial. Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia sampai saat ini belum berpihak kepada sektor maritim. Kedua, hambatan sistem perpajakan. Sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tentang pelaksanaan pajak pertambahan nilai yang dibebaskan atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu dan/atau penyerahan jasa kena pajak tertentu, bahwa sektor perkapalan mendapat pembebasan pajak. Namun semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16, tentang pajak pertambahan nilai yang terutang pada impor atau pada saat perolehan barang kena pajak tertentu disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan. Artinya kebijakan tersebut kurang signifikan. Jika pengusaha menjual kapalnya sebelum 5 tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5 persen dari harga penjualan (PPn 10 persen, PPh impor 7,5 persen dan bea masuk 5 persen). Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahun, paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak menanggung rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Namun, pengusaha harus membayar pajak terutang kepada negara sesuai Pasal 16 tersebut. Jika demikian, industri maritim di negara ini terhambat oleh kebijakan fiskal yang dianut. Sebaliknya, yang terjadi di Singapura pemerintah akan memberikan insentif, seperti pembebasan bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi perusahaan pelayaran yang bertransaksi di atas USD 20 juta. Mereka sadar bahwa investasi di industri pelayaran bersifat slow yielding sehingga diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah Singapura juga membebaskan pajaknya.

Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji tenaga Indonesia 1/3 gaji dari tenaga kerja asing, tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggung jawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan berawak 100 persen orang Indonesia sangat tinggi (UU No 17 tahun 2008). Sebaliknya, jika kapal berawak 100 persen asing yang mahal, ternyata pendapatan perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.

(35)

11 Indonesia semakin sulit berkembang. Semua kapal yang diklasifikasi atau disertifikasi, tidak mendapatkan pengakuan dari asuransi perkapalan global. Kondisi ini terjadi karena dalam melakukan klasifikasi kapal, masih kurang profesional, penilaiannya diragukan semua pihak. Patut diduga klasifikasi kapal masih sarat dengan praktek-praktek yang tidak selayaknya. Sebab itu sebagian pemilik kapal memilih tidak meregister kapalnya di Indonesia, tetapi di Hongkong, Malaysia atau Singapura. Akibatnya pelaksanaan UU No 17 tahun 2008 tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena mereka menganggap klasifikasi yang dikeluarkan PT BKI hanya sebagai syarat pelengkap sehingga diragukan oleh kalangan industri maritim global terutama kalangan shipping manufacture dan pelayaran.

Industri maritim Indonesia akan dapat berkembang dengan pesat dan siap bersaing dengan industri sejenis jika pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan secara bersama memberi kemudahan perijinan dan memberi prioritas untuk dapat mengakses sumber pembiayaan. Salah satu kebijakan yang harus dilakukan, adalah merevitalisasi atau deregulasi di sektor fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif. Perombakan total di lingkungan lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian perlu dilakukan, begitu juga pada sistem pendidikannya, agar sesuai dengan arah kebijakan pembangunan Indonesia, perlu dilakukan peninjauan ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendikbud agar Indonesia mempunyai SDM maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Bunga bank yang tinggi dan kurangnya perhatian lembaga keuangan dan perbankan dalam memberikan perkreditan kepada perusahaan pelayaran nasional, menyebabkan investor di bidang penyiapan infrastruktur angkutan laut kurang berjalan dengan baik dan lancar. Jasa kelautan yang terdiri dari segala jenis kegiatan yang bersifat menunjang dan mempelancar kegiatan penyediaan infrastruktur sektor kelautan seperti jasa pelayan pelabuhan, keselamatan pelayaran, perdagangan, pengembangan sumber daya kelautan seperti pendidikan, pelatihan dan penelitian serta profesionalitas sumber daya manusia (SDM) dan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan yang berkualitas merupakan faktor yang menentukan dalam penyiapan infrastruktur industri dan jasa maritim sektor transportasi laut.

Industri Perkapalan di Indonesia

(36)

12

Konstelasi geografis dan kondisi morfologis wilayah negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat besar, meliputi Luas Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional. Menurut data dari Dinas Hidro Oseanografi TNI AL luas wilayah perairan Indonesia adalah 5,9 Jt Km² jauh melebihi daratannya yaitu: 1,9jt Km². Hal ini telah membawa suatu konsekwensi alamiah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, yaitu adanya kesadaran akan ruang hidup, habitat manusia tempat tumbuh dan mengembangkan diri serta menjaga kelangsungan hidupnya, dengan demikian ruang hidup bangsa Indonesia sebagai negara maritim perlu difahami secara nasional dan dijadikan pijakan dasar kebijakan nasional dalam rangka mengembangkan diri untuk membangun bangsa serta mencapai tujuan dan kepentingan nasional.

Berdasarkan kondisi geopolitis, geostrategis serta makna laut yang demikian penting bagi keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa, maka negara Indonesia harus mampu mengamankan dan memberdayakan seluruh wilayah perairan yuridiksi nasional sebagai bagian dari ruang hidup bangsa, dengan segala potensi dan sumber daya nasional yang terkandung di dalamnya sebagai modal dasar negara dalam melaksanakan pembangunan nasional guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Namun tentu saja untuk mampu mengamankan dan memberdayakan segala potensi dan sumber daya alam yang terkandung di laut, perlu didukung dengan segala sarana dan prasarana infrastruktur maupun suprastruktur yang sangat kompleks, meliputi aspek sumber daya manusia, sumber daya buatan (khususnya teknologi kemaritiman) serta sistem manajemen kelautan yang terpadu dan menyeluruh. Mengingat bahwa di dalam konteks pembangunan nasional di laut terdapat beberapa lembaga atau instansi baik pemerintah maupun non pemerintah yang sama-sama mempunyai kepentingan di laut.

Apabila melihat besarnya potensi laut nusantara yang demikian besar, sudah seharusnya negara Indonesia mempunyai infrastruktur maritim yang kuat, seperti pelabuhan yang lengkap dan modern, sumber daya manusia (SDM) di bidang maritim yang berkualitas, serta kapal-kapal angkutan laut yang berklasifikasi, mulai dari yang digunakan untuk jasa pengangkutan manusia, barang, migas, kapal penangkap ikan sampai dengan armada TNI Angkatan Laut (TNI AL). Kondisi tersebut belum dapat tercapai karena industri maritim Indonesia belum mendapatkan prioritas dan belum dikelola dengan tepat. Beberapa persoalan yang dihadapi selama ini, seperti kebijakan fiskal (pajak) yang belum berpihak pada pertumbuhan industri, lemahnya pasokan material dan permesinan, keengganan perbankan untuk memfasilitasi pembiayaan, hingga beberapa kasus ketidak-transparanan proyek pembangunan kapal oleh pemerintah yang lebih mempercayai perusahaan asing dibanding perusahaan dalam negeri. Sehingga tidak satupun negara yang segan dan menghormati Indonesia sebagai bangsa maritim.

(37)

13 Mereka beranggapan, industri perkapalan penuh risiko karena kontrol terhadap industri ini sulit. Selain itu, masalah lahan yang digunakan industri perkapalan terutama galangan kapal besar berada di daerah kerja pelabuhan dan hak pengelolaan lahan (HPL)-nya dikuasai PT Pelindo. Sehingga Industri perkapalan masih sangat tergantung pada HPL. Padahal, jika ada keleluasaan lahan di pelabuhan akan memberikan peluang kepada industri kapal untuk lebih berkembang.

Sesuai data yang ada di Dinas Potensi Maritim TNI AL terdapat sekitar 246 buah industri perkapalan yang tersebar di seluruh Indonesia, meskipun masih terkonsentrasi mayoritas di pulau Jawa, terdiri dari perusahaan besar dan kecil, hal ini merupakan bukti bahwa industri perkapalan Indonesia sangat potensial. Kondisi ini jika dikelola dengan tepat dan mendapat political will pemerintah dengan porsi yang besar maka bukan tidak mungkin akan menjadi suatu kekuatan maritim yang besar dan handal. Untuk itu jika industri perkapalan Indonesia ingin berkembang dan siap bersaing dengan industri sejenis, maka pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan dan pihak lain yang terkait, perlu melakukan kajian secara seksama untuk merumuskan kebijakan untuk memajukan industri maritim di Indonesia. Perlu juga dilakukan revitalisasi atau deregulasi sektor fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif, selanjutnya melakukan perombakan total di lingkungan lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian mengakui keberadaannya. Kemudian, hal yang tidak kalah penting adalah menyusun ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendiknas supaya Indonesia mempunyai SDM maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Kebijakan pemerintah terhadap Industri Perkapalan Nasional (galkapnas) cukup memberikan harapan dalam menuju mewujudkan kemandirian (Mabesal, 2003). Perkembangan Industri dalam negeri pada akhir-akhir ini mulai memberikan kebanggaan bagi bangsa Indonesia dengan telah mengaplikasikan berbagai kemajuan teknologi modern.

1. Perkembangan Industri Perkapalan Nasional. Perkembangan Industri Perkapalan Nasional yang ada di Indonesia dapat digambarkan dalam fakta-fakta sebagai berikut :

a. Industri kapal nasional merupakan Industri yang memiliki nilai strategis karena menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak, keterkaitan luas terhadap industri pendukung, berperan vital mendukung sistem transportasi dan pertahanan negara .

(38)

14

(6) Kapal TNI Angkatan Laut antara lain: (a) Kapal Patroli (FPB-57 dan FPB-28) untuk keperluan Angkatan Laut, Polisi dan Bea Cukai/PT. PAL Indonesia; (b) Kapal Patroli KAL-35/36 Meter untuk keperluan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal)/ Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan (Fasharkan) Mentigi.

2. Kemampuan Galangan Kapal Nasional (Galkapnas), meliputi:

(39)

15 Industri Perikanan

Sebagai Negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut, dan potensi perikanan yang sangat melimpah, maka Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk mengembangkan industri yang berbasis pada perikanan. Potensi perikanan yang besar jika dikelola dengan baik dapat dijadikan penopang ketahanan pangan yang efektif (Srinivasan, 2010). Pengelolaan industri perikanan yang baik dan terencana, dipayungi dengan peraturan-peraturan yang tepat sasaran akan memberikan nilai tambah yang besar tehadap pendapatan negara (Lugten dan Andrew, 2008), juga untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat, maka seharusnya dipermudah bagi pelaku industri yang akan melakukan investasi di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Perdagangan tahun 2012 dan Statistik Perikanan dan Kelautan 2012, ekspor produk hasil laut Indonesia pada Januari 2012 adalah sebanyak 67.214 ton dengan nilai USD 214.516. Sebagian besar dari produk hasil laut Indonesia diekspor ke Thailand, China, Jepang, Amerika Serikat, dan Vietnam. Sementara itu, Korea Selatan berada di peringkat ke-9 dari negara tujuan ekspor kelompok produk ini dengan volume sebesar 2.386 ton senilai USD 4,936 (Kemendag 2012). Terbatasnya pelabuhan perikanan yang mempunyai fasilitas yang memadai berdampak pada penurunan kualitas ikan tangkapan sehingga mengurangi nilai ekonomisnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan kebijakan pengembangan pelabuhan perikanan terpadu yang akan dapat menjamin kualitas ikan tangkapan (Agustinus, 2007). Selain itu diperlukan juga system kelembagaan yang memungkinkan dilakukanya aktivitas eksport di beberapa wilayah Indonesia.

Sumber daya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Sumber daya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1994). Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain: tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (kerapu, baronang, udang barong/lobster), ikan hias dan kekerangan termasuk rumput laut.

(40)

16

prioritas mengingat sejauh ini menghasilkan hal yang positif jika melihat pencapaian PDB perikanan pada tahun 2013. Akan tetapi perhatian terhadap sistem logistik bidang perikanan harus ditingkatkan, karena peningkatan produksi perikanan akan mempunyai pengaruh yang besar dalam meningkatkan perekonomian masyarakat hanya jika diikuti dengan sistem logistik yang baik (Mai dkk, 2010; Manning dkk, 2006).

Terdapat berbagai kesenjangan yang masih mewarnai pembangunan perikanan di Indonesia baik secara nasional maupun secara lokal administratif pengelolaan. Berbagai prasarana yang dibangun oleh pemerintah, seperti pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat-tempat pendaratan ikan yang tersebar di berbagai wilayah belum memberikan hasil yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan, berbagai model pengaturan dan kebijakan yang diambil belum dapat menyentuh secara baik terhadap permasalahan mendasar yang ada (Yahya, 2001; Cunningham, 2009).

Industri Pelayaran di Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran adalah Negara kepulauan yang berciri Nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas -batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dalam upaya untuk mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan untuk mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional, diperlukan sistem transportasi nasional yang handal. Sistem transportasi nasional tersebut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan memperkokoh kedaulatan negara. Moda transportasi yang sangat vital untuk Negara kepulauan adalah menggunakan moda laut. Industri pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim, merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan sistem transportasi yang aman, efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis (Hetherington C dkk, 2006; Paonangan, 2014).

(41)

17 sistem logistik nasional. Pembangunan industri pelayaran harus mengacu adan mengikuti peraturan yang berlaku secara internasional yang tergabung dalam International Maritme Organization (IMO). Aspek keselamatan keamanan pelayaran harus menjadi perhatian serius pemerintah agar industry pelayaran dapat berkembang pesat (Supit, 2009).

Industri Jasa Pelabuhan

Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi (Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang kepelabuhan).

Kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, tempat perpindahan intra dan/atau antar moda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah. Keberadaan pelabuhan laut yang memadai sangat dibutuhkan oleh pemerintah untuk dapat melaksanakan program logistik yang telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang cetak biru Sislognas. Sislognas yang efektif dan efisien diyakini mampu mengintegrasikan daratan dan lautan menjadi satu kesatuan yang utuh dan berdaulat, sehingga diharapkan dapat menjadi penggerak bagi terwujudnya Indonesia sebagai negara maritim. Sistem logistik menurut Harland (1996) juga memiliki peran strategis dalam mensinkronkan dan menyelaraskan kemajuan antar sektor ekonomi dan antar wilayah demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif, sekaligus menjadi benteng bagi kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional (national economic authority and security). Untuk itu peran strategis Sistem Logistik Nasional tidak hanya dalam memajukan ekonomi nasional, namun sekaligus sebagai salah satu wahana pemersatu bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

(42)

18

Namun kenyataannya menurut dokumen cetak biru Sistem Logistik Nasional, saat ini kinerja Sislognas masih belum optimal, karena masih tingginya biaya logistik nasional yang mencapai 27% (dua puluh tujuh persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan belum memadainya kualitas pelayanan, yang ditandai dengan (a) masih rendahnya tingkat penyediaan infrastruktur baik kuantitas maupun kualitas, (b) masih adanya pungutan tidak resmi dan biaya transaksi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, (c) masih tingginya waktu pelayanan ekspor-impor dan adanya hambatan operasional pelayanan di pelabuhan, (d) masih terbatasnya kapasitas dan jaringan pelayanan penyedia jasa logistik nasional, (e) masih terjadinya kelangkaan stok dan fluktuasi harga kebutuhan bahan pokok masyarakat, terutama pada hari-hari besar nasional dan keagamaan, dan bahkan (e) masih tingginya disparitas harga pada daerah perbatasan, terpencil dan terluar. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi kinerja sektor logistik nasional, dimana berdasarkan survei Indeks Kinerja Logistik (Logistics Performance Index/LPI) oleh Bank Dunia yang dipublikasikan pada tahun 2014 posisi Indonesia berada pada peringkat ke-53 dari 160 (seratus enam puluh) negara yang disurvei, naik enam tingkat dari peringkat sebelumnya 59. LPI Indonesia berada di bawah kinerja beberapa negara ASEAN lain yaitu Singapura (peringkat 5), Malaysia (peringkat ke-25), Thailand (peringkat ke-35), bahkan di bawah Vietnam (peringkat ke-48). Dalam LPI, parameter yang digunakan untuk mengukur terdiri dari berbagai dimensi perdagangan, termasuk custum performance, kualitas infrastruktur dan waktu pengiriman barang (World Bank, 2014).

Selain dihadapkan pada masih rendahnya kinerja logistik, Indonesia juga dihadapkan pada tingkat persaingan antar negara dan antar regional yang semakin tinggi, dimana persaingan telah bergeser dari persaingan antar produk dan antar perusahaan ke persaingan antar jaringan logistik dan rantai pasok. Sementara itu Indonesia juga perlu mempersiapkan diri menghadapi integrasi jasa logistik ASEAN sebagai bagian dari pasar tunggal ASEAN tahun 2015 dan integrasi pasar global yang sangat kompetitif.

MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah sebuah program yang mengarahkan semua aspek perekonomian Indonesia yang diharapkan dapat mengubah Perekonomian Indonesia menjadi lebih maju dan berkembang sesuai dengan namanya MP3EI. Program ini telah diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tangal 27 Mei 2011 dan berlaku sampai dengan tahun 2025. Program MP3EI difokuskan pada pembangunan jaringan dan infrastruktur yang dapat menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain di Indonesia. Program tersebut membagi wilayah Indonesia menjadi beberapa kluster yang dimaksudkan untuk mempermudah pemantauan program yang telah dicanangkan.

(43)

19 tombak dan juga diharapkan lebih banyak lagi investasi, dan menekan serta mempertahankan investasi-investasi asing. Dengan dicanangkanya MP3EI ini diprediksikan akan dapat menarik minat investor dari luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Perbaikan secara struktural yang telah dilakukan sangat signifikan membuat pemerintah semakin optimis akan program MP3EI ini yang meliputi enam koridor yakni: Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Koridor-koridor ini secara struktural di bagi secara beraturan dan meliputi kota-kota besar yang memiliki potensi-potensi alam yang berbeda menjadi ciri tersendiri. Tujuan utama dari MP3EI ini adalah mensejahterakan kehidupan rakyat Indonesia.

Sistem Logistik Nasional (Sislognas)

Pembangunan sistem logistik nasional telah ditetapkan menjadi kebijakan nasional melalui Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Cetak biru ini merupakan kebijakan yang akan menjadi acuan bagi Menteri, Pimpinan Lembaga Non Kementerian, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam rangka penyusunan kebijakan dan rencana kerja yang terkait dengan pengembangan Sistem Logistik Nasional di bidang masing-masing Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian maupun dalam pembangunan daerah. Dokumen Sislognas juga menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan. Pengaturan sistem logistik nasional sangat penting dan mendesak mengingat logistik merupakan sektor ekonomi pendukung utama. Kegiatan utama logistik meliputi: pengadaan, penyimpanan, persediaan, pengangkutan, pergudangan, pengemasan, keamanan, dan penanganan barang dan jasa baik dalam bentuk bahan baku, barang antara, dan barang jadi.

Sistem logistik nasional (sislognas) adalah suatu sistem yang mampu menjamin berlangsungnya proses distribusi barang dari satu tempat ke tempat lain dengan baik dan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dalam skala nasional (Arief, 2010). Sislognas diharapkan mendukung proses pengelolaan rantai suplai berskala nasional. Untuk mendukung Sislognas, Pemerintah terus mendorong percepatan pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara dan Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara sebagai global hub untuk angkutan laut. Pembangunan sekolah logistik juga didorong, dengan tujuan agar SDM yang bergerak di bidang logistik adalah putra-putri bangsa. Untuk mendukung sertifikasi, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) pun turut dilibatkan agar kompetensi SDM diakui. Komitmen tinggi pemerintah diharapkan tidak hanya tertuang dalam peraturan perundang-undangan semata, melainkan juga dalam implementasi di lapangan (Sauvage, 2003).

(44)

20

Kinerja logistik Indonesia saat ini juga masih lemah. Oleh karena itu, cetak biru Sislognas ini diharapkan benar-benar dapat menjadi rujukan semua pemangku kepentingan terkait pembangunan ekonomi bangsa ini dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing sebagaimana diamanatkan pada pasal 2 Perpres tersebut. Cetak biru pengembangan Sislognas berfungsi sebagai acuan bagi menteri, pimpinan lembaga non kementerian, gubernur, dan bupati/wali kota dalam menyusun kebijakan dan rencana kerja yang terkait dengan pengembangan Sislognas di bidang masing-masing, yang dituangkan dalam dukumen strategis masing-masing kementerian/lembaga pemerintah non kementerian dan pemerintah daerah sebagai bagian dari dokumen perencanaan pembangunan. Sejumlah pihak terkait menyambut baik terbitnya Perpres Sislognas ini.

Bagi Kementerian Perdagangan (Kemendag), terbitnya Perpres Sislognas pun menjadi sebuah pemantik semangat baru untuk bekerja lebih fokus dan maksimal. Kepentingan Kemendag terkait dengan konektivitas dan Sislognas adalah: 1) Harga untuk pasar dalam negeri terkait dengan stabilitas dan keterjangkauan harga khususnya untuk komoditas pangan pokok dan komoditas strategis lainnya, serta untuk pasar internasional terkait dengan harga komoditas ekspor yang menarik dan kompetitif. 2) Arus barang yang terkait dengan kelancaran arus barang, volume barang, termasuk permasalahan handling dan sarana transportasi. 3) Proteksi pasar dalam negeri dari barang-barang impor melalui safeguarding dan daya saing produk nasional.

Ada beberapa tantangan untuk membangun sebuah sistem logistik nasional yang kuat, terintegrasi bahkan berdaya saing dengan industri logistik global, khususnya terkait dengan kondisi dan karakter geografis Indonesia dengan ribuan pulaunya. Banyaknya pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam sistem logistik menjadi sebuah kendala tersendiri untuk memadukan seluruh aturan yang ada saat ini antara lain di Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan dengan Peraturan Pemerintah tentang transportasi, Kementerian Informasi dan Komunikasi dengan aturan Undang-undang Pos, dan lain sebagainya. Sementara itu, untuk pelaksanaan cetak biru pengembangan Sislognas telah dijelaskan dalam Perpres tentang koordinasi oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) 2011-2025 yang dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai Ketua dan Wakil ketua, serta Menko Perekonomian sebagai Ketua Harian.

(45)

21 Ketahanan Pangan

Pengertian tentang pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan adalah: segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Menurut Bickel, dkk (1999, 2000) mengutip Life Sciences Research Office (LSRO) of the Federation of American Societies for Experimental Biology (1990), mendefinisikan ketahanan pangan dengan Food security—“Access by all people at all times to enough food for an active, healthy life. Food security includes at a minimum: (1) the ready availability of nutritionally adequate and safe foods, and (2) an assured ability to acquire acceptable foods in socially acceptable ways (e.g., without resorting to emergency food supplies, scavenging, stealing, or other coping strategies).” Sedangkan ketahanan pangan menurut Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action (1996) adalah “… when all people, at all time, have

physical and economic acces to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs and foods preferences for an active and healty life”. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (IFPRI, 2001).

Menurut FAO (2008, 2009, 2013), selama ini ketahanan pangan diukur menggunakan indikator gizi kurang, yang merupakan ukuran dari kekurangan energi diet (Smith dan Subandoro, 2007). Sebagai indikator mandiri, prevalensi indikator kekurangan gizi tidak mampu menangkap kompleksitas dan multidimensionality ketahanan pangan, seperti yang didefinisikan oleh Deklarasi KTT Dunia tahun 2009 tentang Ketahanan Pangan. Dijelaskan bahwa ketahanan pangan terjadi ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik, sosial dan ekonomi yang cukup, aman dan bergizi, yang memenuhi kebutuhan diet mereka dan preferensi makanan untuk hidup aktif dan sehat ( FAO, IFAD dan WFP, 2013)

Penelitian tentang pengukuran ketahanan pangan rumah tanga di negara berkembang maupun negara maju telah banyak dilakukan antara lain oleh Keenan (2009) dan Jamhari (2011). Didasarkan pada definisi diatas, menurut FAO seperti yang tertuang pada Gambar 2, ukuran ketahanan pangan dapat diidentifikasi menggunakan 4 dimensi yaitu: food availability, economic and physical access to food, food utilization and stability (vulnerability and shocks) over time. Tiap dimensi ketahanan pangan digambarkan menggunakan indikator spesifik seperti terlihat pada Gambar 2. Global Food Security Index (2013), disampaikan bahwa ketahanan pangan diukur mengunakan 3 dimensi, yaitu (i) Availibility, (ii) Accesability, dan (iii) Quality and Safety (Economist Inteltigence Unit, 2012)

(46)

22

dan upaya penelitian untuk meningkatkan output pertanian

Gambar

Gambar 2  Food security indicator
Tabel 1.
Tabel 1  Ringkasan penelitian terdahulu (lanjutan)
Tabel 1  Ringkasan penelitian terdahulu (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

hasil analisis nilai-nilai pendidikan karakter dalam Kompetensi Dasar 3 dan 4 dalam materi Pencemaran Lingkungan dan Pemanasan Global yang digunakan sebagai

Bahagian B pula mengandungi item-item yang berkaitan dengan tahap hubungan etnik di kalangan pelajar kursus SPH yang dilihat dari segi 3 aspek iaitu kehidupan seharian

Demikian juga menurut Atun (wawancara, 11 Juli 2016) daya dukung pondok pesantren dalam meningkatkan fungsi manajemen dakwah di Pondok pesantren Robbi Rodliyya Banjardowo

suatu pendekatan yang digunakan dalam modifikasi perilaku yang mana modifikasi ini mengarahkan pada tujuan – tujuan untuk memperoleh tingkah laku baru yang

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Penetapan Status Penggunaan Barang Milik Negara pada

Agar tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan sehingga memungkinkan penyimpangan dari judul, maka peneliti membatasi ruang lingkup dalam penelitian ini terbatas pada

dapat meningkatkan kreativitas belajar IPS siswa. Kesimpulan yang berbunyi: “Kreativitas Belajar IPS Melalui Layanan Penguasaan Konten Dengan Teknik Mind Mapping Pada Siswa

a) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. b) Hak untuk mendapat