• Tidak ada hasil yang ditemukan

Domba Garut merupakan domba yang berasal dari persilangan antara domba lokal asli, domba Merino dan domba Ekor Gemuk dari Afrika Selatan yang telah menjadi satu bangsa karena seleksi bertahun-tahun adaptasinya terhadap lingkungan di daerah Garut (Balai Informasi Pertanian, 1990). Domba Garut memiliki sifat profilik atau memiliki anak lebih dari satu dengan jumlah anak perkelahiran ialah 1,97 (Subandriyo et al., 1981), tingginya jumlah anak perkelahiran tersebut tidak diimbangi dengan produksi susu yang cukup untuk anak-anaknya, sehingga mengakibatkan angka mortalitas tinggi dan pertumbuhan lambat pada anaknya (Bradford dan Inounu,1996). Domba Garut memiliki rataan bobot lahir untuk jantan 2,20 kg dan untuk betina ialah 2,10 kg (Subandriyoet al., 1981), sedang untuk bobot sapihnya 18,61-20,96 kg pada jantan dan 15,80-17,90 kg pada betina. Untuk bobot dewasa domba Garut adalah 33-53 kg untuk jantan dan 27-28 kg untuk betina. Domba Garut jantan yang diberi pakan baik dan bergizi, bobotnya dapat mencapai 60-80 kg (Merkens dan Soemirat, 1979), selain itu domba Garut jantan memiliki ciri-ciri, seperti bertanduk besar, melengkung ke belakang, berbentuk spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, di sisi lain bentuk telinganya ada yang panjang, sedang dan pendek terletak di belakang pangkal tanduk; dengan ekor yang pendek dan memiliki pangkal agak besar (Setiadi, 1989). Domba Garut jantan bersifat agresif dan kuat, selain itu juga merupakan domba yang diternakkan dengan sangat selektif (Smith dan Mangkoewidjojo,1988). Menurut Natasasmita et al. (1986) tujuan khusus pemeliharaan domba Garut ialah untuk penggemukan dan memperoleh domba yang tangkas.

Perbandingan Kation-Anion

Menurut Haris dan Beede (1983), kation diet berasal dari sodium (Na) dan potasium (K) yang bersifat basa, sedangkan anion diet berasal dari khlor (Cl), sulfur (S), dan fosfor (P) yang bersifat asam. Proses perhitungan keseimbangan kation-anion, tidak semua mineral dalam ransum yang dihitung, akan tetapi hanya beberapa mineral-mineral yang sering digunakan untuk menghitung keseimbangan anion, yaitu Na dan K untuk kation serta Cl dan S untuk anion. Perbandingan

kation-4 anion ialah perbedaan miliequivalen antara kation dan anion tertentu dalam ransum dengan cara pengurangan antara miliequivalen kation dan miliequivalen anion dalam seluruh ransum.

Hu dan Murphy (2004) memaparkan pada penelitian sapi perah mengenai keseimbangan kation-anion, apabila ransumnya semakin bertambah positif maka akan terjadi peningkatan pH darah, HCO3 darah, pH urin, tetapi K dan Cl darah menurun tapi tidak mempengaruhi Na darah, sedangkan pada ransum yang memiliki keseimbangan kation-anion bernilai negatif terjadi peningkatan Mg darah, Ca darah, pCO2 darah tetapi menurunkan pH darah dan urin, pO2darah. Penambahan anion ke dalam cairan tubuh sebagai suplemen dalam ransum dapat menurunkan pH cairan tubuh (Stewart, 1983). Menurut Sutardi (1980) keseimbangan asam-basa tubuh bergantung pada ion Na+, K+, Ca+, Mg++ dan ion Cl-. Bahan makanan dalam tubuh dapat berefek asam ataupun basa, di dalam tubuh bahan makanan seperti garam-garam organik (laktat, sitrat, dan sebagainya) akan bersifat alkalis. Terdapat pula bahan makanan seperti buah-buahan, sayur-sayuran, leguminosa, dan susu yang bersifat alkalis karena memiliki kecenderungan menaikkan pH darah, sedangkan bahan makanan yang bersifat asam yaitu cenderung menurunkan pH. Hewan herbivora, umumnya menghasilkan urin yang bersifat alkalis, sedangkan pada hewan karnivora umumnya mengasilkan urin yang besifat asam.

Mineral Ransum

Peran mineral dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu memelihara kondisi ionik dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam-basa dalam tubuh khususnya keseimbangan kation-anion, selain itu mineral juga berfungsi dalam memelihara tekanan osmotik cairan tubuh, menjaga sistem syaraf dan otot, mengatur transport zat makanan ke dalam sel dan mengatur permeabilitas membran sel serta sebagai kofaktor enzim dan mengatur metabolisme (Sutardi, 1980). Menurut Anggorodi (1984) defisiensi mineral menimbulkan gejala kehilangan pbb, penurunan produksi susu, daging, telur dan wol. Suplemen mineral biasanya relatif murah sehingga defisiensi dapat dicegah dengan cara memberikan jumlah yang tepat kepada hewan.

Mineral seng dapat ditemukan hampir di setiap jaringan tubuh ternak, konsentrasi Zn tertinggi biasanya ditemukan pada bagian kulit, rambut, dan bulu domba. Zinc juga berperan sebagai kofaktor untuk banyak enzim (Mc Donaldet al.,

5 1982). Pentingnya Zinc dalam ilmu nutrisi pertama-tama didemonstrasikan oleh Bertrand dan Bhattacherjee dalam tahun 1934 pada tikus. Zn dibutuhkan untuk sintesis normal dan metabolisme pada protein (Church dan Pond, 1978). Defisiensi Zn dapat mengakibatkan penurunan dan perkembangan tulang yang abnormal (Wahju, 1985). Jumlah Zn dalam tubuh sebesar 3 mg %, sedangkan jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan-jaringan epidermal dan terdapat pula dalam jumlah yang sedikit dalam tulang, otot, darah, dan berbagai alat. Defisiensi mineral Zn akan menyebabkan penyakit yang ditandai dengan luka-luka pada kulit, pertumbuhan terganggu, kelemahan, muntah-muntah dan hewan terlihat menggosokkan tubuhnya (Anggorodi, 1984).

Ca tersebar sebanyak 1-2% dalam tubuh hewan, dengan 99% terdapat dalam tulang dan gigi, Sementara 1% tersebar dalam cairan ekstraseluler, jaringan lunak dan sebagai komponen struktur membran (McDowell, 1992). Menurut Tillmanet al. (1998), Ca merupakan unsur ke lima terbanyak dalam tubuh hewan dan manusia, serta merupakan kation terbanyak. Kadar fosfor yang berlebih dan kemungkinan sulfat juga dapat mengganggu penyerapan Ca dalam usus, sedangkan perbandingan Ca dan P yang optimal untuk absorbsi adalah 1,3:1-1,5:1dan bila salah satu mineral berlebih maka akan mengganggu penyerapan unsur lain (Georgievskii,1981).

Mineral Cr merupakan mineral yang tergolong dalam unsur transisi yang mempunyai bilangan oksidasi 0, 2+, 3+, 4+, dan 6+, namun umumnya Cr bervalensi tiga merupakan bentuk yang paling stabil. Unsur Cr2+ jarang terdapat dalam sistem biologis karena jika kontak dengan udara akan ditransformasikan menjadi Cr3+. Unsur Cr4+ bersifat toksik, tetapi dalam saluran pencernaan dapat ditransformasikan menjadi bentuk Cr3+, sedangakan Cr6+ bersifat toksik, dapat berikatan dengan protein dan asam nukleat serta berikatan dengan materi genetik yang menyebabkan Cr6+ berdifat karsinogenik. Unsur Cr6+ dalam saluran pencernaan mengalami bioreduksi menjadi Cr3+ oleh organisme (Groff dan Gopper, 2000; NRC, 1997). Unsur Cr pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Perancis bernama Vaguel pada tahun 1797 ketika menyelidiki batu-batuan yang kaya akan Pb crhomate. Nama Cr diambil dari nama Yunani, Chroma yang artinya warna, karena unsur ini berada dalam beberapa warna yang berbeda.

6 Mineral Cr merupakan unsur mikro yang bersifat paling kurang beracun (Groff dan Gropper, 2000). Keracunan yang diakibatkan Cr jarang terjadi disebabkan : (a) terjadinya bioreduksi Cr6+ menjadi Cr3+ oleh berbagai organisme (NRC,1997), (b) tingkat toleransi hewan terhadap Cr6+ sangat tinggi yaitu lebih dari 1000 ppm BK pakan dan untuk Cr3+ mencapai 3000 ppm BK pakan (NRC,1997; Underwood dan Sommers, 1971), (c) senyawa kompleks Cr heksavalen segera diendapkan begitu hendak mencapai usus halus dan hampir tidak dapat diserap karena membentuk kompleks dengan bobot molekul besar (NRC,1997; Groff dan Gropper,2000) dan akumulasi Cr dalam tubuh sangat jauh di bawah ambang bahaya karena homeostasis Cr bersifat negatif dan cenderung menurun sejalan dengan peningkatan umur. Linder (1992) melaporkan sistem pengangkutan Cr setelah diserap, Cr kemudian diangkut transferin atau protein pengangkut Fe (iron carrier protein) dari plasma darah. Namun demikian, belum diketahui apakah GTF (Glucose Tolerance Factor) yang diserap melalui usus akan masuk ke dalam darah tanpa perubahan bentuk atau juga terikat dengan transferin. Setelah melalui penyerapan di usus, hampir semua Cr masuk ke dalam hati dan akan digabungkan ke dalam GTF. Sejumlah GTF tertentu akan disekresikan ke dalam darah dan akan tersedia untuk membantu aktifitas insulin. Kadar gula darah yang meningkat, menyebabkan insulin akan disekresikan dan peningkatan insulin akan meningkatkan aliran GTF ke dalam darah, sehingga GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresikan tersebut. Unsur Cr yang tidak digunakan lagi kemudian disekresikan melalui urin. Peranan Cr dalam metabolisme antara lain meningkatkan potensi aktifitas insulin, yakni sebagai komponen dari GTF yang dapat meningkatkan asupan glukosa ke dalam sel. Peran Cr terkait dengan kinerja hormon insulin, yaitu memacu pembentukan glikogen sebagai energi cadangan yang berasal dari kelebihan glukosa sebagai sumber energi metabolisme baik di organ hati maupun di otot. Suplementasi Cr dapat meningkatkan pasokan glukosa oleh sel, produksi CO2dari oksidasi glukosa dan pembentukan glikogen dari glukosa. Glukosa yang berasal dari hasil hidrolisa karbohidrat di saluran pencernaan akan masuk ke dalam darah yang sebagian dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam sel dan sebagian lagi disimpan sebagai energi cadangan dalam bentuk glikogen baik di hati maupun di daging (NRC,1997; Underwood dan Sommers,1971).

7 Peran Cr dalam metabolisme lipid tidak tergantung dari pengaruhnya terhadap metabolisme glukosa. Defisiensi Cr dapat menyebabkan hiperkolesterolemia, yaitu tingginya kadar kolesterol dalam darah. Unsur Cr berperan dalam homeostasis kolesterol darah. Penambahan Cr pada ransum yang rendah akan kandungan Cr-nya dapat menurunkan level kolesterol darah dan menghambat kecenderungan peningkatan kolesterol seiring dengan meningkatnya umur (Underwood dan Sommers, 1971). Defisiensi Cr dapat menyebabkan rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati dan menyebabkan gangguan untuk pengikatan asam amino, diantaranya glisin, serin dan metionin. Pada sel kelenjar ambing hewan ruminansia, pengambilan glukosa tidak ditentukan oleh insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin, metionin, lisin, asam glutamat, treonin, aspargin dan tirosin (NRC,1997; Underwood dan Sommers, 1971).

Saat cekaman kebutuhan Cr pada ternak akan mengalami peningkatan. Selama kondisi cekaman terjadi peningkatan metabolisme glukosa secara cepat yang ditandai dengan sekresi hormon kortisol di darah. Hormon kortisol memiliki aksi yang antagonistik dengan insulin karena keberadaannya mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh. Hormon kortisol yang meningkat pada saat cekaman menyebabkan glukosa yang masuk ke dalam sel menurun. Unsur Cr yang telah dimobilisasi bersifat tidak dapat kembali (irreversible) dan keluar melalui urin sehingga pada kondisi cekaman peluang terjadinya defisiensi Cr meningkat (Burton, 1995). Cekaman dapat mengganggu pertumbuhan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, diperlukan upaya mempercepat kembalinya glukosa darah dalam kadar normal agar tidak menggangu pertumbuhan dan performa ternak selanjutnya (Burton,1995).

Lingkungan dan Ternak

Definisi lingkungan menurut Ensminger et al. (1990) ialah semua keadaan, kondisi, dan pengaruh sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas ternak. Hewan membutuhkan lingkungan yang cocok untuk mempertahankan hidup, pertumbuhan, dan produksi maksimal serta kebutuhan fisiologinya. Berkurangnya performa pada ternak yang mengalami cekaman panas dan dingin merupakan akibat dari gangguan pada proses termogulasi

8 yang mempengaruhi perubahan keseimbangan energi, air, dan endokrin (Johnson, 1987).

Cekaman lingkungan pada ruminansia dapat menyebabkan terjadinya perubahan pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal, sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari tubuh (Devendra dan Faylon, 1989). Lingkungan domba dapat dipengaruhi melalui dua jalan, yaitu yang pertama adalah dengan mempengaruhi hijauan (pakan) dan pasokan makanan dan air serta pola penyakit yang dikenal faktor tidak langsung; sedang yang kedua ialah mempengaruhi domba secara langsung yang pengaruh lingkungan utamanya kecepatan angin, suhu, dan kelembaban udara (lingkungan fisik), namun dari semua pengaruh lingkungan pada domba tropis cekaman panas biasanya yang paling serius (Devendra dan Faylon, 1989). Cekaman dingin dapat berakibat fatal pada domba yang baru lahir, karena metabolisme tubuh mereka tidak cukup untuk memelihara suhu tubuh normal (Edey, 1983).

Thermonetral Zone (TNZ) adalah daerah yang nyaman dengan suhu lingkungan yang sesuai untuk ternak. Daerah termonetral bagi hewan ternak merupakan kisaran suhu udara yang paling sesuai dengan kehidupannya, dimana terjadi metabolisme basal dan hanya terjadi pengaturan panas secarasensible dengan menggunakan energi yang paling sedikit, kisaran suhu udara tersebut tidak menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (Mc Dowell, 1972). Peningkatan atau penurunan suhu lingkungan terhadap suhu nyaman, akan mengakibatkan peningkatan produksi panas dalam upaya membuang kelebihan panas atau mempertahankan panas tubuh. Suhu kritis terendah yang dapat diterima oleh ternak disebut Lower Critical Temperature (LCT) dan suhu kritis teratas yang dapat diterima oleh ternak disebut Upper Critical Temperature (UCT). Menurut Yousef (1985) daerah TNZ untuk domba yang baru lahir berada pada suhu lingkungan antara 29-300C, sedangkan untuk domba dalam pemeliharaan berada pada suhu lingkungan antara 22-310C.

9 Kondisi Fisiologis Domba

Domba sebagai mamalia merupakan hewan berdarah panas yang mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu, tetapi bila suhu lingkungan mencapai keadaan di luar batas kemampuannya maka akan muncul gejala-gejala merugikan (Johnston, 1983). Domba banyak dijumpai di daerah tropis karena mempunyai daya tahan terhadap kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensmingeret al., 1990). Kondisi fisiologis domba merupakan suatu kondisi domba terhadap berbagai macam faktor baik itu fisik, kimia, maupun lingkungan sekitar (Yousef, 1985). Kondisi fisiologis domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat beberapa faktor, seperti suhu tubuh, laju respirasi, profil darah.

Suhu Rektal

Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994). Suhu rektal adalah salah satu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal harian rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari (Edey, 1983). Sudarman dan Ito (2000) melaporkan bahwa domba suffolk yang ditempatkan pada suhu lingkungan 300C mempunyai rataan suhu vagina yang lebih tinggi daripada suhu lingkungan 200C. Suhu lingkungan yang sangat rendah, di bawah tingkat kritis minimum, dapat mengakibatkan suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan kadang diikuti kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis (Ensminger et al., 1990). Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada suhu lingkungan yang ekstrim, laju pembentukan panas dalam tubuh lebih tinggi daripada laju hilangnya panas dalam tubuh maka temperatur tubuh akan meningkat (Guyton dan Hall, 1997). Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 38,2-400C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988), Williamson dan Payne (1993) menyatakan suhu tubuh ternak domestik adalah 38-39 0C untuk ternak sapi, sedangkan untuk domba 38,3-38,90C dan untuk kambing berkisar 38,7-40,70C. Laju Respirasi

Laju respirasi merupakan konsentrasi O2, CO2, dan H+ dalam cairan tubuh, pH darah, volume darah, dan kondisi pembuluh darah (Subronto, 1985), ada dua fungsi utama dari sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil CO2 dari dalam darah (Frandson, 1992). Hewan ternak memerlukan energi yang

10 didapatkan dari hasil oksidasi bahan-bahan makanan, sehingga oksigen mempunyai peran yang sama dengan bahan-bahan makanan dalam mempertahankan kehidupan hewan. Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, dimana hewan mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekitarnya, khususnya gas-gas O2 dan CO2(Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Respirasi juga sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan dibuang. Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernapasan dapat diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air antara udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernapasan (Yousef, 1985).

Pada keadaan istirahat frekuensi rata-rata atau kecepatan respirasi domba adalah 19 kali tiap menit dalam (Frandson, 1992). Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 15-25 hembusan per menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, reaksi pertama ternak dalam menghadapi keadaan ini ialah dengan panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey, 1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui saluran pernapasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram uap air evaporasi dapat menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 250C (Yousef, 1985).

Profil Darah

Darah juga memiliki peran penting dalam pengendalian suhu, dengan cara mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh (Frandson,1992). Darah dikelompokkan dari beberapa substansi, sebagai berikut : 1. Hemoglobin

Beberapa cara dapat digunakan untuk memperoleh nilai hemoglobin dalam darah, cara yang paling sering digunakan untuk mengubah hemoglobin tersebut dan mengukur kadarnya dengan spektofotometer dengan pita absorbsi 540 nm (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Frandson (1992) menyatakan dari segi kimia hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang kompleks dan terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari empat rantai asam-asam

11 amino. Hemoglobin menggabung dengan oksigen udara yang terdapat di dalam paru-paru, hingga terbentuklah oksihemoglobin yang selanjutnya melepaskan oksigen itu ke sel-sel jaringan di dalam tubuh. Adanya hemoglobin ini darah dapat mengangkut sekitar 60 kali oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang sama.

2. Hematokrit

Nilai hematokrit dapat diukur dengan metode mikrohematokrit (Nasution, 1990) menggunakan alat baca microcapilarry hematocrite reader. Sebelumnya darah yang telah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan disentrifusa, sel-sel akan menempati dasar tabung, sedangkan plasma suatu cairan kuning akan berada di atas, dalam keadaan ini nilai hematokrit atau Volume of Packed Red Cells (VPRC) dapat diukur (Guyton dan Hall, 1997). Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan persentase sel-sel darah merah di dalam 100% darah. Nilai hematokrit yang normal pada domba adalah berkisar 29-45% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pada hewan hematokrit sebanding dengan eritrosit dan hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986).

Wilson (1979) menyatakan bahwa nilai hematokrit sangat berhubungan dengan viskositas (kekentalan) darah dimana peningkatan nilai hematokrit akan meningkatkan nilai viskositas darah. Nilai hematokrit seekor ternak akan didapatkan berkurang pada suhu lingkungan tinggi. Sujono (1991) juga menambahkan bahwa besarnya nilai hematokrit dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu (1) bangsa dan jenis ternak, (2) umur dan fase produksi, (3) jenis kelamin, (4) iklim setempat, (5) penyakit dan (6) dehidrasi.

3. Eritrosit

Sel-sel darah merah atau eritrosit adalah sel-sel yang diameter rata-ratanya sebesar 7,5µ. Sel-sel ini merupakan cakram yang bikonkaf, dengan pinggiran sirkuler yang tebalnya 1,5µ dan pusatnya yang tipis. Cakram bikonkaf tersebut memiliki permukaan yang relatif luas untuk pertukaran oksigen melintasi membran sel (Frandson, 1992).

12 4. Leukosit

Sel darah putih atau leukosit sangat berbeda dari eritrosit, karena adanya nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Leukosit dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu granulosit dan agranulosit. Di dalam granulosit terdapat netrofil, eosinofil, dan basofil, sedangkan pada agranulosit dibagi menjadi dua, yaitu monosit dan limfosit. Masa hidup sel-sel darah putih sangatlah bervariasi, mulai dari beberapa jam untuk granulosit, sampai bulanan untuk monosit, dan bahkan tahunan untuk limfosit. Kebanyakan sel-sel darah putih bersifat non-fungsional dan hanya diangkut ke jaringan ketika dan di mana dibutuhkan saja (Frandson, 1992).

5. Diferensiasi Leukosit

Hitungan total sel darah putih, dibuat dengan cara yang sama seperti sel darah merah. Sel darah putih memiliki jumlah yang jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan sel darah merah. Sel darah putih diperhitungkan dalam ribuan per milimeter kubik darah. Hitungan sel darah putih saat normal tiap mm kubik adalah 8 ribu untuk hewan ternak domba. Perhitungan diferensial dapat memberikan angka persentase tiap jenis sel darah putih. Apabila jumlah leukosit sangat jauh diatas normal bagi suatu spesies tertentu, maka perlu diselidiki sebabnya (Frandson, 1992). Netrofil mempunyai persentase kedua terbesar setelah limfosit dalam leukosit. Netrofil mengandung granula yang memberikan warna indeferen dan tidak merah ataupun biru, ini merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi ke daerah-daerah yang sedang mengalami serangan oleh bakteri, menembus dinding pembuluh dan menyerang bakteri untuk dihancurkan. Limfosit merupakan sel darah putih yang mempunyai ukuran dan penampilan yang bervariasi juga mempunyai nukleus yang relatif besar yang dikelilingi oleh sitoplasma. Fungsi utama limfosit adalah responnya terhadap antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersikulasi dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan) seluler (Frandson, 1992). Perbandingan netrofil dan limfosit adalah ukuran yang baik untuk melihat tingkat cekaman yang diperoleh dan nilainya dipengaruhi oleh cekaman dan penyakit (Gross dan Siegel, 1983). Perbandingan antara netrofil dan limfosit pada domba menurut Schalm (1971) adalah (30/60)%. Cekaman iklim dan lingkungan seperti transportasi dan panas

13 menghasilkan perbandingan netrofil dan limfosit yang meningkat karena adanya cekaman fisiologis (Maxwell, 1983).

Eosinofil juga dikenal dengan nama asidofil nampak sebagai granula yang berwarna merah di dalam sitoplasma. Sel-sel ini umumnya jumlahnya tidak banyak, dapat meningkat dalam kasus penyakit-penyakit kronis tertentu, seperti infeksi oleh parasit. Eosinofil juga bersifat ameboid dan fagositik, sedangkan fungsi utamanya adalah untuk toksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui paru atau pun saluran pencernaan, maupun racun yang dihasilkan oleh bakteria dan parasit. Dalam keadaan reaksi alergi, jumlah eosinofil akan meningkat (Frandson, 1992). Monosit merupakan sel-sel darah putih yang menyerupai netrofil, monosit akan mulai bekerja pada keadaan infeksi yang tidak terlalu akut seperti tuberkolosis. Saat monosit darah masuk ke dalam jaringan, monosit itu akan berkembang menjadi fagosit yang lebih besar yang disebut makrofag (Frandson, 1992).

METODE

Dokumen terkait