• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Tanaman Pisang

Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara. Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyebaran tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni meliputi daerah tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke Timur melalui Lautan Teduh sampai ke Hawai. Selain itu, tanaman pisang menyebar ke barat melalui Samudera Atlantik, Kepulauan Kanari, sampai Benua Amerika (Suyanti dan Supriyadi, 2010).

Pisang yang dikenal sampai saat ini merupakan keturunan dari spesies pisang liar yaitu Musa acuminata dan Musa balbisiana. Pisang mempunyai jumlah kromosom 22, 33, atau 44 dengan jumlah kromosom dasar adalah 11. Jadi kultivar-kultivar ini adalah diploid (2n), triploid (3n), atau tetraploid (4n). Perkawinan Musa acuminata yang mempunyai kromosom A dan Musa balbisiana yang mempunyai kromosom B menghasilkan keturunan diploid AA, triploid AAA atau AAB, bahkan tetraploid AAAA (Simmonds, 1966).

Berdasarkan taksonominya, tanaman pisang diklasifikasikan sebagai berikut (Suyanti dan Supriyadi, 2010) :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Keluarga : Musaceae Genus : Musa

Spesies : Musa spp.

Menurut Simmonds (1966), tanaman pisang termasuk famili Musaceae, genus Musa. Terdiri atas empat golongan berdasarkan daerah penyebarannya yaitu:

1. Australiamusa, tersebar dari Queensland sampai Philipina. Pada umumnya golongan ini ditanam untuk diambil serat dan buahnya.

2. Callimusa, tersebar di Indonesia dan Indocina. Golongan ini biasanya ditanam sebagai tanaman hias.

3. Eumusa, tersebar dari India Selatan hingga Jepang dan Samoa. Pada umumnya golongan ini ditanam untuk diambil buahnya, seratnya dan bagian tertentu dari tanaman dapat dijadikan sayuran.

4. Rhodochlamya, tersebar dari India sampai Indocina. Pada umumnya golongan ini ditanam sebagai tanaman hias.

Morfologi Pisang Kepok

Pisang Kepok Varietas Unti Sayang memiliki tinggi 370 cm dengan umur berbunga 13 bulan. Batangnya berdiameter 31 cm dengan panjang daun 258 cm dan lebar daun 90 cm, sedangkan warna daun serta tulang daun hijau tua. Bentuk jantung spherical atau lanset. Bentuk buah lurus dengan panjang buah 14 cm dan diameter buah 3.46 cm. Warna kulit dan daging buah matang kuning tua. Produksi Pisang Kepok Varietas Unti Sayang dapat mencapai 40 ton/ha. Erionata thrax, Thrips, dan Sigatoka dapat menyebabkan serangan yang rendah tetapi Cosmopolites sordidus, Odiophorus sp., Fusarium oxysporum fsp cubense, Moko, Virus, Heart rot tidak ada serangan sama sekali (Buddenhagen et al., 2008).

Perbanyakan Tanaman Pisang

Santoso (2008) menyatakan dalam satu rumpun tanaman pisang yang lengkap terdapat anggota rumpun yang biasa kita temui yaitu :

1. Pohon induk, tanaman tertua dalam rumpun yang sedang berbuah. 2. Tunggul/bonggol, bekas pohon pisang yang ditebang.

3. Anakan rebung, tunas anakan yang panjangnya 20-40 cm, belum berdaun. 4. Anakan muda/anakan pedang, tunas anakan berukuran 41-100 cm dan

daunnya berbentuk seperti pedang dengan ujung runcing.

5. Anakan dewasa, tunas anakan dengan tinggi >100cm, telah memiliki beberapa daun sempurna.

6. Tunas air, berbatang kurus dan panjang, diameter batang sama dengan bonggol.

Perbanyakan benih pisang dapat dilakukan dengan teknik konvensional (mengambil anakan dari induknya, anakan semai, bit anakan atau mini bit, dan

benih bit atau benih yang berasal dari bonggol) dan teknik kultur jaringan. Bibit pisang yang berasal dari pemisahan anakan untuk langsung ditanam di kebun merupakan cara umum digunakan oleh petani karena murah dan mudah dilakukan. Cara ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanaman induk dalam memproduksi anakan. Kekurangannya adalah membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan anakan dan dapat merusak tanaman induk.

Bahan yang paling baik untuk perbanyakan pemisahan anakan langsung adalah anakan pedang. Anakan rebung kurang baik jika ditanam langsung karena bonggolnya masih lunak dan terlalu kecil sehingga mudah kekeringan. Anakan dewasa terlalu berat dalam pengangkutan dan kurang tahan terhadap cekaman lingkungan karena telah memiliki daun sempurna. Bibit anakan setelah dipisahkan dari induknya harus segera ditanam, jika penanaman terlambat maka akan meningkatkan serangan hama penggerek bonggol dan meningkatkan kematian bibit di kebun. Teknik perbanyakan pisang yang lain adalah menggunakan anakan semai. Anakan semai adalah bibit yang berasal dari anakan rebung atau anakan yang memiliki bonggol sangat kecil. Anakan disemai terlebih dahulu dalam kantong plastik atau polibag sebelum ditanam di kebun (Santoso, 2008).

Mini bit adalah bibit pisang yang berasal dari anakan yang terlebih dahulu diinduksi untuk menumbuhkan tunas aksilar(samping). Bahan yang digunakan adalah anakan pedang sampai anakan dewasa (Santoso, 2008). Keuntungan dari cara ini yaitu tanaman yang digunakan satu tapi menghasilkan banyak benih (tergantung jumlah tunas yang ada pada bonggol). Kekurangannya yaitu panen yang tertunda karena alih fungsi dari anakan menjadi sumber benih. Waktu yang tertunda diperkirakan 3-5 bulan (Nasir et al., 2006).

Benih bit merupakan benih pisang yang berasal dari bonggol tanaman pisang. Bibit pisang berasal dari mata tunas yang terdapat pada tunggul pisang yang bekas ditebang (Santoso, 2008). Bonggol yang digunakan harus dari tanaman pisang yang telah berumur 7 bulan. Kekurangan dari cara ini yaitu menggunakan tanaman dewasa yang seharusnya digunakan untuk panen.

Tanaman pisang selain dapat diperbanyak menggunakan teknik konvensional, juga dapat digunakan teknik kultur jaringan. Ernawati et al. (1994) menyatakan keunggulan teknik kultur jaringan daripada perbanyakan tanaman

secara vegetatif adalah dapat menghasilkan bibit-bibit yang sehat dan seragam dalam jumlah yang banyak. Kekurangannya adalah biaya yang dibutuhkan cukup tinggi dan membutuhkan perawatan ekstra ketika penanaman di lapangan.

Penyimpanan

Benih merupakan suatu kehidupan dan akan mengalami proses deteriorasi yang mengakibatkan turunnya kualitas benih, maka pada saat penyimpanan harus diusahakan agar laju deteriorasinya serendah mungkin (Kuswanto, 2003). Penyediaan benih salah satunya ditunjang oleh cara penyimpanan benih yang tepat. Tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk mempertahankan viabilitas benih selama periode simpan yang lama, sehingga benih ketika akan dikecambahkan masih mempunyai viabilitas yang tidak jauh berbeda dengan viabilitas awal sebelum benih disimpan.

Berapa lama benih dapat disimpan sangat tergantung pada kondisi benih dan lingkungannya sendiri. Beberapa tipe benih tidak mempunyai ketahanan untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama atau sering disebut benih rekalsitran. Pada umumnya semakin lama benih disimpan maka viabilitasnya akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Masano dan Mawazin (1997) yang menyatakan lamanya penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap penyimpanan benih Shorea selanica. Benih yang disimpan dalam wadah plastik terbuka selama 3 minggu daya kecambahnya mulai menurun dan setelah 5 minggu daya kecambahnya 53.3 %.

Penanganan benih pisang mirip dengan penanganan benih rekalsitran. Penanganan benih rekalsitran lebih sulit dibanding benih ortodoks. Mulawarman et al. (2002) menyatakan benih rekalsitran tidak dapat dikeringkan sampai kadar air yang rendah dan tidak dapat disimpan terlalu lama. Penyimpanan harus dilakukan dengan baik untuk mempertahankan daya kecambah, menghindari serangan hama penyakit, dan menjaga agar benih tidak berkecambah ditempat penyimpanan.

Metode Penyimpanan Benih Rekalsitran

Penyimpanan benih rekalsitran yang baik adalah dalam kondisi cahaya berintensitas rendah. Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa benih Dipterocarpaceae mampu bertahan hidup dan mempunyai pertumbuhan yang lambat selama berbulan-bulan di bawah intensitas cahaya yang rendah. Metode penyimpanan benih rekalsitran yang lain adalah penyimpanan benih pada suhu yang sangat rendah atau cryopreservation. Cryopreservation adalah sebuah metode penyimpanan material yang menggunakan suhu rendah dari liquid nitrogen (LN) yaitu pada suhu -196ºC. Pada suhu tersebut semua metabolisme yang berkaitan dengan kemunduran benih dikurangi atau bahkan terhenti. Suhu yang rendah akan memperlambat proses metabolisme dan akan mempertahankan viabilitas benih. Oleh karena itu, metode ini sangat mendukung penyimpanan benih dalam jangka panjang (Puspita, 2009).

Tambunan dan Mariska (2003) menyatakan penyimpanan dengan cara teknik kriopreservasi tidak memerlukan tindakan subkultur yang berulang-ulang sehingga lebih efisien dari segi biaya, waktu, ruang penyimpanan, dan tenaga. Keberhasilan teknik kriopreservasi tidak hanya ditunjukkan dengan kemampuan hidup regenerasi bahan tanaman pasca kriopreservasi, tetapi juga ditentukan oleh tingkat stabilitas genetiknya.

Bahan penghambat tumbuh dapat digunakan sebagai salah satu teknik penyimpanan benih rekalsitran. Penelitian penyimpanan semai asal benih yang bersifat rekalsitran dengan menggunakan bahan penghambat tumbuh telah diuji coba oleh Syamsuwida et al. (2007) untuk jenis damar (Agathis dammara). Pada penelitian tersebut, bahan penghambat tumbuh yang digunakan adalah paclobutrazol dan NaCl dikombinasikan dengan beberapa kondisi ruang simpan yang mempunyai intensitas sinar yang berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manipulasi faktor lingkungan dengan mengurangi intensitas cahaya (650 lux) dan suhu (25ºC) terhadap kondisi tempat simpan dikombinasikan dengan pemberian paclobutrazol 250 ppm dapat mengurangi kecepatan pertumbuhan semai damar hingga 29% selama penyimpanan 6 bulan dengan persentase tumbuh 97 - 99%.

Hal sama juga dilaporkan dalam penelitian mengenai benih kakao. Hasil penelitian Budiarti et al. (1993) menyatakan bahwa penyimpanan benih kakao dengan kadar air awal sekitar 37% menyebabkan benih tumbuh akarnya selama periode simpan. Paclobutrazol 10 hingga 250 ppm dapat digunakan untuk menekan jumlah benih berakar hingga periode simpan 6 minggu. Penghambatan tumbuh oleh paclobutrazol masih berlangsung saat pembibitan.

Metode penyimpanan benih rekalsitran yang baru-baru ini ditemukan adalah penggunaan bangun piramida. Pemilihan metode bangun piramida sangat menguntungkan, selain karena piramida bisa dibuat dalam skala rumah tangga, metode ini cukup efektif karena dapat mempertahankan viabilitas benih lebih lama dari penyimpanan biasa. Piramida yang digunakan untuk pengawetan tumbuhan obat mahkota dewa adalah piramida kayu yang memiliki alas berupa persegi dengan sisi berukuran 0.5 cm dan sisi miring berukuran 0.5 cm. Penyimpanan benih dilakukan di dalam ruangan (indoor) dengan menempatkan benih di dalam piramida dan piramida dikondisikan sisi-sisinya menghadap arah mata angin. Pengkondisian piramida tersebut mampu mempertahankan viabilitas benih mahkota dewa selama lebih dari 2 bulan (Hidayat et al., 2011).

Pengemasan

Sistem pengemasan diperlukan dalam penyimpanan benih. Saat ini dikenal berbagai sistem kemasan yang sering digunakan dalam penyimpanan benih rekalsitran. Bahan dari jenis kain blacu yang di dalamnya di beri media serbuk sabut kelapa dan dimasukkan ke dalam besek dapat digunakan sebagai bahan kemasan benih jenis rekalsitran. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yuniarti et al. (2008a) yang menyatakan untuk memperlambat laju penurunan viabilitas benih jenis damar yang berkarakter rekalsitran diperlukan penanganan benih yang tepat. Salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah teknik pengemasan dan transportasi benih, yang akan mendukung pengadaan benih dari jenis rekalsitran. Teknik pengemasan benih rekalsitran jenis damar yang terbaik adalah benih yang dimasukkan ke dalam besek dengan media serbuk sabut kelapa yang dimasukkan ke dalam kantong kain blacu. Perlakuan ini dapat menghasilkan nilai daya

berkecambah sebesar 77.67%, kecepatan berkecambah 7.8%/hari, dan kadar air benih 43.40%.

Bahan dari jenis styrofoam yang didalamnya di beri media serbuk sabut kelapa bisa digunakan sebagai bahan kemasan benih rekalsitran. Hasil penelitian Yuniarti et al. (2008b) menyatakan untuk memperlambat laju penurunan viabilitas benih dengan karakteristik benih rekalsitran jenis tengkawang (Shorea stenoptera) diperlukan penanganan benih yang tepat dan salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah wadah pengemasan benih selama transportasi yang akan mendukung pengadaan benih dari jenis rekalsitran. Teknik pengemasan untuk transportasi benih yang terbaik untuk jenis tengkawang adalah perlakuan benih yang dimasukkan ke dalam kotak styrofoam yang didalamnya diberi media serbuk sabut kelapa. Perlakuan ini dapat menghasilkan nilai daya berkecambah sebesar 53,33% dan nilai kadar air benih sebesar 45,09%.

Bahan dari jenis plastik berlubang yang didalamnya diberi media serbuk sabut kelapa dan dimasukkan ke dalam besek ternyata juga dapat digunakan sebagai bahan kemasan benih jenis rekalsitran. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yuniarti et al. (2009) yang menyatakan untuk menekan laju penurunan viabilitas benih bagi benih yang bersifat rekalsitran seperti jenis gaharu diperlukan penanganan benih yang tepat. Benih yang dalam pengangkutannya memerlukan waktu ±30 jam dan dengan mobil bak terbuka sebaiknya dimasukkan ke dalam besek dengan media serbuk sabut kelapa yang dimasukkan ke dalam kantong plastik berlubang, agar persen kecambah dapat dipertahankan sampai 63.33% dengan kadar air benih 63.04%.

Usaha penyimpanan benih secara konvensional sudah banyak dilakukan tetapi hasil yang diperoleh merupakan penyimpanan jangka pendek. Umumnya benih rekalsitran dapat disimpan dalam jangka waktu beberapa minggu dengan cara menurunkan kadar airnya hingga batas kritiknya kemudian disemprot dengan fungisida dan disimpan dalam kemasan yang masih memungkinkan terjadinya pertukaran udara tetapi impermeabel terhadap uap air (Hidayat et al., 2011).

Permasalahan yang ada pada benih rekalsitran adalah penurunan kadar air yang cepat, sehingga wadah penyimpanan untuk mempertahankan kadar air benih sangat diperlukan. Upaya untuk mempertahankan viabilitas benih selama

penyimpanan dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi wadah simpan yaitu suhu dan kelembaban. Suhu penyimpanan yang rendah menyebabkan laju respirasi juga rendah sehingga periode simpan benih dapat lebih panjang, sedangkan kelembaban dapat dipertahankan dengan mempertahankan kadar air benih. Biasanya, untuk mempertahankan agar kadar air benih tetap tinggi dilakukan pencampuran benih dengan media arang, serbuk gergaji atau serbuk sabut kelapa yang lembab, sedang untuk wadah benih yang digunakan adalah wadah-wadah yang bersifat sarang seperti karung goni, kain blacu yang tidak kedap, agar pertukaran udara tetap terjadi dengan bebas sehingga terhindar dari terjadinya suhu udara yang tinggi dalam wadah simpan (Yuniarti et al., 2009).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Pasirkuda, Ciomas, Bogor dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian dimulai pada Februari sampai Mei 2011.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah benih berupa bonggol pisang kepok Varietas Unti Sayang, media tanah, dan fungisida Dithane M-45. Alat yang digunakan adalah gunting, meteran, ember, timbangan, kertas label, cangkul, termohigrometer, alat vacum Foodsaver tipe Compac II-Vac 550, Impulse Sealer tipe PFS-200P, dan pembungkus bonggol yang terdiri atas plastik PP (p=40 cm, l=25 cm, t=0.8 mm ) dan plastik vacum (p=400 cm, l=26 cm, t=1.2 mm).

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu : percobaan I untuk mempelajari pengaruh ukuran bonggol terhadap viabilitas benih pisang dari bonggol anakan dengan rata-rata tinggi anakan 1.10 m (B1, B2, B3, B4) dan 1.87 m (B5) dan percobaan II untuk mengamati pengaruh jenis kemasan terhadap viabilitas benih pisang dari bonggol anakan dengan rata-rata tinggi anakan 1.87 m. Percobaan I adalah percobaan pendahuluan untuk menentukan ukuran bonggol yang tepat untuk digunakan pada percobaan kedua. Bonggol diklasifikasikan menjadi lima bagian berdasarkan bobot dan diameternya yaitu B1 (Bonggol dengan bobot rata-rata 733.33 g dan diameter 11.53 cm), B2 (Bonggol dengan bobot rata-rata 1298.3 g dan diameter 14.60 cm), B3 (Bonggol dengan bobot rata-rata 1728.3 g dan diameter 15.73 cm), B4 (Bonggol dengan bobot rata- rata 2644.4 g dan diameter 18.12cm), dan B5 (Bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm). Setiap bagian diulang sebanyak 3 kali dan setiap ulangan terdapat 6 bonggol kecuali perlakuan B5 yang hanya menggunakan 1

bonggol, sehingga bonggol yang digunakan sebanyak 75 bonggol. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan grafik dan standar deviasi karena keterbatasan jumlah dan besarnya keragaman benih. Perlakuan dengan rata-rata terbaik dipilih sebagai bahan untuk percobaan kedua.

Percobaan II adalah percobaan lanjutan untuk menentukan cara penyimpanan benih yang tepat agar viabilitas benih tetap terjaga dengan baik. Penelitian ini terdiri dari enam kombinasi perlakuan, yaitu antara jenis kemasan dan aplikasi fungisida. Jenis kemasan terdiri dari tanpa kemasan (A1), plastik PP (p=40 cm, l=25 cm, t=0.8 mm) (A2), dan plastik vacum (p=400 cm, l=26 cm, t=1.2 mm) (A3). Aplikasi fungisida terdiri dari tanpa fungisida (B1) dan menggunakan fungisida (B2). Setiap perlakuan terdiri dari 5 waktu simpan yang berbeda sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdapat 5 bonggol maka total bonggol yang akan digunakan sebanyak 150 bonggol. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan tabel pada berbagai periode simpan karena keterbatasan jumlah bahan dan besarnya keragaman benih (bonggol).

Pelaksanaan Penelitian Percobaan 1

Persiapan bonggol dilakukan dengan memilih bonggol yang berasal dari anakan pisang dengan rata-rata tinggi anakan 1.10 m, selanjutnya bonggol dipotong 10 cm diatas pangkal bonggol. Bonggol dicuci bersih dan direndam dalam larutan fungisida Dithane M-45 selama 15 menit dengan konsentrasi 2 g/L, kemudian dikering anginkan selama 10 menit, ditimbang dan diukur bobotnya. Bonggol diklasifikasikan menjadi 5 bagian. Bonggol kemudian dicacah menjadi 4 bagian dengan ukuran yang sama lalu di tanam pada lahan yang telah tersedia. Pengamatan dilakukan dalam interval 2 minggu yaitu minggu ke-2, ke-4, ke-6 dan ke-8.

Percobaan 2

Persiapan bonggol dilakukan dengan memilih bonggol yang berasal dari anakan pisang dengan rata-rata tinggi anakan 1.87 m. Selanjutnya bonggol

dipotong 10 cm diatas pangkal bonggol, kemudian dicacah sesuai jumlah tunas yang ada dengan ukuran 10x10x10 cm (Nasir et al., 2006). Bonggol yang telah dicacah selanjutnya dicuci bersih. Sebagian bonggol direndam dalam larutan fungisida Dithane M-45 selama 15 menit dengan konsentrasi 2 g/L, kemudian dikering anginkan selama 10 menit sedangkan sebagian lagi tidak direndam fungisida. Masing-masingperlakuan siap untuk dikemas.

Bonggol yang telah siap kemudian dikemas menggunakan kemasan plastik PP dan plastik vacum, sementara sisanya tidak dikemas. Pengamatan dilakukan dalam interval 2 minggu yaitu minggu ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-10, dan ke-12 dengan cara menanam tiap perlakuan di persemaian.

Pengamatan

Tolok ukur yang diamati pada percobaan 1 adalah : 1. Viabilitas benih (Potensi Tumbuh Maksimum)

2. Jumlah tunas yang dihasilkan perbonggol

3. Waktu munculnya tunas (Hari)

4. Keseragaman tanaman (jumlah daun dan tinggi tanaman)

Menghitung jumlah daun yang telah terbuka sempurna dan tinggi tunas yang telah tumbuh dari atas tanah sampai ujung daun.

Tolok ukur yang diamati pada percobaan 2 adalah : 1. Persentase terserang penyakit sebelum dan sesudah tanam

2. Viabilitas benih (Potensi Tumbuh Maksimum)

3. Waktu munculnya tunas (hari)

4. Keseragaman tanaman (jumlah daun dan tinggi tanaman)

Menghitung rata-rata jumlah daun yang telah terbuka sempurna dan tinggi tunas yang telah tumbuh dari atas tanah sampai ujung daun.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan suhu dan RH

Rata-rata suhu di dalam ruang penyimpanan adalah 25.31ºC, dengan rata- rata RH mencapai 65.82%, sedangkan rata-rata suhu di luar ruang penyimpanan adalah 27.89ºC dengan rata-rata RH mencapai 57.21% (Lampiran 1). Data ini menunjukkan bahwa di dalam ruang penyimpanan suhunya lebih rendah daripada di luar ruang penyimpanan tetapi kelembaban udara di dalam ruang penyimpanan lebih tinggi daripada di luar ruang penyimpanan.

Kelembaban yang tinggi di dalam ruang penyimpanan menyebabkan benih menyerap uap air dari lingkungannya. Hasil penelitian Budiarti et al., (1993) menyatakan pada lingkungan berkelembaban nisbi rendah, benih melepaskan kandungan airnya sampai mencapai keseimbangan, sebaliknya pada kondisi lembab benih menyerap air dari lingkungan.

Percobaan 1 : Penentuan ukuran bonggol yang tepat

Bonggol yang digunakan dalam percobaan 1 adalah bonggol yang berasal dari anakan dengan tinggi rata-rata 1.10 m (B1, B2, B3, B4) dan 1.87 m (B5). Anakan dengan tinggi 1.10 m belum mempunyai tunas yang muncul pada bagian bonggolnya. Anakan yang biasanya telah memiliki tunas pada bagian bonggolnya adalah anakan dengan tinggi rata-rata 1.87 m. Jumlah bonggol yang tersedia di lapang cukup terbatas dan beragam. Oleh karena itu, cukup sulit untuk mendapatkan jumlah bonggol yang sesuai dan seragam.

Gambar 1 menunjukkan bahwa potensi tumbuh maksimum tertinggi terdapat pada B5 (bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm). Rata-rata potensi tumbuh maksimum B5 sebesar 73.33%, berbeda sangat jauh dengan B1 sebesar 13.89%, B2 sebesar 4.17%, B3 sebesar 4.17%. dan B4 sebesar 11.11% (Lampiran 2). Potensi tumbuh maksimum menunjukkan kemampuan benih untuk tumbuh baik normal maupun abnormal pada kondisi tertentu. Semakin tinggi potensi tumbuh maksimumnya maka benih itu semakin baik.

Rata-rata standar deviasi menunjukkan besarnya keragaman dari data yang diamati. Semakin besar nilai standar deviasinya maka datanya semakin tidak

seragam. Walaupun B5 memiliki potensi tumbuh maksimum tertinggi daripada B1, B2, B3 dan B4 tetapi nilai standar deviasi B5 juga tinggi yaitu sebesar 46.1, sedangkan nilai standar deviasi bonggol lain relatif lebih kecil yaitu B1 sebesar 10.48, B2 sebesar 4.16, B3 sebesar 7.22, dan B4 sebesar 4.82. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus dalam perbanyakan bonggol pisang agar bonggol tumbuh dengan seragam. Keterangan : B1 : Bobot = 733.33 g dan Diameter = 11.53 cm B2 : Bobot = 1298.3 g dan Diameter = 14.60 cm B3 : Bobot = 1728.3 g dan Diameter = 15.73 cm B4 : Bobot = 2644.4 g dan Diameter = 18.12cm B5 : Bobot = 7400 g dan Diameter = 22.4 cm

Gambar 1. Rata-rata Potensi Tumbuh Maksimum (%) pada delapan minggu setelah tanam

Gambar 2 menunjukkan bonggol yang terbaik menghasilkan tunas adalah B5 (bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm). Tunas yang dihasilkan B5 sebanyak 3 tunas per bonggol. Hasil ini sangat berbeda jauh dengan bonggol lainnya. B1 menghasilkan rata-rata sebesar 0.6 tunas per bonggol, B2 dan B3 menghasilkan sebesar 0.2 tunas per bonggol serta B4 sebesar 0.4 tunas per bonggol (Lampiran 3).

Jumlah tunas yang dihasilkan B5 lebih tinggi daripada B1, B2, B3, dan B4, tetapi nilai standar deviasi B5 cukup tinggi yaitu sebesar 1.7. Nilai ini lebih tinggi daripada B1 (0.4), B2 (0.2), B3 (0.3), dan B4 (0.2). Rata-rata standar deviasi menunjukkan besarnya keragaman dari data yang diamati. Semakin besar

0 20 40 60 80 100 120 140 B1 B2 B3 B4 B5 P T M ( % ) Perlakuan

nilai standar deviasinya maka jumlah tunas yang dihasilkan semakin tidak seragam.

Mata tunas yang terdapat dalam belahan bonggol diduga berpengaruh terhadap kemampuan tunas untuk tumbuh dan kemampuan bonggol untuk menghasilkan tunas. Bonggol yang memiliki mata tunas diduga memiliki kemampuan tumbuh yang lebih tinggi dan dapat memunculkan calon tunas dari setiap mata tunas yang disemaikan. Hasil penelitian Tri et al. (2006) menyatakan bonggol yang ditanam dalam media tanah mampu menghasilkan tunas sebesar 4.4 tunas per bonggol.

Keterangan : B1 : Bobot = 733.33 g dan Diameter = 11.53 cm B2 : Bobot = 1298.3 g dan Diameter = 14.60 cm B3 : Bobot = 1728.3 g dan Diameter = 15.73 cm B4 : Bobot = 2644.4 g dan

Dokumen terkait