• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

Phyllanthus niruri L. (meniran)

Meniran ialah tanaman semak semusim dengan tinggi sekitar 30 sampai 60 cm. Tanaman ini termasuk famili Euphorbiaceae, banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Memiliki morfologi tumbuh tegak bercabang, daun tunggal dengan letak berseling, helaian daun bundar telur sampai bundar memanjang dengan ujung tumpul dan pangkal membulat, buahnya berbentuk bulat pipih dan licin dengan biji kecil, keras, berbentuk ginjal, dan berwarna cokelat (Gambar 1).

Gambar 1 Tanaman Phyllanthus niruri L.

Secara turun temurun seluruh bagian tanaman ini telah digunakan sebagai obat. Bagian daun diketahui mengandung senyawa aktif lignan dengan konsentrasi tertinggi (Sharma et al. 1993). Meniran memiliki aktivitas sebagai hepatoprotektor (Syamsundar et al. 1985; Sabir & Rocha 2008), antihepatitis (Shin et al. 2005), dan antioksidan (Harish & Shivanandappa 2006; Sabir & Rocha 2008).

Senyawa aktif yang dikandung meniran meliputi golongan lignan, yaitu phyllantin, hypophyllanthin, phyltetralin, dan niranthin (Row et al. 1966; Sharma et al. 1993; Murugaiyah & Chan 2007a; Murugaiyah & Chan 2007b), alkaloid (Petchnaree et al. 1986), terpenoid (Singh et al. 1989; Gunawan et al. 2008), tanin (Shimizu et al. 1989; Markom et al. 2007), dan glikosida flavanon (Gupta & Bahar Ahmed 1984). Beberapa di antaranya telah dilaporkan memiliki efek farmakologis tertentu (Venkateswaran 1987; Harish & Shivanandappa 2006).

Senyawa phyllanthin dan hipophyllanthin berhasil diekstraksi dari meniran dengan pelarut metanol, etil asetat, dan kloroform (Tripathi et al. 2006; Murugaiyah & Chan 2007b). Ekstraksi senyawa golongan tanin telah dilakukan dengan menggunakan pelarut polar seperti air, etanol, dan metanol (Markom et al. 2007). Pelarut lain yang telah digunakan untuk mengekstraksi senyawa kimia dalam meniran antara lain ialah aseton, diklorometana, dietil eter, dan heksana. Efisiensi ekstraksi masing-masing pelarut secara berurutan ialah sebesar 3,9 %, 4 %, 2,2 %, dan 1,8 % (Markom et al. 2007).

Pemisahan ekstrak meniran telah dilakukan dengan kromatografi menggunakan kolom C18 dan beberapa kombinasi fase gerak. Fase gerak tersebut antara lain asetonitril:air (55:45 v/v) (Murugaiyah & Chan 2007a; Murugaiyah & Chan 2007b), asetonitril:air secara gradien dengan penambahan asam fosfat 0,1 % sebagai aditif (Markom et al. 2007), air:metanol secara gradien (Colombo et al. 2009), metanol:air (70:30) (Tripathi et al. 2006), dan fase gerak metanol:air (66:34) (Sharma et al. 1993).

Sidik Jari Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) memisahkan komponen berdasarkan interaksi komponen dengan fase gerak berupa cairan dan fase diam. Fase gerak mengalir dengan bantuan tekanan. Komponen yang dipisahkan teramati sebagai puncak dengan waktu retensi tertentu, sementara kadar komponen ditunjukkan oleh luas area masing-masing puncak (Harvey 2000; Ahuja & Rasmussen 2007).

Hasil pemisahan KCKT disajikan dalam kromatogram atau sidik jari kromatografi. Parameter yang diukur pada analisis sidik jari KCKT meliputi waktu retensi, resolusi, jumlah puncak, dan luas puncak. Parameter tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya metode ekstraksi, instrumen kromatografi yang digunakan, dan kondisi pemisahan (Liang et al. 2004; Borges et al. 2007a). Salah satu parameter yang banyak digunakan untuk evalusi sidik jari kromatografi ialah jumlah puncak (Borges et al. 2007a; Borges et al. 2007b; Delaroza & Scarminio 2008). Jumlah puncak dihitung berdasarkan banyaknya puncak yang muncul pada kromatogram. Secara teori, puncak kromatografi

dikatakan terpisah apabila memiliki nilai resolusi minimumsama dengan 1 (Dong 2006). Puncak dapat dideteksi jika memiliki nilai rasio sinyal terhadap derau lebih besar sama dengan 3 sementara analisis kuantitatif dapat dilakukan secara presisi dan akurasi terhadap puncak yang memiliki rasio sinyal terhadap derau lebih besar sama dengan 10 (Bliesner 2006).

KCKT secara luas digunakan untuk analisis obat herbal karena teliti, sensitif, dan memiliki ketersalinan yang baik (Xie & Leung 2009). Sidik jari kromatografi obat herbal yang dihasilkan bersifat sangat khas. Sidik jari tersebut merepresentasikan senyawa aktif yang terdapat dalam obat herbal dan interaksi yang terjadi antar komponen aktif maupun antara komponen aktif dengan fase gerak dan fase diam. Sidik jari KCKT di antaranya telah digunakan untuk kontrol kualitas Turnera diffusa (Garza-Juarez et al. 2009), Ginkgo biloba (Ding et al. 2009), Ganodermalucidum (Chen et al. 2008), Pericarpium Citri Reticulatae dan Pericarpium Citri Reticulatae Viride (Yi et al. 2007), Rheum tanguticum (Jin et al. 2006), dan Angelica sinensis (Lu et al. 2005; Wang et al. 2007).

Metode KCKT yang digunakan untuk memperoleh sidik jari perlu divalidasi untuk memastikan bahwa metode tersebut memberikan kromatogram yang identik untuk sampel yang sama. Mengacu pada United States Pharmacopea, parameter validasi yang dilakukan ialah parameter presisi, sementara parameter lainnya dapat dilakukan ataupun tidak.

Pengoptimuman Pelarut Ekstraksi dan Fase Gerak KCKT dengan Split-Plot Mixture-MixtureDesign

Efisiensi ekstraksi dipengaruhi oleh temperatur, pH, waktu ekstraksi, metode ekstraksi, nisbah sampel dengan pelarut, selektivitas pelarut, dan stabilitas solut dalam pelarut tersebut. Keberhasilan ekstraksi dipengaruhi oleh komposisi pelarut ekstraksi (Soares & Scarminio 2008). Dengan demikian, penggunaan komposisi pelarut ekstraksi yang tepat dapat meningkatkan keberhasilan ekstraksi. Mixture design merupakan rancangan komposisi campuran yang dapat digunakan untuk memilih komposisi pelarut ekstraksi yang tepat.

Pengoptimuman kondisi pemisahan KCKT dilakukan untuk memperoleh hasil pemisahan dengan resolusi yang baik, robust, dan cepat. Pengoptimuman dapat dilakukan terhadap fase gerak, fase diam, suhu pemisahan, dan kondisi

deteksi (Heyden et al. 2000). Pengoptimuman fase gerak paling sering dilakukan, kekuatan pelarut dan selektivitas pelarut dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan fase gerak (Borges et al. 2007a). Rancangan percobaan yang sering digunakan pada pengoptimuman fase gerak KCKT ialah mixture design (Borges et al. 2007a; Borges et al. 2007b; Soares & Scarminio 2008; Delaroza & Scarminio 2008).

Mixture design digunakan saat suatu sistem terdiri atas campuran beberapa komponen yang jumlah totalnya konstan, yaitu 100 %. Respons yang diperoleh merupakan fungsi dari proporsi relatif tiap komponen dalam sistem. Pada Mixture design dapat digunakan 2 komponen atau lebih. Bertambahnya jumlah komponen yang terlibat akan menambah jumlah dimensi ruang yang dipakai untuk menggambarkan mixture. Saat 2 komponen terlibat, maka profil campuran komponen akan mengikuti garis lurus, saat tiga komponen akan berbentuk segitiga, berbentuk tetrahedron saat empat komponen digunakan, dan seterusnya. Objek paling sederhana yang menggambarkan dimensi mixture disebut sebagai simplex.

Saat digunakan tiga komponen, mixture design dapat mengikuti rancangan simplex-lattice, simplex-centroid, maupun simplex-centroid dengan axial design. Contoh sederhana ketiga rancangan tersebut ditunjukkan pada Gambar 2. Pada rancangan campuran berbentuk simplex-lattice titik-titik yang digunakan tersebar di sepanjang sisi simplex. Jika diamati lebih lanjut rancangan ini fokus pada pengaruh komponen tunggal dan kombinasi dua komponen dengan berbagai variasi proporsi terhadap respons yang dihasilkan. Pada rancangan simplex- centroid, selain pengaruh sistem tunggal dan biner dipelajari juga pengaruh kombinasi tiga komponen (pada titik tengah/centroid). Untuk k faktor yang terlibat, jumlah eksperimen ialah 2k-1 buah dan melibatkan kombinasi proporsi 1, ½, sampai 1/k. Pada simplex-centroid dengan axial design, pengaruh kombinasi tiga komponen diperbanyak dengan menambah titik pada daerah axial (Brereton 2005). Saat dua buah mixture design digabungkan, maka rancangan tersebut dikenal sebagai mixture-mixture design. Pada saat kombinasi pelarut ekstraksi dibuat mengikuti simplex-centroid dengan axial design dan fase gerak KCKT

mengikuti simplex-centroid, maka kombinasi mixture-mixture design yang diperoleh disajikan pada Gambar 3.

b (c) (a) (b) X13 X13 X13

Gambar 2 Simplex-lattice (a), simplex-centroid (b), simplex-centroid dengan axial design (c).

Rancangan split-plot banyak digunakan untuk mengatasi kendala teknis berupa jumlah unit percobaan yang terlalu besar. Rancangan ini dapat dilakukan dengan maupun tanpa pengulangan. Pada rancangan split-plot, unit percobaan dibagi menjadi 2, yaitu whole-plot dan sub-plot. Pengacakan dilakukan terhadap whole-plot terlebih dahulu diikuti pengacakan terhadap sub-plot. Hal ini berimplikasi pada berkurangnya unit percobaan dibandingkan unit percobaan pada pengacakan lengkap. Ragam pada rancangan split-plot berasal dari dua sumber, yaitu dari whole-plot ( ) dan sub-plot ( ). Analisis terhadap data dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan. Ordinary Least Squares method (metode OLS) dilakukan saat nisbah ragam whole-plot terhadap ragam sub-plot kurang dari 0,4. Persamaan umum yang digunakan untuk mengolah data disajikan pada persamaan (1). Koefisien regresi pada OLS dapat dihitung dengan persamaan (2a) hingga (7a). Koefisien untuk interaksi linear dihitung dengan persamaan (2a), interaksi kuadratik dengan persamaan (3a), interaksi kubik dengan persamaan (4a), interaksi biner-biner menggunakan persamaan (5a), gabungan interaksi ternary-biner menggunakan persamaan (6a), serta interaksi ternary-ternary menggunakan persamaan (7a). Saat nisbah ragam whole-plot terhadap ragam sub- plot lebih dari 0,4 tidak dibenarkan menggunakan OLS, pendekatan yang dapat digunakan ialah Generalized Least Squares (GLS), Restricted Maximum Likelihood (REML), dan Analysis of Varians (ANOVA) (Naes et al. 2006).

(b) (a)

Gambar 3 Mixture-mixturedesign untuk pelarut ekstraksi (a), mixturedesign untuk fase gerak KCKT (b).

...(1) ...(2a) ...(2b) ...(3a) ...(3b) ...(4a) ...(4b) ...(5a) ...(5b)

...(6a) ...(6b)

...(7a) ...(7b)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan sejak Mei 2009 hingga Januari 2010 di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA IPB dan Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan meliputi oven konveksi gravitasi, botol timbang, perangkat ekstraksi, penguap putar, peralatan gelas, spektrofotometer ultraviolet berkas ganda Hitachi U-2800, serta sistem KCKT Shimadzu LC-20 AD yang dilengkapi dengan detektor larik dioda, sistem pompa gradien, sistem injeksi loop, dan kolom oven.

Bahan yang digunakan meliputi Phyllanthus niruri L. (meniran) yang berasal dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu, pereaksi fitokimia, pelarut ekstraksi (metanol, etilasetat, dan diklorometana), kolom kromatografi C18 LiChospher (5 µm, 250 mm x 4 mm) produksi Merck, dan fase gerak KCKT (metanol,asetonitril, dan air) produksi merck.

Metode Penelitian

Meniran yang diperoleh dari (B2P2TO-OT) Tawangmangu dikeringkan, dihaluskan, diukur kadar airnya, dan dianalisis kandungan metabolit sekundernya secara kualitatif melalui uji fitokimia. Simplisia meniran diekstraksi dengan teknik maserasi menggunakan komposisi pelarut yang ditentukan dengan mixture design. Ekstrak meniran selanjutnya dikeringkan dengan penguap putar. Ekstrak yang diperoleh masing-masing dipisahkan dengan KCKT menggunakan kombinasi fase gerak yang ditentukan dengan mixture design dan dimonitor pada beberapa panjang gelombang deteksi yang ditentukan berdasarkan pemayaran ekstrak meniran dengan spektrofotometer ultraviolet (UV). Setelah kondisi

optimum pemisahan diperoleh, dilakukan validasi terhadap kondisi pemisahan optimum (Lampiran 1).

Preparasi Sampel. Tanaman meniran dikeringkan menggunakan oven bersuhu 40 ◦C hingga kadar airnya kurang dari 10 %. Sampel yang telah kering dihaluskan hingga menjadi serbuk berukuran 80 mesh.

Penentuan Kadar Air. Kadar air sampel meniran ditentukan dengan metode gravimetri evolusi tidak langsung (Depkes 1995). Sebanyak 3 gram sampel ditimbang, digunakan wadah yang telah dikeringkan pada suhu 105 ◦C selama 30 menit dan ditara. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven konveksi gravitasi bersuhu 105 ◦C hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air diperoleh sebagai nisbah selisih bobot sampel awal dengan bobot sampel setelah dikeringkan tehadap bobot sampel sebelum dikeringkan. Kadar air sampel ditentukan sebanyak tiga kali ulangan.

Uji Fitokimia. Kandungan metabolit sekunder meniran diperiksa dengan uji fitokimia yang terdiri atas uji alkaloid, flavonoid, fenol hidrokuinon, terpenoid, steroid, tanin, saponin, dan lignan (Harborne 1987).

Ekstraksi. Ekstraksi sampel meniran dilakukan dengan teknik maserasi menggunakan komposisi pelarut yang ditentukan dengan mixture design dengan bentuk simplex-centroid dengan axial design (Gambar 4). Pelarut yang digunakan terdiri atas metanol (z1), etil asetat (z2), dan diklorometana (z3). Sebanyak 25 gram serbuk meniran direndam dengan 125 mL pelarut selama 24 jam. Maserat dipisahkan dari residu dengan penyaringan. Ke dalam residu ditambahkan kembali pelarut dan tahapan ekstraksi diulangi hingga tiga kali. Maserat dari setiap ulangan ekstraksi digabung dan dikeringkan dengan penguap putar.

Pengoptimuman Kondisi Kromatografi. Pengoptimuman kondisi kromatografi dilakukan terhadap komposisi fase gerak yang disusun sesuai mixture design dengan bentuk simplex-centroid (Gambar 5). Fase gerak yang digunakan terdiri atas metanol (x1), asetonitril (x2), dan campuran asetonitril:air (55:45 v/v) (x3).

Fase gerak yang akan digunakan disaring terlebih dulu menggunakan membran filter 0,45 µm. Panjang gelombang deteksi KCKT yang digunakan ialah 210, 225, dan 254 nm. Panjang gelombang ini dipilih berdasarkan profil serapan ekstrak meniran saat pemayaran dengan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 200-400 nm dan merujuk pada beberapa pustaka.

Pada analisis dengan KCKT, 50 miligram ekstrak meniran dilarutkan dalam 5 mL pelarut ekstraksi. Sebanyak 100 µL ekstrak tersebut dilarutkan dengan 1900 µL fase gerak dan disaring dengan membran filter 0,45 µm sebanyak dua kali. Selanjutnya 20 µL larutan sampel yang telah disaring diinjeksikan ke dalam kolom C18. Suhu kolom dijaga konstan pada 40 ◦C dengan laju alir fase gerak 1 mL/menit. Jumlah puncak yang muncul pada kromatogram setiap ekstrak dihitung. Puncak yang dihitung ialah puncak yang memiliki rasio sinyal terhadap derau ≥ 3 dan nilai resolusi ≥ 1.

Gambar 4 Komposisi pelarut ekstraksi sesuai mixture design. z2 Etil asetat (0,1,0) (1/3,1/3,1/3) z1 Metanol(1,0,0) z3 Diklorometana (0,0,1) (1/2,0,1/2) (0,1/2,1/2) (1/2,1/2,0) (2/3,1/6,1/6) (1/6,2/3,1/6) (1/6,1/6,2/3) (0,1/2,1/2) (1/3,1/3,1/3) x1 Metanol (1,0,0) x2 Asetonitril (0,1,0) x3 Asetonitril:air (55:45 v/v) (0,0,1) (1/2,0,1/2) (1/2,1/2,0)

Analisis Data Pemisahan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).

Pengaruh interaksi pelarut ekstraksi dengan fase gerak KCKT terhadap jumlah puncak yang ditampilkan sidik jari kromatografi dimodelkan dengan bantuan pengolahan statistika. Perangkat lunak MINITAB digunakan untuk membangun model regresi dari data pemisahan KCKT tersebut. Data yang digunakan untuk membangun model ialah data yang terletak pada sisi dan pusat simplex mengikuti bentuk simplex-centroid (Gambar 6). Sementara data diperoleh dari titik axial digunakan sebagai data validasi untuk memeriksa keajegan model yang dihasilkan.

Gambar 6 Titik percobaan yang digunakan untuk membangun model regresi.

Validasi Kondisi Optimum KCKT. Parameter validasi yang diuji ialah presisi dan kestabilan larutan ekstrak. Parameter presisi ditentukan melalui keterulangan injeksi. Pada penentuan keterulangan, ekstrak meniran yang sama diinjeksikan sebanyak 6 kali ulangan oleh satu orang analis, pada hari yang sama, dengan instrumen dan kondisi injeksi yang sama. Nilai persen simpangan baku relatif (% SBR) waktu retensi dihitung untuk menentukan validitas kondisi optimum yang diperoleh. Tes kestabilan larutan ekstrak dilakukan dengan menganalisis larutan ekstrak sesaat setelah disiapkan (t=0), setalah penyimpanan 2,5 jam, dan setelah penyimpanan 5 jam pada ruangan bersuhu 25 ˚C dan dalam keadaan terlindung dari cahaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Preparasi dan Ekstraksi Phyllanthus niruri L. (meniran)

Tanaman meniran yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu, Jawa Tengah-Indonesia. Tanaman dipanen pada tanggal 6 Mei 2009 dan dikeringkan dalam oven gravitasi bersuhu 40 ◦C selama 36 jam. Tanaman meniran dideterminasi dan dibuat spesimen contohnya (voucher specimen) oleh Herbarium Bogoriense. Berdasarkan determinasi yang dilakukan, tanaman tersebut benar Phyllanthus niruri L. dan spesimen contohnya disimpan di Herbarium Bogoriense sebagai koleksi dengan nomor BO 1880583.

Menggunakan metode gravimetri evolusi tidak langsung diketahui sampel meniran yang siap diekstraksi memiliki kadar air sebesar 6,5696 % (Lampiran 2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam 100 gram sampel meniran terkandung 6,5696 gram air yang terikat secara fisik dan dapat hilang oleh pemanasan pada suhu sekitar 105 ◦C. Kadar air kurang dari 10 % diharapkan mengurangi resiko kerusakan sampel meniran akibat serangan jamur dan bakteri.

Uji fitokimia yang dilakukan memberikan informasi bahwa tanaman meniran asal B2P2TO-OT Tawangmangu mengandung metabolit sekunder dari golongan flavonoid, fenol hidroquinon, steroid, tanin, saponin, dan lignan (Lampiran 3), sementara metabolit sekunder golongan alkaloid dan terpenoid tidak dapat dideteksi. Hasil uji alkaloid dan terpenoid tidak sepakat dengan penelitian terdahulu yang melaporkan bagian aerial meniran mengandung alkaloid (Petchnaree et al. 1986) dan ekstrak n-heksana herba meniran mengandung terpenoid (Gunawan et al. 2008). Hal ini dapat terjadi karena kadar alkaloid dan terpenoid pada meniran asal B2P2TO-OT Tawangmangu terlampau kecil sehingga uji kualitatif fitokimia tidak mampu mendeteksi keberadaannya. Kadar dan jenis senyawa metabolit sekunder dalam tanaman sejenis tidak selalu sama, kandungan senyawa metabolit sekunder tersebut dipengaruhi oleh kandungan hara dan kondisi tanah tempat tumbuhnya (Briskin 2002). Di samping itu, kadar dan kandungan senyawa metabolit sekunder dipengaruhi oleh waktu panen dan penanganan pasca panen (Famei et al. 2006).

Tanaman meniran kering yang meliputi bagian daun, batang, akar, dan buah dihaluskan hingga berukuran 80 mesh sebelum ekstraksi dilakukan (Gambar 7). Hal ini bertujuan meningkatkan luas permukaan sampel sehingga daerah kontak sampel dengan pelarut ekstraksi lebih besar dan proses ekstraksi berlangsung lebih optimal (Coats & Wingard 1950; Gião et al. 2009; Sembiring et al. 2006). Ekstraksi dilakukan dengan teknik maserasi pada suhu ruang untuk menghindari kerusakan komponen kimia meniran akibat panas.

(a) (b)

Gambar 7 Simplisia meniran sebelum dihaluskan (a) dan setelah dihaluskan (b).

Kombinasi pelarut ekstraksi yang digunakan untuk mengekstrak meniran disusun sesuai rancangan campuran (mixture design) yang mengambil bentuk simplex-centroid dengan axial design (Gambar 4). Rancangan ini digunakan untuk mempelajari pengaruh pelarut tunggal, campuran dua pelarut pada titik tengah setiap sisi simplex, serta campuran tiga pelarut pada pusat simplex dan pada titik axial terhadap efisiensi ekstraksi meniran. Pelarut ekstraksi yang digunakan harus dapat bercampur dengan baik pada setiap titik rancangan campuran simplex- centroid dengan axial design. Hal ini dimaksudkan agar kaidah kimia dan statistika dapat ditaati oleh setiap kombinasi pelarut ekstraksi yang digunakan.

Pelarut ekstraksi yang dipilih ialah metanol, etil asetat, dan diklorometana. Pemilihan pelarut ekstraksi didasarkan pada sifat fisik dan kimianya. Pertimbangan lain yang mendasari ialah ketiga pelarut ini telah digunakan untuk mengekstraks senyawa kimia pada meniran. Metanol telah digunakan untuk mengekstrak senyawa golongan lignan dan tanin pada meniran (Tripathi et al. 2006; Murugaiyah & Chan 2007b), etil asetat telah digunakan untuk mengekstrak lignan pada meniran (Tripathi et al. 2006), sementara diklorometana telah digunakan untuk mengekstrak senyawa yang cenderung tidak polar pada meniran (Markom et al. 2007).

Ketiga pelarut tersebut memiliki polaritas berlainan. Metanol dengan nilai polaritas 5,1 dikategorikan sebagai pelarut polar. Etil asetat memiliki kepolaran di pertengahan dengan nilai polaritas 4,4. Sementara diklorometana memiliki polaritas sebesar 3,1 dan dikategorikan sebagai pelarut yang tidak polar. Ketiga pelarut tersebut dikategorikan ke dalam kelas yang berbeda oleh Marcus (2004). Metanol termasuk pelarut protogenik (kelas 2) karena memiliki hidrogen yang terikat unsur elektronegatif dan memiliki unsur elektronegatif yang mampu membentuk ikatan hidrogen. Etil asetat termasuk kelas aprotik dipolar (kelas 3) karena mengandung unsur elektronegatif namun tidak memiliki hidrogen yang terikat unsur elektronegatif. Diklorometana termasuk dalam kelas 4 karena tidak memiliki unsur elektronegatif yang dapat membentuk ikatan hidrogen. Walaupun pelarut tersebut memiliki polaritas yang berlainan dan dikategorikan ke dalam kelas yang berbeda, ketiganya dapat bercampur dengan baik pada setiap titik rancangan campuran simplex-centroid dengan axial design.

Pemilihan pelarut ekstraksi juga didasarkan pada pertimbangan nilai tegangan antar muka pelarut. Pelarut ekstraksi yang baik memiliki tegangan antar muka yang nilainya di pertengahan. Tegangan antar muka yang terlalu tinggi menyebabkan kontak antara pelarut dengan sampel sulit terjadi. Sementara jika tegangan antar mukanya terlalu kecil akan terbentuk emulsi yang stabil antara pelarut dengan sampel, sehingga akan sulit memisahkannya. Dalam hal ini ketiga pelarut yang dipilih memiliki tegangan permukaan yang nilainya di pertengahan.

Sepuluh kombinasi pelarut ekstraksi memberikan efektivitas ekstraksi yang beragam (Gambar 8). Rendemen ekstraksi yang diperoleh berkisar antara 1,3668 hingga 7,4254 % berdasarkan bobot kering sampel. Rendemen ekstraksi tertinggi diperoleh saat menggunakan metanol sebagai pelarut ekstraksi, yaitu sebesar 7,4254 %. Rendemen ekstraksi terendah dihasilkan oleh pelarut diklorometana, yaitu sebesar 1,3668 %. Tingginya nilai rendemen ekstraksi dengan pelarut metanol menggambarkan komponen kimia dalam tanaman meniran mayoritas larut dalam pelarut polar. Calixto et al. (1998) melaporkan bahwa komponen mayor pada Phyllanthus niruri L. ialah senyawa dari golongan lignan, tanin, polifenol, dan flavonoid. Interaksi yang terjadi saat proses ekstraksi antara

senyawa kimia pada meniran dengan metanol dapat berupa ikatan hidrogen maupun interaksi dwikutub-dwikutub.

Gambar 8 Rendemen ekstraksi meniran.

Pengoptimuman Kondisi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan Pemisahan Ekstrak Meniran

Panjang gelombang deteksi KCKT yang digunakan ditentukan berdasarkan panjang gelombang maksimum yang muncul saat pemayaran ekstrak meniran dengan spektrofotometer ultraviolet berkas ganda pada panjang gelombang 200 hingga 400 nm. Pemayaran dengan spektrofotometer ultraviolet berkas ganda terhadap ekstrak meniran memberikan puncak serapan maksimum pada kisaran 217 nm hingga 235 nm (Lampiran 4). Di samping itu, pemilihan panjang gelombang deteksi dilakukan mengacu pada penelitian terdahulu terhadap genus Phyllanthus. Sharma et al. (1993) mengukur kadar phyllanthin dan hypophyllanthin dari Phyllanthus niruri L. pada panjang gelombang 230 nm, sementara penentuan senyawa phyllanthin dan hypophyllanthin dari Phyllanthus amarus dideteksi pada panjang gelombang 220 nm (Tripathi et al. 2006).

Pada penelitian ini panjang gelombang deteksi KCKT yang digunakan ialah 210, 225, dan 254 nm. Panjang gelombang 210 nm dipilih mengacu pada penelitian pengoptimuman sidik jari KCKT ekstrak Camellia sinensis dengan rancangan mixture-mixture design yang dimonitor pada 210 nm (Borges et al. 2007a). Pajang gelombang 254 nm digunakan karena senyawa kimia yang telah berhasil diisolasi dari Phyllanthus niruri L., antara lain phyllanthin,

hipophyllanthin, phyltetralin, dan niranthin (Murugaiyah & Chan 2007a; Murugaiyah & Chan 2007b), asam galat, asam elagat, dan korilagin (Markom et al. 2007) memiliki struktur benzena dan turunannya yang mengalami transisi elektronik л→л* pada panjang gelombang 254 nm (Lindon et al. 2000).

Fase gerak KCKT yang digunakan pada penelitian ini ialah metanol, asetonitril, dan asetonitril:air (55:45 v/v). Pemilihan fase gerak KCKT didasarkan pada pertimbangan sifat fisika dan kimianya. Ketiga fase gerak yang digunakan bersifat polar, menurut Sadek (2002) ketiganya telah umum digunakan sebagai fase gerak pada KCKT fase terbalik. Menurut Snyder & Kirkland (1979) metanol, asetonitril, dan air memiliki selektivitas berlainan, sehingga akan memberikan kecepatan elusi yang bervariasi. Ketiga pelarut tersebut memiliki viskositas dan titik didih yang nilainya di pertengahan, dapat bercampur dengan baik, sesuai untuk detektor ultraviolet, dan mudah diperoleh.

Pemilihan fase gerak juga mengacu pada penelitian yang telah dilakukan terhadap meniran. Fase gerak yang telah dilaporkan untuk pemisahan ekstrak meniran antara lain asetonitril:air (55:45 v/v) (Murugaiyah & Chan 2007a; Murugaiyah & Chan 2007b), asetonitril:air secara gradien dengan penambahan asam fosfat 0,1 % sebagai aditif (Markom et al. 2007), air:metanol secara gradien (Colombo et al. 2009), metanol:air (70:30) (Tripathi et al. 2006), dan fase gerak metanol:air (66:34) (Sharma et al. 1993).

Sepuluh jenis ekstrak meniran dipisahkan dengan KCKT fase terbalik menggunakan tujuh kombinasi fase gerak sesuai mixture design yang mengambil bentuk simplex-centroid (Gambar 5). Rancangan ini digunakan untuk mempelajari

Dokumen terkait