• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diferensial Leukosit Ayam Pedaging Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dengan Pelarut Metanol Dosis Bertingkat Sebelum Diinfeksi Eimeria tenella

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diferensial Leukosit Ayam Pedaging Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dengan Pelarut Metanol Dosis Bertingkat Sebelum Diinfeksi Eimeria tenella"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

DIFERENSIAL LEUKOSIT AYAM PEDAGING SETELAH

PEMBERIAN

EKSTRAK SAMBILOTO (

Andrographis

paniculata

Nees) DENGAN PELARUT METANOL DOSIS

BERTINGKAT SEBELUM DIINFEKSI

Eimeria tenella

LAKSANA HERI SISMANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

LAKSANA HERI SISMANTO. Diferensial Leukosit Ayam Pedaging Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dengan Pelarut Metanol Dosis Bertingkat Sebelum Diinfeksi Eimeria tenella. Dibimbing oleh

UMI CAHYANINGSIH.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran leukosit ayam pedaging yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis bertingkat sejak ayam berumur 5 sampai 35 hari dan diinfeksi dengan Eimeria tenella. Penelitian ini menggunakan ayam pedaging umur sehari sebanyak 35 ekor yang dibagi dalam 7 perlakuan (setiap perlakuan terdiri dari 5 ekor ayam) yaitu: KN (kelompok perlakuan yang tidak diinfeksi dan tidak diberi obat), KP (kelompok perlakuan yang diinfeksi ookista E.tenella 1x105/ekor tetapi tidak diberi obat), KO (kelompok perlakuan yang diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan diberi obat sulfachloropyrazine 180 mg/kg BB, KSb (kelompok perlakuan yang tidak diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan tidak diberi obat tetapi diberi ekstrak sambiloto), MR (kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah dan diinfeksi ookista E. tenella), MS (kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang dan diinfeksi ookista E. tenella), MT (kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi dan diinfeksi ookista E. tenella).

Hasil penelitian menunjukkan Pada hari ke-16 setelah infeksi persentase rata-rata jumlah limfosit kelompok MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung meningkat jika dibandingkan kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah) dan MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang). Pada hari ke-16 setelah infeksi persentase rata-rata heterofil kelompok MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung menurun dibandingkan dengan MR. Pada hari ke-13 setelah infeksi persentase rata-rata eosinofil kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah), MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung lebih rendah jika dibandingkan kelompok KO (kontrol obat). Pada hari ke-13 dan 16 setelah infeksi persentase rata-rata monosit kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah), MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung menurun. Persentase rata-rata basofil hari ke-16 setelah infeksi kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah), (MS ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung lebih rendah dibandingkan hari ke-13 setelah infeksi.

(3)

DIFERENSIAL LEUKOSIT AYAM PEDAGING SETELAH

PEMBERIAN

EKSTRAK SAMBILOTO (

Andrographis

paniculata

Nees) DENGAN PELARUT METANOL DOSIS

BERTINGKAT SEBELUM DIINFEKSI

Eimeria tenella

LAKSANA HERI SISMANTO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Diferensial Leukosit Ayam Pedaging Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dengan Pelarut Metanol Dosis Bertingkat Sebelum Diinfeksi Eimeria tenella

Nama : Laksana Heri Sismanto

NRP : B04103124

Disetujui Pembimbing

Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS NIP : 131 124 821

Diketahui,

Wakil Dekan FKH – IPB

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS NIP : 131 129 090

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gresik pada tanggal 7 Juli 1985 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dengan ayah bernama Usman Zaini dan ibu Ninik Hariyati

(6)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dan dapat dipergunakan sebagai salah satu prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu :

1. Allah SWT.

2. Kedua orangtua dan adik-adikku (Andi Septiadi dan Jaka Adi Puspita) yang senantiasa mendoakan, membimbing dan memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. drh. Umi Cahyaningsih, MS, sebagai pembimbing atas segala kritik, saran, bimbingan dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Staf Protozoologi dan Fisiologi (Pak Komar, Pak Sariyo, Bu Nani, Hj Ida, Bu Sri).

5. Resia Komala sari yang telah menjadi sumber inspirasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Muhammad Azis Hakim, Brian Koesoema Adhie, Reza Helmi, Putu Eka Sudharyatma.

7. Angkatan 40 (Gymnolaemata), 41, dan semua semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, Oleh karena itu penulis masih membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak.

Bogor, September 2007

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Eimeriatenella ... 4

Biologi E. tenella ... 4

Taksonomi Eimeria sp. ... 4

Morfologi ... 4

Siklus Hidup ... 5

Patogenesa ... 6

Gejala Klinis ... 7

Patologi ... 7

Diferensial Diagnosa ... 8

Pencegahan ... 9

Sambiloto ... 9

Morfologi ... 9

Taksonomi ... 10

Habitat dan Penyebaran ... 10

Manfaat ... 11

Kandungan (Zat Aktif) ... 11

Leukosit (Sel Darah Putih) ... 12

(8)

Eosinofil ... 15

Basofil ... 16

Limfosit ... 17

Monosit ... 18

Imunomodulator ... 18

METODOLOGI ... 20

Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

Bahan dan Alat ... 20

Cara Kerja ... 20

Perlakuan pada ayam ... 20

Pembuatan preparat ulas darah ... 21

Teknik mewarnai preparat ulas darah dengan zat warna Giemsa ... 21

Cara mengidentifikasi jenis-jenis leukosit ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Taksonomi Eimeria sp. ... 4 2. Taksonomi sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

berdasarkan sistem Engler dan sistem Conquist ... 10 3. Jumlah kisaran sel darah putih berdasarkan jenis kelamin (dalam

%) ... 13 4. Jumlah kisaran sel darah putih berdasarkan umur (dalam %) ... 13 5. Persentase rata-rata jumlah limfosit ayam dari tiap-tiap kelompok

perlakuan ... 23 6. Persentase rata-rata jumlah heterofil ayam dari tiap-tiap

kelompok perlakuan ... 24 7. Persentase rata-rata jumlah eosinofil ayam dari tiap-tiap

kelompok perlakuan ... 26 8. Persentase rata-rata jumlah monosit ayam dari tiap-tiap kelompok

perlakuan ... 28 9. Persentase rata-rata jumlah basofil ayam dari tiap-tiap kelompok

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Siklus Hidup Eimeria sp ... 6

2. Kerusakan usus akibat infeksi Eimeria tenella ... 8

3. Sambiloto ... 9

4. Struktur kimia andrographolide dan neoandrographolide ... 12

5. Heterofil ... 14

6. Eosinofil ... 15

7. Basofil ... 16

8. Limfosit ... 17

9. Monosit ... 18

10. Persentase rata-rata jumlah limfosit tiap-tiap kelompok perlakuan ... 23

11. Persentase rata-rata jumlah heterofil tiap-tiap kelompok perlakuan ... 25

12. Persentase rata-rata jumlah eosinofil tiap-tiap kelompok perlakuan ... 26

13. Persentase rata-rata jumlah monosit tiap-tiap kelompok perlakuan ... 28

(11)

DIFERENSIAL LEUKOSIT AYAM PEDAGING SETELAH

PEMBERIAN

EKSTRAK SAMBILOTO (

Andrographis

paniculata

Nees) DENGAN PELARUT METANOL DOSIS

BERTINGKAT SEBELUM DIINFEKSI

Eimeria tenella

LAKSANA HERI SISMANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

LAKSANA HERI SISMANTO. Diferensial Leukosit Ayam Pedaging Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dengan Pelarut Metanol Dosis Bertingkat Sebelum Diinfeksi Eimeria tenella. Dibimbing oleh

UMI CAHYANINGSIH.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran leukosit ayam pedaging yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis bertingkat sejak ayam berumur 5 sampai 35 hari dan diinfeksi dengan Eimeria tenella. Penelitian ini menggunakan ayam pedaging umur sehari sebanyak 35 ekor yang dibagi dalam 7 perlakuan (setiap perlakuan terdiri dari 5 ekor ayam) yaitu: KN (kelompok perlakuan yang tidak diinfeksi dan tidak diberi obat), KP (kelompok perlakuan yang diinfeksi ookista E.tenella 1x105/ekor tetapi tidak diberi obat), KO (kelompok perlakuan yang diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan diberi obat sulfachloropyrazine 180 mg/kg BB, KSb (kelompok perlakuan yang tidak diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan tidak diberi obat tetapi diberi ekstrak sambiloto), MR (kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah dan diinfeksi ookista E. tenella), MS (kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang dan diinfeksi ookista E. tenella), MT (kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi dan diinfeksi ookista E. tenella).

Hasil penelitian menunjukkan Pada hari ke-16 setelah infeksi persentase rata-rata jumlah limfosit kelompok MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung meningkat jika dibandingkan kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah) dan MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang). Pada hari ke-16 setelah infeksi persentase rata-rata heterofil kelompok MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung menurun dibandingkan dengan MR. Pada hari ke-13 setelah infeksi persentase rata-rata eosinofil kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah), MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung lebih rendah jika dibandingkan kelompok KO (kontrol obat). Pada hari ke-13 dan 16 setelah infeksi persentase rata-rata monosit kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah), MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung menurun. Persentase rata-rata basofil hari ke-16 setelah infeksi kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah), (MS ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung lebih rendah dibandingkan hari ke-13 setelah infeksi.

(13)

DIFERENSIAL LEUKOSIT AYAM PEDAGING SETELAH

PEMBERIAN

EKSTRAK SAMBILOTO (

Andrographis

paniculata

Nees) DENGAN PELARUT METANOL DOSIS

BERTINGKAT SEBELUM DIINFEKSI

Eimeria tenella

LAKSANA HERI SISMANTO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Diferensial Leukosit Ayam Pedaging Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dengan Pelarut Metanol Dosis Bertingkat Sebelum Diinfeksi Eimeria tenella

Nama : Laksana Heri Sismanto

NRP : B04103124

Disetujui Pembimbing

Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS NIP : 131 124 821

Diketahui,

Wakil Dekan FKH – IPB

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS NIP : 131 129 090

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gresik pada tanggal 7 Juli 1985 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dengan ayah bernama Usman Zaini dan ibu Ninik Hariyati

(16)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dan dapat dipergunakan sebagai salah satu prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu :

1. Allah SWT.

2. Kedua orangtua dan adik-adikku (Andi Septiadi dan Jaka Adi Puspita) yang senantiasa mendoakan, membimbing dan memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. drh. Umi Cahyaningsih, MS, sebagai pembimbing atas segala kritik, saran, bimbingan dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Staf Protozoologi dan Fisiologi (Pak Komar, Pak Sariyo, Bu Nani, Hj Ida, Bu Sri).

5. Resia Komala sari yang telah menjadi sumber inspirasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Muhammad Azis Hakim, Brian Koesoema Adhie, Reza Helmi, Putu Eka Sudharyatma.

7. Angkatan 40 (Gymnolaemata), 41, dan semua semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, Oleh karena itu penulis masih membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak.

Bogor, September 2007

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Eimeriatenella ... 4

Biologi E. tenella ... 4

Taksonomi Eimeria sp. ... 4

Morfologi ... 4

Siklus Hidup ... 5

Patogenesa ... 6

Gejala Klinis ... 7

Patologi ... 7

Diferensial Diagnosa ... 8

Pencegahan ... 9

Sambiloto ... 9

Morfologi ... 9

Taksonomi ... 10

Habitat dan Penyebaran ... 10

Manfaat ... 11

Kandungan (Zat Aktif) ... 11

Leukosit (Sel Darah Putih) ... 12

(18)

Eosinofil ... 15

Basofil ... 16

Limfosit ... 17

Monosit ... 18

Imunomodulator ... 18

METODOLOGI ... 20

Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

Bahan dan Alat ... 20

Cara Kerja ... 20

Perlakuan pada ayam ... 20

Pembuatan preparat ulas darah ... 21

Teknik mewarnai preparat ulas darah dengan zat warna Giemsa ... 21

Cara mengidentifikasi jenis-jenis leukosit ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Taksonomi Eimeria sp. ... 4 2. Taksonomi sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

berdasarkan sistem Engler dan sistem Conquist ... 10 3. Jumlah kisaran sel darah putih berdasarkan jenis kelamin (dalam

%) ... 13 4. Jumlah kisaran sel darah putih berdasarkan umur (dalam %) ... 13 5. Persentase rata-rata jumlah limfosit ayam dari tiap-tiap kelompok

perlakuan ... 23 6. Persentase rata-rata jumlah heterofil ayam dari tiap-tiap

kelompok perlakuan ... 24 7. Persentase rata-rata jumlah eosinofil ayam dari tiap-tiap

kelompok perlakuan ... 26 8. Persentase rata-rata jumlah monosit ayam dari tiap-tiap kelompok

perlakuan ... 28 9. Persentase rata-rata jumlah basofil ayam dari tiap-tiap kelompok

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Siklus Hidup Eimeria sp ... 6

2. Kerusakan usus akibat infeksi Eimeria tenella ... 8

3. Sambiloto ... 9

4. Struktur kimia andrographolide dan neoandrographolide ... 12

5. Heterofil ... 14

6. Eosinofil ... 15

7. Basofil ... 16

8. Limfosit ... 17

9. Monosit ... 18

10. Persentase rata-rata jumlah limfosit tiap-tiap kelompok perlakuan ... 23

11. Persentase rata-rata jumlah heterofil tiap-tiap kelompok perlakuan ... 25

12. Persentase rata-rata jumlah eosinofil tiap-tiap kelompok perlakuan ... 26

13. Persentase rata-rata jumlah monosit tiap-tiap kelompok perlakuan ... 28

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada kebanyakan negara, industri perunggasan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pengadaan suplai pangan dan peningkatan pendapatan dibidang ekonomi. Hal ini tidak terlepas dengan semakin terbukanya pasar bebas yang me nyebabkan terbukanya jalur perdagangan antar negara yang berkaitan dengan produk pangan asal hewan khususnya unggas. Kontrol terhadap penyakit merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat keberhasilan suatu negara untuk meningkatkan pertumb uhan ekonominya. Sangatlah penting membicarakan produk pangan asal unggas yang meliputi telur dan daging, karena hal ini tidak luput dari semakin meningkatnya permintaan kebutuhan pangan asal unggas dan berkembangnya penyakit dibidang perunggasan yang dapat mengancam kelangsungan roda bisnis pada bidang ini.

(23)

tenella, E. necatrix, E. brunetti, E. maxima, E. acervulina, E. praecox (Joyner 1964) .

Menurut Joyner (1964) tidak ada unggas (ayam) yang secara normal terbebas dari infeksi coccidia, tetapi penyakit ini menjadi serius secara klinis ketika perkembangan tingkat infeksi berada jauh di atas sistem kekebalan atau imunitas yang dimiliki oleh ayam, dengan kata lain infeksi coccidia telah mampu menimbulkan gejala klinis seperti penurunan berat badan, gangguan pertumbuhan, penurunan produktivitas, bahkan kematian.

Pengendalian dan pengobatan seringkali diterapkan oleh peternak atau praktisi yang terlibat secara langsung dengan penyakit ini, diantaranya adalah dengan jalan memperbaiki sistem manajemen pemeliharaan, pemb erian pakan dan minum yang teratur dan higiene, menerapkan biosecurity dan pemberian preparat koksidiostat yang dipercaya dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit ini. Untuk mencegah dan mengobati koksidiosis dapat digunakan preparat koksidiostat diantaranya sulfaquinidin, sulfachloroproazine, sulfamethoxaline, nitrofurazone, amprolium, noxal, dodecal, trisulfas, dan sulfaquinoxalin (Joyner 1964). Pada kenyataannya pemberian preparat koksidiostat seringkali menimbulkan banyak kendala di lapangan. Hal ini disebabkan karena adanya infeksi campuran dari berbagai jenis Eimeria dan jarang terjadi infeksi tunggal (Ashadi 1982). Pemberian preparat koksidiostat ini dapat menimbulkan efek resistensi berupa timbulnya galur parasit yang resisten terhadap koksidiostat tertentu apabila penggunaannya tidak sesuai dengan prosedur (Ashadi 1982).

(24)

Cara penggunaan tanaman ini dapat sebagai obat luar atau diminum dan dapat juga dicampur dengan tumbuhan lain. Jika digunakan sebagai obat luar, cara pemakaiannya adalah dengan dikunyah atau ditumbuk halus dan kemudian ditempelkan pada luka (Heyne 1987). Sedangkan jika akan diminum, sambiloto direbus terlebih dahulu, sehingga dapat digunakan sebagai obat malaria, disentri, mencret, kencing manis (Anonimus 1987).

Pengembangan tanaman sambiloto sebagai obat koksidiosis sangat perlu dilakukan dalam upaya mendapatkan obat anticoccidia yang tidak menimbulkan efek resistensi, harganya murah, tidak meninggalkan residu, dan aman bagi kesehatan ternak dan manusia yang mengkonsumsi produk asal unggas.

Sel leukosit merupakan sistem pertahanan tubuh yang cepat bereaksi terhadap infeksi dan benda asing yang masuk dalah tubuh. Sel leukosit ini sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit, monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limpa (limfosit dan sel-sel plasma) (Guyton 1995). Sel leukosit terbagi atas dua golongan besar yaitu granuler (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan agranuler (limfosit dan monosit), pembagiannya didasarkan pada ada atau tidaknya butiran dalam sitoplasma (Frandson 1986). Leukosit mempunyai dua fungsi, yaitu menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis dan membentuk antibodi (Guyton 1995).

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran leukosit ayam yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis bertingkat sejak umur 5 sampai 35 hari dan diinfeksi Eimeria tenella pada umur 14 hari.

Manfaat Penelitian

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Eimeria tenella

Biologi Eimeria tenella

Sinonim dari Eimeria tenella adalah Eimeria avium (Morgan & Philip 1955). Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit berak darah pada ayam dan sangat meresahkan peternak, dikarenakan angka kematian pada hewan ternak yang diakibatkan oleh penyakit ini dapat mencapai angka 80-90 % (Retno et al. 1998). Penyakit ini dapat dikendalikan dengan pemberian koksidiostat, seperti preparat sulfaquinidin, noxal, dodecal, trisulfas, dan sulfaquinoxalin. Tetapi pemberian obat ini dapat menimbulkan efek resistensi dan residu dalam daging dan telur.

Taksonomi Eimeriasp.

Tabel 1 Taksonomi Eimeria sp. Ashadi dan Handayani (1992) dan Levine (1990)

Klasifikasi Ashadi dan Handayani (1992) Levine (1990)

Filum Protozoa Apicomplexa

Subfilum Apicomplexa -

Kelas Sporozoasida Coccidia

Subkelas Coccidiosis Eucoccidiocida

Ordo Eucoccidiocida Eimeriorina

Subordo Eimeriorina -

Famili Eimeriidae Eimeriidae

Genus Eimeria Eimeria

Spesies Eimeria tenella Eimeria tenella

Morfologi

(26)

pada inang dan tingkat keparahannya, letak parasit di dalam jaringan inang, ukuran skizon, ukuran ookista dan patogenisitas (Joyner 1964).

Ookista dari E. tenella akan bersporulasi jika menginfeksi inangnya. Sebagian besar spesies dari coccidia bervariasi dalam ukuran dan bentuk dari ookistanya. Secara garis besar panjang ookistanya 19,5 – 26 mikron, sedangkan diameternya 16,5 – 22,8 mikron. Massa sitoplasmanya berbentuk tidak teratur dengan dinding ookista yang terdapat granul refraktil rata dengan microphilnya (Ellis 1990).

Menurut Ellis (1990) Jika ookista diinkubasi pada temperatur dengan oksigen dan temperatur yang cukup, maka ookista tersebut akan bersporulasi dalam 48 jam. Sporulasi tersebut menghasilkan 4 spora, masing-masing spora mengandung 2 sporozoit. Spora berbentuk seperti telur dengan ukuran panjang 11 mikron dan lebar 7 mikron, sedangkan sporozoit berbentuk panjang dan kecil. Dua dari tiap-tiap spora memiliki massa hyalin yang globuler dan saling berdekatan, dan di sekitarnya terdapat ruang yang berisi granul yang menjadi nukleusnya.

Siklus hidup

Menurut Levine (1990) Genus Eimeria umumnya memiliki perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam dan di luar tubuh induk semangnya dan memiliki siklus hidup seksual (stadium gametogoni) dan aseksual (skizogoni), sedangkan sporogoni adalah stadium pembentukan spora, ketika ookista diekskresikan lewat feses, cairan sitoplasmanya berbentuk ramping dan tidak beraturan. Pada lingkungan dengan temperatur sekitar 24-29oC dan kelembaban yang cukup, dalam waktu 24 jam setelah keluar pada tinja cairan sitoplasma tunggal masuk ke dalam sporoblast yang berbentuk oval, masing-masing sporoblast akan berubah bentuk menjadi dinding berongga atau sporokista. Pada sitoplasma, rongga tersebut akan berubah menjadi 2 sporozoit.

(27)

bersporulasi tidak memiliki kemampuan untuk menginfeksi induk semang (Jankiewicz & Schofield 1934). Sporozoit akan melakukan siklus aseksual dan masuk ke dalam vili epitel sekum kemudian membulat dan menjadi meron generasi pertama. Meron ini kemudian tumbuh dan membelah membentuk kira-kira 900 merozoit generasi pertama. Merozoit akan memecah sel induk semang dan akan masuk ke dalam sel yang baru pada vili usus dan berubah menjadi skizon generasi kedua yang membelah menjadi 200-350 merozoit. Merozoit ini selanjutnya akan keluar dari sel induk semang dan akan masuk ke dalam sel baru dari induk semang tersebut. Beberapa diantaranya akan berkembang dan menjadi skizon generasi ketiga, serta sebagian yang lain akan melakukan siklus seksualnya (Levine 1990).

Siklus seksual ditandai dengan pembentukan mikrogametosit dan makrogametosit, keduanya akan bertemu di dalam usus dan akan terbentuk zigot (Tampubolon 2004). Mikrogamet ini akan keluar dan membuahi makrogamet, yang selanjutnya akan mengelilingi dirinya sendiri dengan sitoplasma dan akan berkembang menjadi ookista. Ookista tersebut akan keluar bersama tinja (Levine 1990).

Gambar 1 Siklus hidup Eimeria sp. (FAO 2003)

Patogenesa

(28)

umumnya koksidiosis sekum secara klinis dihasilkan hanya apabila terjadi infeksi berat pada waktu yang relatif singkat, yaitu tidak melebihi 72 jam (Tampubolon 2004).

Menurut Jankiewicz dan Schofield (1934) bahwa dosis kurang dari 150 ookista yang telah bersporulasi tidak menimbulkan kematian, dosis 150–500 ookista menimbulkan hemoragi ringan, tetapi tidak menimbulkan kematian, dosis 1000–3000 ookista yang bersporulasi dapat menyebabkan hemoragi berat dan kematian, sedangkan dosis 3000–5000 ookista menimbulkan hemoragi berat dan angka kematian yang tinggi.

Gejala klinis tampak pada 72 jam setelah infeksi dan menunjukkan gejala terkulai dan anoreksia (Tampubolon 2004). Perdarahan terjadi 4 hari setelah infeksi, yang akan ditandai dengan hemoragi berat pada hari ke-5 dan ke-6, dan ookista akan muncul pada hari ke-7 setelah infeksi (Jankiewicz dan Schofield 1934).

Gejala klinis

Gejala klinis dari penyakit ini ha mpir sama dengan dengan gejala klinis yang disebabkan oleh penyakit infeksius, yaitu sulit dideteksi sehingga infeksi pada generasi ke-2 dari skizon menyebabkan berak darah setelah 4 hari setelah infeksi, pada saat ini ayam akan tampak tertunduk lesu. Pada hari ke-5 dan ke-6 setelah infeksi, infeksi Eimeria tenella bersifat inaktif dengan gejala klinis yaitu, menurunnya konsumsi makanan dan jumlah darah yang dikeluarkan lewat kloaka sangat banyak. Hampir 90% kematian terjadi pada minggu pertama mengikuti proses infeksi. Jika ayam tidak mati, maka masa persembuhan dapat terjadi. Setelah 7 hari sebagian kecil darah masih dikeluarkan bercampur dengan feses.

Patologi

(29)

melebar dan penuh oleh pembendungan-pembendungan darah. Pada hari ke-7 daerah sekum akan ditemukan adanya peningkatan konsistensi menjadi lebih padat dan keras.

Skizon generasi ke-2 berkembang dalam lamina propria, daerah ini akan diinfiltrasi oleh sel eosinofil. Pada waktu ini terjadi proses kongesti diikuti penebalan dinding sekum. Dengan pemeriksaan secara histopatologis daerah yang diinfeksi Eimeria tenella menunjukkan adanya runtuhan sel epitel usus (Jankiewicz dan Schofield 1934) . Jika infeksi pada lapisan epitel telah terjadi secara sempurna, pada beberapa kasus akan menunjukkan proses persembuhan yang berjalan lambat, dan regenerasi mukosa tidak berjalan secara sempurna.

Gambar 2 Kerusakan usus akibat infeksi Eimeria tenella (FAO 2003)

Diferensial diagnosa

(30)

Pencegahan

Koksidiosis dapat terjadi ketika ayam memakan/terinfeksi ookista yang telah bersporulasi. Kontrol untuk penyakit ini dapat dilakukan pada tiap-tiap stadium, misalnya pada stadium skizogoni, gametogoni dan sporogoni dan dapat pula dilakukan dengan cara memperbaiki manajemen peternakan. Hal ini memiliki peranan yang sangat besar dalam mencegah perkembangan ookista dan menurunkan populasinya.

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Morfologi

[image:30.595.262.392.470.571.2]

Tumbuhan ini dikenal di Indonesia dengan bermacam-macam nama seperti sambilata atau sambilatta (Jawa), Ki oray atau Ki peurat (Sunda). Nama ilmiahnya adalah Andrographis paniculata dan termasuk famili Acanthaceae. Tempat asal tumbuhan ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga berasal dari Asia tropik. Selain di Indonesia, tanaman ini juga banyak terdapat di kawasan Malaysia dan India. Di Indonesia maupun di negara lain seperti India dan Filiphina, tanaman ini sejak lama dikenal sebagai obat.

Gambar 3 Sambiloto (Chang 1986)

(31)

seperti jorong, terdiri dari dua rongga, setiap rongga berisi tiga sampai tujuh biji yang bentuknya pipih (Backer et al. 1965).

Sambiloto sering ditanam pada halama n rumah atau dibiarkan tumbuh liar. Biasanya terdapat di tempat-tempat terbuka seperti di ladang, pinggir jalan, atau di tebing, saluran air atau sungai terutama di dataran rendah dengan ketinggian sampai 700 m dpl. Tanaman ini mudah dibudidayakan dengan biji atau dengan cara setek melalui batangnya. Daun dan batang tanaman ini rasanya sangat pahit karena mengandung senyawa kimia yang disebut andrographolid yang merupakan senyawa keton diterpena.

[image:31.595.110.518.353.597.2]

Taksonomi

Tabel 2 Taksonomi sambiloto (Andrographis paniculata Nees) berdasarkan sistem Engler (Laurence 1951) dan sistem Conquist (Jones 1987)

Klasifikasi Engler Conquist

Divisi Embryophita siponogama Magnoliophyta Subdivisi Angiospermae

Klas Dicotyledoneae Magnoliopsida

Subklas Metaclamydeae (Sympetalae) Asteridae

Ordo Tubiflorae Scrophulariales

Famili Acanthaceae Acanthaceae

Genus Andrographis Andrographis

Spesies Andrographis paniculata Nees Andrographis paniculata Nees

Habitat dan Penyebaran

(32)

diduga sambiloto berasal dari Asia Tropik (Backer et al. 1965). Selain di Indonesia, jenis ini banyak terdapat di kawasan Malaysia lainnya

Manfaat

Pemanfaatan sambiloto di Indonesia di antaranya sebagai bahan obat tradisional terutama oleh masyarakat Jawa dalam resep ramuan obat tradisional untuk berbagai keperluan, seperti mengobati gigitan serangga dan ular berbisa, disentri, kencing manis, penyakit kelamin, radang usus buntu, darah kotor, gatal-gatal, eksema, radang tonsil, borok, dan keracunan makanan (Anonimus 1986).

Selain itu sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dipilih sebagai obat alternatif untuk mengobati penyakit malaria, bagian yang digunakan adalah daunnya. Daunnya terbukti tidak beracun dan memiliki sifat antipiretik (menghilangkan demam). Sifat antipiretik inilah yang bisa membantu penderita malaria dalam melawan penyakitnya (Dzulkarnain 1993).

Menurut Dzulkarnain (1993) dalam penelitian in vivo (di dalam tubuh makhluk hidup), daun sambiloto memang tidak mematikan Plasmodium berghei pada mencit. Namun, mencit yang tertular bisa diperpanjang masa hidupnya karena hati dan limpanya terlindung dari kerusakan. Dengan demikian penggunaan daun sambiloto dapat menunjang penggunaan obat plasmodicide (bersifat menghancurkan plasmodia).

Kandungan (Zat Aktif)

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) mengandung senyawa kimia diantaranya Andrographolide, Neoandrographolide, Andrographosidae Deoxy- andrographolide, Deoxy-andrographosidae, Ninandrographolide, 14-deoxy-11-oxoandrographolide, Andrographan, Andrographosterin, 14-deoxy-11,12-didehydroandrographolide, Homoandrographolide dan Flavonoid (Chang1986).

(33)
[image:33.595.211.409.141.263.2]

asam-asam nukleat atau protein dihambat. Dengan mekanisme tersebut pertumbuhan dan perkembangan parasit kemungkinan dapat ditekan (Rohimah 1997).

Gambar 4 Struktur kimia andrographolide dan neoandrographolide (Trieste 2007)

Leukosit (Sel Darah Putih)

(34)
[image:34.595.126.504.223.401.2]

Sel darah putih dapat bertahan hidup selama 5 hari pada sumsum tulang belakang, dan 10 hari pada sistem sirkulasi sebelum mengalami regenerasi. Jumlah sel darah putih normal dalam sistem sirkulasi tersaji pada Tabel 3 dan Tabel 4

Tabel 3 Jumlah kisaran sel darah putih berdasarkan jenis kelamin (dalam %) menurut Sturkie dan Grimminger (1976)

Jenis kelamin Limfosit Heterofil Eosinofil Basofil Monosit

Betina dewasa 59,1 20,9 1,9 1,7 10,2

Jantan dewasa 64,4 22,8 1,9 1,7 8,9

Betina white leghorn

64,0 25,8 1,4 2,4 6,4

Jantan white leghorn

76,1 13,1 2,5 2,4 57,0

Tabel 4 Jumlah kisaran sel darah putih berdasarkan umur (dalam %) menurut Hodges (1977)

Umur Limfosit Heterofil Eosinofil Basofil Monosit

0 hari 15,9 72,4 2,5 1,1 8,1

3 hari 38,7 52,7 1,6 0,67 6,4

8 hari 48,3 50,0 0,25 0 1,5

10 hari 68,6 26,7 1,7 0,64 2,3

1 minggu 75 24 0 0 1

2 minggu 66 20,6 3,1 1,9 8,1

[image:34.595.131.500.470.629.2]
(35)

Heterofil

[image:35.595.246.378.221.319.2]

Heterofil adalah leukosit yang termasuk golongan polymorphonuclear leukocyte dan diproduksi di dalam sumsum tulang. Diameter 12 mikron dengan inti yang berlobulasi. Bentuk dewasa mempunyai 3 sampai 5 inti. Kromatin-kromatin halus di dalam sitoplasma, berwarna merah muda sampai ungu.

Gambar 5 Heterofil (Cunningham 2006)

Heterofil di dalam sirkulasi akan bertahan hidup selama 4-10 jam, sedangkan di dalam jaringan akan bertahan hidup selama 1-2 hari (Metcalf 2006). Heterofil merupakan salah satu basis pertahanan tubuh dari serangan penyakit yang dapat mengakibatkan infeksi atau peradangan. Sel ini bekerja dengan cara fagositosis yaitu dengan mengurung mikroorganisme asing di dalam sitoplasmanya yang mengandung enzim proteolitik. Setelah melakukan fagositosis heterofil menjadi tidak aktif dan mati bersama dengan mikroorganisme asing dan akan menghasilkan nanah (Tizard 1987).

(36)

Eosinofil

[image:36.595.241.383.205.307.2]

Eosinofil merupakan granulosit polimorfonuklear-eosinofilik dengan granul bundar dan relatif lebih besar jika dibandingkan dengan heterofil dan berwarna merah dengan pewarnaan Wright’s (Sturkie & Grimminger 1976)

Gambar 6 Eosinofil (Cunningham 2006)

Sel ini akan meningkat jumlahnya jika terjadi shock anafilaksis, reaksi alergi dan infeksi parasit (Melvin & William 1993). Jumlahnya dalam darah berkisar 2-8% dari total jumlah leukosit dan memiliki diameter 10-15 µm. Inti bergerlambir dua, dan dikelilingi butir asidofil dengan ukuran 0.5-1.0 µm dan bertahan hidup selama 3-5 hari di dalam sirkulasi (Dellman & Brown 1987).

(37)

Basofil

[image:37.595.245.378.219.328.2]

Basofil merupakan granulosit yang paling jarang dijumpai dalam sistem sirkulasi. Jumlahnya sekitar 0.5-1.0% dari jumlah total leukosit (Metcalf 2006). Basofil akan meningkat jumlahnya di dalam sistem sirkulasi jika terjadi peradangan yang berhubungan dengan pernapasan dan kerusakan jaringan.

Gambar 7 Basofil (Wadsworth 2007)

(38)

Limfosit

[image:38.595.246.377.225.323.2]

Limfosit secara khas paling banyak dan paling utama dari leukosit agranulosit. Limfosit memiliki ukuran dan penampilan yang bervariasi dan mempunyai nukleus yang relatif besar yang dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma agranulosit (Frandson 1986).

Gambar 8 Limfosit (Cunningham 2006)

Limfosit diproduksi di sumsum tulang hati (pada fetus) dengan bentuk awal yang sama tetapi kemudian berdiferensiasi (Jain 1993). Ada beberapa kategori limfosit yaitu, limfosit kecil dengan ukuran 10 mikron, limfosit sedang dengan ukuran 18 mikron. Limfosit kecil dan sedang bersirkulasi di dalam darah. Limfosit besar sering ditemukan pada kelenjar getah bening.

(39)

Monosit

[image:39.595.243.381.247.346.2]

Monosit adalah jenis yang kedua dari leukosit agranulosit, sel ini memiliki sitoplasma lebih banyak dari limfosit, me miliki warna abu-abu pucat dan memiliki inti berbentuk lonjong seperti ginjal atau tapal kuda (Jain 1993). Sel ini diproduksi oleh sumsum tulang, memiliki jumlah antara 3-8% dari jumlah leukosit di dalam darah (Metcalf 2006).

Gambar 9 Monosit (Cunnigham 2006)

Monosit akan masuk ke dalam jaringan dan akan berubah menjadi makrofag (Tizard 1987). Monosit mempunyai sifat yaitu fagositik terhadap infeksi yang tidak terlalu akut seperti tuberkulosis (Frandson 1986). Monosit bersifat motil dan berpindah dengan pergerakan amoboid ke daerah yang mengalami infeksi kronis untuk terjadinya respon fagosit (Ganong 1999). Sel ini akan terstimulasi jumlahnya jika terjadi infeksi atau peradangan yang bersifat kronis misalnya peradangan yag disebabkan oleh chlamidia, aspergillus dan atau tuberkulosis. Monosit memiliki masa edar yang singkat dalam sirkulasi darah, dengan sedikit kemampuan melawan bahan infeksius kemudian masuk ke dalam jaringan untuk menjadi makrofag jaringan (Guyton 1995).

Imunomodulator

(40)

1 Imunorestorasi adalah cara yang dilakukan untuk memperbaiki fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti serum, plasma dan tranplantasi.

2 Imunostimulasi adalah cara untuk memperbaiki sistem yang terganggu dengan menggunakan bahan yang dapat merangsang sistem kekebalan tubuh. 3 Imunosupresi adalah cara untuk memperbaiki sistem imun yang terganggu

(41)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, yang berlangsung sejak bulan Januari sampai Maret 2007.

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang ayam berukuran 20 m2, sekam, lampu 100 watt, tempat pakan dan air minum, kapas, jarum suntik 1 ml, mikroskop, gelas objek, bak pewarna.

Bahan-bahan yang digunakan adalah ayam pedaging umur 1 hari, pakan, air minum, ookista Eimeria tenella, ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol, sulfachloropyrazine, metil alkohol, zat warna giemsa, alkohol 70 %, minyak emersi, xylol, aquadest.

Cara kerja

Perlakuan pada ayam

Penelitian ini menggunakan ayam pedaging umur 1 hari sebanyak 35 ekor yang dibagi dalam 7 perlakuan (setiap perlakuan terdiri dari 5 ekor ayam) yaitu: KN : Kelompok perlakuan yang tidak diinfeksi dan tidak diberi obat

KP : Kelompok perlakuan yang diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor tetapi tidak diberi obat

KO : Kelompok perlakuan yang diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan diberi obat sulfachloropyrazine 180 mg/kg BB

KSb : kelompok perlakuan yang tidak diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan tidak diberi obat tetapi diberi ekstrak sambiloto

MR : Kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah dan diinfeksi ookista E. tenella

(42)

metanol dosis sedang dan diinfeksi ookista E. tenella

MT : Kelompok perlakuan yang diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi dan diinfeksi ookista E. tenella

Kelompok KSb, MR, MS dan MT diberi sambiloto sejak ayam umur 5 sampai 35 hari. Ketika ayam berumur 2 minggu kelompok KP diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor. Kelompok KO diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan 2 jam kemudian diberi obat sulfachloropyrazine 180 mg/kg BB, kelompok MR, MS, MT diinfeksi ookista E. tenella 1x105/ekor dan 2 jam kemudian berturut-turut diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah, sedang, dan tinggi.

Pembuatan preparat ulas darah

Sampel diambil pada hari ke-0, 3, 6, 9, 13 dan 16 setelah infeksi dari setiap kelompok perlakuan (setiap kelompok perlakuan terdiri dari 3 ekor ayam). Darah diambil dari vena axillaris dengan menggunakan jarum steril kemudian diteteskan pada objek gelas untuk membuat preparat ulas darah. Preparat ulas darah dikeringkan lalu difiksasi menggunakan metanol selama 3-5 menit kemudian dilakukan pewarnaan dengan Giemsa 10 % selama 15-30 menit. Preparat diangkat dan dicuci menggunakan air keran yang mengalir, kemudian dikeringkan di udara.

Teknik mewarnai preparat ulas darah dengan zat warna Giemsa

Peneliti memasukkan sediaan apus darah yang sudah kering pada metil alkohol (cairan fiksasi) selama 5 menit. Setelah itu sediaan apus darah diangkat dan dikeringkan untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama 30 menit. Setelah 30 menit, preparat diangkat dan dicuci menggunakan aquadest atau air keran yang mengalir, kemudian dikeringkan di udara atau menggunakan kertas saring.

(43)

Cara mengidentifikasi jenis-jenis leukosit

Peneliti menyiapkan mikroskop dengan perbesaran 1000x untuk memeriksa seluruh permukaan preparat dengan minyak emersi. Identifikasi sel darah putih dapat dideferensialkan menurut perbedaan ukuran, warna, jumlah dan granulasi sitoplasma, bentuk kromatin dan inti. Nilai relatif leukosit dinyatakan dalam satuan persen (Sastradipradja et al. 1989).

Preparat yang baik akan menunjukkan warna kontras:

a. Granulosit

• Eosinofil : granula merah, besar-besar

• Basofil : granula biru tua, besar-besar

• Heterofil : granula netral, halus, inti berbentuk batang (heterofil muda) atau segmen (heterofil tua)

b. Agranulosit

• Limfosit : inti bulat, biru tua, sitoplasma sedikit, biru muda

(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap gambaran leukosit ayam pedaging yang diinfeksi Eimeria tenella setelah pemberian ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dengan pelarut metanol dosis bertingkat disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 5 Persentase rata-rata jumlah limfosit ayam dari tiap-tiap kelompok perlakuan

Kelompok

Pengamatan pada Hari ke- (Setelah Infeksi)

0 3 6 9 13 16

KN 73.0abcd 73.0abcd 73.0abcd 71.3bcde 70.0cde 71.7abcde

KP 73.7abcd 75.0ab 71.7abcde 68.0e 72.7abcd 74.0abcd

KO 74.3abc 72.7abcd 74.0abcd 68.0e 72.0abcde 73.7abcd

KSb 73.3abcd 73.0abcd 71.7abcde 72.7abcd 72.3abcde 73.7abcd

MR 71.7abcde 72.7abcd 74.0abcd 70.0cde 72.7abcd 73.7abcd

MS 73.0abcd 74.7ab 73.7abcd 72.0abcde 72.7abcd 74.7ab

MT 74.0abcd 73.3abcd 73.3abcd 72.0abcde 72.7abcd 76.0a

[image:44.595.126.505.262.471.2]

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada kolom dan baris menyatakan tidak berbeda nyata (p>0.05)

[image:44.595.182.444.518.648.2]
(45)

tetapi tidak diberi obat) mengalami penurunan jumlah limfosit jika dibandingkan hari ke-6 setelah infeksi. Hal ini dikarenakan kelompok KP tidak mampu menstimulasi limfosit untuk mengatasi peradangan yang terjadi pada sekum ayam. Pada hari ke-13 dan 16 setelah infeksi persentase rata-rata limfosit kelompok KP, KO, MR, MS dan MT cenderung mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan hari sebelumnya. Hal ini mengindikasikan telah terjadi proses persembuhan. Menurut Levine (1990) jika ayam dapat hidup sampai hari ke-8 dan 9 setelah infeksi, dan melewati periode prepaten selama 7 hari serta mampu mengatasi perbarahan hebat, maka akan terjadi proses persembuhan.

Pada hari ke-16 setelah infeksi persentase rata-rata jumlah limfosit kelompok MT (kelompok perlakuan yang diinfeksi ookista E. tenella dan diberi ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) jika dibandingkan dengan kelompok MR dan MS cenderung mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena zat andrographolide yang terdapat pada sambiloto mampu menstimulasi produksi limfosit untuk membentuk antibodi.

Tabel 6 Persentase rata-rata jumlah heterofil ayam dari tiap-tiap kelompok perlakuan

Kelompok

Pengamatan pada Hari ke- (Setelah Infeksi)

0 3 6 9 13 16

KN 14.7gh 16.7bcdefgh 18.7abcdef 18.3abcdef 20.0ab 20.7a

KP 15.3fgh 15.3fgh 17.7abcdefgh 19.3abcde 17.3abcdefgh 17.0abcdefgh

KO 14.3h 16.3bcdefgh 16.0defgh 20.3ab 17.7abcdefgh 17.0abcdefgh

KSb 17.3abcdefgh 17.7abcdefgh 20.3ab 19.3abcde 19.0abcdef 19.0abcdef

MR 19.0abcdef 19.3abcde 18.3abcdef 19.3abcde 18.3abcdef 18.0abcdefg

MS 17.7abcdefgh 17.7abcdefgh 18.0abcdefg 19.3abcdef 18.0abcdefg 16.7bcdefgh

MT 14.3h 16.7bcdefgh 17.0abcdefgh 17.0abcdefgh 18.0abcdefg 16.0 defgh

[image:45.595.111.515.471.670.2]
(46)
[image:46.595.183.442.89.217.2]

Gambar 11 Persentase rata-rata jumlah heterofil tiap-tiap kelompok perlakuan Berdasarkan data yang terdapat pada tabel 6 terlihat bahwa pada hari ke-3 setelah infeksi kelompok KP dan KO menunjukkan peningkatan persentase rata-rata heterofil dari hari ke-3 sampai hari ke-9 setelah infeksi. Hal ini dikarenakan heterofil berperan sebagai basis pertahanan pertama. Heterofil akan bergerak menuju benda asing dan akan menghancurkan dengan segera, tetapi tidak mampu bertahan lama (Tizard 1987). Heterofil dalam sirkulasi akan bertahan hidup selama 4-10 jam, sedangkan di dalam jaringan akan bertahan hidup selama 1-2 hari (Metcalf 2006).

Pada hari ke-9 setelah infeksi kelompok KP dan KO mengalami peningkatan persentase rata-rata heterofil yang signifikan (p>0.05) jika dibandingkan hari ke-0 setelah infeksi. Sedangkan kelompok MR, MS dan MT tidak mengalami peningkatan yang signifikan, hal ini menunjukkan bahwa sambiloto dapat mengurangi jumlah parasit (Kharismawan 2006), sehingga persentase rata-rata jumlah heterofil lebih rendah.

(47)
[image:47.595.141.465.124.443.2]

Tabel 7 Persentase rata-rata jumlah eosinofil ayam dari tiap-tiap kelompok perlakuan

Kelompok

Pengamatan pada Hari ke- (Setelah Infeksi)

0 3 6 9 13 16

KN 3.7ab 3.0ab 2.7ab 2.3ab 1.7b 1.7b KP 3.0ab 2.7ab 2.0ab 3.3ab 1.3b 2.7ab KO 4.0ab 2.3ab 2.7ab 4.0ab 3.3ab 3.0ab KSb 2.7ab 3.0ab 2.7ab 3.0ab 3.0ab 2.3ab MR 3.0ab 2.0ab 2.0ab 3.0ab 2.7ab 2.3ab MS 3.7ab 2.7ab 3.0ab 3.3ab 3.0ab 3.3ab MT 4.3ab 3.0ab 3.3ab 3.7ab 2.7ab 3.0ab

[image:47.595.182.444.420.551.2]

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada kolom dan baris menyatakan tidak berbeda nyata (p>0.05)

(48)

Pada hari ke-6 setelah infeksi persentase rata-rata eosinofil pada kelompok MS dan MT lebih tinggi dibandingkan KN, KP dan KO. Hal ini dikarenakan ekstrak sambiloto pada kelompok MS dan MT berfungsi sebagai immunomodulator sehingga mampu merangsang meningkatnya jumlah eosinofil untuk melakukan proses fagositosis.

(49)

Tabel 8 Persentase rata-rata jumlah monosit ayam dari tiap-tiap kelompok perlakuan

Kelompok

Pengamatan Pada Hari Ke- (Setelah Infeksi)

0 3 6 9 13 16

KN 7.3ab 6.0abcde 5.0abcdef 5.7abcdef 6.0abcde 4.0cdef

KP 5.3abcdef 6.7abcd 7.3ab 7.7a 7.0abc 5.0abcdef

KO 5.3abcdef 6.3abcde 6.0abcde 5.7abcdef 5.3abcdef 5.0abcdef

KSb 5.0abcdef 4.3abcdef 4.3abcdef 3.7cdef 4.7abcdef 3.7cdef

MR 5.0abcdef 4.0cdef 4.0cdef 5.7abcdef 5.3abcdef 5.0abcdef

MS 3.3ef 2.7f 4.3abcdef 4.7abcdef 4.7abcdef 4.0cdef

MT 5.0abcdef 4.7bcdef 4.7bcdef 5.3abcdef 5.0abcdef 3.7cdef

[image:49.595.151.484.138.345.2]

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada kolom dan baris menyatakan tidak berbeda nyata (p>0.05)

[image:49.595.181.443.392.516.2]
(50)

kelompok KP. Menurut Kharismawan (2006) rata-rata jumlah skizon pada sekum ayam yang diinfeksi E. tenella pada kelompok KP, MR, MS dan MT berturut-turut adalah 31.3 %, 0 %, 0 %, 0 %. Hal ini menunjukkan ekstrak sambiloto mampu menurunkan Eimeria tenella pada stadium skizon.

Pada hari ke-13 dan 16 setelah infeksi persentase rata-rata monosit kelompok KO dan KP cenderung menurun. Hal ini mengindikasikan terjadinya proses persembuhan. Demikian pula pada kelompok MR, MS dan MT pemberian sambiloto mampu menekan jumlah skizon sehingga terjadinya proses persembuhan akibat peradangan di dalam sekum ayam.

Tabel 9 Persentase rata-rata jumlah basofil ayam dari tiap-tiap kelompok perlakuan

Kelompok

Pengamatan pada Hari ke- (Setelah Infeksi)

0 3 6 9 13 16

KN 1.3ab 1.3ab 1.0ab 1.3ab 1.3ab 2.0ab

KP 2.7ab 1.7ab 1.3ab 1.7ab 1.7ab 1.3ab

KO 2.0ab 2.3ab 1.3ab 1.7ab 1.7ab 2.3ab

KSb 1.7ab 2.0ab 1.0ab 1.3ab 1.0ab 1.3ab

MR 1.3ab 2.0ab 1.7ab 2.0ab 2.0ab 1.0ab

MS 2.3ab 2.0ab 1.0ab 1.7ab 1.7ab 1.3ab

MT 2.3ab 2.3ab 1.7ab 2.0ab 1.7ab 1.3ab

[image:50.595.174.454.338.541.2]

Keterangan: Huruf superskrip yang sama pada kolom dan baris menyatakan tidak berbeda nyata (p>0.05)

[image:50.595.183.445.587.715.2]
(51)
(52)

KESIMPULAN

Kesimpulan

1. Pada hari ke-16 setelah infeksi persentase rata-rata jumlah limfosit kelompok MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung meningkat jika dibandingkan kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah) dan MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang)

2. Pada hari ke-16 setelah infeksi persentase rata-rata heterofil kelompok MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung menurun dibandingkan dengan MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah)

3. Pada hari ke-13 setelah infeksi persentase rata-rata eosinofil kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah), MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung lebih rendah jika dibandingkan kelompok KO (kontrol obat)

4. Pada hari ke-13 dan 16 setelah infeksi persentase rata-rata monosit kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah), MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung menurun

5. Persentase rata-rata basofil hari ke-16 setelah infeksi kelompok MR (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis rendah), MS (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis sedang) dan MT (ekstrak sambiloto dengan pelarut metanol dosis tinggi) cenderung lebih rendah dibandingkan hari ke-13 setelah infeksi.

Saran

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1986. Medicinal Herb Index in Indonesia. PT. Essai Indonesia.

Anonimus. 1987. Pedoman untuk Memanfaatkan Apotek Hidup. Samarinda: TAD-Subproject Health & Nutrition.

Ashadi G. 1982. Pengebalan Aktif terhadap Koksidiosis Intestinalis pada Ayam Pedaging dan Petelur [laporan penelitian]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. hlm. 3-4.

Ashadi G dan S Handayani. 1992. Protozoologi Veteriner I. Bogor: Departemen Pendidikan dan Budaya Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas. Bioteknologi IPB, hlm. 6-7.

Backer CA and RC Backhuizen van den Brink. 1965. Flora of Java II. Netherlands: Wolters-Noordhoff N. V. Groningen-The Netherlands, 74 pp. Belladona. 2002. Pengaruh Pemberian Infus Herba Anting-anting (Acalypha indica L) terhadap Jumlah Ookista, Skizon, Makrogamet dan Mikrogamet Eimeria tenella pada Sekum Ayam [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bellanti JA and JV Kadlec. 1993. Prinsip-prinsip Imunologi. Dalam: Whab SA (ed): Imunologi. Edisi 1. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Chang. 1986. Andrographis. http://www.yahoosearch.com/andrographis.html [Agustus 2007].

Cunningham M. 2007. Haematology Identification Aid. http://www.man.ac.uk [September 2007].

Dellman HD and EM Brown. 1987. Textbook of Veterinary Histology. Diterjemahkan oleh R. Hartono. Buku Teks Histologi Veteriner. Jakarta: Universitas Indonesia, 108-125 pp.

(54)

Ellis CC. 1990. Studies on the effect of temperature on the sporulation time of Eimeria tenella. Cornell Vet., 28:274-4.

Frandson RD. 1986. Anatomy and Phisiology of Farm Animal. Ed Ke-4. Diterjemahkan oleh Srigondono dan Koen Praseno. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ganong WF. 1999. Review of Medical Physiology. Diterjemahkan oleh Adji Dharma. Fisiologi Kedokteran. Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton AC. 1995. Textbook of Medical Physiology. Edisi 7. Diterjemahkan oleh Ariata Tengadi. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG, 52-57 pp.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan.

Hodges RD.1977. Normal Avian (Poultry) Haematology: Comparative Clinical Haematology. Oxford: Blackwell Scientific Pub, 737 pp.

Jankiewicz HA and RH Schofield. 1934. The administration of heated oocyts of Eimeria tenella as a means of establishing resistance and immunity to cecal coccidiosis. Jour. Amer. Vet. Med, Assoc. 84:507-526.

Jain NC. 1993. Essential. of Veteriner Hematology. USA: Lea and Febiger. Jones SB. 1987. Plant Systematics. New York: McGraw Hill Book Company,

477-481 pp.

Joyner. 1964. Animal parasites. Their life cycles and Ecology. 3rd ed. University Press. Baltimore.

Laurence GHM. 1951. Taxonomy of Vascular Plants. New York: The Mac Millan Company.

Levine ND. 1990. Protozoologi Veteriner. Ed ke-1. USA: IOWA State University PR, hlm. 130-141.

(55)

Metcalf D.2006. Leukocyte. http://en.wikipedia.org/Leukocyte [Agustus 2007]. Mitruka BM and HM Rawnsley. 1977. Clinical Biochemical and Hematological

Refferent Value in Normal Experimental Animal. USA: Mason Publishing, 165-181 pp.

Morgan BB and AH Philip. 1955. Veterinary Protozoology. Minnesota: Burgess Publishing Company.

Kharismawan P. 2006. Pengaruh Pemberian Ekstrak Metanol Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Dengan Pelarut Metanol Terhadap Jumlah Skizon, Mikrogamet, Makrogamet dan Ookista Eimeria tenella Pada Ayam [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Prapanza I dan LA Marianto. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto. Jakarta:

Agromedia Pustaka, hlm. 4-10.

Retno FD, J Jahja, T Suryani. 1998. Penyakit-penyakit Penting pada Ayam. Bandung: Medion.

Rohimah. 1997. Identifikasi Flavonoid yang Memiliki Antifungal dari Damar (Hopea mangarawan) dan Shorea leptosula [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Seiverd EC. 1964. Hematology for the medical technologist. Glendale. Arizona. Sturkie PD and P Grimminger. 1976. Blood: Phisical Charateristic, Formed

Elements, Haemoglobin, and Coagulation. In Sturkie PD, editor. Avian Phisiology. 3rd ed. Springer Verlag, New York, Heidelberg, Berlin. pp 65. Tampubolon MP. 2004. Protozoologi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor, hlm. 18-36.

Tizard IR. 1987. Pengantar Imunologi Veteriner. Partodiredjo M, penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari: An Introduction to Veterinary Immunology, hlm. 18.

(56)

Wadsworth. 2007. Lymphocyte. www.wadsworth.org/.../pix/lymphocyte_nw.jpg [Agustus 2007].

(57)
(58)

Duncan's Multiple Range Test for variable: LIMFOSIT Alpha= 0.05 df= 84 MSE= 4.769841

Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 1.340 1.410 1.457 1.491 1.517 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N H A 73.3333 21 0si A 73.3333 21 3si A 73.1905 21 16si A 72.5238 21 6si B A 71.9048 21 13si B 70.8095 21 9si

Level of ---LIMFOSIT--- P N Mean SD KN 18 72.0000000 2.08637034 KO 18 72.5000000 2.03643287 KP 18 72.3333333 2.84914848 KSB 18 72.5555556 2.20219736 M4 18 71.7777778 1.69967317 M5 18 72.8888889 2.19327552 M6 18 73.5555556 2.93502625

Level of ---LIMFOSIT--- H N Mean SD 0si 21 73.3333333 2.10554823 13si 21 71.9047619 2.02249257 16si 21 73.1904762 2.74989177 3si 21 73.3333333 2.05750658 6si 21 72.5238095 1.66189794 9si 21 70.8095238 2.35836909

Duncan's Multiple Range Test for variable: LIMFOSIT Alpha= 0.05 df= 84 MSE= 4.769841

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Critical Range 3.546 3.731 3.854 3.944 4.014 4.070 4.116 4.155 4.188 4.218 4.243 Number of Means 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Critical Range 4.266 4.286 4.304 4.320 4.335 4.348 4.360 4.372 4.382 4.391 4.400 Number of Means 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34

Critical Range 4.408 4.415 4.422 4.428 4.434 4.440 4.445 4.449 4.454 4.458 4.461 Number of Means 35 36 37 38 39 40 41 42

(59)

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N PXH A 76.000 3 M6x16si B A 75.000 3 KPx3si B A 74.667 3 M5x3si B A 74.667 3 M5x16si B A C 74.333 3 KOx0si B D A C 74.000 3 M6x0si B D A C 74.000 3 M 4x6si B D A C 74.000 3 KOx6si B D A C 74.000 3 KPx16si B D A C 73.667 3 KPx0si B D A C 73.667 3 KSBx16si B D A C 73.667 3 M5x6si B D A C 73.667 3 KOx16si B D A C 73.667 3 M4x16si B D A C 73.333 3 KSBx0si B D A C 73.333 3 M6x3si B D A C 73.000 3 KSBx3si B D A C 73.000 3 KNx3si B D A C 73.000 3 M5x0si B D A C 73.000 3 KNx0si B D A C 73.000 3 KNx6si B D A C 72.667 3 KPx13si B D A C 72.667 3 M4x3si B D A C 72.667 3 KOx3si B D A C 72.667 3 KSBx9si B D A C 72.667 3 M6x13si B D A C 72.667 3 M5x13si B D A C 72.667 3 M4x13si E B D A C 72.333 3 KSBx13si E B D A C 72.333 3 M6x6si E B D A C 72.000 3 KOx13si E B D A C 72.000 3 M6x9si

E B D A C 72.000 3 M5x9si E B D A C 71.667 3 KNx16si

(60)
(61)

HETEROFIL

The SAS System 52 04:10 Thursday, September 4, 1997 Analysis of Variance Procedure

Class Level Information Class Levels Values

P 7 KN KO KP KSB M4 M5 M6 H 6 0si 13si 16si 3si 6si 9si ULANGAN 3 1 2 3

Number of observations in data set = 126

The SAS System 53 04:10 Thursday, September 4, 1997 Analysis of Variance Procedure

Dependent Variable: HETEROFL

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F P 6 100.60317460 16.76719577 5.12 0.0002 H 5 133.42857143 26.68571429 8.14 0.0001 P*H 30 164.34920635 5.47830688 1.67 0.0351 Error 84 275.33333333 3.27777778

Corrected Total 125 673.71428571

R-Square C.V. Root MSE HETEROFL Mean 0.591320 10.27560 1.81046342 17.61904762

Duncan's Multiple Range Test for variable: HETEROFL Alpha= 0.05 df= 84 MSE= 3.277778

Number of Means 2 3 4 5 6 7 Critical Range 1.200 1.263 1.304 1.335 1.358 1.377 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N P

(62)

Duncan's Multiple Range Test for variable: HETEROFL Alpha= 0.05 df= 84 MSE= 3.277778

Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 1.111 1.169 1.208 1.236 1.258 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N H A 19.5238 21 9si B 17.8095 21 13si B 17.7619 21 6si B 17.4762 21 16si C B 17.0476 21 3si C 16.0952 21 0si

Level of ---HETEROFL--- P N Mean SD KN 18 18.1666667 2.35771574 KO 18 16.2222222 2.73443306 KP 18 17.0000000 2.08637034 KSB 18 18.7777778 1.69967317 M4 18 18.6111111 1.37793063 M5 18 17.7222222 1.36362646 M6 18 16.8333333 3.11070259

Level of ---HETEROFL--- H N Mean SD 0si 21 16.0952381 2.42703032 13si 21 17.8095238 1.74982992 16si 21 17.4761905 2.48231842 3si 21 17.0476190 2.10893790 6si 21 17.7619048 2.09534632 9si 21 19.5238095 1.74982992

Duncan's Multiple Range Test for variable: HETEROFL Alpha= 0.05 df= 84 MSE= 3.277778

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Critical Range 2.940 3.093 3.195 3.269 3.327 3.374 3.412 3.444 3.472 3.496 3.517 Number of Means 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Critical Range 3.536 3.553 3.568 3.581 3.593 3.605 3.615 3.624 3.632 3.640 3.647 Number of Means 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34

Critical Range 3.654 3.660 3.666 3.671 3.676 3.680 3.684 3.688 3.692 3.695 3.698 Number of Means 35 36 37 38 39 40 41 42

(63)
(64)
(65)

Lampiran 1 Anova rancangan acak lengkap faktorial

ANOVA RANCANGAN ACAK LENGKAP FAKTORIAL

LIM FOSIT

The SAS System 42 04:10 Thursday, September 4, 1997+ Analysis of Variance Procedure

Class Level Information Class Levels Values

P 7 KN KO KP KSB M4 M5 M6 H 6 0si 13si 16si 3si 6si 9si ULANGAN 3 1 2 3

Number of observations in data set = 126

The SAS System 43 04:10 Thursday, September 4, 1997 Analysis of Variance Procedure

Dependent Variable: LIMFOSIT

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F P 6 37.19047619 6.19841270 1.30 0.2664 H 5 106.61111111 21.32222222 4.47 0.0012 P*H 30 135.00000000 4.50000000 0.94 0.5573 Error 84 400.66666667 4.76984127

Corrected Total 125 679.46825397

R-Square C.V. Root MSE LIMFOSIT Mean 0.410323 3.011750 2.18399663 72.51587302

Duncan's Multiple Range Test for variable: LIMFOSIT Alpha= 0.05 df= 84 MSE= 4.769841

Number of Means 2 3 4 5 6 7 Critical Range 1.448 1.523 1.573 1.610 1.639 1.661 Means with the same letter are not significantly d ifferent. Duncan Grouping Mean N P

(66)

The SAS System 62 04:10 Thursday, September 4, 1997 Analysis of Variance Procedure

Class Level Information Class Levels Values

P 7 KN KO KP KSB M4 M5 M6 H 6 0si 13si 16si 3si 6si 9si ULANGAN 3 1 2 3

Number of observations in data set = 126

The SAS System 63 04:10 Thursday, September 4, 1997 Analysis of Variance Procedure

Dependent Variable: EOSINOFL

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F P 6 32.55555556 5.42592593 2.29 0.0423 H 5 10.92063492 2.18412698 0.92 0.4700 P*H 30 60.30158730 2.01005291 0.85 0.6856 Error 84 198.66666667 2.36507937

Corrected Total 125 302.44444444

R-Square C.V. Root MSE EOSINOFL Mean 0.343130 53.23436 1.53788145 2.88888889

Duncan's Multiple Range Test for variable: EOSINOFL Alpha= 0.05 df= 84 MSE= 2.365079

Number of Means 2 3 4 5 6 7 Critical Range 1.019 1.073 1.108 1.134 1.154 1.170 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N P

(67)

Duncan's Multiple Range Test for variable: EOSINOFL Alpha= 0.05 df= 84 MSE= 2.365079

Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 0.944 0.993 1.026 1.050 1.068 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N H

A 3.3810 21 0si A 3.1429 21 9si A 2.9048 21 16si A 2.7143 21 3si A 2.6667 21 6si A 2.5238 21 13si

Level of ---EOSINOFL--- P N Mean SD KN 18 2.50000000 1.46528455 KO 18 3.88888889 2.16628956 KP 18 2.61111111 1.41997883 KSB 18 2.33333333 0.90748521 M4 18 2.55555556 1.24721913 M5 18 3.22222222 1.39560468 M6 18 3.11111111 1.64097851

Level of ---EOSINOFL--- H N Mean SD 0si 21 3.38095238 1.62715059 13si 21 2.52380952 1.50396302 16si 21 2.90476190 1.92106121 3si 21 2.71428571 1.52127766 6si 21 2.66666667 1.35400640 9si 21 3.14285714 1.35224681

Duncan's Multiple Range Test for variable: EOSINOFL Alpha= 0.05 df= 84 MSE= 2.365079

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Critical Range 2.497 2.628 2.714 2.777 2.826 2.866 2.898 2.926 2.949 2.970 2.988 Number of Means 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Critical Range 3.004 3.018 3.031 3.042 3.052 3.062 3.070 3.078 3.085 3.092 3.098 Number of Means 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34

Critical Range 3.104 3.109 3.114 3.118 3.122 3.126 3.130 3.133 3.136 3.139 3.141 Number of Means 35 36 37 38 39 40 41 42

(68)
(69)
(70)

BASOFIL

The SAS System 72 04:10 Thursday, September 4, 1997 Analysis of Variance Procedure

Class Level Information Class Levels Values

P 7 KN KO KP KSB M4 M5 M6 H 6 0si 13si 16si 3si 6si 9si ULANGAN 3 1 2 3

Number of observations in data set = 126

The SAS System 73 04:10 Thursday, September 4, 1997 Analysis of Variance Procedure

Dependent Variable: BASOFIL

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F P 6 5.96825397 0.99470899 0.51 0.7964 H 5 11.11904762 2.22380952 1.15 0.3416 P*H 30 48.60317460 1.62010582 0.84 0.7033 Error 84 162.66666667 1.93650794

Corrected Total 125 228.35714286

R-Square C.V. Root MSE MONOSIT Mean 0.287666 72.15624 1.39158469 1.92857143

Duncan's Multiple Range Test for variable: BASOFIL Alpha= 0.05 df= 84 MSE= 1.936508

Number of Means 2 3 4 5 6 7 Critical Range 0.922 0.971 1.003 1.026 1.044 1.059 Means with the same letter are not sign

Gambar

Tabel 1 Taksonomi Eimeria sp. Ashadi dan Handayani (1992) dan Levine
Gambar 1 Siklus hidup Eimeria sp. (FAO 2003)
Gambar 2 Kerusakan usus akibat infeksi Eimeria tenella (FAO 2003)
Gambar 3 Sambiloto (Chang 1986)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Serta terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara religiusitas dan resiliensi pada wanita muslimah bercadar usia dewasa awal di Kota Bandung, dengan

Mengingat sortimen tidak tersedia maka pengukuran dilakukan dengan (mengandaikan) membuat sortimen pada pohon berdiri dengan panjang 150 cm. Selanjutnya, praktikan akan

The scope of this research is will be limited tothe effect of mind map on student learning outcomelooking of cognitive aspect at Biology learning topic sensory system

[r]

5 Karya Supriatna Guru Kelas VI 6 Lin Herlian, S.Pd.SD Guru Kelas II 7 Desi Kurniasari, S.Pd.I Guru PAI 8 Elsa Wiganda, S.Pd.SD Guru Kelas III 9 Eka Mustikawati, S.Pd.I Guru Kelas

Ratih Wulan Hasti, A 210100029, Program Studi Pendidikan Ekonomi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015. Tujuan penelitian ini adalah:

Penelitian ini dilakukan karena guru masih membutuhkan media pembelajaran dan adanya keterbatasan media yang tersedia di sekolah untuk menunjang proses pembelajaran

Statistika adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, pengolahan data, penyajian data, penganalisaan data serta penyimpulan data.. Data adalah