• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Nematoda Puru Akar (NPA)

Nematoda puru akar adalah nama umum untuk spesies Meloidogyne. Kata

Meloidogyne berasal dari bahasa Yunani melon (apel atau labu) + oides, oid (menyerupai) + gyne (betina) = betina berbentuk apel (apple-shaped female) (Singh & Sitaramaiah 1994). Klasifikasi Meloidogyne spp. terdiri dari: super kingdom Eukaryota, kingdom Metazoa, phylum Nematoda, kelas Chromadorea, ordo Tylenchida, family Meloidogynidae, subfamili Meloidogyninae, genus

Meloidogyne (CABI 2007).

Meloidogyne spp. merupakan nematoda penyebab penyakit tanaman (phytonematodes) paling dikenal di seluruh dunia karena gejala pada bagian akar sangat menonjol dan spesifikyaitu menyebabkan puru pada akar tanaman. Hingga saat ini sekitar 100 spesies Meloidogyne yang telah dideskripsikan (Mitkowski & Abawi 2003). Sebanyak enam spesies diantaranya menjadi perhatian utama karena dapat menurunkan produksi tanaman dan merugikan secara ekonomi, yaitu

M. incognita, M. javanica, M. arenaria , M. hapla, M. chitwoodi dan M. fallax

(Adam et al. 2007).

Biologi, Ekologi dan Distribusi Geografis NPA Biologi NPA

Meloidogyne spp. termasuk nematoda endoparasit menetap dan bersifat obligat pada bagian akar dan umbi tanaman monokotil, dikotil, perdu dan berkayu. NPA termasuk penyebab penyakit utama pada tanaman pangan, sayuran, buah dan tanaman hias yang tumbuh di daerah tropis, subtropis, dan iklim sedang (Nickle 1991).

Cara reproduksi dan siklus hidup Meloidogyne spp. sangat bervariasi antar spesies, beberapa bereproduksi secara amfimiksis (cross-fertilization), ada juga yang bereproduksi secara partenogenesis (obligatory mitotic parthenogenesis), dan yang lain dengan cross-fertilization dan partenogenesis (facultative meiotic parthenogenesis) (Eisenback et al. 1981). M. incognita, M. arenaria, M. hapla

M. exigua dan M. hapla (ras A) bereproduksi secara meiosis partenogenesis (Trianthaphyllou 1982) dan M. carolinensis, M. microtyla bereproduksi secara amfimiksis (Castagnone-Sereno 2006). Spesies NPA yang partenogenesis mempunyai perbandingan jenis kelamin bersifat epigenetik, yaitu sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti kepadatan koloni, kualitas tanaman inang dan suhu. Ketika kondisi lingkungan menguntungkan, larva berkembang menjadi betina, tetapi dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, berkembang menjadi nematoda jantan (Trianthaphyllou 1982).

Pada dasarnya semua spesies Meloidogyne mempunyai siklus hidup yang sama. Skema siklus hidup Meloidogyne spp. sebagai berikut:

Gambar 1 Siklus hidup Meloidogyne spp. : Telur (A), Larva I (B), Larva II (C), Larva III (D), Larva IV (E), Larva V (dewasa) (F), Nematoda jantan dan betina (G)

Tahap pertama siklus hidup dimulai dari telur. Nematoda betina dewasa berada di dalam akar menghasilkan telur yang disimpan dalam massa gelatin (paket telur), sebagian atau semuanya melekat pada jaringan akar, menyelubungi telur dan bertindak sebagai penghalang kehilangan air (CABI 2007). Terdapat sekitar 400-500 telur berbentuk oval dalam satu paket telur, bahkan menurut Shurtleff dan Averre (2000) sampai 1000 atau lebih. Ukuran paket telur kadang lebih besar dari ukuran nematoda betina dewasa (Singh & Sitaramaiah 1994).

Selain nematoda dewasa dan telur, ada empat fase larva dan empat kali ganti kulit dalam siklus hidup M. incognita. Larva I berkembang dalam telur, dan ganti kulit pertama biasanya terjadi di dalam cangkang, kemudian berkembang menjadi larva II, yang menembus ke dalam tanah atau jaringan tanaman. Larva II bergerak ke arah akar dan menumpuk di ujung akar, membuat luka kecil atau penetrasi bagian akar. Selanjutnya masuk ke jaringan korteks akar, kemudian bergerak di dalam akar secara interseluler untuk mencari tempat makan di dalam jaringan vaskuler. Meloidogyne spp. dapat menyebabkan terjadinya pembesaran sel yang merupakan respon tanaman terhadap sekresi nematoda (CABI 2007).

Setelah nematoda mulai makan pada jaringan tanaman inang, ganti kulit kedua, ketiga dan keempat terjadi sehingga masing-masing menjadi larva stadia ketiga, keempat dan kelima atau dewasa. Fase ganti kulit, pertumbuhan dan perkembangan nematoda bersamaan dengan perkembangan sistem reproduksi pada kedua jenis kelamin. Larva II berganti kulit sebanyak tiga kali untuk menjadi imago jantan dengan tubuh seperti cacing (vermiform). Imago jantan hidup di luar akar dan tidak menginfeksi akar. Nematoda betina berbentuk seperti buah pir/bulat (pyriform), menetap di dalam jaringan tanaman dengan bagian posterior tubuhnya berada di permukaan akar. Betina dewasa mampu menghasilkan telur dalam jumlah banyak dan sebagian besar spesies NPA bereproduksi secara partenogenesis (Bekal & Lambert 2002).

Siklus hidup terjadi selama 25 hari pada suhu 27 ºC, tetapi dapat lebih panjang tergantung pada tinggi rendah suhu lingkungan (Agrios 2005) dan tanaman inang (Shurtleff & Averre 2000). Suhu optimum untuk siklus hidup M. hapla adalah 15-25 ºC. Nematoda M. hapla dapat bertahan hidup pada kondisi dingin (telur dan larva dapat bertahan pada suhu di bawah 0 °C). Namun

nematoda ini kurang toleran terhadap kondisi suhu yang tinggi. Suhu optimum untuk siklus hidup M. javanica, M. incognita, dan M. arenaria sekitar 25-30 ºC.

M. javanica melengkapi siklus hidupnya selama 21-25 hari pada suhu 26-27 ºC tetapi pada suhu 14-16 ºC siklus hidupnya selama 50-60 hari (Singh & Sitaramaiah 1994). Satu generasi M. arenaria berlangsung selama 3 minggu, sedangkan pada kondisi dingin, siklus hidupnya berlangsung selama 2-3 bulan (CABI 2007). Beberapa jam setelah dihasilkan telur oleh betina, terjadi perkembangan embrio menjadi dua, empat, delapan sel dan seterusnya sampai terbentuk larva melingkar di membran telur dengan dilengkapi stilet (Singh & Sitaramaiah 1994).

Ekologi NPA

Nematoda parasit tanaman menggunakan kombinasi antara strategi bertahan hidup dan perilaku fisiologis untuk mengatasi kendala faktor biotik dan abiotik. Bagi nematoda endoparasit, bertahan di dalam jaringan tanaman atau membatasi mobilitas di lingkungan tanah merupakan cara menghindari kendala faktor biotik seperti serangan predator. Beberapa nematoda mempunyai kutikula yang tebal untuk melindungi diri dari serangan predator. Nematoda ektoparasit mempunyai strategi pertahanan diri dengan cara berpindah-pindah dari satu inang ke inang yang lain. Faktor suhu dan ketersediaan air menjadi kendala faktor abiotik bagi nematoda. Kemampuan cryptobiosis yang dimiliki nematoda menjadikan nematoda mampu mengatasi kekeringan, panas dan dingin sehingga dapat bertahan hidup (Bekal & Lambert 2002).

Distribusi Geografis

Kebanyakan NPA terdapat di daerah sekitar perakaran tanaman antara 5 sampai 25 cm dari permukaan tanah. Penyebaran NPA terutama oleh air atau tanah yang menempel pada peralatan pertanian atau terinfeksi oleh bahan tanam yang diangkut dari daerah terinfeksi ke daerah yang bebas infeksi (Agrios 2005).

M. incognita, M. javanica, M. arenaria terutama tersebar di daerah tropis, sedangkan M. hapla, M. chitwoodi dan M. fallax terdapat di daerah dengan iklim sedang dan dingin (Adam et al. 2007). M. arenaria, M. hapla, M. incognita dan

M. javanica sudah ditemukan di Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Nematoda tersebut juga ditemukan dan tersebar di wilayah Asia, Amerika, Oceania, Eropa dan Afrika. Keberadaan M. chitwoodi masih terbatas di Eropa, Afrika Selatan dan Amerika sedangkan M. fallax terdapat di Eropa dan wilayah Oceania (CABI 2007).

Delapan spesies NPA yang belum terdapat di Indonesia dan tercantum dalam daftar OPTK A1 Badan Karantina Pertanian, yaitu : M. acronea, M. brevicauda, M. chitwoodi, M. cofeicola, M. decalineata, M. exigua Goeldi, M. naasi, M. oteifae (elm).

Morfologi NPA

Bentuk pola perineal (perineal pattern) nematoda betina dewasa merupakan karakter utama dalam identifikasi spesies NPA secara morfologi. Karakter lain yang dapat digunakan untuk idenfitikasi secara morfologi, yaitu bentuk nematoda pada setiap tahap siklus hidup, bentuk bagian tubuh dan ukuran dari larva dan nematoda jantan (Eisenback et al. 1980).

Larva nematoda fase pertama dan kedua berbentuk seperti cacing dan berkembang di dalam telur masing-masing. Nematoda jantan dan betina dewasa spesies NPA mudah dibedakan berdasarkan bentuknya. Nematoda jantan berbentuk vermiform, yaitu bentuk tubuhnya seperti cacing dengan panjang tubuh 1.2-1.5 mm dan diameter 30-36 µm (Agrios 2005). Pada bagian kepala terdapat lubang mulut, bibir, stilet, lubang kelenjar dorsal (Dorsal Esophageal Gland Orifice/DEGO) dan median bulb. Bagian tubuh terdapat oesophagus

(kerongkongan) dan intestine (usus) serta bagian ekor terdapat spikula dan gubernakulum (Nickle 1991). Nematoda betina dewasa berbentuk pyriform, yaitu bentuk tubuhnya seperti buah pir/bulat dengan panjang tubuh 0.40-1.30 mm dan lebar 0.27-0.75 mm (Agrios 2005).

Metode pola perineal (perineal pattern) sering digunakan untuk membedakan spesies NPA berdasarkan bentuk lengkungan pada bagian posterior

nematoda betina dewasa (Eisenback et al. 1980). Bentuk lengkungan pada bagian

posterior dijadikan penciri utama untuk membedakan spesies NPA (Gambar 2).

M. javanica M. arenaria M. hapla M. incognita

Gambar 2 Pola perineal M. javanica, M. arenaria, M. hapla, M. incognita

(http://plpnemweb.ucdavis.edu/nemaplex/taxadata/G076.HTM)

Morfologi M. javanica

M. javanica memiliki telur berbentuk oval dengan panjang 71-89 (81) µm dan lebar 27-35 (30) µm. Larva berbentuk vermiform dengan ukuran panjang 402-560 µm. Panjang ekor berukuran 51-63 µm dengan ujung ekor yang membulat hingga runcing, panjang stilet 10-12 µm. Nematoda jantan berbentuk

vermiform memiliki panjang tubuh 757-1297 µm, stilet kuat dengan panjang sekitar 18-22 µm. M. javanica betina berbentuk pyriform dengan ukuran panjang 541-804 (657) µm dan lebar 311-581 (431) µm. Memiliki stilet yang kuat dengan panjang 14-18 (16) µm. Pola perineal dengan ciri utama adanya garis lateral yang memisahkan lengkung dorsal dan lengkung ventral (Eisenback et al. 1991).

Morfologi M. arenaria

M. arenaria memiliki larva berbentuk vermiform dengan ukuran panjang 398-605 (504) µm dan lebar 13-18 (15) µm. Larva M. arenaria memiliki ekor yang panjang, berukuran 44-69 (56) µm dengan ujung ekor yang membulat hingga runcing, memiliki stilet yang panjang, berukuran 10-12 (11) µm. Nematoda jantan berbentuk vermiform dengan panjang tubuh 0.9-2.3 mm dan lebar 27-48 µm. Jantan memiliki stilet yang kuat dengan panjang 20-28 (23µm) dan bagian ujungnya runcing. Betina. M. arenaria berbentuk pyriform, berwarna putih mutiara dengan ukuran panjang 500-1000 µm dan lebar 400-600 µm. Nematoda betina memiliki stilet yang kuat dengan ukuran panjang 13-17 (16) µm. Pola perineal mempunyai ciri pertemuan lengkung dorsal dan ventral membentuk

seperti bahu, ujung tonjolan kutikula bercabang seperti garpu (Eisenback et al. 1991).

Morfologi M. hapla

M. hapla memiliki telur berbentuk oval dengan ukuran panjang 71-91 (78) µm dan lebar 26-40 (31) µm. Larva memiliki panjang tubuh berukuran 312-355 (337) µm, panjang ekor 33-48 (43) µ m dan panjang stilet 10-12 (11) µm. Nematoda jantan memiliki panjang tubuh berukuran 791-1432 (1139) µm, panjang stilet 17.3-22.7 (20.0) µm dan lebar pangkal stilet 2.5-5.0 (3.5) µm, panjang spikula 21.6-28.1 (25.7) µm dan panjang gubernakulum 7.2-9.4 (8.2) µm. Nematoda betina berbentuk pyriform dengan ukuran panjang 419-845 (612) µm dan lebar 311-561 (430) µm, memiliki stilet yang panjangnya 10-13 (11) µm dan lebar pangkal stilet 2-3 (2) µm. Pola perineal memiliki ciri adanya tonjolan- tonjolan seperti duri pada daerah ujung ekor (Eisenback et al. 1991).

Morfologi M. incognita

M. incognita memiliki telur berbentuk oval dengan panjang 63-90 µm dan lebar 24-37 µm (32 µm). Larva berbentuk vermiform dengan ukuran panjang 346- 463 (405) µm. Panjang ekor berukuran 42-63 (52) µm dengan ujung ekor yang membulat hingga runcing, panjang stilet 10-12 µm. Nematoda jantan berbentuk

vermiform, panjang tubuh 1108-1953 µm memiliki stilet yang kuat dengan panjang 23-25 µm dan bagian ujungnya runcing. Nematoda betina berbentuk

pyriform, dengan ukuran panjang 500-723 (609) µm dan lebar 331-520 (415) µm. Betina M. incognita dilengkapi stilet yang kuat dengan ukuran panjang 13-16 (14) µm. Pola perineal memiliki ciri lengkung dorsal berbentuk persegi (Eisenback et al. 1991).

Karakterisasi NPA Berdasarkan Molekuler

Metode identifikasi berdasarkan karakter morfologi memerlukan banyak keterampilan dan sering tidak meyakinkan untuk suatu spesies karena mempunyai variasi bentuk dan ukuran dalam suatu populasi. Identifikasi NPA berdasarkan

karakter molekuler dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

Reaksi berantai PCR adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sikuen nukleotida tertentu dengan cara

in vitro. Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu

fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sikuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa bufer. Proses PCR terjadi di dalam mesin PCR yang disebut thermocycler (Yuwono 2006).

PCR dilakukan untuk 30-40 siklus dalam mesin thermocycler dengan program pemanasan dan pendinginan. Tiap siklus reaksi PCR terdiri atas tiga tahap, yaitu pemisahan untai DNA(denaturation) terjadi pada suhu 95 °C selama 3-4 menit, penempelan primer (annealing) pada suhu 55-60 °C selama 1-2 menit dan pembentukan untai DNA baru (extension) pada suhu 70 °C selama 1-2 menit (Hooper et al. 2005).

Metode diagnosa berbasis PCR telah dikembangkan di Inggris dan Amerika Serikat. Teknik ini cepat dan relatif mudah digunakan walaupun di laboratorium terpencil dan laboratorium dengan fasilitas terbatas (Dickinson 2005). Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia, untuk deteksi dengan metode PCR diperlukan persiapan sarana, prasarana dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.

Peralatan yang diperlukan dalam proses PCR adalah mesin PCR, gel elektroforesis, alat dan sistem untuk memvisualisasikan hasil (UV transilluminator dan kamera). Sumber daya utama yang diperlukan adalah enzim- enzim, bahan kimia dan peralatan plastik sekali pakai (Dickinson 2005).

Diagnosa berbasis DNA memberikan solusi yang menarik karena tidak bergantung pada ekspresi genom yang dihasilkan, tidak terpengaruh oleh kondisi lingkungan dan tahap siklus hidup nematoda, sehingga berpotensi sangat diskriminatif (Zijlstra et al. 2000). Pada laporan yang lain Zijlstra (2000) berpendapat bahwa identifikasi spesies NPA yang akurat adalah persyaratan mendasar sebelum program penelitian atau strategi manajemen yang tepat dapat diterapkan khususnya bagi organisme pengganggu tumbuhan karantina.

Menurut Adam et al. (2007) beberapa metode identifikasi molekuler yang pernah dilakukan untuk mendeteksi Meloidogyne spp yaitu PCR oleh Harris et al. (1990) berhasil melakukan amplifikasi DNA mitokondria dari larva dengan reaksi PCR. Metode tersebut dikembangkan oleh Power dan Harris (1993) dengan merancang primer untuk amplifikasi daerah antara kode gen mitokondria untuk oksidasi sitokrom sub unit II dan primer 16S rRNA dan digunakan untuk mengidentifikasi lima spesies Meloidogyne yaitu : M. incognita, M. javanica, M. arenaria, M. hapla dan M. chitwoodi.

Metode identifikasi NPA berdasarkan PCR juga dilakukan oleh Cenis (1993) dengan amplifikasi hasil random amplified polymorphic DNA (RAPD) dari larva nematoda dalam dua reaksi terpisah berhasil menghasilkan amplifikasi pita spesies diagnostik dengan beberapa pita minor, meskipun sebagian reaksi tidak berhasil mengamplifikasi pita. Sementara itu Williamson et al. (1997) berhasil mengidentifikasi M. hapla dan M. chitwoodi menggunakan primer khusus

sequence characterized amplified region (SCAR) untuk amplifikasi ekstrak DNA dari larva nematoda menggunakan metode gabungan proteinase K. Pada tahun 2000, Ziljstra menggunakan metode nested PCR untuk mengidentifikasi M. hapla,

M. chitwoodi dan M. fallax dengan primer SCAR. Sedangkan Randig et al. (2001) berhasil menggunakan empat reaksi PCR dari ekstrak individu betina NPA. Baru- baru ini Meng et al. (2004) merancang primer khusus SCAR untuk mengidentifikasi spesies Meloidogyne dari larva nematoda dan tiga reaksi PCR diperoleh dari ekstraksi larva spesies ini. Adam et al. (2007) membuat kunci identifikasi molekuler dan ukuran pita DNA untuk Meloidogyne spp. (Lampiran 2).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nematologi, Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Fitopatologi Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian (BUTTMKP) Bekasi, sejak Oktober 2011 hingga Maret 2012.

Metode Penelitian Pengamatan Gejala Penyakit Tanaman

Pemilihan lahan dan pendataan. Lahan yang digunakan untuk pengambilan sampel krisan adalah sentra produksi krisan di daerah Jawa Barat, yaitu: Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Pada saat pengambilan sampel dilakukan pendataan untuk mendapatkan informasi tentang lokasi kebun, luas kebun, ketinggian tempat, jenis tanah, suhu, kelembaban, varietas krisan yang ditanam dan teknik budidaya.

Pengambilan sampel tanaman krisan. Pengambilan sampel tanaman krisan dilakukan untuk mengetahui kejadian penyakit akibat infeksi NPA pada lahan pertanaman dan untuk identifikasi nematoda dari tanaman bergejala NPA.

Sampel tanaman diambil secara sistematis (Gambar 3) berdasarkan pola pengambilan sampel menurut Coyne et al. (2007).

Keterangan: = sampel tanaman krisan = tanaman krisan dalam bedengan Gambar 3 Pola pengambilan sampel tanaman krisan

Jumlah sampel yang diambil untuk masing-masing varietas krisan sebanyak 20 tanaman, dari setiap sentra produksi yang mewakili kondisi lahan pada pertanaman krisan.

Sampel yang diambil berupa akar dan tanah di daerah perakaran. Tanaman yang bergejala dicabut kemudian dipisahkan antara bagian akar dan tanahnya. Selanjutnya sampel dimasukkan dalam polybag, diberi label yang berisi keterangan tentang lokasi kebun, umur tanaman, varietas dan tanggal pengambilan sampel kemudian diletakkan dalam tempat terlindung untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat fluktuasi suhu dan kelembaban selama perjalanan ke laboratorium Nematologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB.

Menghitung kejadian penyakit akibat infeksi Meloidogyne spp.

Kerusakan tanaman oleh infeksi nematoda merupakan kerusakan mutlak atau yang dianggap mutlak. Penilaian kejadian penyakit tanaman menurut Agrios (2005):

Kejadian penyakit =

Jumlah sampel tanaman yang terifeksi

x 100% Jumlah semua sampel tanaman

Tingkat keperidian Meloidogyne spp. Pengamatan terhadap tingkat keperidian NPA bertujuan untuk mengetahui kemampuan nematoda dalam menghasilkan keturunan. Tingkat keperidian diamati dengan menghitung jumlah paket telur (massa telur) yang terdapat pada akar tanaman krisan. Penghitungan paket telur pada akar tanaman krisan dengan mencuci akar perlahan-lahan untuk membersihkan tanah yang menempel pada bagian akar kemudian direndam dalam pewarna phloxine-B 0.15 g/l (15 mg phloxine B/100 ml aquades) selama 15 menit (Luc et al. 2005). Selanjutnya akar tanaman dibilas dengan aquades dan ditiriskan. Matriks gelatin paket telur akan terlihat berwarna merah jambu sampai merah kemudian jumlah paket telur tersebut diamati menggunakan mikroskop stereo dan dihitung dengan digital counter (Shoutey 1985). Hasil penghitungan dimasukkan ke dalam tabel skala jumlah massa telur (Shurtleff dan Averre 2000) sehingga didapatkan nilai indeks massa telur dari masing-masing varietas krisan.

Tabel 1 Indeks massa telur Meloidogyne spp. berdasarkan jumlah massa telur per tanaman (Shurtleff & Averre 2000)

Jumlah massa telur Indeks massa telur

0 0 1-2 1 3-10 2 11-30 3 31-100 4 >100 5

Ekstraksi sampel untuk mendapatkan nematoda Meloidogyne spp.

Sampel akar dan tanah yang didapatkan dari sentra produksi krisan diekstraksi dengan metode pengabutan (Mistifier technique) dan metode corong Baermann (Baermann Funnel) yang dimodifikasi (Luc et al. 2005).

Metode corong Baermann yang dimodifikasi dilakukan dengan mengambil sampel tanah sebanyak 100 gram kemudian diletakkan di atas kertas tisu pada corong Baermann. Selanjutnya diisi air bersih secara perlahan-lahan sampai seluruh tanah di atas kertas tissue terendam dan diinkubasikan selama 48 jam. Setelah 48 jam klem pada ujung selang dibuka dan air rendaman ditampung ke dalam gelas Beaker. Apabila jumlah air terlalu banyak maka nematoda dapat disaring melalui saringan Ø 20 µm (625≠), nematoda yang terperangkap pada saringan diambil dengan cara menyemprotkan air dengan botol semprot, dan airnya ditampung pada gelas beaker.

Metode pengabutan dilakukan untuk mendapatkan NPA. Bagian akar tanaman yang telah diberi perlakuan pewarna phloxine-B, kemudian dimasukkan ke saringan yang diletakkan diatas corong. Aliran air berupa kabut halus disemprotkan di atas akar tanaman. Nematoda yang keluar dari akar ditampung dalam gelas. Sampel tersebut diinkubasi selama empat hari di dalam mistifier chamber. Metode ini memerlukan waktu lama tetapi proses pertukaran oksigen yang terjadi lebih baik dan jika terdapat getah, tanah, atau kotoran yang menempel di akar akan tercuci dan melunakkan jaringan akar sehingga memudahkan pada saat mengeluarkan nematoda betina dari dalam jaringan tanaman.

Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter Morfologi

Hasil ekstraksi puru akar tanaman krisan diperiksa menggunakan mikroskop stereo. Identifikasi diawali dengan mengumpulkan massa telur yang tampak berwarna merah setelah diberi pewarna phloxine-B sehingga memudahkan dan memperjelas dalam identifikasi. Sebanyak 25 massa telur diambil kemudian dibuat preparatnya. Bagian akar yang membengkak dibedah dengan jarum pengait untuk mendapatkan nematoda betina.

Pembuatan preparat untuk nematoda betina sebanyak 25 slide dengan cara memotong bagian anterior dan posterior dengan scalpel kemudian bagian posterior dibersihkan dengan 45% asam laktat menggunakan jarum pengait nematoda. Setelah itu potongan nematoda betina dipindahkan ke atas gelas objek yang telah ditetesi dengan lactophenol blue dan ditutup dengan gelas penutup. Gelas penutup direkat dengan cat kuku kemudian preparat diamati menggunakan mikroskop kompon dengan perbesaran 400 x (Southey 1985).

Pembuatan preparat untuk fase telur, larva dan nematoda jantan dilakukan dengan mengumpulkan masing-masing 25 preparat untuk telur, larva dan nematoda jantan pada tempat terpisah, kemudian nematoda jantan dan larva difiksasi dengan formalin acetic acid (FAA) dan diletakkan pada gelas objek yang telah ditetesi lactophenol blue atau lactoglycerol lalu ditutup dengan gelas penutup. Gelas penutup direkat dengan cat kuku kemudian preparat diamati menggunakan mikroskop kompon dengan perbesaran 400 x (Shouthey 1985).

Identifikasi spesies Meloidogyne secara morfologi berdasarkan bentuk dan ukuran dari telur, larva, nematoda jantan dan pola perineal (perineal pattern) nematoda betina dewasa. Karakter morfologi yang digunakan adalah panjang dan lebar telur; panjang tubuh dan panjang stilet larva; serta panjang tubuh, spikula, stilet, knob stilet dan lebar knob stilet nematoda jantan. Pengukuran karakter morfologi (morfometri) dilakukan dengan mikroskop kompon Zeiss type Scope. A1-Axio dengan program Axio vision Release 4.8.2.

Hasil pengukuran larva dan nematoda jantan dianalisis dengan sidik ragam. Jika diantara varietas terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 5% dengan bantuan program Minitab 16. Sedangkan identifikasi nematoda betina dewasa berdasarkan bentuk lengkungan dari pola perineal. Konfirmasi

spesies nematoda berdasarkan kunci identifikasi pad kunci identifikasi Meloidogyne spp. oleh Eisenback et al. (1981) dan kunci identifikasi NPA oleh Eisenback et al. (1991).

Identifikasi Spesies Meloidogyne Berdasarkan Karakter Molekuler

Identifikasi NPA berdasarkan karakter molekuler dilakukan dengan metode PCR. Tahapan identifikasi terdiri dari ekstraksi dan isolasi DNA, PCR, sikuen hasil PCR.

Ekstraksi dan Isolasi DNA. Pada tahap ini dilakukan persiapan bahan kimia yang akan digunakan untuk PCR dan ekstraksi DNA nematoda. Isolasi DNA dilakukan dari puru akar dan nematoda betina dewasa Meloidogyne berdasarkan metode Zouhar et al. (2000) yang dimodifikasi. Bahan kimia yang digunakan adalah bufer ekstrak hexadecyltrimethylammonium bromide (CTAB) untuk ekstraksi DNA dari puru akar. Bufer ekstrak CTAB terdiri dari : 50 mM Tris HCl pH 8.0, 0.7 M NaCl, 10 mM ethylene-diamine-tetraacetic acid (EDTA), 1% CTAB, 1% ß-mercaptoethanol. Bufer ekstrak untuk ekstraksi DNA nematoda betina terdiri dari : 200 mM Tris HCl pH 8.5, 250 mM NaCl, 25 mM EDTA pH 8.0 dan 0.5% sodium dodecyl sulfate (SDS). Cara pembuatan bufer dicantumkan pada Lampiran 1.

Puru akar sebanyak 1, 3, 5, 7 dan 9 digerus di dalam nitrogen cair, pada mortar kemudian dilisis dengan 1 ml bufer ekstrak CTAB pada suhu 60 ºC selama 2 jam. Setiap 10 menit tabung mikro dibolak-balik untuk membantu proses lisis. Tabung mikro diambil dari penangas air dan didinginkan selama 3-5 menit pada suhu ruangan. Sebanyak 750 µl Chloroform dan Isoamilalkohol (24 : 1 v/v) ditambahkan ke dalam tabung mikro untuk memisahkan DNA dari protein dan komponen lain. Suspensi divorteks selama ± 3 menit kemudian disentrifugasi selama 20 menit pada kecepatan 11000 rpm. Supernatan hasil sentrifugasi ditambah sodium asetat (CH3COONa 3 M, pH 5.2) dengan perbandingan 1 : 10 dan dihomogenkan. Sebanyak 2.5 x volume ethanol 96% ditambahkan untuk

Dokumen terkait