• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat Ransum dengan Kadar Kromium dan Kation-Anion Berbeda pada Suhu Lingkungan Panas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat Ransum dengan Kadar Kromium dan Kation-Anion Berbeda pada Suhu Lingkungan Panas"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG

MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM

DAN NERACA KATION ANION BERBEDA

PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS

SKRIPSI

RIMBA RIZKI ANANDA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

RIMBA RIZKI ANANDA. D24053588. 2009. Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat Ransum dengan Kadar Kromium dan Kation-Anion Berbeda pada Suhu Lingkungan Panas. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A, MS. M.Sc

Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi performa ternak baik secara langsung maupun tidak langsung. Cekaman yang terjadi akibat pengaruh suhu dan kelembaban akan menyebabkan ternak mengalami gangguan suhu tubuh, laju respirasi, dan profil darah sebagai respon utama ternak. Pengaruh buruk cekaman tersebut dapat ditekan melalui suplementasi nutrisi, diantaranya memberikan ransum dengan kromium organik dan neraca kation-anion ransum (NKAR). Penelitian ini bertujuan mengetahui efek dari pemberian kromium organik dan ransum dengan neraca kation-anion berbeda pada domba Garut jantan dalam mengurangi cekaman pada suhu lingkungan panas.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Juli sampai November 2008. Ternak yang digunakan adalah domba Garut jantan sebanyak 24 ekor, umur 1,5 tahun dan bobot badan awal 29,98±4,01 kg. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan berupa ransum penelitian dan 6 kelompok berupa ternak berdasarkan bobot badan. Ransum perlakuan yang diberikan dengan rasio hijauan : konsentrat = 35:65 adalah R0 = ransum dengan neraca kation-anion (NKAR) +14, R1 = NKAR +14 dengan kromium (Cr), R2 = NKAR 0, dan R3 = NKAR 0 dengan Cr. Pengamatan dilakukan selama tujuh minggu, sedangkan peubah yang diukur adalah kondisi fisiologis berupa suhu rektal, laju respirasi dan profil darah. Analisis data penelitian menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan uji jarak Duncan.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suhu rektal, laju respirasi dan profil darah tidak menunjukkan perbedaan untuk semua jenis ransum. Pada suhu lingkungan 330C dan kelembaban 68 % menghasilkan suhu rektal normal (38,70-39,14 0C), peningkatan laju respirasi (8-15 %), dan semua ternak mengalami stres karena cekaman panas yang ditunjukkan dari nilai rasio netrofil/limfosit 2-3. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum dengan nilai NKAR pada kisaran 0 dan +14 dengan suplementasi 3 ppm Cr tidak mempengaruhi kondisi fisiologis ternak domba Garut jantan saat lingkungan panas.

(3)

ABSTRACT

Physiological Condition of Garut Breed Male Sheep Offered Diets with Different Dietary Cation-Anion Balance and Chromium Content

R. R. Ananda, T. Toharmat, and D. Evvyernie

Chromium (Cr) is an essential mineral for the animal body and required for normal metabolism of carbohydrate, protein, lipid and nucleic acid, hormonal regulation and immune function. Degradation of Cr level in sheep body increases stressor hormone that decreases health status of the animals. The objective of this experiment was to study the efficacy of chromium and dietary cation anion balance (DCAB) to improve physiological condition of sheep in high environment temperature. Twenty four of sheep were grouped in six weight categories and allocated into four dietary treatments. Dietary treatments were: R0= basal diet DCAB +14, R1= basal diet with 3 ppm organic-Cr, R2= DCAB 0 without organic-Cr, R3= DCAB 0 with 3 ppm organic-Cr. The basal diet composed of 35% maize straw and 65% concentrate. Diet and water were offered ad libitum. Rectal temperature, respiration rate, and bloods profile were observed. Rectal temperature, respiration rate, and bloods profile were not influenced by organic-Cr supplementation and manipulation of dietary cation anion balance. Result of environmental temperature 33 OC and humidity 68 % is rectal temperature (38.70-39.14OC), respiration rate increases (8-15 %), and stress indicated in all of sheep from netrofil/limfosit ratio 2-3. It was concluded that the supplementation of organic-Cr and manipulation of DCAB is not influence when the environmental temperature varied from 24-33OC.

(4)

KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG

MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM

DAN NERACA KATION ANION BERBEDA

PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS

RIMBA RIZKI ANANDA D24053588

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG

MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM

DAN NERACA KATION ANION BERBEDA

PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS

Oleh

RIMBA RIZKI ANANDA D24053588

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 September 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgr.Sc Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., M.Sc NIP. 195909021983031003 NIP. 196106021986032001

Dekan Ketua Departemen

Fakultas Peternakan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir dari pasangan Ayah H. Hasiyadi dan Ibu Ruhiyahnur di

Pontianak, Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat) pada tanggal 30 Juni 1987.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah atas di kota

Tangerang, Banten. Setelah lulus SMA tahun 2005, penulis diterima pada Program

Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagai

mahasiswa melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Pada tahun

2006 penulis terdaftar di Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (Fakultas

Peternakan) dan Minor Manajemen Fungsional (Fakultas Ekonomi dan Manajemen),

Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis aktif di beberapa kegiatan organisasi

di antaranya BEM-TPB (Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama),

Karang Taruna Masyarakat, Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan

Teknologi Pakan. Selain itu, penulis banyak berpartisipasi dalam kepanitiaan

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

rahmat, karunia dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana peternakan.

Skripsi ini berjudul ”Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat

Ransum dengan Kadar Kromium dan Neraca Kation-Anion Berbeda Pada Suhu

Lingkungan Panas”. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah

dan Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan

Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini

berlangsung pada bulan Juli sampai November 2008. Tahapan penelitian meliputi

persiapan yang dimulai dari penulisan proposal dilanjutkan dengan mempersiapkan

bahan dan alat yang digunakan pada penelitian, persiapan penelitian, pelaksanaan

penelitian, dan dokumentasi atau penulisan hasil.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kondisi fisiologis domba Garut

jantan yang mendapat ransum yang disuplementasi dengan Cr-organik dan

mempunyai nilai neraca kation-anion ransum (NKAR) berbeda.

Penulis dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada seluruh

pihak yang telah membantu penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca

pada umumnya.

Bogor, September 2009

(8)

DAFTAR ISI

Kandang dan Peralatan …... 14

Obat-obatan ... 14

Pengambilan Sampel Darah ………... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 19

(9)

ix

Pengaruh NKAR dan Cr terhadap Kondisi Fisiologis ... 20

Suhu Rektal ... 20

Laju Respirasi ... 21

Profil Darah ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

Kesimpulan ... 26

Saran ... 26

UCAPAN TERIMA KASIH ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Rataan Suhu Rektal Pagi Hari ... 33

2. Data Rataan Suhu Rektal Siang Hari ... 33

3. Data Rataan Laju Respirasi Pagi Hari ... 33

4. Data Rataan Laju Respirasi Siang Hari ... 34

5. Data Rataan Hemoglobin ... 34

6. Data Rataan Hematokrit ... 34

7. Data Rataan Butir Darah Merah ... 35

8. Data Rataan Butir Darah Putih ... 35

9. Data Rataan Netrofil ... 35

10. Data Rataan Limfosit ... 36

11. Data Rataan Monosit ... 36

12. Data Rataan Eosinofil ... 37

(11)

KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG

MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM

DAN NERACA KATION ANION BERBEDA

PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS

SKRIPSI

RIMBA RIZKI ANANDA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(12)

RINGKASAN

RIMBA RIZKI ANANDA. D24053588. 2009. Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat Ransum dengan Kadar Kromium dan Kation-Anion Berbeda pada Suhu Lingkungan Panas. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A, MS. M.Sc

Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi performa ternak baik secara langsung maupun tidak langsung. Cekaman yang terjadi akibat pengaruh suhu dan kelembaban akan menyebabkan ternak mengalami gangguan suhu tubuh, laju respirasi, dan profil darah sebagai respon utama ternak. Pengaruh buruk cekaman tersebut dapat ditekan melalui suplementasi nutrisi, diantaranya memberikan ransum dengan kromium organik dan neraca kation-anion ransum (NKAR). Penelitian ini bertujuan mengetahui efek dari pemberian kromium organik dan ransum dengan neraca kation-anion berbeda pada domba Garut jantan dalam mengurangi cekaman pada suhu lingkungan panas.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Juli sampai November 2008. Ternak yang digunakan adalah domba Garut jantan sebanyak 24 ekor, umur 1,5 tahun dan bobot badan awal 29,98±4,01 kg. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan berupa ransum penelitian dan 6 kelompok berupa ternak berdasarkan bobot badan. Ransum perlakuan yang diberikan dengan rasio hijauan : konsentrat = 35:65 adalah R0 = ransum dengan neraca kation-anion (NKAR) +14, R1 = NKAR +14 dengan kromium (Cr), R2 = NKAR 0, dan R3 = NKAR 0 dengan Cr. Pengamatan dilakukan selama tujuh minggu, sedangkan peubah yang diukur adalah kondisi fisiologis berupa suhu rektal, laju respirasi dan profil darah. Analisis data penelitian menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan uji jarak Duncan.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suhu rektal, laju respirasi dan profil darah tidak menunjukkan perbedaan untuk semua jenis ransum. Pada suhu lingkungan 330C dan kelembaban 68 % menghasilkan suhu rektal normal (38,70-39,14 0C), peningkatan laju respirasi (8-15 %), dan semua ternak mengalami stres karena cekaman panas yang ditunjukkan dari nilai rasio netrofil/limfosit 2-3. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum dengan nilai NKAR pada kisaran 0 dan +14 dengan suplementasi 3 ppm Cr tidak mempengaruhi kondisi fisiologis ternak domba Garut jantan saat lingkungan panas.

(13)

ABSTRACT

Physiological Condition of Garut Breed Male Sheep Offered Diets with Different Dietary Cation-Anion Balance and Chromium Content

R. R. Ananda, T. Toharmat, and D. Evvyernie

Chromium (Cr) is an essential mineral for the animal body and required for normal metabolism of carbohydrate, protein, lipid and nucleic acid, hormonal regulation and immune function. Degradation of Cr level in sheep body increases stressor hormone that decreases health status of the animals. The objective of this experiment was to study the efficacy of chromium and dietary cation anion balance (DCAB) to improve physiological condition of sheep in high environment temperature. Twenty four of sheep were grouped in six weight categories and allocated into four dietary treatments. Dietary treatments were: R0= basal diet DCAB +14, R1= basal diet with 3 ppm organic-Cr, R2= DCAB 0 without organic-Cr, R3= DCAB 0 with 3 ppm organic-Cr. The basal diet composed of 35% maize straw and 65% concentrate. Diet and water were offered ad libitum. Rectal temperature, respiration rate, and bloods profile were observed. Rectal temperature, respiration rate, and bloods profile were not influenced by organic-Cr supplementation and manipulation of dietary cation anion balance. Result of environmental temperature 33 OC and humidity 68 % is rectal temperature (38.70-39.14OC), respiration rate increases (8-15 %), and stress indicated in all of sheep from netrofil/limfosit ratio 2-3. It was concluded that the supplementation of organic-Cr and manipulation of DCAB is not influence when the environmental temperature varied from 24-33OC.

(14)

KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG

MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM

DAN NERACA KATION ANION BERBEDA

PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS

RIMBA RIZKI ANANDA D24053588

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(15)

KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG

MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM

DAN NERACA KATION ANION BERBEDA

PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS

Oleh

RIMBA RIZKI ANANDA D24053588

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 September 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgr.Sc Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., M.Sc NIP. 195909021983031003 NIP. 196106021986032001

Dekan Ketua Departemen

Fakultas Peternakan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir dari pasangan Ayah H. Hasiyadi dan Ibu Ruhiyahnur di

Pontianak, Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat) pada tanggal 30 Juni 1987.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah atas di kota

Tangerang, Banten. Setelah lulus SMA tahun 2005, penulis diterima pada Program

Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagai

mahasiswa melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Pada tahun

2006 penulis terdaftar di Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (Fakultas

Peternakan) dan Minor Manajemen Fungsional (Fakultas Ekonomi dan Manajemen),

Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis aktif di beberapa kegiatan organisasi

di antaranya BEM-TPB (Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama),

Karang Taruna Masyarakat, Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan

Teknologi Pakan. Selain itu, penulis banyak berpartisipasi dalam kepanitiaan

(17)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

rahmat, karunia dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana peternakan.

Skripsi ini berjudul ”Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat

Ransum dengan Kadar Kromium dan Neraca Kation-Anion Berbeda Pada Suhu

Lingkungan Panas”. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah

dan Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan

Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini

berlangsung pada bulan Juli sampai November 2008. Tahapan penelitian meliputi

persiapan yang dimulai dari penulisan proposal dilanjutkan dengan mempersiapkan

bahan dan alat yang digunakan pada penelitian, persiapan penelitian, pelaksanaan

penelitian, dan dokumentasi atau penulisan hasil.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kondisi fisiologis domba Garut

jantan yang mendapat ransum yang disuplementasi dengan Cr-organik dan

mempunyai nilai neraca kation-anion ransum (NKAR) berbeda.

Penulis dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada seluruh

pihak yang telah membantu penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca

pada umumnya.

Bogor, September 2009

(18)

DAFTAR ISI

Kandang dan Peralatan …... 14

Obat-obatan ... 14

Pengambilan Sampel Darah ………... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 19

(19)

ix

Pengaruh NKAR dan Cr terhadap Kondisi Fisiologis ... 20

Suhu Rektal ... 20

Laju Respirasi ... 21

Profil Darah ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

Kesimpulan ... 26

Saran ... 26

UCAPAN TERIMA KASIH ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Rataan Suhu Rektal Pagi Hari ... 33

2. Data Rataan Suhu Rektal Siang Hari ... 33

3. Data Rataan Laju Respirasi Pagi Hari ... 33

4. Data Rataan Laju Respirasi Siang Hari ... 34

5. Data Rataan Hemoglobin ... 34

6. Data Rataan Hematokrit ... 34

7. Data Rataan Butir Darah Merah ... 35

8. Data Rataan Butir Darah Putih ... 35

9. Data Rataan Netrofil ... 35

10. Data Rataan Limfosit ... 36

11. Data Rataan Monosit ... 36

12. Data Rataan Eosinofil ... 37

(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penambahan Cr, ZnSO4, CaSO4, dan Kandungan Mineral Na, K, Cl,

dan S Ransum Penelitian ……….. 15

2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan ... 19

3. Rataan Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba Selama Penelitian... ... 20

4. Nilai Normal dan Profil Darah Domba Garut Jantan yang Digunakan

(22)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Lingkungan tropis di wilayah Indonesia memiliki suhu udara yang tergolong

panas dan kelembaban udara rata-rata di atas 60%. Keadaan tersebut dapat menjadi

salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan ternak.

Respon fisiologis ternak merupakan respon ternak terhadap berbagai macam faktor

baik fisik, kimia maupun lingkungan sekitar (Yousef,1985). Suhu udara dapat

mempengaruhi ternak secara langsung, terutama saat suhu udara yang tinggi dapat

menyebabkan ternak mengalami cekaman. Suhu udara yang tinggi juga dapat

mempengaruhi ternak secara tidak langsung, keadaan ini mempengaruhi

pertumbuhan sumber-sumber makanan ternak yang pada akhirnya membuat ternak

kekurangan asupan gizi. Berkurangnya performa pada ternak yang mengalami

cekaman panas dan dingin merupakan akibat dari gangguan pada proses

termoregulasi yang mempengaruhi perubahan keseimbangan energi, air, dan

endokrin (Johnson, 1987). Pada keadaan lainnya, kelembaban yang tinggi juga dapat

mempengaruhi proses pelepasan energi tubuh ternak, karena dalam keadaan tersebut

ternak sulit melakukan evaporasi yang merupakan salah satu cara dalam pengaturan

panas tubuh. Oleh karena itu, saat siang hari dengan suhu dan kelembaban yang

tinggi dapat mengakibatkan cekaman panas pada ternak.

Domba Garut jantan merupakan jenis domba yang banyak terdapat di daerah

Garut, Jawa Barat, dan memiliki ciri khas yang disukai masyarakat (Setiadi, 1989).

Bobot badan domba Garut betina berkisar antara 30-50 kg sedangkan bobot domba

jantan mencapai lebih dari 80 kg, dengan demikian domba Garut memiliki potensi

besar untuk dikembangkan dalam peternakan modern. Domba jantan juga dapat

dijadikan sebagai donor semen dengan tujuan memperbaiki performa domba lokal

lainnya (Rizalet al., 2004). Domba Garut berkembang di dataran tinggi Jawa Barat, namun dengan berbagai keunggulan jenis domba tersebut dikembangkan di wilayah

dataran rendah yang mempunyai suhu dan kelembaban yang tinggi yang dapat

menyebabkan cekaman panas.

Cekaman panas meningkatkan kebutuhan mineral kromium (Cr) dalam tubuh

ternak (Burton, 1995). Cekaman menyebabkan peningkatan pelepasan hormon

(23)

2 Hormon kortisol memiliki sifat yang antagonistik dengan hormon insulin karena

keberadaannya mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, selain itu

saat mengalami cekaman panas tubuh ternak akan bersifat basa yang berkaitan

dengan aktivitas transportasi O2 dan CO2 dalam tubuh ternak tersebut. Suplementasi

Cr dan pemberian ransum dengan memperhatikan rasio kation anionnya diharapkan

dapat mengurangi cekaman panas pada ternak domba Garut jantan terutama dalam

keadaan lingkungan yang panas. Bestari (2007) menyatakan bahwa penggunaan

Cr-pikolinat dapat mengurangi cekaman panas pada sapi perah di daerah lingkungan

panas.

Perumusan Masalah

Suhu lingkungan panas akan menyebabkan cekaman yang dapat

mempengaruhi kondisi fisiologis ternak yang dapat ditunjukkan dari suhu rektal, laju

respirasi, profil darah dan pada akhirnya dapat menurunkan performa ternak.

Tempat pemeliharaan ternak dengan kondisi yang berbeda juga dapat menyebabkan

ternak sulit beradaptasi, sehingga akan menurunkan produktivitas. Salah satu upaya

yang dapat dilakukan untuk memperbaiki aspek nutrisi yaitu melalui pengaturan nilai

perbedaan neraca kation-anion ransum (NKAR) dengan Cr organik.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian kromium

organik dan ransum dengan neraca kation-anion berbeda terhadap kondisi fisiologis

(24)

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut

Domba Garut merupakan domba yang berasal dari persilangan antara domba

lokal asli, domba Merino dan domba Ekor Gemuk dari Afrika Selatan yang telah

menjadi satu bangsa karena seleksi bertahun-tahun adaptasinya terhadap lingkungan

di daerah Garut (Balai Informasi Pertanian, 1990). Domba Garut memiliki sifat

profilik atau memiliki anak lebih dari satu dengan jumlah anak perkelahiran ialah

1,97 (Subandriyo et al., 1981), tingginya jumlah anak perkelahiran tersebut tidak diimbangi dengan produksi susu yang cukup untuk anak-anaknya, sehingga

mengakibatkan angka mortalitas tinggi dan pertumbuhan lambat pada anaknya

(Bradford dan Inounu,1996). Domba Garut memiliki rataan bobot lahir untuk jantan

2,20 kg dan untuk betina ialah 2,10 kg (Subandriyoet al., 1981), sedang untuk bobot sapihnya 18,61-20,96 kg pada jantan dan 15,80-17,90 kg pada betina. Untuk bobot

dewasa domba Garut adalah 33-53 kg untuk jantan dan 27-28 kg untuk betina.

Domba Garut jantan yang diberi pakan baik dan bergizi, bobotnya dapat mencapai

60-80 kg (Merkens dan Soemirat, 1979), selain itu domba Garut jantan memiliki

ciri-ciri, seperti bertanduk besar, melengkung ke belakang, berbentuk spiral, pangkal

tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, di sisi lain bentuk telinganya ada yang

panjang, sedang dan pendek terletak di belakang pangkal tanduk; dengan ekor yang

pendek dan memiliki pangkal agak besar (Setiadi, 1989). Domba Garut jantan

bersifat agresif dan kuat, selain itu juga merupakan domba yang diternakkan dengan

sangat selektif (Smith dan Mangkoewidjojo,1988). Menurut Natasasmita et al. (1986) tujuan khusus pemeliharaan domba Garut ialah untuk penggemukan dan

memperoleh domba yang tangkas.

Perbandingan Kation-Anion

Menurut Haris dan Beede (1983), kation diet berasal dari sodium (Na) dan

potasium (K) yang bersifat basa, sedangkan anion diet berasal dari khlor (Cl), sulfur

(S), dan fosfor (P) yang bersifat asam. Proses perhitungan keseimbangan

kation-anion, tidak semua mineral dalam ransum yang dihitung, akan tetapi hanya beberapa

mineral-mineral yang sering digunakan untuk menghitung keseimbangan

(25)

kation-4 anion ialah perbedaan miliequivalen antara kation dan anion tertentu dalam ransum

dengan cara pengurangan antara miliequivalen kation dan miliequivalen anion dalam

seluruh ransum.

Hu dan Murphy (2004) memaparkan pada penelitian sapi perah mengenai

keseimbangan kation-anion, apabila ransumnya semakin bertambah positif maka

akan terjadi peningkatan pH darah, HCO3 darah, pH urin, tetapi K dan Cl darah

menurun tapi tidak mempengaruhi Na darah, sedangkan pada ransum yang memiliki

keseimbangan kation-anion bernilai negatif terjadi peningkatan Mg darah, Ca darah,

pCO2 darah tetapi menurunkan pH darah dan urin, pO2darah. Penambahan anion

ke dalam cairan tubuh sebagai suplemen dalam ransum dapat menurunkan pH cairan

tubuh (Stewart, 1983). Menurut Sutardi (1980) keseimbangan asam-basa tubuh

bergantung pada ion Na+, K+, Ca+, Mg++ dan ion Cl-. Bahan makanan dalam tubuh

dapat berefek asam ataupun basa, di dalam tubuh bahan makanan seperti

garam-garam organik (laktat, sitrat, dan sebagainya) akan bersifat alkalis. Terdapat pula

bahan makanan seperti buah-buahan, sayur-sayuran, leguminosa, dan susu yang

bersifat alkalis karena memiliki kecenderungan menaikkan pH darah, sedangkan

bahan makanan yang bersifat asam yaitu cenderung menurunkan pH. Hewan

herbivora, umumnya menghasilkan urin yang bersifat alkalis, sedangkan pada hewan

karnivora umumnya mengasilkan urin yang besifat asam.

Mineral Ransum

Peran mineral dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu memelihara kondisi ionik

dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam-basa dalam tubuh khususnya

keseimbangan kation-anion, selain itu mineral juga berfungsi dalam memelihara

tekanan osmotik cairan tubuh, menjaga sistem syaraf dan otot, mengatur transport zat

makanan ke dalam sel dan mengatur permeabilitas membran sel serta sebagai

kofaktor enzim dan mengatur metabolisme (Sutardi, 1980). Menurut Anggorodi

(1984) defisiensi mineral menimbulkan gejala kehilangan pbb, penurunan produksi

susu, daging, telur dan wol. Suplemen mineral biasanya relatif murah sehingga

defisiensi dapat dicegah dengan cara memberikan jumlah yang tepat kepada hewan.

Mineral seng dapat ditemukan hampir di setiap jaringan tubuh ternak,

konsentrasi Zn tertinggi biasanya ditemukan pada bagian kulit, rambut, dan bulu

(26)

5 1982). Pentingnya Zinc dalam ilmu nutrisi pertama-tama didemonstrasikan oleh

Bertrand dan Bhattacherjee dalam tahun 1934 pada tikus. Zn dibutuhkan untuk

sintesis normal dan metabolisme pada protein (Church dan Pond, 1978). Defisiensi

Zn dapat mengakibatkan penurunan dan perkembangan tulang yang abnormal

(Wahju, 1985). Jumlah Zn dalam tubuh sebesar 3 mg %, sedangkan jumlah

terbanyak terdapat dalam jaringan-jaringan epidermal dan terdapat pula dalam

jumlah yang sedikit dalam tulang, otot, darah, dan berbagai alat. Defisiensi mineral

Zn akan menyebabkan penyakit yang ditandai dengan luka-luka pada kulit,

pertumbuhan terganggu, kelemahan, muntah-muntah dan hewan terlihat

menggosokkan tubuhnya (Anggorodi, 1984).

Ca tersebar sebanyak 1-2% dalam tubuh hewan, dengan 99% terdapat dalam

tulang dan gigi, Sementara 1% tersebar dalam cairan ekstraseluler, jaringan lunak

dan sebagai komponen struktur membran (McDowell, 1992). Menurut Tillmanet al. (1998), Ca merupakan unsur ke lima terbanyak dalam tubuh hewan dan manusia, serta merupakan kation terbanyak. Kadar fosfor yang berlebih dan kemungkinan

sulfat juga dapat mengganggu penyerapan Ca dalam usus, sedangkan perbandingan

Ca dan P yang optimal untuk absorbsi adalah 1,3:1-1,5:1dan bila salah satu mineral

berlebih maka akan mengganggu penyerapan unsur lain (Georgievskii,1981).

Mineral Cr merupakan mineral yang tergolong dalam unsur transisi yang

mempunyai bilangan oksidasi 0, 2+, 3+, 4+, dan 6+, namun umumnya Cr bervalensi

tiga merupakan bentuk yang paling stabil. Unsur Cr2+ jarang terdapat dalam sistem

biologis karena jika kontak dengan udara akan ditransformasikan menjadi Cr3+.

Unsur Cr4+ bersifat toksik, tetapi dalam saluran pencernaan dapat ditransformasikan

menjadi bentuk Cr3+, sedangakan Cr6+ bersifat toksik, dapat berikatan dengan protein

dan asam nukleat serta berikatan dengan materi genetik yang menyebabkan Cr6+

berdifat karsinogenik. Unsur Cr6+ dalam saluran pencernaan mengalami bioreduksi

menjadi Cr3+ oleh organisme (Groff dan Gopper, 2000; NRC, 1997). Unsur Cr

pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Perancis bernama Vaguel pada tahun 1797

ketika menyelidiki batu-batuan yang kaya akan Pb crhomate. Nama Cr diambil dari

(27)

6 Mineral Cr merupakan unsur mikro yang bersifat paling kurang beracun

(Groff dan Gropper, 2000). Keracunan yang diakibatkan Cr jarang terjadi

disebabkan : (a) terjadinya bioreduksi Cr6+ menjadi Cr3+ oleh berbagai organisme

(NRC,1997), (b) tingkat toleransi hewan terhadap Cr6+ sangat tinggi yaitu lebih dari

1000 ppm BK pakan dan untuk Cr3+ mencapai 3000 ppm BK pakan (NRC,1997;

Underwood dan Sommers, 1971), (c) senyawa kompleks Cr heksavalen segera

diendapkan begitu hendak mencapai usus halus dan hampir tidak dapat diserap

karena membentuk kompleks dengan bobot molekul besar (NRC,1997; Groff dan

Gropper,2000) dan akumulasi Cr dalam tubuh sangat jauh di bawah ambang bahaya

karena homeostasis Cr bersifat negatif dan cenderung menurun sejalan dengan

peningkatan umur. Linder (1992) melaporkan sistem pengangkutan Cr setelah

diserap, Cr kemudian diangkut transferin atau protein pengangkut Fe (iron carrier

protein) dari plasma darah. Namun demikian, belum diketahui apakah GTF (Glucose

Tolerance Factor) yang diserap melalui usus akan masuk ke dalam darah tanpa

perubahan bentuk atau juga terikat dengan transferin. Setelah melalui penyerapan di

usus, hampir semua Cr masuk ke dalam hati dan akan digabungkan ke dalam GTF.

Sejumlah GTF tertentu akan disekresikan ke dalam darah dan akan tersedia untuk

membantu aktifitas insulin. Kadar gula darah yang meningkat, menyebabkan insulin

akan disekresikan dan peningkatan insulin akan meningkatkan aliran GTF ke dalam

darah, sehingga GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresikan

tersebut. Unsur Cr yang tidak digunakan lagi kemudian disekresikan melalui urin.

Peranan Cr dalam metabolisme antara lain meningkatkan potensi aktifitas

insulin, yakni sebagai komponen dari GTF yang dapat meningkatkan asupan glukosa

ke dalam sel. Peran Cr terkait dengan kinerja hormon insulin, yaitu memacu

pembentukan glikogen sebagai energi cadangan yang berasal dari kelebihan glukosa

sebagai sumber energi metabolisme baik di organ hati maupun di otot. Suplementasi

Cr dapat meningkatkan pasokan glukosa oleh sel, produksi CO2dari oksidasi glukosa

dan pembentukan glikogen dari glukosa. Glukosa yang berasal dari hasil hidrolisa

karbohidrat di saluran pencernaan akan masuk ke dalam darah yang sebagian

dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam sel dan sebagian lagi disimpan sebagai

energi cadangan dalam bentuk glikogen baik di hati maupun di daging (NRC,1997;

(28)

7 Peran Cr dalam metabolisme lipid tidak tergantung dari pengaruhnya

terhadap metabolisme glukosa. Defisiensi Cr dapat menyebabkan

hiperkolesterolemia, yaitu tingginya kadar kolesterol dalam darah. Unsur Cr

berperan dalam homeostasis kolesterol darah. Penambahan Cr pada ransum yang

rendah akan kandungan Cr-nya dapat menurunkan level kolesterol darah dan

menghambat kecenderungan peningkatan kolesterol seiring dengan meningkatnya

umur (Underwood dan Sommers, 1971). Defisiensi Cr dapat menyebabkan

rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati dan menyebabkan gangguan

untuk pengikatan asam amino, diantaranya glisin, serin dan metionin. Pada sel

kelenjar ambing hewan ruminansia, pengambilan glukosa tidak ditentukan oleh

insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya

asam aspartat, valin, isoleusin, leusin, metionin, lisin, asam glutamat, treonin,

aspargin dan tirosin (NRC,1997; Underwood dan Sommers, 1971).

Saat cekaman kebutuhan Cr pada ternak akan mengalami peningkatan. Selama

kondisi cekaman terjadi peningkatan metabolisme glukosa secara cepat yang ditandai

dengan sekresi hormon kortisol di darah. Hormon kortisol memiliki aksi yang

antagonistik dengan insulin karena keberadaannya mencegah masuknya glukosa ke

dalam sel jaringan tubuh. Hormon kortisol yang meningkat pada saat cekaman

menyebabkan glukosa yang masuk ke dalam sel menurun. Unsur Cr yang telah

dimobilisasi bersifat tidak dapat kembali (irreversible) dan keluar melalui urin

sehingga pada kondisi cekaman peluang terjadinya defisiensi Cr meningkat (Burton,

1995). Cekaman dapat mengganggu pertumbuhan, bahkan dapat menyebabkan

kematian. Oleh karena itu, diperlukan upaya mempercepat kembalinya glukosa

darah dalam kadar normal agar tidak menggangu pertumbuhan dan performa ternak

selanjutnya (Burton,1995).

Lingkungan dan Ternak

Definisi lingkungan menurut Ensminger et al. (1990) ialah semua keadaan, kondisi, dan pengaruh sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan,

perkembangan, dan produktivitas ternak. Hewan membutuhkan lingkungan yang

cocok untuk mempertahankan hidup, pertumbuhan, dan produksi maksimal serta

kebutuhan fisiologinya. Berkurangnya performa pada ternak yang mengalami

(29)

8 yang mempengaruhi perubahan keseimbangan energi, air, dan endokrin (Johnson,

1987).

Cekaman lingkungan pada ruminansia dapat menyebabkan terjadinya

perubahan pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok

dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan

yang mengganggu fisiologis normal, sebagai ilustrasi ternak akan mengalami

cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi

panas dari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari tubuh

(Devendra dan Faylon, 1989). Lingkungan domba dapat dipengaruhi melalui dua

jalan, yaitu yang pertama adalah dengan mempengaruhi hijauan (pakan) dan pasokan

makanan dan air serta pola penyakit yang dikenal faktor tidak langsung; sedang yang

kedua ialah mempengaruhi domba secara langsung yang pengaruh lingkungan

utamanya kecepatan angin, suhu, dan kelembaban udara (lingkungan fisik), namun

dari semua pengaruh lingkungan pada domba tropis cekaman panas biasanya yang

paling serius (Devendra dan Faylon, 1989). Cekaman dingin dapat berakibat fatal

pada domba yang baru lahir, karena metabolisme tubuh mereka tidak cukup untuk

memelihara suhu tubuh normal (Edey, 1983).

Thermonetral Zone (TNZ) adalah daerah yang nyaman dengan suhu lingkungan yang sesuai untuk ternak. Daerah termonetral bagi hewan ternak

merupakan kisaran suhu udara yang paling sesuai dengan kehidupannya, dimana

terjadi metabolisme basal dan hanya terjadi pengaturan panas secarasensible dengan menggunakan energi yang paling sedikit, kisaran suhu udara tersebut tidak

menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (Mc Dowell, 1972).

Peningkatan atau penurunan suhu lingkungan terhadap suhu nyaman, akan

mengakibatkan peningkatan produksi panas dalam upaya membuang kelebihan panas

atau mempertahankan panas tubuh. Suhu kritis terendah yang dapat diterima oleh

ternak disebut Lower Critical Temperature (LCT) dan suhu kritis teratas yang dapat diterima oleh ternak disebut Upper Critical Temperature (UCT). Menurut Yousef (1985) daerah TNZ untuk domba yang baru lahir berada pada suhu lingkungan antara

29-300C, sedangkan untuk domba dalam pemeliharaan berada pada suhu lingkungan

(30)

9 Kondisi Fisiologis Domba

Domba sebagai mamalia merupakan hewan berdarah panas yang

mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu, tetapi bila suhu lingkungan

mencapai keadaan di luar batas kemampuannya maka akan muncul gejala-gejala

merugikan (Johnston, 1983). Domba banyak dijumpai di daerah tropis karena

mempunyai daya tahan terhadap kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi

(Ensmingeret al., 1990). Kondisi fisiologis domba merupakan suatu kondisi domba terhadap berbagai macam faktor baik itu fisik, kimia, maupun lingkungan sekitar

(Yousef, 1985). Kondisi fisiologis domba dapat diketahui diantaranya dengan

melihat beberapa faktor, seperti suhu tubuh, laju respirasi, profil darah.

Suhu Rektal

Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh meningkat dengan

meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994). Suhu rektal adalah salah satu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu

rektal harian rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari (Edey, 1983).

Sudarman dan Ito (2000) melaporkan bahwa domba suffolk yang ditempatkan pada

suhu lingkungan 300C mempunyai rataan suhu vagina yang lebih tinggi daripada

suhu lingkungan 200C. Suhu lingkungan yang sangat rendah, di bawah tingkat kritis

minimum, dapat mengakibatkan suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti

pembekuan jaringan dan kadang diikuti kematian akibat kegagalan mekanisme

homeothermis (Ensminger et al., 1990). Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada suhu lingkungan yang ekstrim, laju pembentukan panas dalam tubuh

lebih tinggi daripada laju hilangnya panas dalam tubuh maka temperatur tubuh akan

meningkat (Guyton dan Hall, 1997). Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada

kisaran 38,2-400C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988), Williamson dan Payne

(1993) menyatakan suhu tubuh ternak domestik adalah 38-39 0C untuk ternak sapi,

sedangkan untuk domba 38,3-38,90C dan untuk kambing berkisar 38,7-40,70C.

Laju Respirasi

Laju respirasi merupakan konsentrasi O2, CO2, dan H+ dalam cairan tubuh, pH

darah, volume darah, dan kondisi pembuluh darah (Subronto, 1985), ada dua fungsi

utama dari sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil

(31)

10 didapatkan dari hasil oksidasi bahan-bahan makanan, sehingga oksigen mempunyai

peran yang sama dengan bahan-bahan makanan dalam mempertahankan kehidupan

hewan. Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, dimana hewan

mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekitarnya, khususnya gas-gas

O2 dan CO2(Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Respirasi juga sangat mempengaruhi

kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan,

O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan dibuang.

Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernapasan dapat diketahui

dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air antara

udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernapasan (Yousef, 1985).

Pada keadaan istirahat frekuensi rata-rata atau kecepatan respirasi domba

adalah 19 kali tiap menit dalam (Frandson, 1992). Domba tropis mempunyai

frekuensi laju respirasi berkisar 15-25 hembusan per menit (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, reaksi

pertama ternak dalam menghadapi keadaan ini ialah dengan panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey, 1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui saluran pernapasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan beban panas

tubuh, setiap gram uap air evaporasi dapat menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh

pada suhu lebih dari 250C (Yousef, 1985).

Profil Darah

Darah juga memiliki peran penting dalam pengendalian suhu, dengan cara

mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh

(Frandson,1992). Darah dikelompokkan dari beberapa substansi, sebagai berikut :

1. Hemoglobin

Beberapa cara dapat digunakan untuk memperoleh nilai hemoglobin dalam

darah, cara yang paling sering digunakan untuk mengubah hemoglobin tersebut dan

mengukur kadarnya dengan spektofotometer dengan pita absorbsi 540 nm (Smith

dan Mangkoewidjojo, 1988). Frandson (1992) menyatakan dari segi kimia

hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang kompleks dan terdiri dari empat

pigmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah

(32)

11 amino. Hemoglobin menggabung dengan oksigen udara yang terdapat di dalam

paru-paru, hingga terbentuklah oksihemoglobin yang selanjutnya melepaskan

oksigen itu ke sel-sel jaringan di dalam tubuh. Adanya hemoglobin ini darah dapat

mengangkut sekitar 60 kali oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam

jumlah dan kondisi yang sama.

2. Hematokrit

Nilai hematokrit dapat diukur dengan metode mikrohematokrit (Nasution,

1990) menggunakan alat baca microcapilarry hematocrite reader. Sebelumnya darah yang telah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan disentrifusa,

sel-sel akan menempati dasar tabung, sedangkan plasma suatu cairan kuning akan

berada di atas, dalam keadaan ini nilai hematokrit atau Volume of Packed Red Cells (VPRC) dapat diukur (Guyton dan Hall, 1997). Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan persentase sel-sel darah merah di dalam 100% darah. Nilai hematokrit yang normal pada domba adalah berkisar 29-45% (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988). Pada hewan hematokrit sebanding dengan eritrosit dan

hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986).

Wilson (1979) menyatakan bahwa nilai hematokrit sangat berhubungan

dengan viskositas (kekentalan) darah dimana peningkatan nilai hematokrit akan

meningkatkan nilai viskositas darah. Nilai hematokrit seekor ternak akan didapatkan

berkurang pada suhu lingkungan tinggi. Sujono (1991) juga menambahkan bahwa

besarnya nilai hematokrit dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu (1) bangsa dan jenis

ternak, (2) umur dan fase produksi, (3) jenis kelamin, (4) iklim setempat, (5)

penyakit dan (6) dehidrasi.

3. Eritrosit

Sel-sel darah merah atau eritrosit adalah sel-sel yang diameter rata-ratanya

sebesar 7,5µ. Sel-sel ini merupakan cakram yang bikonkaf, dengan pinggiran sirkuler yang tebalnya 1,5µ dan pusatnya yang tipis. Cakram bikonkaf tersebut memiliki permukaan yang relatif luas untuk pertukaran oksigen melintasi membran

(33)

12 4. Leukosit

Sel darah putih atau leukosit sangat berbeda dari eritrosit, karena adanya

nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Leukosit dapat

digolongkan menjadi dua bagian, yaitu granulosit dan agranulosit. Di dalam

granulosit terdapat netrofil, eosinofil, dan basofil, sedangkan pada agranulosit dibagi

menjadi dua, yaitu monosit dan limfosit. Masa hidup sel-sel darah putih sangatlah

bervariasi, mulai dari beberapa jam untuk granulosit, sampai bulanan untuk monosit,

dan bahkan tahunan untuk limfosit. Kebanyakan sel-sel darah putih bersifat

non-fungsional dan hanya diangkut ke jaringan ketika dan di mana dibutuhkan saja

(Frandson, 1992).

5. Diferensiasi Leukosit

Hitungan total sel darah putih, dibuat dengan cara yang sama seperti sel darah

merah. Sel darah putih memiliki jumlah yang jauh lebih sedikit jika dibandingkan

dengan sel darah merah. Sel darah putih diperhitungkan dalam ribuan per milimeter

kubik darah. Hitungan sel darah putih saat normal tiap mm kubik adalah 8 ribu

untuk hewan ternak domba. Perhitungan diferensial dapat memberikan angka

persentase tiap jenis sel darah putih. Apabila jumlah leukosit sangat jauh diatas

normal bagi suatu spesies tertentu, maka perlu diselidiki sebabnya (Frandson, 1992).

Netrofil mempunyai persentase kedua terbesar setelah limfosit dalam leukosit.

Netrofil mengandung granula yang memberikan warna indeferen dan tidak merah

ataupun biru, ini merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan melawan

infeksi dengan cara migrasi ke daerah-daerah yang sedang mengalami serangan oleh

bakteri, menembus dinding pembuluh dan menyerang bakteri untuk dihancurkan.

Limfosit merupakan sel darah putih yang mempunyai ukuran dan penampilan yang

bervariasi juga mempunyai nukleus yang relatif besar yang dikelilingi oleh

sitoplasma. Fungsi utama limfosit adalah responnya terhadap antigen (benda-benda

asing) dengan membentuk antibodi yang bersikulasi dalam darah atau dalam

pengembangan imunitas (kekebalan) seluler (Frandson, 1992). Perbandingan netrofil

dan limfosit adalah ukuran yang baik untuk melihat tingkat cekaman yang diperoleh

dan nilainya dipengaruhi oleh cekaman dan penyakit (Gross dan Siegel, 1983).

Perbandingan antara netrofil dan limfosit pada domba menurut Schalm (1971)

(34)

13 menghasilkan perbandingan netrofil dan limfosit yang meningkat karena adanya

cekaman fisiologis (Maxwell, 1983).

Eosinofil juga dikenal dengan nama asidofil nampak sebagai granula yang berwarna merah di dalam sitoplasma. Sel-sel ini umumnya jumlahnya tidak banyak,

dapat meningkat dalam kasus penyakit-penyakit kronis tertentu, seperti infeksi oleh

parasit. Eosinofil juga bersifat ameboid dan fagositik, sedangkan fungsi utamanya

adalah untuk toksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh

melalui paru atau pun saluran pencernaan, maupun racun yang dihasilkan oleh

bakteria dan parasit. Dalam keadaan reaksi alergi, jumlah eosinofil akan meningkat

(Frandson, 1992). Monosit merupakan sel-sel darah putih yang menyerupai netrofil,

monosit akan mulai bekerja pada keadaan infeksi yang tidak terlalu akut seperti

tuberkolosis. Saat monosit darah masuk ke dalam jaringan, monosit itu akan

(35)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja

dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi

Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian

dilaksanakan dari bulan Juli hingga November 2008.

Materi Ternak Percobaan

Ternak yang digunakan pada penelititan ini sebanyak 24 ekor domba garut

jantan berumur sekitar 1,5 tahun, dengan bobot badan rata-rata mencapai 29,98 ±

4,01 kg. Domba percobaan kemudian dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan

bobot badan. Rataan bobot badan kelompok I: 24,75 ± 1,50 kg, II: 27,0 ± 0 kg, III:

28,62 ± 0,47 kg, IV: 30,50 ± 0,57 kg, V: 32,87 ± 0,63 kg, dan VI: 36,12 ± 2,72 kg.

Kandang dan Peralatan

Ternak dipelihara dalam kandang metabolis individu yang bersekat.

Kandang ditempatkan dalam bangunan kandang utama yang permanen dan beratap

monitor. Kandang dilengkapi tempat pakan dan minum. Peralatan lain yang

digunakan adalah termometer suhu minimum-maksimum, termometer dan

hygrometer digital, stopwatch, termometer suhu rektal, jarum, tabung venoject berheparin, dan termos es.

Obat-obatan

Obat cacing (calbazen) diberikan per oral pada awal pemeliharaan untuk mencegah terjadinya penyakit cacing pada ternak. Kemudian vitamin (biosalamin)

diberikansubcutan dengan menggunakan jarum suntik sebanyak 5 ml per ekor untuk mencegah terjadinya penurunan kesehatan pada ternak.

Ransum Percobaan

Ransum yang digunakan adalah jerami jagung dan konsentrat, dengan rasio

35 : 65. Jerami jagung yang digunakan sebagai sumber hijauan sebelumnya dicacah,

kemudian dijemur selama 4-5 hari hingga kering. Jerami jagung yang telah dijemur

(36)

15 homogen. Berdasarkan kebutuhan nutrient domba jantan dari NRC (1985), bahan

baku dan komposisi ransum percobaan terdiri atas hijauan jagung (35%), dedak halus

(21,5%), jagung kuning (19,65%), bungkil kedele (13,6%), bungkil kelapa (8%),

urea (0,25%), dan minyak jagung (2%). Selain itu berdasarkan hasil analisis

laboratorium ITP (Ilmu dan Teknologi Pakan), Fakultas Peternakan, IPB (2008),

komposisi nutrien ransum basal untuk domba penelitian tersebut adalah bahan kering

(90,20%), protein kasar (13,97%), lemak kasar (7,5%), dan serat kasar (17,49%).

Kandungan Na, K, Cl, Cr, S, CaSO4, dan ZnSO4 pada ransum percobaan disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Penambahan Cr, ZnSO4, CaSO4, dan Kandungan Mineral Na, K, Cl,

dan S Ransum Penelitian

ZnSO4, g/kg 0,124 0,124 0,124 0,124

CaSO4, g/kg - - 9,70 9,70

Keterangan: - Hasil Analisis Laboratorium PAU, IPB, 2008 - *Hasil Perhitungan berdasarkan NRC (1985)

- R0= Ransum Basal (NKAR +14) tanpa Cr organik, R1= Ransum Basal (NKAR +14) dengan Cr organik R1 = Ransum Basal dengan Cr-organik 3 ppm, R2 = Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) tanpa Cr organik (Asam), R3= Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) dengan Cr organik.

Rancangan Perlakuan

Ransum perlakuan yang digunakan selama penelitian terdiri dari empat

macam, sebagai beerikut:

R0 : Ransum Basal (NKAR +14) tanpa kromium organik

(37)

16 R2 : Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) tanpa kromium organik

R3 : Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) dengan kromium organik.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan

empat perlakuan dan enam ulangan. Percobaan ini menggunakan 24 ekor domba

garut jantan dan setiap ulangan mendapat ransum perlakuan yang berbeda. Model

matematika yang digunakan pada rancangan ini yaitu:

Yij = +i + βj +ij Keterangan :

Yij = Variabel hasil pengamatan

 = Rataan umum

i = Pengaruh perlakuan ke-i (0,1,2,3)

βj = Pengaruh kelompok ke-j

ij = Pengaruh error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of

Variance) berdasarkan Steel dan Torrie (1993). Selanjutnya, jika nilai suhu rektal,

laju respirasi dan profil darah pada setiap perlakuan berbeda nyata maka dilakukan

uji jarak Duncan.

Peubah yang Diamati 1. Suhu Rektal

Pengukuran suhu rektal dilakukan setiap minggu selama penelitian saat pagi

hari pukul 06.30 WIB dan siang hari pukul 14.30 WIB. Pengukuran suhu rektal

dilakukan dengan cara memasukan alat thermometer suhu rektal digital ± 10 cm ke

dalam rektum domba penelitian, kemudian lakukan pembacaan angka yang terdapat

pada alat tersebut setelah alat tersebut berbunyi.

2. Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi dilakukan setiap minggu selama penelitian pada

pagi hari pukul 06.00 WIB dan siang hari pukul 14.00 WIB. Laju respirasi diukur

dengan cara menghitung kembang kempis perut domba, pengukuran ini dilakukan

(38)

17 3. Profil darah

Pengukuran profil darah dilakukan pada akhir pemeliharaan di laboratorium

Fisiologi Hewan FKH. Peubah yang diamati adalah hemoglobin, hematokrit,

eritrosit, leukosit dan diferensiasi leukosit. Pengukuran nilai hemoglobin dilakukan

dengan menggunakan metoda sahli, dengan prinsip kerja ialah darah dengan larutan

HCl 0,1 N akan membentuk hematin yang berwarna coklat. Warna disamakan

dengan warna standar sahli dengan menambahkan aquades sebagai pengencer.

Penghitugan nilai hematokrit dilakukan menggunakan metode

mikrohematokrit denganmikrcrocapillary hematocrite reader. Prinsip penghitungan nilai hematokrit ialah darah yang tercampur dengan antikoagulan disentrifusi dengan

centrifugesehingga terbentuk lapisan-lapisan. Kolom atau lapisan yang terdiri dari butir-butir darah merah atau eritrosit diukur dan dinyatakan sebagai % volume dari

keseluruhan darah.

Eritrosit dan leukosit diukur menggunakan pipet eritrosit atau leukosit. Darah

dicampur dengan larutan pengencer, kemudian dengan menggunakan Hemositometer

(kamar hitung) dapat dihitung banyaknya butir darah merah per mm3 di bawah

mikroskop dan jumlah eritrosit atau pun leukosit dapat ditentukan, setelah dikoreksi

terhadap faktor pengenceran.

Diferensiasi leukosit diukur menggunakan mikroskop, dua buah gelas objek,

zat warna Giemsa atau Wright, pipet tetes, minyak emersi, buffer fosfat pH 6,4-6,7

dan alkohol 70 %. Sediaan ulas darah diwarnai dengan zat warna campuran asam

dan basa (Giemsa dan Wright) akan menyebabkan komponen-komponen asam dari

sel darah berwarna biru atau biru keungu-unguan, dan komponen basa dari sel

berwarna merah. Persentase jenis-jenis butir darah putih dapat dihitung

menggunakan mikroskop.

Prosedur Pembuatan Kromium Organik

Sumber kromium organik diperoleh dari kromium yang berasal dari proses

fermentasi ragi dengan media kacang kedelai. Kedelai tanpa kulit biji direbus,

didinginkan kemudian dicampur dengan ragi tempe dengan jumlah inokolum

sebanyak 3 g untuk setiap 1 kg kedelai rebus. Kedelai rebus tersebut kemudian

(39)

18 Hasil pencampuran tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah

dilubangi untuk diinkubasi selama 6 hari, lalu media fermentasi dicacah dan dijemur

di bawah terik matahari ± 4 hari sampai kering kemudian digiling sampai halus.

Pengaturan NKAR

Nilai Neraca Kation Anion Ransum (NKAR) diketahui dengan mengukur

kadar Na, K, Cl dan S dalam bahan pakan dan ransum. Nilai NKAR ransum basal

(R0 dan R1) adalah + 14. Nilai NKAR ransum perlakuan lain (R2 dan R3) diatur

menggunakan CaSO4 sehingga menjadi 0. Perhitungan besarnya neraca kation-anion

berdasarkan persamaan Tuckeret al. (1992) adalah sebagai berikut :

NKA = ( Na + K )– ( Cl + S ) ( meq/100 g BK ransum )

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama sembilan minggu. Dua minggu pertama

merupakan masa adaptasi domba sebelum dilakukan masa pengumpulan data selama

tujuh minggu berikutnya. Masa adaptasi berfungsi sebagai penyesuaian ternak dalam

mengkonsumsi ransum perlakuan yang diberikan. Ransum dan air minum diberikan

dua kali sehari dan diberikan ad libitum. Penimbangan bobot badan awal dilakukan sebelum penelitian untuk mengelompokkan domba berdasarkan bobot badan

tersebut. Selama penelitian juga dilakukan pengamatan suhu kandang percobaan

dengan menggunakan termometer suhu minimum-maksimum pada pukul 06.30 WIB

dan pukul 14.00 WIB, sedangkan kelembaban kandang diamati menggunakan

higrometer digital pada waktu yang sama.

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel darah domba dilakukan dengan menggunakan venoject di bagian vena jugularis. Sampel darah diambil dengan cara meraba pada daerah bagian kanan atau kiri leher domba untuk mencari vena jugularis, setelah pembuluh

darah tersebut ditemukan lalu ditekan bagian bawahnya hingga tampak terjadi

pembesaran. Jarum ditusukkan pada daerah pembesaran tersebut hingga darah

domba mengalir dan masuk ke tabung venoject berheparin. Tabung venoject berisi sampel darah disimpan dalam termos es. Sampel darah tersebut kemudian dibawa ke

laboratorium untuk dianalisa. Pengambilan sampel darah dilakukan terhadap semua

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Kandang

Pengaruh suhu dan kelembaban sangat penting dalam sistem produksi ternak.

Keduanya merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi secara

langsung terhadap performa ternak dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi

perkembangan, respon dan pertumbuhan. Rataan suhu dan kelembaban udara dalam

kandang selama penelitian terdapat pada Tabel 3. Rataan suhu pada pagi hari di

dalam kandang percobaan masih cukup sejuk, karena suhu tersebut masih dibawah

kondisi yang menyebabkan cekaman. Saat siang hari rataan suhu meningkat

mencapai 330C, suhu ini dapat memberikan cekaman panas karena berada pada suhu

kritis maksimum. Yousef (1985) menyatakan bahwa daerah Thermoneutral Zone (daerah TNZ) untuk domba berkisar antara 22-31 0C. Apabila terjadi peningkatan

suhu mencapai 35 0C atau lebih akan mengakibatkan ternak tidak lagi mampu

mempertahankan keseimbangan panas pada tubuhnya dan mengganggu pertumbuhan

serta keadaan reproduksinya.

Tabel 2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan

Suhu (0C) Kelembaban(%)

Minimum Maksimum Pagi Siang

24±1 33±1 93±3 68±9

Cekaman panas terjadi pada siang hari dimana panas tubuh ternak meningkat

akibat dari suhu lingkungan yang meningkat. Pada keadaan suhu lingkungan 300C,

ternak mempunyai beban panas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ternak

yang berada pada suhu lingkungan 20 0C (Sudarman dan Ito, 2000). Saat suhu

lingkungan meningkat juga dapat terjadi peningkatan suhu tubuh, laju pernafasan dan

laju denyut jantung sebagai respon utama pada ternak, sedangkan respon kedua ialah

proses metabolik, endokrin dan enzimatik (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Kelembaban udara merupakan salah satu faktor penting untuk keberhasilan

suatu peternakan. Kelembaban udara juga berperan penting dalam mempengaruhi

tubuh ternak. Saat suhu lingkungan meningkat, ternak dapat melakukan evaporasi

untuk mengurangi cekaman panas terhadap tubuhnya. Kelembaban udara selama

(41)

20 dapat mempersulit ternak dalam melakukan evaporasi. Saat siang hari kelembaban

mencapai nilai yang cukup rendah sehingga ketika tubuh ternak domba mengalami

cekaman panas, ternak domba dapat melakukan evaporasi yang menjadi salah satu

cara dalam mengurangi cekaman panas. Yousef (1985) menyatakan bahwa evaporasi

merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi beban panas tubuh,

penguapan setiap gram uap air dapat menghilangkan 0,582 kal panas tubuh.

Pengaruh NKAR dan Suplementasi Cr terhadap Kondisi Fisiologis Kondisi fisiologis domba sebagai respon terhadap lingkungannya dapat

ditunjukkan dengan nilai suhu rektal dan laju respirasi. Suhu rektal domba Garut

jantan yang digunakan dalam penelitian dengan ransum berbeda dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba SelamaPenelitian

Ransum perlakuan

Peubah Waktu

R0 R1 R2 R3

Pagi 38,74±0,14 38,70±0,30 38,76±0,27 38,95±0,41 Suhu Rektal

(0C) Siang 39,00±0,19 38,88±0,20 39,09±0,28 39,14±0,36

Pagi 28,00±4,40 29,00±6,59 37,00±12,28 35,00±12,21 (NKAR 0) tanpa Cr organik (Asam), R3= Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) dengan Cr organik.

Suhu Rektal

Suhu rektal merupakan indikator yang baik untuk panas tubuh, selain itu juga

sebagai salah satu peubah yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan

panas. Suhu lingkungan akan mempengaruhi suhu rektal pada ternak, meningkatnya

suhu lingkungan di dalam kandang akan meningkatkan suhu rektal. Rataan suhu

rektal domba seluruh perlakuan pada pagi hari berkisar antara 38,74 hingga 38,95

0

C. Nilai tersebut masih dalam kisaran normal karena menurut Smith dan

Mangkowidjojo (1988) suhu tubuh ternak domba dalam keadaan normal yaitu

berkisar antara 38,2-40 0C. Pada siang hari keadaan suhu tubuh ternak juga

(42)

21 Suplementasi Cr organik pada ransum basa dan asam menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata terhadap suhu rektal baik pagi maupun siang hari. Hal

tersebut menggambarkan bahwa suplementasi Cr pada ransum basa dan asam

tersebut tidak diperlukan dalam keadaan suhu lingkungan kandang yang cukup

tinggi mencapai 33 OC dengan kelembaban cukup rendah yaitu 68% (Tabel 3).

Kelembaban siang hari yang cukup rendah selama penelitian memungkinkan domba

Garut tersebut untuk beradaptasi terhadap lingkungannya dengan melepaskan panas

melalui evaporasi, sehingga dapat mengurangi cekaman yang biasanya dialami

ternak pada siang hari. Ternak yang mengalami gangguan cekaman panas akan

ditandai dengan meningkatnya HCO3 dalam darahnya, sehingga terjadi peningkatan

pH darah yang menjadi bersifat alkalis (Frandson, 1992) dengan demikian pemberian

ransum yang bersifat asam akan membantu ternak dalam mengurangi kondisi alkalis

tubuhnya dan memungkinkan ternak untuk mengurangi cekaman tersebut.

Laju Respirasi

Oksigen merupakan salah satu kebutuhan yang vital bagi ternak. Sistem

respirasi memiliki dua fungsi utama yaitu untuk menyediakan oksigen untuk darah

dan mengambil CO2 dari darah. Selain itu terdapat juga fungsi sekunder yang

meliputi membantu meregulasi keasaman cairan ektraseluler dalam tubuh, membantu

pengendalian suhu dan eliminasi air (Frandson, 1992). Laju respirasi dapat

memperlihatkan dampak cekaman panas pada ternak. Pada suhu lingkungan yang

tinggi, ternak harus mengeluarkan panas dalam tubuhnya, salah satu caranya dapat

melalui proses evaporasi yang juga dapat mempengaruhi laju respirasi. Saat siang

hari respirasi ternak domba berubah dari pernafasan yang tenang menjadi pernafasan

yang cepat terkadang ternak juga dapat mengalami pernafasan cepat akibat

keadaan-keadaan tertentu. Perubahan suhu lingkungan tersebut akan mengakibatkan laju

respirasi ternak mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan laju respirasi pagi

hari. Yupardhi (2005) menyatakan apabila suhu lingkungan naik, maka akan terjadi

kenaikan laju respirasi pada ternak.

Hasil yang didapatkan selama penelitian menunjukkan laju respirasi ternak

domba Garut berada di atas rata-rata frekuensi pernafasan normal ternak domba

yaitu 15-25 hembusan nafas/menit (Smith dan Mangkowidjojo, 1988). Pemberian

(43)

22 mempengaruhi laju respirasi (Tabel 3). Akan tetapi data yang dihasilkan selama

penelitian menunjukkan kecenderungan kenaikan laju respirasi pada perlakuan R2

yang memiliki NKAR 0 tanpa suplemen Cr organik dan ransum asam yang diberi Cr

organik (R3). Keadaan pada siang hari juga terjadi kecenderungan kenaikan laju

respirasi pada perlakuan R2 dan R3 dibandingkan ransum kontrol (R0). Hasil

tersebut menunjukkan pemberian ransum asam dan penambahan Cr cenderung

meningkatkan kemampuan ternak untuk melakukan respirasi dalam upaya mengatur

keseimbangan asam-basa dalam mengimbangi suhu lingkungan panas. Tubuh

ternak mengatur kondisi keseimbangan asam-basa melalui sistem buffer, fungsi

ginjal dan respirasi seluler. Suhu yang lebih tinggi akan merangsang pelepasan O2

dari HbO2, selain itu keadaan tersebut juga akan membuat ternak mengalami

penurunan jumlah O2 yang dapat dibawa Hb (Frandson, 1992). Pemberian ransum

asam pada ternak akan menyebabkan ternak mengalami peningkatan CO2 dalam

tubuh, sehingga mengharuskan ternak bernafas dengan cepat agar dapat memasukkan

O2 lebih banyak ke dalam tubuh.

Profil Darah

Darah sangat berperan penting di dalam tubuh ternak, diantaranya darah

berfungsi membawa nutrien menuju ke jaringan tubuh dan membantu sirkulasi O2

dan CO2. Darah juga memiliki peran penting dalam pengendalian suhu, dengan cara

mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh

(Frandson,1992). Pada dasarnya darah dibagi menjadi beberapa elemen yaitu sel-sel

darah merah, sel-sel darah putih dan keping darah, dan di dalam elemen-elemen

tersebut terdapat beberapa substansi yang dikelompokkan menjadi suatu profil darah.

Profil darah yang diamati selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4, profil

darah domba percobaan menunjukkan bahwa pemberian ransum dengan NKAR

berbeda dan suplementasi Cr tidak berpengaruh pada profil darah. Pengamatan

profil darah memperlihatkan bahwa nilai kadar hemoglobin domba yang mendapat

pakan R0, R1, dan R3 dalam keadaan normal. Hemoglobin sangat bermanfaat dalam

mengikat oksigen dalam darah dan memungkinkan darah mengangkut sekitar 60 kali

lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang sama. Domba

yang mendapat perlakuan ransum asam tanpa Cr (R2) berada sedikit di atas keadaan

(44)

23 efisiensi pertukaran O2 dan CO2,sedangkan jika terjadi penurunan kadar hemoglobin

pada tubuh ternak akan menghambat metabolisme dalam tubuh akibat ketersediaan

pO2 yang terbatas. Ketersedian pO2 darah yang menurun akan menyebabkan pH

darah menurun dan menyebabkan keadaan tubuh ternak menjadi bersifat asam.

Roche et al. (2003) melaporkan bahwa keadaan tubuh ternak yang bersifat asam dapat meningkatkan pCO2, tetapi menurunkan pH darah dan urin serta pO2 darah.

Hemoglobin pada eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut

oksigen, serta menjadi penyebab terjadinya warna merah pada darah (Frandson,

1992).

Tabel 4. Nilai Normal dan Profil Darah Domba Garut Jantan yang Digunakan dalam Percobaan

Keterangan: - Nilai Profil Darah Berdasarkan dari Hasil Analisa Laboratorium Fisiologi Hewan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 2008 dan Nilai Normal Berdasarkan Frandson (1992) serta rasio N/L Berdasarkan Schalm (1971)

- R0= Ransum Basal (NKAR +14) tanpa Cr organik, R1= Ransum Basal (NKAR +14) dengan Cr organik R1 = Ransum Basal dengan Cr organik 3 ppm, R2 = Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) tanpa Cr organik (Asam), R3= Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) dengan Cr organik.

Nilai hematokrit merupakan suatu istilah yang artinya persentase dari darah,

yang terdiri dari sel-sel darah merah. Nilai hematokrit pada ransum asam meskipun

mengalami peningkatan dan penurunan pada ransum asam dengan suplementasi Cr,

tetapi berada pada keadaan normal. Peningkatan nilai hematokrit yang jauh dari Ransum Perlakuan

Peubah Nilai

Normal R0 R1 R2 R3

Hemoglobin

(g%) 11± 11,30±1,03 11,50±0,84 12,70±1,21 11,20±1,72

Hematokrit (%) 32± 31,83±4,58 33,67±2,88 34±2,83 30,00±5,55

Eritrosit

(juta/ml) 11± 9,57±2,12 8,85±2,20 10,61±1,73 8,31±2,11

Leukosit

(ribu/ml) 7-10 7,73±2,25 8,63±2,54 9,26±1,14 9,02±3,09

Differensiasi Leukosit:

Netrofil (%) 25-30 62,00±10,39 51,67±11,50 53,83±16,15 55,17±4,67

Limfosit (%) 60-65 24,17±6,55 35,83±13,27 32,33±12,08 31,17±6,74

Monosit (%) 5± 4,83±1,33 4,17±1,47 4,67±0,82 5,17±2,23

Eosinofil (%) 2-5 9,00±4,56 7,83±4,02 9,17±3,97 8,50±4,85

Gambar

Tabel 1.  Penambahan Cr, ZnSO4, CaSO4, dan Kandungan Mineral Na, K, Cl,dan S Ransum Penelitian
Tabel 2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan
Tabel 3. Rataan Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba SelamaPenelitian
Tabel 4. Nilai Normal dan Profil Darah Domba Garut Jantan yang Digunakandalam Percobaan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menyatakan bahwa dengan menggunakan media kartu angka dapat meningkatkan kemampuan berhitung permulaan anak di KB/TK Aisyiyah Al-Amin Nusukan,

Karena sistem pendidikan merupakan bagian penting dari sistem kehidupan maka kurikulum sebenarnya bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem kehidupan yang lebih

Dalam pemanfaatan sumber daya alam serta pemberdayaan ini peneliti dapat mengarahkan anggota arisan Ibu-ibu serta masyarakat untuk mengelolah tanaman yang tumbuh

Laci Furniture ”.Tujuan utama dari rancang bangun ini adalah untuk meningkatkan kemampuan akademis penulis dalam mengembangkan dan menerapkan teori dan praktek

“(2) Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat

1 PERSAMAAN DAN FUNGSI EKSPONEN SERTA LOGARITMAC. SOAL LATIHAN

Pada pelaksanaannya, hak recall oleh partai politik terhadap anggota DPR tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia berdasarkan Undang- Undang Dasar

Merupakan prioritas utama yang perlu diperhati- kan dalam menilai pentingnya kualitas pelayanan suatu perusahaan, adalah sejauh mana pelayanan itu dapat menciptakan tingkat