• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nomor Halaman

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kakao

Tanaman kakao (Theobroma cacao LINN) merupakan tanaman tropis yang berasal dari hutan tropis Amerika Selatan. Oleh bangsa Maya buah tanaman tersebut disebut ka-ka-wa dan dalam bahasa Nahuatl disebut xocoatl. Kemudian oleh Linnaeus, tanaman tersebut diberi nama Theobroma yang berarti makanan dewa-dewa (food of gods).

Tanaman kakao dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1350 mm. Untuk penanaman di daerah lempung, curah hujan maksimum adalah 1500 mm, sedangkan untuk tanah berpasir diperlukan curah hujan yang lebih tinggi karena daya simpan air di daerah ini kurang baik. Di Indonesia, tanaman kakao dibudidayakan oleh rakyat dan perkebunan besar di beberapa tempat, antara lain di Jawa Timur, Sulawesi (Selatan, Tengah dan Tenggara), Sumatera (Utara dan Aceh), Maluku dan Irian Jaya.

Tanaman kakao (Theobroma cacao LINN) yang ditanam di perkebunan rakyat pada umunya adalah kakao jenis Forastero (bulk cocoa atau kakao landak),

Criolo (fine cocoa atau kakao mulia) dan hibrida (hasil persilangan antara jenis

Forastero dan Criolo). Tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman kakao digolongkan menjadi sesuai (S1), cukup sesuai (S2), agak sesuai (S3) dan tidak sesuai (N). Penilaian tersebut didasarkan atas kondisi agroklimat, sifat fisik dan kimia tanah.

Sistematika tanaman kakao menurut Susanto dalam Rohaeni (2003), adalah sebagai berikut : Divisio : Spermathophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Malvales Famili : Sterculiaceae Genus : Theobroma

Spesies : Theobroma cacao

Kakao memiliki potensi untuk dikembangkan selain sebagai sumber penghidupan bagi jutaan petani produsen, kakao juga sebagai salah satu bahan penyedap yang sangat dibutuhkan untuk produksi makanan, kue -kue, dan berbagai jenis minuman. Selain itu kakao merupakan sumber lemak nabati yang memiliki keistimewaan yaitu dapat meleleh atau mencair pada suhu di mulut. Sedangkan cangkang kakao (pod) dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembuatan pakan ternak dan produksi pektin. Biji kakao mengandung zat gizi yang penting. Adapun kandungan komposisi biji coklat dapat dilihat pada Tabel 3.

Hasil proses pengolahan dari biji kakao diantaranya adalah cocoa powder

dan cocoa butter. Cocoa butter merupakan bahan yang sangat diperlukan oleh industri-industri pembuatan berbagai macam kembang gula dan manisan coklat. Selain itu cocoa butter juga sangat diperlukan oleh industri-industri farmasi dan obat-obat kecantikan. Sedangkan cocoa powder diperlukan oleh industri-industri yang menghasilkan berbagai macam minuman dan makanan yang mengandung rasa khas kakao.

Tabel 3. Kandungan Gizi Komposisi Biji Kakao

Nomor Zat Gizi Kandungan (g)

1 Karbohidrat 48.9 2 Lemak 23.8 3 Protein 8.0 4 Air 3.9 5 Fosfor 0.315 6 Kalsium 0.125 7 Besi 0.0116 8 Vitamin A 0.002 9 Vitamin B1 0.012 2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai optimalisasi telah sering dilakukan, diantaranya oleh Handayani (2001), Sulaenah (2003), Cakranimgrum (2000), Tandyna (2002). Penelitian yang dilakukan Handayani yang berjudul “Optimalisasi Pengendaliaan Bahan Baku (Simplisia) Pada Perusahaan Jamu Tradisional PT XYZ”. Dimana penelitian ini lebih merumuskan pada suatu sistem pengendaliaan bahan baku bagi perusahaan sebagai alternatif yang dapat dipilih dalam rangka mencapai optimalitas (efesiensi) produksi. Dalam hal ini PT XYZ menggunakan klasifikasi ABC untuk mengelola bahan baku terhadap persediaanya. Sistem klasifikasi ABC yang dijalankan oleh perusahaan relatif sederhana yaitu hanya mempertimbangkan faktor harga bahan baku dan jumlah penggunaannya.

Dalam pendekatan model linear programming sistem klasifikasi ABC yang disusun turut memperhatikan faktor -faktor selain harga dan jumlah penggunaan bahan baku. Faktor -faktor tersebut antara lain jumlah permintaan pasar terhadap produk akhir, harga jual produk akhir, ketersediaan bahan baku, serta penggunaan

sumberdaya mesin dan tenaga kerja orang. Pertimbangan faktor-faktor tersebut dalam pendekatan model linear programming menghasilkan sistem klasifikasi ABC beserta nilai ekonomis masing-masing bahan baku dilihat dari sisi keuntungan perusahaan. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan jumlah kebutuhan bahan baku menurut per usahaan (MFP) dan menurut pendekatan linear programming (MFLP) berkaitan erat dengan ketepatan perusahaan dalam meramalkan jumlah permintaan pasar terhadap produk akhir. Pendekatan model linear programming pada hasil peramalan maupun aktual akan menghasilkan perencanaan kebutuhan bahan baku yang lebih efesien dan komprehensif.

Sulaenah (2003) melakukan penelitian tentang optimalisasi produksi mebel rotan di PT Dilmoni Citra Mebel Indonesia (CMI) Cirebon Jawa Barat. Alat analisis yang digunakan dalam penelitiannya adalah linear programming.

Berdasarkan hasil olahan data dengan menggunakan model linear programming, dapat disimpulkan bahwa tingkat produksi mebel rotan pada periode bulam Mei 2003 yang dijalankan perusahaan sudah optimal, karena jumlah dan kombinasi produksi pada kondisi aktual sama dengan kondisi optimal yaitu sebesar 2886 unit. Berdasarkan produksi aktual maupun kondisi optimal perusahaan sudah mencapai keuntungan maksimal yaitu sebesar Rp 557.788.555,800. Hasil optimal dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa sumberdaya yang digunakan masih belum optimal, walaupun pada sumberdaya cat dasar, kulit rotan, sanding sealer dan top coat memiliki jumlah sisa hanya sedikit tapi tetap berlebih. Sumberdaya yang sangat berlebih ketersediannya adalah rota n batang dan jam tenaga kerja langsung. Penggunaan jam tenaga kerja langsung melebihi kapasitas optimal, oleh karena itu terjadi jam tenaga kerja langsung menganggur yang besar. Hasil olahan dengan

menggunakan linear programming memperlihatkan bahwa target produksi sudah optimal.

Cakraningrum (2000) melakukan penelitian tentang optimalisasi pengadaan bahan baku pada pabrik gula, yang merupakan studi kasus pada P.G. Mojo, Sragen, Jawa Tengah, diketahui bahwa pengadaan bahan baku di PG. Mojo belum optimal. Dalam hal ini peneliti menggunakan model linear programming dengan 28 kegiatan pengadaan gula. Berdasarkan hasil optimalisasi diketahui bahwa penggunaan lahan dan dan jumlah tebu tergiling lebih besar, serta jumlah gula yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi optimal mengakibatkan biaya tinggi dan penerimaan rendah, sehingga keuntungan yang diperoleh semakin rendah. Tingkat keuntungan optimal adalah sebesar Rp. 5.577.243.000,- sedangkan keuntungan aktual hanya Rp. 2.730.605.284,-.

Tandyna (2002) melakukan penelitian yang berjudul “Sistem Pengadaan Bahan Baku Dan Optimalisasi Produksi Nata De Coco Pada PT. Menacoco Sari Jakarta”. Berdasarkan hasil olahan penelitiannya dengan menggunakan program linear menunjukkan tingkat produksi optimal lebih tinggi dari pada tingkat produksi aktual. Pada kondisi aktual perusahaan memproduksi nata de coco sebesar 3072415 unit. Sedangkan berdasarkan hasil olahan program linear, nata de coco yang dihasilkan sebesar 3106884 unit, yang mana nata de coco kemasan 220 gram dan kemasan 360 gram ditingkatkan produksinya masing-masing sebesar 1309885 unit dan 99799 unit. Untuk produk nata de coco kemasan 240 gram dikurangi jumlah produksinya sebesar 513691 unit. Dengan berproduksi pada tingkat optimal, perusahaan akan memperoleh keuntungan total sebesar Rp 3.033.452.784.100. Selain itu juga berdasarkan hasil olahan linear programming

menunjukkan masih terdapat penggunaan sumberdaya yang belum optimal. Bahan baku gula, penggunaan jam kerja pengemasan dan jam kerja mesin masih berlebih ketersediannya pada kondisi optimal. Sedangka bahan baku nata mentah dan jam kerja tenaga produksi merupakan sumberdaya yang dimanfaatkan secara maksimal pada kondisi maksimal.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu mengenai optimalisasi yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa metode linear programming

merupakan alat analisis yang dapat dipergunakan untuk memperoleh kombinasi produksi yang optimal (terbaik) dari suatu permasalahan (kendala-kendala) yang ada sehingga diperoleh keuntungan yang maksimal bagi perusahaan.

Dokumen terkait