• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eimeria tenella

Biologi Eimeria tenella

Sinonim dari Eimeria tenella adalah Eimeria avium (Morgan & Philip 1955). Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit berak darah pada ayam dan sangat meresahkan peternak, dikarenakan angka kematian pada hewan ternak yang diakibatkan oleh penyakit ini dapat mencapai angka 80-90 % (Retno et al. 1998). Penyakit ini dapat dikendalikan dengan pemberian koksidiostat, seperti preparat sulfaquinidin, noxal, dodecal, trisulfas, dan sulfaquinoxalin. Tetapi pemberian obat ini dapat menimbulkan efek resistensi dan residu dalam daging dan telur.

Taksonomi Eimeriasp.

Tabel 1 Taksonomi Eimeria sp. Ashadi dan Handayani (1992) dan Levine (1990)

Klasifikasi Ashadi dan Handayani (1992) Levine (1990)

Filum Protozoa Apicomplexa

Subfilum Apicomplexa -

Kelas Sporozoasida Coccidia

Subkelas Coccidiosis Eucoccidiocida

Ordo Eucoccidiocida Eimeriorina

Subordo Eimeriorina -

Famili Eimeriidae Eimeriidae

Genus Eimeria Eimeria

Spesies Eimeria tenella Eimeria tenella

Morfologi

Spesies dari Eimeria dapat diidentifikasi melalui morfologi dan ukuran (karakteristik dari ookista), perkembangan dalam perjalanannya menginfeksi epitel saluran pencernaan, waktu sporulasi, periode inkubasi yaitu waktu antara awal terjadinya infeksi hingga timbulnya gejala klinis, lesio yang ditimbulkan

pada inang dan tingkat keparahannya, letak parasit di dalam jaringan inang, ukuran skizon, ukuran ookista dan patogenisitas (Joyner 1964).

Ookista dari E. tenella akan bersporulasi jika menginfeksi inangnya. Sebagian besar spesies dari coccidia bervariasi dalam ukuran dan bentuk dari ookistanya. Secara garis besar panjang ookistanya 19,5 – 26 mikron, sedangkan diameternya 16,5 – 22,8 mikron. Massa sitoplasmanya berbentuk tidak teratur dengan dinding ookista yang terdapat granul refraktil rata dengan microphilnya (Ellis 1990).

Menurut Ellis (1990) Jika ookista diinkubasi pada temperatur dengan oksigen dan temperatur yang cukup, maka ookista tersebut akan bersporulasi dalam 48 jam. Sporulasi tersebut menghasilkan 4 spora, masing-masing spora mengandung 2 sporozoit. Spora berbentuk seperti telur dengan ukuran panjang 11 mikron dan lebar 7 mikron, sedangkan sporozoit berbentuk panjang dan kecil. Dua dari tiap-tiap spora memiliki massa hyalin yang globuler dan saling berdekatan, dan di sekitarnya terdapat ruang yang berisi granul yang menjadi nukleusnya.

Siklus hidup

Menurut Levine (1990) Genus Eimeria umumnya memiliki perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam dan di luar tubuh induk semangnya dan memiliki siklus hidup seksual (stadium gametogoni) dan aseksual (skizogoni), sedangkan sporogoni adalah stadium pembentukan spora, ketika ookista diekskresikan lewat feses, cairan sitoplasmanya berbentuk ramping dan tidak beraturan. Pada lingkungan dengan temperatur sekitar 24-29oC dan kelembaban yang cukup, dalam waktu 24 jam setelah keluar pada tinja cairan sitoplasma tunggal masuk ke dalam sporoblast yang berbentuk oval, masing-masing sporoblast akan berubah bentuk menjadi dinding berongga atau sporokista. Pada sitoplasma, rongga tersebut akan berubah menjadi 2 sporozoit.

Pada 48 jam setelah keluar pada tinja masing-masing ookista infektif yang bersporulasi akan mengandung 4 spora, dan masing-masing spora tersebut mengandung 2 atau 8 sporozoit pada ookista yang bersporulasi. Ookista yang bersporulasi hanya efektif pada stadium sporogoni, sedangkan ookista yang tidak

bersporulasi tidak memiliki kemampuan untuk menginfeksi induk semang (Jankiewicz & Schofield 1934). Sporozoit akan melakukan siklus aseksual dan masuk ke dalam vili epitel sekum kemudian membulat dan menjadi meron generasi pertama. Meron ini kemudian tumbuh dan membelah membentuk kira-kira 900 merozoit generasi pertama. Merozoit akan memecah sel induk semang dan akan masuk ke dalam sel yang baru pada vili usus dan berubah menjadi skizon generasi kedua yang membelah menjadi 200-350 merozoit. Merozoit ini selanjutnya akan keluar dari sel induk semang dan akan masuk ke dalam sel baru dari induk semang tersebut. Beberapa diantaranya akan berkembang dan menjadi skizon generasi ketiga, serta sebagian yang lain akan melakukan siklus seksualnya (Levine 1990).

Siklus seksual ditandai dengan pembentukan mikrogametosit dan makrogametosit, keduanya akan bertemu di dalam usus dan akan terbentuk zigot (Tampubolon 2004). Mikrogamet ini akan keluar dan membuahi makrogamet, yang selanjutnya akan mengelilingi dirinya sendiri dengan sitoplasma dan akan berkembang menjadi ookista. Ookista tersebut akan keluar bersama tinja (Levine 1990).

Gambar 1 Siklus hidup Eimeria sp. (FAO 2003)

Patogenesa

Koksidiosis sekum merupakan kasus yang sering terjadi pada ayam muda dan umur 4 minggu adalah umur yang paling peka (Tampubolon 2004). Pada

umumnya koksidiosis sekum secara klinis dihasilkan hanya apabila terjadi infeksi berat pada waktu yang relatif singkat, yaitu tidak melebihi 72 jam (Tampubolon 2004).

Menurut Jankiewicz dan Schofield (1934) bahwa dosis kurang dari 150 ookista yang telah bersporulasi tidak menimbulkan kematian, dosis 150–500 ookista menimbulkan hemoragi ringan, tetapi tidak menimbulkan kematian, dosis 1000–3000 ookista yang bersporulasi dapat menyebabkan hemoragi berat dan kematian, sedangkan dosis 3000–5000 ookista menimbulkan hemoragi berat dan angka kematian yang tinggi.

Gejala klinis tampak pada 72 jam setelah infeksi dan menunjukkan gejala terkulai dan anoreksia (Tampubolon 2004). Perdarahan terjadi 4 hari setelah infeksi, yang akan ditandai dengan hemoragi berat pada hari ke-5 dan ke-6, dan ookista akan muncul pada hari ke-7 setelah infeksi (Jankiewicz dan Schofield 1934).

Gejala klinis

Gejala klinis dari penyakit ini ha mpir sama dengan dengan gejala klinis yang disebabkan oleh penyakit infeksius, yaitu sulit dideteksi sehingga infeksi pada generasi ke-2 dari skizon menyebabkan berak darah setelah 4 hari setelah infeksi, pada saat ini ayam akan tampak tertunduk lesu. Pada hari ke-5 dan ke-6 setelah infeksi, infeksi Eimeria tenella bersifat inaktif dengan gejala klinis yaitu, menurunnya konsumsi makanan dan jumlah darah yang dikeluarkan lewat kloaka sangat banyak. Hampir 90% kematian terjadi pada minggu pertama mengikuti proses infeksi. Jika ayam tidak mati, maka masa persembuhan dapat terjadi. Setelah 7 hari sebagian kecil darah masih dikeluarkan bercampur dengan feses.

Patologi

Lesio yang diakibatkan infeksi E. tenella terutama tampak pada perubahan struktur anatomi dari sekum. Tanda-tanda yang tampak adalah pembesaran sekum unggas yang mati akibat infeksi E. tenella dan ditemukan adanya hemoragi pada mukosa sekum. Pada hari ke-5 setelah infeksi, sekum akan terisi penuh dengan darah. Pada saat ini bulu dan kulit pada daerah kloaka tampak kotor oleh darah yang bercampur feses. Pada hari ke-6 setelah infeksi sekum ayam menjadi

melebar dan penuh oleh pembendungan-pembendungan darah. Pada hari ke-7 daerah sekum akan ditemukan adanya peningkatan konsistensi menjadi lebih padat dan keras.

Skizon generasi ke-2 berkembang dalam lamina propria, daerah ini akan diinfiltrasi oleh sel eosinofil. Pada waktu ini terjadi proses kongesti diikuti penebalan dinding sekum. Dengan pemeriksaan secara histopatologis daerah yang diinfeksi Eimeria tenella menunjukkan adanya runtuhan sel epitel usus (Jankiewicz dan Schofield 1934) . Jika infeksi pada lapisan epitel telah terjadi secara sempurna, pada beberapa kasus akan menunjukkan proses persembuhan yang berjalan lambat, dan regenerasi mukosa tidak berjalan secara sempurna.

Gambar 2 Kerusakan usus akibat infeksi Eimeria tenella (FAO 2003)

Diferensial diagnosa

Secara umum diferensial diagnosa dari kasus koksidiosis dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan post-mortem jika dibandingkan kematian ayam akibat infeksi penya kit lainnya misalnya, blackhead dan histomoniasis, yang memiliki gejala yang sama dengan kasus infeksi Eimeria pada unggas yang berjalan kronis. Dan untuk koksidiosis pemeriksaan secara mikroskopis dari pemeriksaan feses ayam yang diduga terinfeksi koksidia sangat diperlukan. Pada kasus blackhead terdapat kerusakan pada hati, demikian pula pada kasus histomoniasis. Sedangkan pada kasus koksidiosis hal ini tidak terjadi.

Pencegahan

Koksidiosis dapat terjadi ketika ayam memakan/terinfeksi ookista yang telah bersporulasi. Kontrol untuk penyakit ini dapat dilakukan pada tiap-tiap stadium, misalnya pada stadium skizogoni, gametogoni dan sporogoni dan dapat pula dilakukan dengan cara memperbaiki manajemen peternakan. Hal ini memiliki peranan yang sangat besar dalam mencegah perkembangan ookista dan menurunkan populasinya.

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Morfologi

Tumbuhan ini dikenal di Indonesia dengan bermacam-macam nama seperti sambilata atau sambilatta (Jawa), Ki oray atau Ki peurat (Sunda). Nama ilmiahnya adalah Andrographis paniculata dan termasuk famili Acanthaceae. Tempat asal tumbuhan ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga berasal dari Asia tropik. Selain di Indonesia, tanaman ini juga banyak terdapat di kawasan Malaysia dan India. Di Indonesia maupun di negara lain seperti India dan Filiphina, tanaman ini sejak lama dikenal sebagai obat.

Gambar 3 Sambiloto (Chang 1986)

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan terna tegak dengan tinggi 0.35-0.90 meter. Batangnya berbentuk segi empat, dan banyak percabangan. Daun berhadapan berupa daun tunggal yang bentuknya memanjang dengan tepi daun rata. Tumbuhan ini berbunga sepanjang tahun, bunganya berwarna putih atau ungu, tersusun dalam suatu rangkaian berupa tandan yang tumbuh pada ujung-ujung tangkai. Buah yang dihasilkan berbentuk memanjang

seperti jorong, terdiri dari dua rongga, setiap rongga berisi tiga sampai tujuh biji yang bentuknya pipih (Backer et al. 1965).

Sambiloto sering ditanam pada halama n rumah atau dibiarkan tumbuh liar. Biasanya terdapat di tempat-tempat terbuka seperti di ladang, pinggir jalan, atau di tebing, saluran air atau sungai terutama di dataran rendah dengan ketinggian sampai 700 m dpl. Tanaman ini mudah dibudidayakan dengan biji atau dengan cara setek melalui batangnya. Daun dan batang tanaman ini rasanya sangat pahit karena mengandung senyawa kimia yang disebut andrographolid yang merupakan senyawa keton diterpena.

Taksonomi

Tabel 2 Taksonomi sambiloto (Andrographis paniculata Nees) berdasarkan sistem Engler (Laurence 1951) dan sistem Conquist (Jones 1987)

Klasifikasi Engler Conquist

Divisi Embryophita siponogama Magnoliophyta Subdivisi Angiospermae

Klas Dicotyledoneae Magnoliopsida

Subklas Metaclamydeae (Sympetalae) Asteridae

Ordo Tubiflorae Scrophulariales

Famili Acanthaceae Acanthaceae

Genus Andrographis Andrographis

Spesies Andrographis paniculata Nees Andrographis paniculata Nees

Habitat dan Penyebaran

Habitat sambiloto adalah tempat terbuka seperti ladang, tepi jalan, pemukiman, tebing, dan saluran air atau sungai. Sambiloto merupakan tanaman introduksi, bukan tanaman asli Indonesia. Namun, sudah lebih dari 150 tahun sudah ada di Pulau Jawa. Asal tanaman ini belum diketahui dengan pasti, tetapi

diduga sambiloto berasal dari Asia Tropik (Backer et al. 1965). Selain di Indonesia, jenis ini banyak terdapat di kawasan Malaysia lainnya

Manfaat

Pemanfaatan sambiloto di Indonesia di antaranya sebagai bahan obat tradisional terutama oleh masyarakat Jawa dalam resep ramuan obat tradisional untuk berbagai keperluan, seperti mengobati gigitan serangga dan ular berbisa, disentri, kencing manis, penyakit kelamin, radang usus buntu, darah kotor, gatal-gatal, eksema, radang tonsil, borok, dan keracunan makanan (Anonimus 1986).

Selain itu sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dipilih sebagai obat alternatif untuk mengobati penyakit malaria, bagian yang digunakan adalah daunnya. Daunnya terbukti tidak beracun dan memiliki sifat antipiretik (menghilangkan demam). Sifat antipiretik inilah yang bisa membantu penderita malaria dalam melawan penyakitnya (Dzulkarnain 1993).

Menurut Dzulkarnain (1993) dalam penelitian in vivo (di dalam tubuh makhluk hidup), daun sambiloto memang tidak mematikan Plasmodium berghei pada mencit. Namun, mencit yang tertular bisa diperpanjang masa hidupnya karena hati dan limpanya terlindung dari kerusakan. Dengan demikian penggunaan daun sambiloto dapat menunjang penggunaan obat plasmodicide (bersifat menghancurkan plasmodia).

Kandungan (Zat Aktif)

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) mengandung senyawa kimia diantaranya Andrographolide, Neoandrographolide, Andrographosidae Deoxy- andrographolide, Deoxy-andrographosidae, Ninandrographolide, 14-deoxy-11-oxoandrographolide, Andrographan, Andrographosterin, 14-deoxy-11,12-didehydroandrographolide, Homoandrographolide dan Flavonoid (Chang1986).

Andrographolide mempunyai kadar sebesar 2.5-4.8 % dari berat kering. Diduga senyawa ini merupakan bahan aktif daun sambiloto yang mengandung unsur-unsur mineral seperti kalium, natrium, kalsium dan asam arsenik (Prapanza & Marianto 2003). Flavonoid memiliki sejumlah gugus hidroksil yang merupakan senyawa polar seperti etanol, methanol, aseton dan air (Belladona 2002). Flavonoid dapat menghambat perkembangan mi kroorganisme dengan bertindak sebagai inhibitor enzim, sehingga produksi energi dan sintesis

asam-asam nukleat atau protein dihambat. Dengan mekanisme tersebut pertumbuhan dan perkembangan parasit kemungkinan dapat ditekan (Rohimah 1997).

Gambar 4 Struktur kimia andrographolide dan neoandrographolide (Trieste 2007)

Leukosit (Sel Darah Putih)

Sel darah putih mempunyai kapasitas (volume) sekitar 1 % dari total volume darah (Seiverd 1964). Dalam jumlah normal jumlah jumlahnya bervariasi antara 5000 sampai 10000 sel permililiter kubik. Diferensial leukosit merupakan salah satu metode yang digunakan dalam perhitungan jumlah sel darah putih dalam sistem sirkulasi. Diferensial leukosit adalah kesatuan total dari jumlah sel darah putih pada sistem sirkulasi. Secara umum sel darah putih dibagi menjadi empat bagian yaitu granulositik, monositik, plasmasitik, dan limfositik, sedangkan secara khusus sel darah putih dibagi atas dua bagian yaitu sel granulosit dan agranulosit. Sel granulosit terdari atas, eosinofil, basofil, dan neutrofil (pada unggas disebut heterofil) dan sel agranulosit terdiri atas, limfosit, dan monosit.

Sel darah putih dapat bertahan hidup selama 5 hari pada sumsum tulang belakang, dan 10 hari pada sistem sirkulasi sebelum mengalami regenerasi. Jumlah sel darah putih normal dalam sistem sirkulasi tersaji pada Tabel 3 dan Tabel 4

Tabel 3 Jumlah kisaran sel darah putih berdasarkan jenis kelamin (dalam %) menurut Sturkie dan Grimminger (1976)

Jenis kelamin Limfosit Heterofil Eosinofil Basofil Monosit

Betina dewasa 59,1 20,9 1,9 1,7 10,2 Jantan dewasa 64,4 22,8 1,9 1,7 8,9 Betina white leghorn 64,0 25,8 1,4 2,4 6,4 Jantan white leghorn 76,1 13,1 2,5 2,4 57,0

Tabel 4 Jumlah kisaran sel darah putih berdasarkan umur (dalam %) menurut Hodges (1977)

Umur Limfosit Heterofil Eosinofil Basofil Monosit

0 hari 15,9 72,4 2,5 1,1 8,1 3 hari 38,7 52,7 1,6 0,67 6,4 8 hari 48,3 50,0 0,25 0 1,5 10 hari 68,6 26,7 1,7 0,64 2,3 1 minggu 75 24 0 0 1 2 minggu 66 20,6 3,1 1,9 8,1 6 minggu 69 26 0 1 3

Heterofil

Heterofil adalah leukosit yang termasuk golongan polymorphonuclear leukocyte dan diproduksi di dalam sumsum tulang. Diameter 12 mikron dengan inti yang berlobulasi. Bentuk dewasa mempunyai 3 sampai 5 inti. Kromatin-kromatin halus di dalam sitoplasma, berwarna merah muda sampai ungu.

Gambar 5 Heterofil (Cunningham 2006)

Heterofil di dalam sirkulasi akan bertahan hidup selama 4-10 jam, sedangkan di dalam jaringan akan bertahan hidup selama 1-2 hari (Metcalf 2006). Heterofil merupakan salah satu basis pertahanan tubuh dari serangan penyakit yang dapat mengakibatkan infeksi atau peradangan. Sel ini bekerja dengan cara fagositosis yaitu dengan mengurung mikroorganisme asing di dalam sitoplasmanya yang mengandung enzim proteolitik. Setelah melakukan fagositosis heterofil menjadi tidak aktif dan mati bersama dengan mikroorganisme asing dan akan menghasilkan nanah (Tizard 1987).

Heterofil memiliki aktivitas amuboid dan aktif dalam memfagosit mikroorganisme dalam mempertahankan tubuh melawan infeksi yang disebabkan bakteri, virus, parasit. Hal ini terjadi dikarenakan sel ini memiliki sebagian besar enzim lisosom yang merupakan enzim proteolitik untuk mencerna bakteri dan bahan-bahan protein asing (Guyton 1995).

Eosinofil

Eosinofil merupakan granulosit polimorfonuklear-eosinofilik dengan granul bundar dan relatif lebih besar jika dibandingkan dengan heterofil dan berwarna merah dengan pewarnaan Wright’s (Sturkie & Grimminger 1976)

Gambar 6 Eosinofil (Cunningham 2006)

Sel ini akan meningkat jumlahnya jika terjadi shock anafilaksis, reaksi alergi dan infeksi parasit (Melvin & William 1993). Jumlahnya dalam darah berkisar 2-8% dari total jumlah leukosit dan memiliki diameter 10-15 µm. Inti bergerlambir dua, dan dikelilingi butir asidofil dengan ukuran 0.5-1.0 µm dan bertahan hidup selama 3-5 hari di dalam sirkulasi (Dellman & Brown 1987).

Sel ini mempunyai sifat amoboid dan fagositik yaitu untuk toksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh dan racun yang dihasilkan oleh bakteri dan parasit (Frandson 1986). Eosinofil memiliki dua fungsi istimewa. Pertama, menyerang dan menghancurkan kutikula larva cacing. Kedua, dapat menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dalam reaksi hipersensititas tipe 1 (Tizard 1987). Jumlah eosinofil sangat sedikit bahkan tidak ada pada beberapa hewan. Jumlahnya cenderung rendah pada saat stres, pelepasan kortikosteroid dan infeksi akut (Jain 1993). Eosinofil berperan dalam pengaturan infeksi parasit dengan cara melekatkan diri pada parasit dan melepaskan bahan-bahan yang beracun bagi parasit, mengatur respon alergi dan inflamasi akut yang dapat memicu kerusakan jaringan (Jain 1993).

Basofil

Basofil merupakan granulosit yang paling jarang dijumpai dalam sistem sirkulasi. Jumlahnya sekitar 0.5-1.0% dari jumlah total leukosit (Metcalf 2006). Basofil akan meningkat jumlahnya di dalam sistem sirkulasi jika terjadi peradangan yang berhubungan dengan pernapasan dan kerusakan jaringan.

Gambar 7 Basofil (Wadsworth 2007)

Basofil diproduksi di dalam sumsum tulang. Basofil mempunyai fungsi yang sama dengan sel mast, yaitu membangkitkan proses peradangan akut pada tempat deposisi antigen (Tizard 1987). Basofil memiliki reseptor IgE dan IgG yang menyebabkan terjadinya degranulasi melalui proses eksositosis dan melepaskan mediator untuk aktivitas peradangan dan alergi (Dellman & Brown 1987). Butir-butiran mengandung heparin, histamin, asam hialuron, kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor kemotaktik. Heparin berfungsi untuk mencegah pembekuan darah, sedangkan histamin berfungsi untuk menarik eosinofil (Tizard 1987).

Limfosit

Limfosit secara khas paling banyak dan paling utama dari leukosit agranulosit. Limfosit memiliki ukuran dan penampilan yang bervariasi dan mempunyai nukleus yang relatif besar yang dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma agranulosit (Frandson 1986).

Gambar 8 Limfosit (Cunningham 2006)

Limfosit diproduksi di sumsum tulang hati (pada fetus) dengan bentuk awal yang sama tetapi kemudian berdiferensiasi (Jain 1993). Ada beberapa kategori limfosit yaitu, limfosit kecil dengan ukuran 10 mikron, limfosit sedang dengan ukuran 18 mikron. Limfosit kecil dan sedang bersirkulasi di dalam darah. Limfosit besar sering ditemukan pada kelenjar getah bening.

Limfosit memiliki 2 jenis utama, yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T diproduksi di dalam timus dan limfosit B diproduksi di dalam bursa fabricius (pada ayam) sedangkan pada manusia limfosit B diproduksi di dalam sumsum tulang (Metcalf 2006). Limfosit T berperan sebagai pertahanan selular dan limfosit B berperan sebagai kekebalan yang bersifat humoral. Limfosit B dan limfosit T tidak dapat dibedakan secara morfologi tetapi dapat dibedakan melalui uji serologis. Identifikasi limfosit dapat dilakukan dengan memperhatikan inti yang heterokhromatik dan sebagian besar sitoplasma tertutupi oleh inti yang besar.

Monosit

Monosit adalah jenis yang kedua dari leukosit agranulosit, sel ini memiliki sitoplasma lebih banyak dari limfosit, me miliki warna abu-abu pucat dan memiliki inti berbentuk lonjong seperti ginjal atau tapal kuda (Jain 1993). Sel ini diproduksi oleh sumsum tulang, memiliki jumlah antara 3-8% dari jumlah leukosit di dalam darah (Metcalf 2006).

Gambar 9 Monosit (Cunnigham 2006)

Monosit akan masuk ke dalam jaringan dan akan berubah menjadi makrofag (Tizard 1987). Monosit mempunyai sifat yaitu fagositik terhadap infeksi yang tidak terlalu akut seperti tuberkulosis (Frandson 1986). Monosit bersifat motil dan berpindah dengan pergerakan amoboid ke daerah yang mengalami infeksi kronis untuk terjadinya respon fagosit (Ganong 1999). Sel ini akan terstimulasi jumlahnya jika terjadi infeksi atau peradangan yang bersifat kronis misalnya peradangan yag disebabkan oleh chlamidia, aspergillus dan atau tuberkulosis. Monosit memiliki masa edar yang singkat dalam sirkulasi darah, dengan sedikit kemampuan melawan bahan infeksius kemudian masuk ke dalam jaringan untuk menjadi makrofag jaringan (Guyton 1995).

Imunomodulator

Menurut Bellanti dan Kadlec (1993) imunomodulator adalah suatu cara untuk mengembalikan dan memperbaiki sistem imunitas suatu spesies yang terganggu dan menekan fungsi imunitas yang berlebih. Stimulasi sistem imun secara umum dirangsang oleh sistem imun yang non-spesifik dan spesifik. Obat golongan imunomodulator bekerja dengan 3 cara, yaitu :

1 Imunorestorasi adalah cara yang dilakukan untuk memperbaiki fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti serum, plasma dan tranplantasi.

2 Imunostimulasi adalah cara untuk memperbaiki sistem yang terganggu dengan menggunakan bahan yang dapat merangsang sistem kekebalan tubuh. 3 Imunosupresi adalah cara untuk memperbaiki sistem imun yang terganggu

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, yang berlangsung sejak bulan Januari sampai Maret 2007.

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang ayam berukuran 20 m2, sekam, lampu 100 watt, tempat pakan dan air minum, kapas, jarum suntik 1 ml, mikroskop, gelas objek, bak pewarna.

Bahan-bahan yang digunakan adalah ayam pedaging umur 1 hari, pakan, air minum, ookista Eimeria tenella, ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol, sulfachloropyrazine, metil alkohol, zat warna giemsa, alkohol 70 %, minyak emersi, xylol, aquadest.

Cara kerja

Perlakuan pada ayam

Penelitian ini menggunakan ayam pedaging umur 1 hari sebanyak 35 ekor yang dibagi dalam 7 perlakuan (setiap perlakuan terdiri dari 5 ekor ayam) yaitu: KN : Kelompok perlakuan yang tidak diinfeksi dan tidak diberi obat

KP : Kelompok perlakuan yang diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor tetapi tidak diberi obat

KO : Kelompok perlakuan yang diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan diberi obat sulfachloropyrazine 180 mg/kg BB

KSb : kelompok perlakuan yang tidak diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan tidak diberi obat tetapi diberi ekstrak sambiloto

MR : Kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah dan diinfeksi ookista E. tenella

metanol dosis sedang dan diinfeksi ookista E. tenella

MT : Kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi dan diinfeksi ookista E. tenella

Kelompok KSb, MR, MS dan MT diberi sambiloto sejak ayam umur 5 sampai 35 hari. Ketika ayam berumur 2 minggu kelompok KP diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor. Kelompok KO diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan 2 jam kemudian diberi obat sulfachloropyrazine 180 mg/kg BB, kelompok MR, MS, MT diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan 2 jam kemudian berturut-turut diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah, sedang, dan tinggi.

Pembuatan preparat ulas darah

Sampel diambil pada hari ke-0, 3, 6, 9, 13 dan 16 setelah infeksi dari setiap kelompok perlakuan (setiap kelompok perlakuan terdiri dari 3 ekor ayam). Darah diambil dari vena axillaris dengan menggunakan jarum steril kemudian diteteskan pada objek gelas untuk membuat preparat ulas darah. Preparat ulas darah dikeringkan lalu difiksasi menggunakan metanol selama 3-5 menit kemudian dilakukan pewarnaan dengan Giemsa 10 % selama 15-30 menit. Preparat diangkat dan dicuci menggunakan air keran yang mengalir, kemudian dikeringkan di udara.

Teknik mewarnai preparat ulas darah dengan zat warna Giemsa

Peneliti memasukkan sediaan apus darah yang sudah kering pada metil

Dokumen terkait