• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ternak domba merupakan salah satu ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat di Indonesia terutama di daerah pedesaan dan umumnya berupa domba-domba lokal. Domba lokal merupakan berbagai jenis domba yang sudah lama dibudidayakan secara turun-temurun di suatu wilayah dan sudah beradaptasi dengan baik pada lingkungan setempat. Domba lokal memiliki ukuran yang relatif kecil, warna bulu yang seragam, ekor kecil dan tidak terlalu panjang, domba mempunyai perdagingan sedikit (Sumoprastowo 1987).

Jenis domba yang terdapat di Indonesia menurut Iniguez et al. (1991) berjumlah tiga jenis yaitu jawa ekor tipis, jawa ekor gemuk dan Sumatra ekor tipis. Inounu dan Diwyanto (1996) mengemukakan bahwa terdapat dua tipe domba yang paling menonjol di Indonesia yaitu domba ekor tipis dan domba ekor gemuk dengan perbedaan galur dari masing-masing tipe. Domba lokal terdiri dari atas dua bagian yaitu domba ekor tipis dan domba ekor gemuk (Subandriyo dan Djajanegara, 1996).

Domba lokal yang terdapat dalam Sumoprastowo (1987) mempunyai perdagingan sedikit dan disebut juga domba kampung atau domba negeri. Karakteristik domba lokal diantaranya bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, warna bulunya bermacam-macam dan hasil daging relatif sedikit (Murtidjo, 1993), dengan rata-rata bobot potong 20 kg (Edey, 1983). Pendapat lain menyatakan bahwa bobot badan dewasa dapat mencapai 30-40 kg pada jantan dan betina 20-25 kg dengan persentase karkas 44-49% (Tiesnamurti, 1992).

Sifat lain dari domba lokal tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam sekitar mata, hidung dan bagian lainnya (Edey, 1983; Mulyaningsih, 1990; Devendra dan McLeroy, 1982). Selain memiliki bentuk tubuh yang ramping, pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam (Tiesnamurti, 1992). Ekor pada domba lokal umumnya pendek (Devendra dan McLeroy, 1982), bentuk tipis dan tidak menimbulkan adanya timbunan lemak (Mulyaningsih, 1990). Ukuran panjang ekor rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti, 1992). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil sedangkan betina biasanya tidak bertanduk (Edey, 1983; Devendra dan McLeroy, 1982).

3

Domba Jonggol

Domba Jonggol dapat dikatagorikan kedalam salah satu jenis domba lokal karena sudah dibudidayakan di Lingkungan Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) sejak tahun 1980. Domba Jonggol merupakan hasil persilangan secara acak domba ekor tipis setempat dengan domba Garut atau priangan dan dipelihara dengan sistem penggebalaan. Domba Jonggol sudah terseleksi untuk lingkungan panas dan kering (Sumantri et al. 2007).

Domba Jonggol rata-rata mempunyai performa produksi yang lebih baik dibandingkan domba lokal lainnya. Sumantri et al. (2007) melaporkan bahwa domba Jonggol mempunyai bobot tubuh dewasa sebesar 34,9 kg untuk jantan dan 26,1 kg untuk betina, namun bobot tubuh tersebut hampir sama dengan bobot dewasa domba Sumbawa (jantan 33,8 kg dan betina 26,9 kg). Bobot tubuh dewasa domba Jonggol tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan bobot tubuh dewasa sejumlah domba lokal lainnya, seperti : Domba Donggala (jantan 24,0kg dan betina 25,3 kg), domba Kisar (jantan 25,8 kg dan betina 18,9 kg), dan domba Rote (jantan 27,9 kg dan betina18,9 kg).

Domba Garut

Domba Garut adalah nama lain yang lebih populer dari domba Priangan (Natasasmitha et al. 1986) yang diperkirakan berasal dari persilangan antara domba lokal, domba Merino, dan domba ekor gemuk dari Afrika Selatan (Sosroamidjojo dan Saeradji, 1990). Domba Garut banyak terdapat di daerah Jawa Barat, terutama di daerah Garut sehingga disebut juga domba Garut. Domba Garut betina umumnya tidak bertanduk sedangkan yang jantan bertanduk.

Hardjosubroto (1994) menyatakan domba Garut mempunyai ciri-ciri berbadan agak besar, lebar dengan leher yang kuat, biasa digunakan sebagai domba aduan, domba Garut juga merupakan salah satu domba yang mempunyai angka produktivitas yang tinggi

Pertumbuhan Domba

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup,bentuk, dimensi linier dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen- komponen tubuh seperti otot, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 1992). Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhilaju pertumbuhan. Mulliadi (1996)

4 melaporkan bahwa keragaman ukuran tubuh pada ternak dapat disebabkan kondisi pemeliharaan, pengaruh pemberian pakan, kondisialat pencernaan dan keragaman genetik. Soeparno (1992) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hewan antara lain nutrisi, suhu, kelembaban, keracunan, polusi dan penyakit.

Pertumbuhan semua hewan pada awalnya lambat dan meningkat dengan cepat kemudian lambat pada saat hewan mendekati dewasa tubuh. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetis atau faktor keturunan dan faktor lingkungan seperti iklim dan manajemen pelaksanaan. Faktor keturunan lebih membatasi kemungkinan pertumbuhan dan besarnya tubuh yang dapat dipakai. Faktor lingkungan yaitu seperti pemberian pakan, pencegahan atau pemberantasan penyakit serta tata laksana akan menentukan tingkat pertumbuhan dalam mencapai kedewasaan (Sugeng, 2002). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat berlindung yang layak.

Pertumbuhan umumnya diukur dengan berat dan tinggi. Domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% lagi setelah enam bulan kemudian yaitu pada umur 18 bulan dengan pakan yang sesuai dengan kebutuhannya. Tingkat pertumbuhan domba berkisar antara 20-200 gram/ hari. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan domba antara lain tingkat pakan, genetik, jenis kelamin, kesehatan, dan manajemen (Gatenby, 1991). Pertumbuhan kambing dan domba adalah suatu hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain genetik dan lingkungan. Faktor genetik lebih membatasi kemungkinan pertumbuhan dan besarnya tubuh yang dicapai. Faktor lingkungan seperti iklim, pakan, pencegahan atau pemberantasan penyakit serta tata laksana akan menentukan tingkat pertumbuhan dalam pencapaian dewasa (Devendra dan Burn, 1983).

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan makanan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zat–

5 zat makanan dari pakan yang diberikan. Dari data pertambahan bobot badan harian akan diketahui nilai suatu bahan pakan ternak (Church and Pond 1995).

Thalib et al. (2000), menyatakan bahwa pertambahan bobot badan ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, maksudnya penilaian pertambahan bobot badan ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi. Berat badan merupakan suatu kriteria pengukuran yang penting pada seekor hewan dalam menetukan perkembangan pertumbuhannya, dan juga merupakan salahsatu dasar pengukuran untuk produksi disamping jumlah anak yang dihasilkan dalam menentukan nilai ekonominya (Jaya, 1981).

Pertambahan berat badan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu total protein yang diperoleh setiap harinya, jenis kelamin, umur, keadaan genetis, lingkungan, kondisi setiap individu dan manajemen tata laksana. Bobot tubuh berfungsi sebagai salah satu kriteria ukuran yang penting dalam menentukan pertumbuhan dan perkembangan ternak. Selain itu, bobot tubuh juga berfungsi sebagai ukuran produksi dan penentu ekonomi. Bobot tubuh seekor ternak dipengaruhi oleh bangsa ternak, jenis kelamin, umur, jenis kelahiran, dan jenis pakan (National Research Council, 1985).

Domba jantan muda mempunyai potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada domba betina muda, pertambahan bobot hidup lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan ransum lebih efisien untuk pertumbuhan badan (Anggorodi, 1990). Goodwin (1974) menyatakan bahwa pada semua hewan pertumbuhan pada awalnya berlangsung lambat dan meningkat dengan cepat, kemudian kembali lebih lambat pada saat hewan mendekati dewasa tubuh. Beberapa hasil penelitian penggemukan domba dengan berbagai macam pakan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.

6 Table 1. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) dari Berbagai Program

Penggemukan Domba PBBH (g/e/h) Waktu (Minggu) Perlakuan Domba Lokal (DET) 64,99a 47b 8 12

Rumput Lapang dan Bekatul Brachiaria humidicola

DET Jantan 89,28c

126,99d 8 8

50% Rumput Lapang+50% Ampas Tahu

Priangan Jantan 117,86e 8 50% Rumput Lapang+50% Rumput

Gajah

DEG 90,16a 8 Rumput Lapang dan Bekatul

DEG Jantan 145,83f 12 50% Konsentrat + 50% Limbah Tauge

DEG Betina 28,2g 12 1,5 kg Rumput Alam + 0,5 kg Gamal (Gliricidia sepium) + 0,2 kg dedak

Keterangan :

a. Baliarti (1985) e. Setyowati (2005) b. Elia (2005) f. Wandito (2011) c. Purnomo (2006) g. Munier et al., (2004) d. Hasanah (2006)

Pakan

Pakan ternak ruminansia secara umum dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat.Hijauan adalah bahan makanan ternak yang berupa rumpu-rumputan dan leguminosa. Hijauan memiliki kandungan serat kasar yang tinggi pada bahan keringnya. Konsentrat adalah suatu bahan makanan dipergunakan bersama bahan makanan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan makanan dan dimaksudkan unuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen (pelengkap) atau makanan pelengkap (Hartadi et al., 1980).

Limbah Tauge

Limbah adalah produk sisa yang hampir tidak digunakan dari suatu kegiatan pertanian (Judoamidjojoet al, 1989). Limbah tuge merupakan hasil sampingan dari kacang hijau, kacang hijau memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi dan susunan asam aminonya mirip dengan asam amino kedelai. Kacang hijau memiliki antinutrisi yang relatif tinggi. Salah satu pengurangan antinutrisi tersebut dengan cara perendaman, perkecambahan, dan pemanasan (Belinda, 2009). Limbah tauge adalah sisa produksi tauge terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge yang dibawa dalam cucuian akhir pembuatan tauge segar yang tidak mempunyai nilai

7 ekonomi dan dapat mencemari lingkungan. Limbah tauge yang digunakan dalam ransum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Limbah Tauge Segar (kiri) dan Limbah Tauge Kering (kanan) Limbah tauge pada umumnya menjadi limbah di pasar-pasar tradisional. Belum banyak orang yang memanfaatkan kulit kecambah tauge, hanya sebagian kecil orang yang memanfaatkan kulit kecambah tauge untuk campuran pakan itik. Limbah tauge terdiri dari 70 % kulit kacang hijau (tudung tauge) sekitar dan 30% pecahan-pecahan tauge yang diperoleh saat pengayakan. Potensi limbah tauge di Kota Bogor berkisar antara 951-1426 kg/hari (Rahayu et al, 2010). Dari berbagai jenis limbah organik pasar yang pernah digunakan dalam pengkajian tepung limbah organik pasar, kulit tauge merupakan jenis limbah yang paling berpotensi untuk dibuat menjadi tepung limbah. Kandungan nutrisi limbah tauge dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Limbah Tauge

Nutrisi Komposisi Bahan kering (%) 87,94 Abu (%) 2,64 Protein kasar (%) 14,42 Serat Kasar (%) 38,50 Lemak Kasar (%) 0,21 Beta-N (%) 32,17 Ca (%) 0,86 P (%) 0,41

Keterangan :Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2011). Departemen Ilmu Nutrisi dan teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor

Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari hanya membutuhkan waktu rata-rata 3 hari, limbah tauge memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Kadar air limbah tauge adalah 65-70% dan kandungan energi metabolis sebesar 3737

8 kcal/kg (Saenab, 2010). Potensi produksi tauge di daerah Bogor mencapai sekitar 6,5 ton/hari, sehingga potensi limbah tauge cukup tinggi yaitu sekitar 1,5 ton/hari (Rahayu et al, 2010). Dengan melihat kandungan nutrisi dan potensi limbah tauge yang cukup relatif tinggi, maka limbah tauge kemungkinan digunakan sebagai salah satu bahan pakan ternak domba. Wandito (2011) menyatakan penggunaan 50% limbah tauge dalam ransum domba dengan kandungan protein kasar (PK) sebesar ± 13.63%, serat kasar (SK) 49.44% dan TDN sebesar 64.65% dapat meningkatkan pbbh sebesar 145,83±21,59 g/e/hr.

Legume Indigofera sp.

Indogofera sp. merupakan tanaman dari kelompok leguminosa (family Fabaceae) dengan genus Indigofera dan memiliki 700 spesies yang tersebar di benua Afrika, Asia, Australia dan Amerika Utara, Indigofera sp. masuk ke Indonesia sekitar tahun 1900. Legume Indigofera sp.yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang kaya akan nitrogen, fosfor dan kalsium. Legum Indigofera sp.toleran terhadap musim kering dan genangan air. Indigofera sp. dapat diberikan ke domba sebanyak 1-2 kg/ekor/hari (Departemen Pertanian, 2010). Kandungan nutrisi legume Indigofera sp. dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Kandungan Nutrisi Legum Indigofera sp.

Nutrisi Komposisi Bahan kering (%) 93,21 Abu (%) 11,66 Protein kasar (%) 25,99 Serat Kasar (%) 30,51 Lemak Kasar (%) 1,38 Beta-N (%) 23,67 Ca (%) 0,06 P (%) 0,54

Keterangan : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2011). Departemen Ilmu Nutrisi dan teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor

Menurut Suharlina (2010) pertumbuhan legum Indigofera sp. sangat cepat, adaptif terhadap tingkat kesuburan rendah, mudah dan murah pemeliharaannya. Indigoferafera sp. sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak karena kandungan bahan organik hijauan ini dapat meningkat dengan adanya pemberian pupuk organik sehingga nilai kecernaan juga dapat meningkat. Dari hasil penelitian

9 Tarigan (2009) menyatakan rataan penggunaan Indigofera sp. dalam pakan pada kambing Boerka menghasilkan pertambahan bobot badan harian berkisar antara 28.25±52.38 gr/ekor/hari.

Gambar 2.Indigofera sp. segar (kiri) dan Indigofera sp. kering (kanan)

Konsumsi Pakan

Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, yang kandungan zat makanan didalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al, 1998). Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor hewan, faktor makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Jumlah konsumsi pakan merupakan salah satu tanda terbaik bagi produktivitas ternak (Arora, 1989). Konsumsi pakan sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, besarnya tubuh, keaktifan dan kegiatan pertumbuhan atau produktivitas lainnya yaitu suhu dan kelembaban udara. Suhu udara yang tinggi maka konsumsi pakan akan menurun karena konsumsi air minum yang tinggi berakibat penurunan konsumsi energi (Siregar, 1984).

Konsumsi juga sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk makanan, bau, rasa, tekstur, dan suhu lingkungan (Church dan Pond, 1995) konsumsi pakan secara umum akan meningkat seiring dengan meningkatnya berat badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan.

Ternak ruminansia mempunyai keistimewaan, salah satunya adalah dapat makan dengan cepat dan menampung makanan dalam jumlah yang banyak. Kemampuan mengkonsumsi pakan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kapasitas tampung alat pencernaan ternak, bobot badan, bentuk dan kandungan zat-

10 zat makanan ransum, kebutuhan ternak akan zat-zat makanan, status fisiologi ternak dan genotip ternak. Makin baik kualitas bahan pakan semakin tinggi konsumsi pakan dari seekor ternak.

Konsumsi Air Minum

Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Fungsi komponen ini tidak akan dapat digantikan oleh senyawa lainnya. Beberapa peranan air di dalam tubuh, antara lain : pelarut zat- zatgizi, pembawa zat gizi dan oksigen ke dalam sel, katalisator reaksi-reaksi kimia yang berlangsung di dalam tubuh, penjaga kestabilan suhu tubuh, penyeimbang elektrolit dalam tubuh, mediator untuk membuang racun dari dalam tubuh, pelindung organ dan jaringan tubuh vital, pemeliharaan volume darah, dan pelumas organ- organ tubuh (sendi, otot, air mata, mukus, dan saliva) (Parker, 2003).

Air memiliki duafungsi dasar yaitu sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai zat yang mengontrol temperatur tubuh (Church dan Pond, 1995). Menurut Parakkasi (1999) kebutuhan air minum dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering ransum, jenis bahan makanan, kelembaban, angin dan temperatur. Menurut Devendra dan Burns (1994) kebutuhan air dipengaruhi oleh faktor lingkungan, jumlah bahan kering yang dikonsumsi, keadaan makanan, kondisi fisioligis, temperatur air minum, temperatur lingkungan, kekerapan minum dan genotipe ternak.

Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa kebutuhan air minum domba yang sedang tumbuh pada suhu lebih dari 200C adalah 3 liter/kg bahan kering terkonsumsi. Menurut Church (1971) konsumsi air minum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat konsumsi ransum, tingkat produksi hewan, tingkat pertumbuhan dan bobot badan hewan.

Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan adalah perbandingan pertambahan bobot badan dibagi dengan jumlah konsumsi bahan kering. Faktor yang mempengaruhi efisiensi pakan antara lain laju perjalanan pakan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik, bahan makanan, dan komposisi nutrisi ransum (Anggorodi, 1990).

11 Efisiensi penggunaan pakan erat kaitannya dengan konsumsi pakan dan produksi (pertambahan bobot badan). Efisiensi penggunaan pakan adalah rasio antara pertambahan bobot badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Efisiensi penggunaan pakan menggukur efisiensi hewan dalam mengubah pakan menjadi produk. Crampton dan Harris (1969), menyatakan bahwa efisiensi penggunaan makanan tergantung pada kebutuhuan ternak akan energi dan protein yang digunakan untuk pertumbuhan, hidup pokok dan fungsi lainnya, kemampuan ternak dalam mencerna zat makanan, jumlah zat makanan yang hilang dalam proses metabolisme, serta jenis makanan yang dikonsumsi.

Nilai efisiensi yang semakin tinggi menunjukkan bahwa ransum yang dikonsumsi semakin baik yang diubah menjadi hasil produk pada ternak (pertambahan bobot badan). Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa efisiensi ransum dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, kecukupan zat pakan untuk hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh serta jenis pakan yang digunakan.

Income Over Feed Cost (IOFC)

Analisis ekonomi sangat penting dalam usaha penggemukan domba, karena tujuan akhir dari penggemukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Salah satu perhitungan yang dapat digunakan adalah Income Over Feed Cost (IOFC), yaitu pendapatan dari pemeliharaan setelah dikurangi biaya pakan selama pemeliharaan. Ada beberapa faktor yang berpengaruh penting dalam penghitungan IOFC yaitu pertambahan bobot tubuh selama pemeliharaan, konsumsi dan harga pakan.

Wahju (1997) mengemukakan bahwa pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimum, tetapi pertumbuhan yang baik dan diikuti dengan konversi pakan yang baik serta biaya pakan yang minimum akan mendapatkan keuntungan yang maksimum.

12

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai September 2011.

Materi Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 32 ekor domba yang terdiri dari 16 ekor domba Jonggol (8 ekor Balibu (bawah lima bulan) berumur 2-3 bulan dan 8 ekor Sepubu (sepuluh bulan) berumur 7-8 bulan dengan masing-masing rataan bobot badan 9,9±1,4 kg dan 13,6±0,6 kg) dan 16 ekor domba Garut(8 ekor berumur 3 bulan (balibu) dan 8 bulan (muda)dengan masing-masing rataan bobot badan 9,8±1,1 kg dan 14,9±1,1 kg).

Pakan

Pakan yang diberikan adalah dua macam ransum dalam bentuk pellet dengan sumber hijauan berasal dari limbah tauge dan legum Indigofera sp. yang masing- masing diberikan 30%. Kandungan ransum yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisa Proksimat Ransum Penelitian.

Ransum BK Abu PK SK LK Beta-N Ca P

R1 87,32 8,23 18,13 15,39 3,14 42,43 1,75 0,26

R2 87,65 6,51 16,66 24,51 3,71 36,26 1,39 0,23

Sumber: Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2011). Departemen Ilmu Nutrisi dan teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor. R1=Ransum Indigofera sp., R2=Ransum limbah tauge.

Limbah tauge yang digunakan diperoleh dari pedagang-pedagang tauge yang berada di Pasar Bogor dan sekitarnya. Limbah tauge yang digunakan adalah sisa dari hasil pengayakan tauge, sehingga diperoleh limbah kulit kacang hijau atau dikenal dengan angkup tauge yang tercampur dengan beberapa bagian dari potongan tauge yang terbawa ketika pengayakan. Ransum yang digunakan selama penelitian adalah bentuk pellet. Pellet Indigofera sp. dan pellet limbah tauge dapat dilihat pada Gambar 3.

13

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang individu berukuran 1,5 x 0,75 m yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Peralatan yang digunakan adalah thermometer, timbangan domba, timbangan pakan, gunting, label, dan obat cacing. Kandang individu dalam penelitian ini dalam dilihat pada Gambar 3.

Gambar 4. Kandang Individu

Prosedur Persiapan Pemeliharaan

Sebelum penelitian dimulai dilakukan persiapan penelitian, yang meliputi : Persiapan tempat dan peralatan, pengadaan pakan dan obat-obatan. Obat-obatan yang digunakan saat ternak datang adalah obat cacing, obat tetes mata, dan betadine.

Domba yang digunakan terlebih dahulu dilakukan pencukuran, pemandian dan pemberian obat cacing. Pengacakan dilakukan dengan mengundi setiap domba yang akan diberikan perlakuan.

14

Pemeliharaan

Sebelum dilakukan pengambilan data terlebih dahulu domba diberi masa adaptasi pakan dan lingkungan hingga domba terbiasa pakan perlakuan dan lingkungan sekitar. Adaptasi pakan dan lingkungan dilakukan selama ± 20 hari.

Setelah masa adaptasi selesai, domba mulai diberikan pakan sesuai dengan perlakuan, yaitu Indigofera sp. dan limbah tauge dan diberi secara ad libitum. Penimbangan sisa pakan dan air minum dilakukan pada keesokan harinya dan dicatat. Penimbangan bobot badan domba dilakukan dua minggu sekali selama pemeliharaan, hal ini untuk menghindari stress pada domba. Selama pemeliharaan dilakukan pencatatan temperatur dan kelembaban didalam kandang maupun diluar kandang.

Rancangan dan Analisa Data Model

Percobaan ini dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 2x2x2. Faktor pertama perlakuan adalah bangsa domba (Jonggol dan Garut), faktor kedua adalah beda umur (Balibu dan Sepubu), dan faktor ketiga adalah jenis ransum (berbasis Indigofera sp. dan limbah tauge). Ulangan dilakukan sebanyak 4 kali. Model rancangan yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah:

Yijk = µ + Ai + Bj + Ck + (AB)ij+ (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk + ɛijk

Keterangan:

Yijk :nilai pengamatan perlakuan ke-i, ke-j dank e-k µ : nilai tengah

Ai : pengaruh perlakuan jenis domba (Jonggol dan Garut) ke-i Bj : pengaruh perlakuan umur domba (Balibu dan Sepubu) ke-j

Ck : pengaruh perlakuan jenis ransum (berbasis Indigofera sp. dan limbah tauge) ke-k

(AB)ij : interaksi antara bangsa dan umur domba

(AC)ik : interaksi antara bangsa domba dan jenis ransum

(ABC)ijk : interaksi antara perlakuan bangsa, umur domba, dan jenis ransum ɛijk : pengaruh galat percobaan

15

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of Variance) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan tersebut.

Peubah yang Diamati

1. Pertambahan Bobot Badan (gram/hari)

Pertambahan bobot badan diperoleh dari bobot badan akhir penggemukan dikurangi bobot badan awal ketika domba akan digemukkan, dibagi dengan lamanya penggemukan.

PBBH = Bobot akhir-Bobot awal Lama penggemukan

2. Konsumsi Bahan Kering (gram/hari)

Jumlah konsumsi bahan kering dihitung dari konsumsi pakan dikali zat makanan dibagi 100.

3. Konsumsi Air Minum

Air minum diberikan secara ad libitum tetapi terukur, setiap pemberian diberikan sebanyak 2 liter. Air yang tersisa ditimbang keesokan harinya. Penimbangan sisa air dilakukan setiap pagi. Konsumsi air dihitung dari selisih antara air yang

Dokumen terkait