• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Teoretis Persepsi Pekerjaan Rumahtangga Konsep Pekerjaan Rumahtangga.

Rumahtangga sering ditafsirkan sebagai keluarga, padahal rumahtangga memiliki pengertian yang lebih luas daripada keluarga. Keluarga adalah unit sosial terkecil yang anggotanya terikat hubungan darah atau hukum, yang melakukan berbagai kegiatan untuk memenuhi fungsi dan hidup dalam satuan unit yang disebut rumahtangga (Burgess & Locke 1960). Rumahtangga terdiri atas keluarga dan bukan keluarga yang semua anggota di dalamnya hidup dalam satu unit tempat tinggal.

Rumahtangga dalam teori ekonomi klasik menyelenggarakan kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, namun menurut teori ekonomi baru The New Household Economy rumahtangga dianggap sekaligus sebagai pengguna barang dan jasa. Rumahtangga seperti pabrik yang mengkombinasikan barang pasar dan waktu untuk menghasilkan komoditi (Becker 1965). Konsep rumahtangga yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada arti unit satuan keluarga yang melakukan aktivitas untuk memproduksi sekaligus menggunakan barang dan jasa.

Aktivitas produksi dan konsumsi barang atau jasa rumahtangga termasuk dalam pekerjaan tidak dibayar, dikenal juga sebagai aktivitas produksi rumahtangga (Pylkkanen 2002). Produksi rumahtangga adalah produksi barang atau jasa untuk dikonsumsi sendiri dengan menggunakan kombinasi modal sendiri dan tenaga kerja sendiri yang tidak dibayar (Ironmonger 2001, United Nations Economic Commissions for Africa 2005).

Barang atau jasa seperti penataan rumah dan halaman, penyiapan hidangan, pencucian pakaian atau perawatan anak, dihasilkan dari pelaksanaan sejumlah pekerjaan di rumahtangga (Robeyns 2000). Pekerjaan rumahtangga yang dilakukan dalam keluarga biasanya tidak dibayar, dikerjakan lebih banyak oleh perempuan, hasil tidak terlihat, terjadi pengulangan dan seringkali bersambung, tidak ada batasan waktu, tidak berharga/tidak bernilai ekonomi (Ironmonger 2001). Menurut Green (2003), pekerjaan rumahtangga tidak dibayar yang

dilakukan oleh anggota keluarga dapat digantikan pasar jika didukung ekonomi tanpa merubah utilitas yang dihasilkan.

Pekerjaan rumahtangga terbatas pada kegiatan yang dilakukan oleh satu atau lebih anggota keluarga, atau dengan cara membayar orang lain yang bukan anggota keluarga untuk menghasilkan utilitas langsung (Chadeau 1983). Gates dan Murphy (1982) menyatakan bahwa pekerjaan rumahtangga adalah aktivitas yang dapat memberikan kepuasan dari barang dan jasa yang dibeli di pasar, atau aktivitas yang dilakukan oleh orang lain tanpa mengurangi utilitas dari setiap anggota keluarga.

Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pekerjaan rumahtangga yang dilakukan oleh, dari, dan untuk anggota keluarga dapat disubtitusi pekerjaan pasar dengan utilitas sama. Pekerjaan rumahtangga adalah aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa, yang dapat dikerjakan oleh anggota keluarga, tidak dibayar, dapat didelegasikan kepada orang lain dengan imbalan upah yang dapat memberikan kepuasan sama bagi setiap anggotanya (Robeyns 2000).

Pekerjaan rumahtangga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang anggota keluarga untuk menghasilkan produk barang atau jasa yang akan dikonsumsi langsung. Pekerjaan tersebut meliputi penyediaan konsumsi makanan, perawatan pakaian, perawatan rumah seperti menyapu dan mengepel lantai, dan perawatan anak usia balita, perawatan anak usia sekolah dan perawatan anak usia remaja.

Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa semua jenis pekerjaan perawatan termasuk dalam pekerjaan rumahtangga. Aktivitas perawatan khususnya anak, biasanya dilakukan bersamaan dengan tugas rumahtangga lainnya. Pada kebanyakan keluarga, cara orang tua memperlakukan anak khususnya dalam memberi perhatian, cinta dan kasih sayang sebagai kebutuhan sosial psikologis kadang terabaikan, karena kebutuhan pertumbuhan fisik kadang kala dianggap lebih penting dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak.

Berdasarkan alasan tersebut, pekerjaan perawatan anak seharusnya tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh orang lain yang bukan anggota keluarga. Hal ini karena pemenuhan kebutuhan sosial psikologis anak dan standar nilai kedua orang tua dalam membesarkan dan mendidik anak tidak dapat tergantikan. Pekerjaan ini

disisi lain, secara intrinsik dapat memberikan nilai penghargaan yang tidak terhingga dan sekaligus sebagai sumber kebahagiaan bagi pasangan menikah (Robeyns 2000).

Konsep Persepsi.

Setiap orang dimanapun dalam hidup bermasyarakat memerlukan norma, atau aturan sebagai pengarah ke hal baik dan buruk yang disepakati bersama. Norma dapat menumbuhkan keyakinan dan/atau kesan seseorang secara emosional untuk menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Norma menunjukkan dimensi utama yang mendasari persepsi seseorang. Persepsi adalah hasil pengamatan individu mengenai suatu objek atau gejala berdasar pengalaman dan wawasan yang dimiliki (Endaryanto 1999).

Rakhmat (1998) menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek atau peristiwa, hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi bukan ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, tetapi lebih pada karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli. Persepsi meliputi kognisi yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang, dari sudut pengalaman dan faktor pribadi.

Persepsi didasarkan pada ciri dasar manusia pertama yang berpikir sesuai dengan perasaan suka dan tidak suka jika melihat suatu objek. Apabila objek yang dilihat sesuai dengan nilai yang diyakini seseorang, maka orang tersebut memiliki kecenderungan untuk bersikap terhadap objek yang diamatinya. Meskipun demikian, orang tidak dapat terus menerus berpedoman pada satu norma saja, karena individu cenderung berkembang dan berubah seperti usia, pengalaman, pendidikan, termasuk peristiwa atau lingkungan.

Pengamatan manusia terhadap objek psikologis seperti kejadian, ide atau situasi tertentu dipengaruhi oleh cara pandang dan nilai kepribadiannya. Faktor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberi bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat, sedang pengetahuan dan wawasan berpikir memberikan makna terhadap objek psikologis tersebut (Endaryanto 1999). Faktor dalam diri seorang manusia seperti bakat, minat, kemauan, perasaan, atau respon yang dibawa sejak lahir, dan faktor lingkungan yang ada di luar individu seperti pendidikan,

lingkungan sosial serta status dalam masyarakat adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang terhadap suatu objek yang diamatinya (Sears & Anne 1994).

Berdasarkan penjelasan tersebut, persepsi adalah perasaan seseorang yang bersifat subjektif terhadap sesuatu hal yang menjadi amatannya. Perasaan dipengaruhi oleh pengalaman hidup masa lalu, proses sosialisasi di dalam dan di luar keluarga yang memberi corak kepribadian, pengetahuan, dan wawasan berpikir sehingga dapat memaknai suatu objek psikologis tertentu.

Penilaian subjektif seseorang terhadap kesan baik tidaknya suatu amatan yang sesuai norma ataupun pengetahuannya dapat menumbuhkan keyakinan dan juga perasaan suka pada suatu amatan dan berimplikasi pada kecenderungan individu dalam bersikap. Pada penelitian ini, pekerjaan rumahtangga sebagai suatu amatan diharapkan cenderung disikapi positif oleh keluarga contoh di perkotaan maupun di perdesaan.

Sebagian besar keluarga ataupun masyarakat menganggap pekerjaan rumahtangga hanya untuk kaum perempuan. Pekerjaan rumahtangga dalam pandangan keluarga tradisional dianggap sebagai tugas utama perempuan, bahkan pekerjaan ini dianggap tidak pantas dilakukan oleh laki-laki karena dapat menurunkan wibawa. Aliran feminis yang menyuarakan pergerakan kebebasan kaum perempuan memandang pekerjaan rumahtangga sebagai simbol dari belenggu perempuan, meskipun dalam perkembangannya aliran ini tidak dapat bertahan lama.

Pada kasus lain, pekerjaan rumahtangga dianggap penting dan dapat diterima secara luas sebagai gaya hidup keluarga Amerika saat ini. Hal ini didasarkan pada pandangan masyarakat umum yang masih mengagungkan seorang ibu, dan peran ibu rumahtangga yang telah memberi kontribusi sangat berharga melebihi nilai dolar bagi kehidupan keluarga. Meskipun waktu yang disumbangkan oleh satu atau lebih anggota keluarga sebagai beban keseluruhan pekerjaan keluarga, namun tanggungjawab utama pekerjaan di rumah masih tetap dilakukan seorang ibu. Pola ini secara persepsi tidak berubah walau ada perubahan teknologi dan kesadaran dari aliran feminis baru (Gauger & Walker 1980).

Pada sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini, perempuan masih bertahan dengan tugasnya sebagai orang yang bertanggungjawab penuh dalam urusan rumahtangga, tidak terkecuali tugas membesarkan dan mendidik anak. Berdasarkan kodratnya, suami cenderung lebih banyak berpartisipasi di sektor publik, dan sebaliknya dengan isteri yang lebih banyak bekerja di sektor domestik atau mengerjakan tugas rumahtangga dan perawatan anak (Becker 1981).

Kesan yang melekat tentang pekerjaan di luar rumah adalah tugas laki-laki dan pekerjaan di dalam rumah merupakan tugas perempuan, karena stereotipi yang berkembang kuat di masyarakat mengenai pandangan keluarga tradisonal yang mendidik anak perempuan dan laki-laki dengan ekspektasi yang berbeda melalui pembagian peran dan tugasnya di rumahtangga. Perempuan dipersiapkan untuk menjadi seorang ibu/istri yang dapat mengurus rumahtangga, melayani kebutuhan suami, membesarkan dan mendidik anak mereka.

Menurut Guhardja (1986), perempuan pada umumnya melakukan pekerjaan rumahtangga sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar dengan jumlah jam yang lebih besar dibanding laki-laki. Laki-laki di sisi lain dipersiapkan untuk menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab pada semua anggota keluarga dalam menafkahi dan melindungi istri dan anak-anaknya.

Pada masa sekarang, pekerjaan rumahtangga tidak lagi menjadi dominasi perempuan, karena faktanya laki-laki turut terlibat dalam pekerjaan tertentu walaupun dengan kontribusi yang tidak besar dan bervariatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Robeyns (2000) yang menyatakan bahwa pekerjaan rumahtangga bersifat impersonal, yang artinya dapat dilakukan oleh siapapun tanpa mempengaruhi substansi kualitas pekerjaannya. Pikiran atau perasaan seseorang terhadap pekerjaan rumahtangga akan disikapi secara berbeda, sesuai dengan apa yang diyakini dan disukainya.

Pengambilan Keputusan dalam Keluarga berdasarkan Gender Keluarga dan Pendekatan Teori Struktural-Fungsional.

Pendekatan struktural-fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Keluarga mempunyai prisip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Keluarga dapat dilihat sebagai salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat, yang tidak akan terlepas dari interaksinya dengan subsistem lainnya yaitu ekonomi, politik, pendidikan dan agama. Melalui interaksi tersebut keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga maupun sosial masyarakat (Megawangi 1999). Teori struktural-fungsional memandang pentingnya kemampuan keluarga untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan hidup tetap terjaga.

Pencapaian keseimbangan pada sistem sosial dapat tercipta dan berfungsi jika struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi. Syarat struktural yang harus dipenuhi untuk mempertahankan keseimbangan sistem keluarga ataupun masyarakat menurut Levy dalam Megawangi (1999) adalah (1) diferensiasi peran atau alokasi peran yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas atau distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi atau distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga sebagai sarana untuk mencapai tujuan, (4) alokasi politik atau distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi atau cara sosialisasi internalisasi pelestarian nilai dan perilaku pada setiap anggota keluarga untuk memenuhi norma yang berlaku.

Berdasarkan strukturnya anggota keluarga memiliki peran masing-masing dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari untuk mencapai tujuan bersama. Peranan merupakan bagian dari aktivitas yang dimainkan oleh seseorang berkaitan dengan hak dan kewajiban untuk menjalankan fungsi-fungsi keluarga (Soekanto 1990). Vitayala (2010) menyatakan bahwa peran adalah aspek dinamis dari status yang sudah terpola dan berada di sekitar hak dan kewajiban tertentu, sedangkan peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk jenis kelamin tertentu.

Peran gender adalah kepercayaan normatif tentang bagaimana seharusnya penampilan seorang laki-laki atau perempuan, apa yang seharusnya dikerjakan oleh laki-laki atau perempuan dan bagaimana keduanya berinteraksi (William & Best 1990). Peran gender untuk perempuan dan laki-laki secara universal dikelompokkan menjadi tiga peran pokok yakni: 1) peran reproduktif, terkait dengan perawatan sumberdaya manusia dan tugas-tugas rumahtangga yang penting bagi keluarga untuk mempertahankan kehidupan, 2) peran produktif, terkait dengan pekerjaan yang menghasilkan baik barang maupun jasa untuk dikonsumsi atau diperjualbelikan, 3) peran sosial, terkait dengan kegiatan jasa ataupun partisipasi politik (Vitayala 2010).

Peran gender tergambar dari pekerjaan yang dipandang tepat bagi seseorang menurut perbedaan jenis kelamin. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin mengacu pada cara pekerjaan reproduktif, produktif dan pekerjaan sosial dibagi antara perempuan dan laki-laki, dan bagaimana pekerjaan tersebut dinilai dan dihargai dalam satu masyarakat atau budaya tertentu. Pembagian kerja antara sesama anggota keluarga laki-laki dan perempuan merupakan persyaratan struktural untuk kelangsungan hidup keluarga inti. Peran yang dibagi secara berbeda antara laki-laki dan perempuan bukan disebabkan oleh sifat biologis, melainkan lebih disebabkan oleh faktor sosialisasi budaya (Megawangi 1999).

Menurut Becker (1965), perbedaan gender dapat menentukan tingkat partisipasi anggota dalam keluarga, karena dengan investasi modal manusia yang sama perempuan memiliki keunggulan komparatif dalam pekerjaan rumahtangga yang lebih besar daripada laki-laki, sehingga perempuan akan menggunakan waktunya untuk pekerjaan rumahtangga dan laki-laki untuk pekerjaan mencari nafkah. Hal ini terkait dengan adanya pemahaman tentang tugas utama perempuan untuk mengandung, melahirkan, menyusui atau tugas lainnya yang berhubungan dengan pengasuhan anak.

Pada konteks peran berbasis gender, peran fungsional dalam rumahtangga dapat memunculkan arti negatif karena melakukan fungsi sebatas peran domestik-reproduksi. Pandangan tentang perempuan seperti ini bertujuan untuk membentuk istri yang ideal bagi keluarga. Istri secara emosional menciptakan suasana harmonis dalam keluarga dan menahan berbagai tekanan yang terjadi akibat

adanya interaksi sosial antar anggota keluarga atau antar individu di luar dirinya. Pada kondisi lain, suami berperan sebagai pelindung keluarga dan bertugas menafkahi anggota keluarga.

Pembagian tugas pada pasangan menikah secara langsung dipengaruhi oleh pandangan peran gender, baik tradisional ataupun modern masing-masing pasangan (Scanzoni & Scanzoni 1981). Pandangan peran gender tradisional membagi tugas berdasar jenis kelamin secara kaku. Laki-laki tidak menginginkan perempuan menyamakan kepentingan dan minat diri sendiri dengan kepentingan keluarga secara keseluruhan, sedang istri diharapkan mengakui kepentingan dan minat suami untuk kepentingan bersama. Kekuasaan kepemimpinan dalam keluarga berada di tangan suami. Perempuan yang berpandangan tradisional ketika sudah menikah atau setelah menjadi ibu, merasa lebih bertanggung jawab untuk melakukan tugas-tugas rumahtangga dan mencurahkan tenaga untuk suami dan anak (Becker 1965).

Pandangan peran gender modern membagi tugas berdasar jenis kelamin secara tidak kaku dan diperlakukan sejajar atau sederajat. Laki- laki mengakui minat dan kepentingan perempuan yang sama pentingnya dengan minat laki-laki, menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumahtangga dan memutuskan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Perempuan yang berpandangan modern, berusaha memusatkan perhatiannya untuk mencapai minatnya sendiri yang tidak lebih rendah dari minat suami. Menurut Plato (Megawangi 1999), apabila masing-masing individu mengetahui posisi dan fungsinya, maka suatu keluarga akan berada dalam keseimbangan harmonis dan dapat berjalan dengan baik.

Konsep Pengambilan Keputusan.

Keluarga dalam kehidupan sehari-hari seringkali dihadapkan pada masalah pengambilan keputusan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anggotanya. Pengambilan keputusan adalah proses memilih atau menentukan beberapa kemungkinan alternatif kegiatan dalam situasi tertentu, dan merupakan titik awal dari semua kegiatan yang akan dilakukan oleh keluarga. Menurut Rice dan Tucker (1986), keputusan yang diambil akan mempengaruhi

kualitas hidup manusia. Keberhasilan suatu tindakan sangat ditentukan oleh pengambilan keputusan yang dibuat (Susanti 1999).

Pola pengambilan keputusan dalam keluarga menggambarkan bagaimana struktur pola kekuasaan dalam keluarga tersebut. Pola yang dimaksud adalah kewenangan suami dan istri dalam mengambil keputusan. Kekuasaan dianggap sebagai penentu dalam proses tawar menawar untuk mengambil suatu keputusan dalam keluarga. Kekuasaan ditentukan oleh sumberdaya atau aset yang dimiliki individu. Sajogyo (1981) menyatakan bahwa pendidikan dan proses sosialisasi, latar belakang perkawinan, kedudukan dalam masyarakat dan faktor pewarisan dapat mempengaruhi perempuan dalam mengambil keputusan. Pada masyarakat yang perempuannya tidak memiliki hak waris sebagai pemilik tanah dan kekayaan yang lain akan cenderung menjadi hak milik dalam perkawinan.

Menurut Lestari (1999), pengambilan keputusan dalam keluarga dapat dipengaruhi oleh faktor sumberdaya yakni aset yang dimiliki individu sebelum menikah, seperti uang, kekayaan, pendidikan, atau pendapatan. Semakin tinggi aset yang dimiliki individu semakin kuat kekuasaannya dalam menentukan keputusan (Thomas & Frankenberg 1999). Pengambilan keputusan dalam keluarga tidak harus diberikan kepada satu orang anggota tertentu saja. Hal ini dapat pula dilakukan dengan kerjasama antar anggota keluarga, dan pembagiannya biasanya sesuai dengan tugas dari beberapa tingkatan diantara anggota keluarga.

Pengambilan keputusan dalam keluarga terbagi lima variasi, yaitu (1) hanya oleh istri, (2) hanya oleh suami, (3) oleh suami dan istri bersama, istri dominan, (4) oleh suami dan istri bersama, suami dominan, dan (5) oleh suami dan istri bersama (Sajogyo 1981). Menurut Guhardja & Hastuti (1992), terdapat tiga tipe pengambilan keputusan dalam keluarga dilihat dari keterlibatan anggota keluarganya, yaitu:

1) Pengambilan keputusan konsensus, yakni pengambilan keputusan secara bersama-sama antar anggota keluarga, setiap anggota memiliki hak untuk mengemukan pendapatnya. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan akan menjadi tanggungjawab semua anggota keluarga.

2) Pengambilan keputusan akomodatif, yang dicirikan oleh adanya orang yang dominan, sehingga keputusan yang diambil adalah dengan menerima pendapat orang yang dominan tersebut.

3) Pengambilan keputusan de facto, yaitu pengambilan keputusan yang diambil secara terpaksa.

Saat ini, masih terdapat anggapan bahwa istri/ibu tidak mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan di dalam maupun di luar keluarga, suami/bapak biasanya yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan meskipun ini tidak semuanya terbukti benar. Pandangan budaya istri ikut suami dapat dilihat sebagai salah satu faktor yang relatif cenderung memperlemah status perempuan menurut norma yang berlaku umum, laki-laki adalah orang yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan (Ihromi 1999).

Menurut White (1984), dalam masyarakat perdesaan laki-laki membuat keputusan produksi dan perempuan bertugas dalam mengontrol anggaran rumahtangga. Hal ini sejalan dengan Gertz (1961) yang menyatakan bahwa dalam keluarga Jawa perempuan mempunyai andil besar dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan.

Pengambilan keputusan hanya merupakan satu aspek dari hubungan kekuasaan keluarga. Meskipun keputusan itu sendiri dianggap penting tidak ada satupun orang yang berusaha untuk mengetahui siapa yang membuat keputusan, tetapi cenderung pada siapa yang lebih berpengaruh dalam pengambilan keputusan, siapa yang memiliki kekuasaan untuk mendelegasikan keputusan pada pasangan dan pada penyelesaian konflik mereka, dan siapa yang akan melaksanakan hasil keputusan yang telah disepakati sebelumnya (White 1984).

Pelaksanaan dari suatu keputusan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari ciri individu, keluarga, lingkungan, maupun ciri tugasnya (Deacon & Firebough 1988). Karakteristik individu seringkali dihubungkan dengan kualitas kepribadian seseorang. Karakteristik keluarga menyangkut hubungan perbedaan antar individu dalam keluarga, seperti sikluskehidupan keluarga, umur anak,dan besar keluarga. Karakteristik lingkungan berkaitan dengan lingkungan makro dan mikro, seperti lingkungan fisik, anggota keluarga, dan barang-barang yang digunakan keluarga. Karakteristik tugas berhubungan dengan tingkat kesulitan

suatu pekerjaan, semakin rumit tugas, dan semakin besar pengawasan dan perhatian.

Meskipun secara budaya suami diposisikan sebagai kepala keluarga, istri mempunyai peluang sama dalam mengambil keputusan terutama untuk urusan kegiatan dalam rumahtangga. Pada keluarga Jawa, pengambilan keputusan dalam urusan domestik umumnya ditentukan kebanyakan oleh isteri (Mulyono & Ardyanto 2001).

Alokasi Waktu Pekerjaan Rumahtangga Pendekatan Produksi Rumahtangga

Pendekatan produksi rumahtangga dipandang sebagai pelengkap kerangka ekonomi mikro yang tepat untuk menganalisis alokasi waktu dalam keluarga. Metode alokasi waktu adalah metode yang paling tepat untuk menjelaskan berbagai aktivitas, yang paling sering untuk pekerjaan tidak dibayar dan tidak tercatat sebagai aktivitas ekonomi yang dipublikasikan.

Waktu diantara berbagai aktivitas dialokasikan untuk pekerjaan pasar dan pekerjaan rumah dan/atau waktu luang. Menurut Bennet (1983), waktu berguna untuk menghasilkan 1) produksi jasa dalam keluarga seperti memasak, membersihkan dan menata rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, 2) produksi upah atau gaji pekerjaan pasar yang menghasilkan pendapatan, dan 3) produksi subsisten makanan dan barang lain yang tidak dibayar dalam keluarga petani dengan pendapatan terpisah.

Pekerjaan di rumah dan pekerjaan pasar bersubtitusi sempurna, yakni satu kepuasan sama yang diperoleh dari mengkonsumsi barang atau jasa, baik yang dibeli di pasar atau diproduksi di rumah. Apabila seseorang menikmati utilitas langsung dari aktivitas produksi maka bagian dari waktu yang digunakan untuk produksi rumah ditetapkan sebagai waktu luang (Pylkkanen 2002). Pada umumnya dalam model produksi rumahtangga, rumahtangga memaksimalkan utilitas masalah kendala tertentu dengan mempertimbangkan teknologi dan sumberdaya.

Rochaeni dan Lokollo (2005) mensitir teori Becker (1965), yang menyatakan bahwa rumahtangga dalam memproduksi output menggabungkan

barang modal dan barang mentah, tenaga kerja dan waktu. Utilitas (kepuasan) langsung diperoleh rumahtangga melalui konsumsi berbagai barang akhir. Maksimisasi kepuasan dilakukan dengan mengkombinasikan input barang (Xi) dan input waktu (Ti) dengan fungsi produksi fi untuk menghasilkan barang Zi. Fungsi kepuasan rumahtangga pada teori ekonomi rumahtangga, yaitu:

(1) U = U (Zi, …, Zn)

Z dinotasikan untuk komoditas yang dihasilkan rumahtangga (i = 1,2, ..,n). Menurut fungsi produksi, setiap komoditas dihasilkan sebagai berikut,

(2) Z = Zi (Xi, Thi)

Xi merupakan barang dan jasa, sedangkan Thi merupakan jumlah waktu yang digunakan untuk memproduski barang Z. Pada dasarnya Zi adalah barang tidak dijual, sehingga barang tersebut dinilai dengan harga bayangan produksi yang dirumuskan sebagai berikut,

(3)

Dengan menggunakan Пi maka kendala pendapatan penuh sebagai berikut, (4) PiXi + wThi = ПiZi

Fungsi kepuasan (1) dimaksimumkan dengan kendala pendapatan penuh (4), maka kondisi keseimbangan terjadi bila kepuasan marjinal dari komoditas yang berbeda sama dengan harga bayangan masing-masing komoditas tersebut.

Dokumen terkait