• Tidak ada hasil yang ditemukan

The economic and non economic value of wife housework

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The economic and non economic value of wife housework"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

MEDA WAHINI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MEDA WAHINI

A561020011

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Nilai Ekonomi dan Non-Ekonomi Pekerjaan Rumahtangga Istri adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Pebruari 2012

Meda Wahini

(4)

Supervised by SJAFRI MANGKUPRAWIRA, SUPRIHATIN GUHARDJA, DRAJAT MARTIANTO, and ASEP SAEFUDDIN.

In a certain society some people do not appreciate to housework as an activity of domestic sector, because they have a perception that this housework do womens’work and responsibility. The aim of this research is to analyze the economic and non-economic of housework including providing of food consumption, maintaining of clothing and housing, and caring of pre schoolers, school age, and adolescent, and factors that affecting the value of which attended the housework time allocation of wife. Mangkuprawira formulation was used to measure the real and unreal time allocation of housework, while opportunity cost and replacement cost with housework load were used to value the housework activity of home wife. The result showed that the highest economic value of housework using replacement cost and opportunity cost was caring of school age, and the lowest value of housework using replacement cost was maintaining of housing and opportunity cost was caring of pre schoolers. Family who lives in the city or village psychologically feels like with the result with housework has done. Because the value what they feel on something, that’s the result what they want and expect to of each family will be different and there’s no real standard.

(5)

Istri. Dibimbing oleh SJAFRI MANGKUPRAWIRA, SUPRIHATIN GUHARDJA, DRAJAT MARTIANTO, dan ASEP SAEFUDDIN.

Pekerjaan rumahtangga sebagai pekerjaan sektor domestik kurang mendapat perhatian dan apresiasi dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Pada sebagian budaya masyarakat pekerjaan rumahtangga dipandang sebagai pekerjaan yang tidak produktif dan kurang berharga, karena tidak menghasilkan uang dan identik dengan pekerjaan kaum perempuan. Studi tentang pekerjaan rumahtangga di negara maju telah banyak dilakukan yang mengungkap bahwa pekerjaan rumahtangga memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan berkontribusi signifikan terhadap GDP. Negara Indonesia khususnya dan beberapa negara berkembang studi ini belum banyak dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai ekonomi dan non-ekonomi pekerjaan rumahtangga yang dilaksanakan oleh istri di perkotaan dan di perdesaan. Perhatian lebih khusus diberikan pada persepsi istri tentang pekerjaan rumahtangga, pengambilan keputusan istri-suami dalam tugas pekerjaan rumahtangga, alokasi waktu pekerjaan rumahtangga istri, nilai ekonomi dan non-ekonomi pekerjaan rumahtangga istri, serta faktor-faktor yang mempengaruhi nilai penggunaan waktu istri dalam pekerjaan rumahtangga.

Kebaruan penelitian ini dibandingkan dengan studi yang telah ada, terletak pada topik dan metode. Topik terkait dengan nilai ekonomi dan non-ekonomi penggunaan waktu pekerjaan rumahtangga yang tidak dibayar pada aktivitas penyediaan konsumsi makanan, perawatan rumah, perawatan pakaian, perawatan anak usia balita, perawatan anak usia sekolah, perawatan anak usia remaja) yang dilakukan oleh istri, dan yang tidak dilakukan pada studi lainnya. Metode terkait dengan penilaian penggunaan waktu pekerjaan rumahtangga istri dengan pembobotan pada setiap jenis pekerjaan rumahtangga dan indikator pekerjaan rumahtangga menjadi matriks bobot (nilai tertimbang) pekerjaan rumahtangga dengan perhitungan opportunity cost dan replacement cost.

(6)

pendidikan istri dan suami, pekerjaan istri dan suami, kehadiran anak, pendapatan per kapita keluarga, besar keluarga, status pekerjaan istri, status ekonomi keluarga, pandangan peran gender, dukungan sosial, persepsi istri tentang pekerjaan rumahtangga, pengambilan keputusan istri-suami dalam tugas pekerjaan rumahtangga

Berdasarkan hasil analisis deskriptif dan inferensia ditemukan bahwa kebanyakan istri berusia dewasa muda dengan proporsi lebih banyak di perkotaan, sedangkan usia suami lebih banyak dewasa madya yang proporsinya lebih besar di perdesaan. Anak kebanyakan berusia lima tahun ke atas dengan proporsi lebih besar di perdesaan. Pendidikan istri dan suami kebanyakan SMA dengan proporsi lebih besar di perkotaan. Sebagian besar keluarga termasuk dalam keluarga kecil, karena rata-rata jumlah anggota keluarga tidak lebih dari lima orang. Sebagian istri tidak bekerja, sedangkan suami sebagian bekerja sebagai pegawai swasta. Pendapatan per kapita keluarga kebanyakan di atas Rp1.298.337 dengan nilai rata-rata lebih tinggi di perkotaan. Seluruh istri berpandangan tradisional, artinya suami diposisikan sebagai kepala keluarga. Istri kebanyakan memperoleh dukungan sosial yang baik dengan proporsi lebih besar di perkotaan.

Sebagian besar istri mempunyai persepsi netral, yang maknanya istri memandang positif sekaligus negatif terhadap pekerjaan rumahtangga, dengan proporsi lebih besar di perdesaan. Pekerjaan rumahtangga dipersepsikan positif karena dirasakan menyenangkan, mulia, berharga dan dapat memberikan kepuasan bagi anggota keluarganya; dan dipersepsikan negatif karena dirasakan melelahkan, membosankan dan juga terjadi pengulangan pekerjaan yang sama.

Pengambilan keputusan untuk penyediaan konsumsi makanan, perawatan pakaian, perawatan rumah, perawatan anak usia balita, perawatan anak usia sekolah, perawatan anak usia remaja, lebih banyak diputuskan oleh istri saja. Pembagian tugas pekerjaan rumahtangga antara istri dan suami menjadi tidak seimbang, yang ditunjukkan lebih banyak oleh istri di perdesaan

Waktu istri untuk pekerjaan rumahtangga dialokasikan kurang dari tujuh jam per hari, atau seperempat dari total waktu per hari untuk aktivitas lainnya seperti aktivitas publik, sosial atau pribadi. Alokasi waktu istri di perdesaan lebih besar dibandingkan istri di perkotaan. Waktu istri dialokasikan paling banyak untuk penyediaan konsumsi makanan dan paling sedikit untuk perawatan anak usia remaja.

(7)

istri, alokasi waktu pekerjaan rumahtangga istri berpengaruh nyata terhadap nilai penggunaan waktu pekerjaan rumahtangga istri. Model regresi cobb douglas hanya dapat menjelaskan 22 persen peubah bebas, 78 persen dijelaskan oleh peubah lain yang tidak terkontrol.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)
(10)

MEDA WAHINI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

Penguji Luar Sidang Tertutup :

1. Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc. MSc 2. Dr. Ir. Hartoyo MSc

Penguji Luar Sidang Terbuka:

1. Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala, S. Hubeis. 2. Dr. Ir. Hartoyo MSc.

(12)

NIM : A561020011

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira. Ketua

Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS. Dr. Ir. Drajat Martianto, MS. Anggota Anggota

Dr. Ir. Asep Saefuddin, MSc. Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi GMK

drh. M. Rizal Martua Damanik, MRep.Sc, Ph.D.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.

(13)

Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi dengan tema alokasi waktu pekerjaan rumahtangga dan produksi yang dihasilkan, disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor.

Disertasi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira. selaku ketua komisi pembimbing atas sumbangan materi Household Economic dan Labor Economic, perhatian, pengertian, ketulusan, keihlasan, kesabaran, toleransi, dukungan semangat dan motivasi yang tidak pernah putus ditunjukkan kepada penulis sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga selesainya disertasi ini. 2. Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS. selaku anggota komisi pembimbing atas

sumbangan materi Manajemen Sumberdaya Keluarga, pengertian, perhatian, dan bimbingan sejak penyusunan proposal hingga selesainya disertasi ini. 3. Dr. Ir. Drajat Martianto, MS. selaku anggota komisi pembimbing atas

sumbangan materi ekonomi pembangunan, perhatian dan bimbingan sejak penyusunan proposal hingga selesainya disertasi ini.

4. Dr. Ir. Asep Saefuddin, MSc. selaku anggota komisi pembimbing atas sumbangan materi Statistik, pengertian, perhatian dan bimbingan sejak penyusunan proposal hingga selesainya disertasi ini.

5. Dr. Ir. Herien, P., MSc, MSc. selaku dosen penguji luar komisi pada Sidang Tertutup yang telah banyak memberikan masukan dan koreksi atas disertasi. 6. Dr. Ir. Hartoyo, MSc. selaku dosen penguji luar komisi pada Sidang Tertutup

dan Sidang Terbuka dan selaku pakar Ekonomi Keluarga yang telah banyak memberikan masukan dan koreksi atas disertasi.

7. Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala, S.Hubeis. selaku dosen penguji luar komisi pada Sidang Terbuka yang telah banyak memberikan masukan dan koreksi atas disertasi.

(14)

10. Dr. Ir. Dwi Hastuti, MSc. selaku pembahas pada kolokium yang telah banyak memberikan masukan dan koresi atas proposal penelitian.

11. Prof. Dr. Dadang Sukandar, MSc. atas koreksi dan masukan disertasi.

12. Pengelola Beasiswa BPPS–IPB DIKTI atas beasiswa dan bantuan biaya penyelesaian kuliah dan disertasi yang telah diberikan.

13. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan pendidikan.

14. Rektor Universitas Negeri Surabaya dan Dekan FPTK Universitas Negeri Surabaya yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan.

15. Ketua Jurusan beserta seluruh staf jurusan PKK-Universitas Negeri Surabaya yang telah memberikan kesempatan, dukungan, dan perhatian bagi penulis. 16. Bapak Camat Sidoarjo, Bapak Camat Krembung, Kepala Desa Jati, Lurah

Gebang, Kepala Desa Kandangan dan Kepala Desa Balong Garut-Kabupaten Sidoarjo.

17. Kedua orang tua, R. Moekadi dan Hj. Bandijah (alm), Mbak Gini dan Kak Budi, Mbak Anon dan Kak Momon dan adik-adik Junun dan Ijah, Giri dan Rohayati, Bayu dan Yuli, Kepi dan Danni, Widi, serta keponakan tercinta; Ratih dan Herdi, Haonisa, Ben dan Lia, Anjari, Aussie, Yoga, Tinut, Dita, Agam, Adit, Ajeng, Fibi, Aliyyah, Fatih, Putri, atas segala do’a dan dukungannya.

18. Ibu Hj Mimin Hamidah atas doa yang tidak pernah putus diberikan.

19. Ratih Maria Dhewi, SS, MM. dan Hino SSi, MSi. atas bantuan moril dan materiil selama penyusunan disertasi.

20. Dr. Uke Rasalwati, Dr. Lilik Noor, Dr. Istiqlaliyah M, dan Dr. Partomo, atas dukungan dan bantuannya selama ini

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik. Amin.

(15)

ketiga dari delapan bersaudara. Penulis terlahir dari pasangan R. Moekadi dan Hj. Bandiyah (Alm).

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri Teladan Papandayan I Bogor pada tahun 1974, Sekolah Menengah Pertama Negeri III Bogor pada tahun 1977, dan Pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri I Bogor penulis selesaikan pada tahun 1981. Pada tahun 1981 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta (IKIP, sekarang Universitas Negeri Jakarta) Jurusan Tata Boga – Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, dan mendapat gelar Sarjana Pendidikan Tata Boga pada tahun 1985.

Penulis mengikuti program Pra-Pasca Institut Pertanian Bogor pada tahun 1997/1998. Program ini bertujuan untuk membantu mahasiswa lulusan IKIP se-Indonesia, dengan nilai Indeks Prestasi Akademik sebagai satu syarat yang digunakan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana Reguler tahun 1998. Penulis menamatkan Program S2-Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga pada tahun 2001. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan Program Doktor pada tahun 2002 dengan Beasiswa Pendidikan BPS-IPB dan selanjutnya biaya sendiri.

Penulis saat ini bekerja sebagai tenaga pengajar pada Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga sejak tahun 1986. Mata ajaran yang menjadi tanggungjawab penulis adalah Praktek Industri Lapang, Pendidikan Konsumen, Pengolahan Makanan Asia dan Eropa, Pengolahan Kue dan Roti, Bahasa Inggris Bidang Studi Tata Boga, Pengelolaan Usaha Boga, Food and Beverage, Catering Management dan Ilmu Kesejahteraan Keluarga.

(16)

I Dedicate to my parents,

to all of my sisters & brothers,

(17)

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 5

Kegunaan Penelitian ... 6

Batasan Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis ... 7

Persepsi Pekerjaan rumahtangga ... 7

Konsep Pekerjaan Rumahtangga ... 7

Konsep Persepsi ... 9

Pengambilan Keputusan dalam Keluarga berdasarkan Gender ... 12

Keluarga dan Pendekatan Teori Struktural-Fungsional ... 12

Konsep Pengambilan Keputusan ... 14

Alokasi Waktu Pekerjaan Rumahtangga ... 17

Pendekatan Produksi Rumahtangga ... 17

Nilai Penggunaan Waktu ... 26

Waktu dan Penggunaanya ... 26

Konsep Nilai ... 28

Penilaian Waktu Aktivitas Pekerjaan di Rumah ... 30

Konsep Kegiatan Bekerja dalam Keluarga ... 32

Tinjauan Pengamatan Empiris ... 32

Tinjauan Analitik: Nilai Pekerjaan Rumahtangga ... 40

KERANGKA BERPIKIR Kerangka Konseptual Kegiatan Bekerja dalam Keluarga ... 45

Kerangka Operasional Pekerjaan Rumahtangga dalam Keluarga ... 47

METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

Desain Penelitian ... 51

Lokasi Penelitian ... 51

Waktu Penelitian ... 51

Cara Penarikan Contoh ... 52

(18)

Pengolahan dan Analisis Data ... 56

Pengolahan Data ... 57

Pembobotan Pekerjaan Rumahtangga ... 59

Analisis Data ... 60

Definisi Operasional Variabel ... 63

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 67

Persepsi Istri tentang Pekerjaan Rumahtangga ... 86

Pengambilan Keputusan Istri dan Suami dalam Tugas Pekerjaan Rumahtangga ... 91

Alokasi Waktu Pekerjaan Rumahtangga Istri ... 96

Nilai Ekonomi dan Nilai Non-Ekonomi Pekerjaan Rumahtangga Istri ... 102

Nilai Ekonomi Pekerjaan Rumahtangga Istri ... 103

Nilai Non-ekonomi Pekerjaan Rumahtangga Istri ... 108

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Nilai Penggunaan Waktu Pekerjaan Rumahtangga Istri ... 112

Pembahasan ... 116

Implikasi Penelitian ... 127

SIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN Simpulan ... 129

Implikasi Kebijakan ... 130

(19)
(20)
(21)

Halaman

9 Perincian jumlah dan kepadatan penduduk Kecamatan Krembung ... 71

10 Sebaran contoh berdasarkan kategori usia istri dan usia suami di perkotaan dan di perdesaan ... 73

11 Sebaran contoh berdasarkan kehadiran anak di perkotaan dan di perdesaaan ... 74

12 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan istri dan pendidikan suami di perkotaan dan di perdesaan ... 75

13 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga di perkotaan dan di perdesaan 76 14 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan istri dan pekerjaan suami di perkotaan dan di perdesaan ... 77

15 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan (per kapita) keluarga di perkotaan dan di perdesaan ... 78

16 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan istri di perkotaan dan di perdesaan ... 79

17 Sebaran contoh berdasarkan pandangan istri terhadap peran gender di perkotaan dan di perdesaan ... 79

18 Sebaran contoh berdasarkan kategori pandangan peran gender di perkotaan dan di perdesaan ... 81

19 Sebaran contoh berdasarkan kategori dukungan sosial istri di perkotaan dan di perdesaan ... 84

20 Sebaran contoh berdasarkan kategori dukungan sosial istri di perkotaan dan di perdesaan ... 85

21 Sebaran contoh berdasarkan stratifikasi keluarga di perkotaan dan di perdesaan ... 86

22 Sebaran contoh berdasarkan persepsi istri terhadap pekerjaan rumahtangga di perkotaan dan di perdesaan ... 88

23 Sebaran contoh berdasarkan kategori persepsi istri terhadap pekerjaan rumahtangga di perkotaan dan di perdesaan ... 89

(22)

rumahtangga di perdesaan ... 91 26 Kategori tugas pekerjaan rumahtangga di perkotaan dan di perdesaan ... 93 27 Alokasi waktu pekerjaan rumahtangga istri di perkotaan dan di perdesaan . 97 28 Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga istri replacement cost di perkotaan dan di perdesaan (rupiah) ... 104 29 Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga istri opportunity cost di perkotaan dan di perdesaan (rupiah) ... 105 30 Nilai non-ekonomi pekerjaan rumahtangga istri di perkotaan ... 108 31 Nilai non-ekonomi pererjaan rumahtangga istri di perdesaan ... 109 32 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai ekonomi pekerjaan

(23)

Halaman 1 Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu ... 20 2 Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu bekerja di

(24)
(25)

Halaman 1. Matriks bobot pekerjaan rumahtangga ... 143 2. Sebaran contoh berdasarkan pengambilan keputusan di perkotaan dan

di perdesaan (%) ... 146 3. Sebaran contoh berdasarkan pelaksanaan pekerjaan rumahtangga di

perkotaan dan di perdesaan (%) ... 148 4. Alokasi waktu pekerjaan rumahtangga istri berdasarkan tipologi

wilayah (menit) ... 150 5. Alokasi waktu pekerjaan rumahtangga istri berdasarkan status

pekerjaan istri (menit) ... 152 6. Alokasi waktu pekerjaan rumahtangga istri berdasarkan kehadiran

anak (menit) ... 154 7. Alokasi waktu pekerjaan rumahtangga istri berdasarkan stratifikasi

keluarga (menit) ... 156 8. Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga istri (replacement cost)

berdasarkan tipologi wilayah (Rp) ... 158 9. Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga istri (replacement cost)

berdasarkan status pekerjaan istri (Rp) ... 160 10. Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga istri (replacement cost)

berdasarkan kehadiran anak (Rp) ... 162 11. Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga istri (replacement cost)

berdasarkan stratifikasi keluarga (Rp) ... 164 12. Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga istri (opportunity cost)

berdasarkan tipologi wilayah (Rp) ... 166 13. Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga istri (opportunity cost)

berdasarkan status pekerjaan istri (Rp) ... 168 14. Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga istri (opportunity cost)

berdasarkan kehadiran anak (Rp) ... 170 15. Nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga istri (opportunity cost)

berdasarkan stratifikasi keluarga (Rp) ... 172 16. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai ekonomi pekerjaan

rumahtangga istri (penyediaan konsumsi makanan ... 174 17. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai ekonomi

pekerjaan rumahtangga istri (perawatan pakaian) ... 175 18. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai ekonomi pekerjaan

rumahtangga istri (perawatan rumah) ... 176 19. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai ekonomi pekerjaan

rumahtangga istri (perawatan anak usia balita ... 177 20. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai ekonomi pekerjaan

(26)

rumahtangga istri (perawatan anak usia remaja) ... 179 22. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai non-ekonomi pekerjaan

(27)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Isu tentang peran perempuan Indonesia dalam pembangunan nasional

dewasa ini menjadi semakin penting dan menarik. Peran perempuan Indonesia

dalam pembangunan nasional sejak tahun 1978 telah dijadikan isu nasional,

dengan tujuan untuk memacu terjadinya pemberagaman dalam peran perempuan

di kancah nasional. Fakta empiris menunjukkan bahwa perempuan melakukan dua

pekerjaan sekaligus yaitu, pekerjaan publik yang menghasilkan pendapatan dan

pekerjaan domestik. Fenomena ini sangat umum ditemui, baik di daerah

perdesaan maupun di perkotaan. Perempuan memiliki peran nyata dalam

memberikan kontribusi ekonomi dan membawanya pada status yang setara

dengan pria (Vitayala 2010).

Pekerjaan domestik atau pekerjaan rumahtangga dalam struktur sosial

bermula dan bersamaan dengan berlangsungnya peradaban kehidupan manusia.

Pada semua anggota masyarakat dengan budayanya, sebagian besar orang hidup

terikat dalam hubungan kekeluargaan terkait dengan kewajiban dan hak setiap

individu yang berlangsung di dalamnya. Tugas-tugas kekeluargaan seperti

kegiatan ekonomis dan produktif merupakan tanggungjawab langsung setiap

pribadi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat untuk menjamin kelangsungan

hidup.

Laki-laki dan perempuan yang terikat pernikahan mempunyai kewajiban

untuk melaksanakan tugas kekeluargaan sesuai peran dan fungsinya. Becker

(1965) menyatakan bahwa tanggungjawab utama perempuan menikah dalam

pandangan tradisional adalah pengasuhan dan pekerjaan domestik lain, sedangkan

suami bertanggungjawab pada wilayah publik. Suami dan istri melaksanakan

tugas yang berbeda, tetapi sebagai pasangan mereka bekerja sama dalam menata

rumahtangga dan menata kehidupan (Newman & Grauerholz 2002).

Penatalaksanaan rumahtangga yang mencakup tugas-tugas rumahtangga

dan pengasuhan anak semula ditangani langsung oleh keluarga, namun bersamaan

dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat penanganan jasa rumahtangga

(28)

komersial karena didukung oleh adanya pergeseran peran dalam keluarga yang

mendorong perempuan bekerja di ranah publik. Meskipun tingkat partisipasi

angkatan kerja (TPAK) perempuan relatif rendah (52.5%) dibandingkan dengan

laki-laki yang mencapai 83.3 persen, perempuan kebanyakan masih bertahan

dalam lingkup domestik (ILO 2011). Hal ini menggambarkan bahwa pekerjaan di

rumah masih digeluti kaum perempuan sampai sekarang, dengan alokasi waktu

lebih besar daripada laki-laki.

Pernyataan ini didukung oleh hasil studi terkait yang dilakukan di Indonesia

maupun di Barat. Studi tentang alokasi waktu dan kontribusi kerja anggota

keluarga dan kegiatan ekonomi rumahtangga di Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Jawa Barat menunjukan bahwa perempuan mengalokasikan waktu untuk

pekerjaan rumahtangga antara 39.1 jam sampai 41.3 jam/minggu, sedangkan

waktu yang dialokasikan laki-laki untuk pekerjaan rumahtangga antara 1.9 jam

sampai 9.6 jam/minggu (Mangkuprawira 1985).

Studi tentang weekly position pada 50 pasangan menikah (separuhnya ibu bekerja) yang dilakukan Fletchers seperti yang dikutip Birks (1994) menunjukkan

bahwa kontribusi waktu perempuan untuk pekerjaan dibayar lebih rendah,

dibandingkan dengan kontribusi waktu untuk pekerjaan tidak dibayar. Istri bekerja

melaksanakan 65 persen dari jam pekerjaan rumahtangga dan perawatan anak,

rata-rata 1,8 jam lebih besar dari suaminya. Istri sebagai ibu rumahtangga

melaksanakan 76 persen dari jam pekerjaan rumahtangga dan perawatan anak,

rata-rata bekerja 11-61 jam per minggu lebih sedikit dari suami.

Pembagian kerja dengan domain berbeda antara laki-laki dan perempuan terpisah secara jelas dalam keluarga dengan kultur patriarki. Laki-laki melakukan

pekerjaan yang menghasilkan uang dan perempuan melakukan serangkaian tugas

domestik. Perubahan tenaga kerja laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada

wilayah publik dan domestik terjadi karena industrialisasi (Newman &

Grauerholz 2002). Namun demikian, perempuan tetap mendapat bagian pekerjaan

di rumah dengan porsi yang paling besar (Rowatt & Rowatt 1990). Rata-rata

waktu kerja di rumah untuk perempuan menikah pada tahun 1900an di Amerika

(29)

Streotipi pada perempuan terkait dengan jenis pekerjaan perempuan yang

lebih aman bekerja di rumah, pada saat bersamaan didefinisikan sebagai bukan

pekerjaan karena berada dalam lingkup domestik dan bersifat informal. Pekerjaan

rumahtangga dinilai tidak produktif, sebaliknya sektor publik diletakkan sebagai

fungsi yang bernilai tinggi dibanding sektor domestik karena lebih produktif

menghasilkan kapital. Tugas domestik dianggap sebagai pekerjaan yang tidak

produktif secara ekonomi (LBH Perempuan 1993 dalam OPI 2006). Pekerjaan

domestik dalam keluarga tradisional dianggap sebagai tugas dan tanggungjawab

utama perempuan.

Sidoarjo yang sangat kental dengan nilai tradisonal, merupakan salah satu

kabupaten yang terletak di daerah Jawa Timur dengan karakteristik yang khas.

Kabupaten Sidoarjo dikenal sebagai daerah industri dengan tenaga kerja (buruh)

kebanyakan perempuan, dan merupakan daerah segitiga emas yang diapit oleh

kota Surabaya, Mojokerto dan Malang. Sebagian besar penduduk Sidoarjo

merupakan pendatang dari berbagai daerah di Jawa Timur. Kegiatan ekonomi di

kabupaten Sidoarjo lebih banyak didominasi oleh usaha kecil menengah yang

dikembangkan dalam skala rumahtangga, antara lain usaha pembuatan tempe,

kerupuk, juadah, telur asin, jamu beras kencur dan budidaya jangkrik. Sektor

pertanian di kabupaten Sidoarjo lebih banyak perkebunan tebu dan perikanan

tambak. Berdasarkan karakteristik yang khas tersebut, Sidoarjo dijadikan

pertimbangan peneliti sebagai tempat untuk mengkaji kegiatan rumahtangga yang

difokuskan pada aktivitas pekerjaan rumahtangga atau aktivitas sektor domestik.

Perumusan Masalah

Rumahtangga sebagai sistem unit produksi menghasilkan barang dan jasa

dengan menggunakan kombinasi sumberdaya. Satu diantara sumberdaya yang

menjadi kendala bagi rumahtangga adalah waktu. Pengalokasian waktu dapat

dipengaruhi oleh preferensi anggota rumahtangga (Thomas & Frankenberg 1999).

Preferensi yang dimaksud adalah pilihan yang dilakukan anggota rumahtangga

berdasarkan hubungan antara waktu luang dengan kuantitas barang dan jasa yang

(30)

rumahtangga berusia kerja mempunyai pilihan untuk melakukan kegiatan, apakah

bekerja mencari nafkah atau bekerja di rumah.

Pekerjaan rumahtangga sebagai pekerjaan sektor domestik kurang

mendapat perhatian dari masyarakat maupun pemerintah. Pada sebagian budaya

masyarakat pekerjaan ini dipandang kurang berharga, karena dianggap sebagai

pekerjaan kaum perempuan dan tidak pantas dikerjakan laki-laki. Menurut

Sumardjo (1988), kebanyakan perempuan di Klaten-Jawa Tengah diposisikan

seperti pembantu keluarga, karena mereka mencurahkan tenaga dan waktunya

lebih banyak di rumah untuk mengurus dan melayani suami serta anaknya.

Pada masa sekarang perubahan yang sangat jelas terlihat ialah perempuan

yang semula bekerja di dalam rumah, bekerja pula di luar rumah. Meskipun

perempuan bekerja di publik, semua hal yang berhubungan dengan penata

laksanaan rumahtangga masih tetap menjadi tanggung jawabnya. Hal ini sejalan

dengan penelitian Hyman & Baldry (2003) yang menyatakan bahwa perempuan

yang bekerja baik penuh maupun paruh waktu di sektor publik, masih bersedia

mengerjakan tugas-tugas rumahtangga dan pengasuhan anak.

Faktor pendorong perempuan bekerja di luar rumah adalah alasan ekonomi

dan non ekonomi, sedangkan di sisi lain laki-laki melaksanakan tugas

rumahtangga karena sosialisasi budaya. Pekerjaan rumahtangga secara kultural

masih dianggap porsi perempuan, dan sebagian laki-laki beranggapan

mengerjakan pekerjaan rumahtangga dapat menurunkan tingkat maskulinitas.

Sebagian kaum laki-laki menganggap bahwa pekerjaan yang dilakukan ibu

di rumah bukanlah pekerjaan yang menghasilkan sehingga seringkali dinilai

secara sepihak. Anggapan tersebut mempunyai kesan negatif terhadap peran atau

tugas ibu dan pekerjaan itu sendiri, padahal pekerjaan di rumah cenderung dapat

terbengkalai tanpa peran ibu dan tidak terhitung berapa banyak uang yang harus

dikeluarkan untuk menggantikan tugas ibu di rumah, seperti membersihkan

rumah, menyiapkan pakaian, memasak, menyiapkan makanan atau mengasuh

anak. Hal terpenting lain yakni kebutuhan perhatian, cinta dan kasih sayang

seorang ibu kepada anak-anaknya yang tidak bisa tergantikan dan digantikan,

selain kebahagiaan yang dirasakan ibu dengan memiliki anak dan merawatnya

(31)

Pekerjaan rumahtangga seharusnya dinilai berharga, baik secara ekonomi

maupun secara psikologis. Hasil studi di Amerika menunjukkan bahwa secara

ekonomi pekerjaan rumahtangga menyumbang pendapatan negara cukup besar,

yaitu sekitar 9 persen-35.6 persen dari GNP yang disumbang oleh perempuan.

(Murphy 1982, Robeyns 2000, Champ & Brown 2003). Pekerjaan ini secara

psikologis dapat memberikan kepuasan dalam bentuk penghargaan diri.

Studi tentang kontribusi pekerjaan rumahtangga secara ekonomi di

Indonesia belum mendapatkan perhatian yang besar. Hal ini terlihat dari

terbatasnya data-data kuantitatif yang mendukung studi tersebut. Beberapa hasil

kajian studi yang ada mengungkap lebih pada aspek sosio budaya, yang

ditemukan terutama di daerah perdesaan Jawa.

Berdasarkan pemaparan tersebut, beberapa permasalahan yang akan

dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan istri tentang pekerjaan rumahtangga, apakah pekerjaan

yang dikerjakan secara rutin dalam rumah dinilai positif?

2. Siapa sebenarnya yang mengambil keputusan dalam keluarga untuk tugas

pekerjaan rumahtangga, apakah diputuskan oleh istri saja, suami saja atau istri

dan suami setara?

3. Berapa banyak waktu yang dicurahkan istri untuk pekerjaan rumahtangga?

4. Berapa besar nilai pekerjaan rumahtangga yang dihasilkan istri?

5. Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap nilai penggunaan waktu istri dalam

pekerjaan rumahtangga?

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai ekonomi

dan non-ekonomi pekerjaan rumahtangga yang didasarkan pada perbedaan

tipologi wilayah (perkotaan dan perdesaan). Perhatian lebih khusus diberikan pada

analisis:

1. Persepsi istri tentang pekerjaan rumahtangga.

2. Pengambilan keputusan istri-suami dalam tugas pekerjaan rumahtangga.

3. Curahan waktu istri dalam pekerjaan rumahtangga.

(32)

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai penggunaan waktu istri dalam

pekerjaan rumahtangga.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk segi akademis dan implikasi

praktis sebagai berikut:

1. Segi akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan

perbendaharaan teori ekonomi keluarga khususnya tentang nilai ekonomi dan

non-ekonomi pekerjaan rumahtangga.

2. Segi implikasi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

para penentu kebijakan terkait dengan pengupahan tenaga kerja sektor jasa

yang tidak dibayar.

Batasan Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada penggunaan waktu untuk pekerjaan

rumahtangga dan produksi yang dihasilkan. Penelitian ini memiliki keterbatasan

sebagai berikut:

1. Lokasi perkotaan dan perdesaan ditentukan hanya pada dua kecamatan dari

delapan belas kecamatan yang terdapat di Kabupaten Sidoarjo. Penentuan dua

kecamatan yaitu Sidoarjo sebagai lokasi perkotaan dan Krembung sebagai

lokasi perdesaan karena dua kecamatan tersebut secara arbitari (jarak dari

kecamatan ke pusat kota), tata ruang atau luas lahan dan jumlah penduduk

memenuhi persyaratan sebagai tipe kota dan desa, sebagaimana yang dirujuk

dari narasumber di Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Sidoarjo.

2. Penggunaan instrumen penelitian ditanyakan hanya pada istri yang dianggap

dapat merepresentasikan keluarga, karena istri sekaligus ibu dianggap orang

yang paling mengetahui dan memahami kebutuhan anggota keluarganya.

Meskipun idealnya kuisioner juga ditanyakan pada suami atau anak sebagai

anggota keluarga.

3. Pembobotan dilakukan pada setiap jenis pekerjaan rumahtangga dan indikator

pekerjaan rumahtangga dengan menggunakan matriks bobot (rataaan

(33)

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teoretis Persepsi Pekerjaan Rumahtangga Konsep Pekerjaan Rumahtangga.

Rumahtangga sering ditafsirkan sebagai keluarga, padahal rumahtangga

memiliki pengertian yang lebih luas daripada keluarga. Keluarga adalah unit

sosial terkecil yang anggotanya terikat hubungan darah atau hukum, yang

melakukan berbagai kegiatan untuk memenuhi fungsi dan hidup dalam satuan unit

yang disebut rumahtangga (Burgess & Locke 1960). Rumahtangga terdiri atas

keluarga dan bukan keluarga yang semua anggota di dalamnya hidup dalam satu

unit tempat tinggal.

Rumahtangga dalam teori ekonomi klasik menyelenggarakan kegiatan yang

menghasilkan barang dan jasa, namun menurut teori ekonomi baru The New Household Economy rumahtangga dianggap sekaligus sebagai pengguna barang dan jasa. Rumahtangga seperti pabrik yang mengkombinasikan barang pasar dan

waktu untuk menghasilkan komoditi (Becker 1965). Konsep rumahtangga yang

dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada arti unit satuan keluarga yang

melakukan aktivitas untuk memproduksi sekaligus menggunakan barang dan jasa.

Aktivitas produksi dan konsumsi barang atau jasa rumahtangga termasuk

dalam pekerjaan tidak dibayar, dikenal juga sebagai aktivitas produksi

rumahtangga (Pylkkanen 2002). Produksi rumahtangga adalah produksi barang

atau jasa untuk dikonsumsi sendiri dengan menggunakan kombinasi modal sendiri

dan tenaga kerja sendiri yang tidak dibayar (Ironmonger 2001, United Nations

Economic Commissions for Africa 2005).

Barang atau jasa seperti penataan rumah dan halaman, penyiapan hidangan,

pencucian pakaian atau perawatan anak, dihasilkan dari pelaksanaan sejumlah

pekerjaan di rumahtangga (Robeyns 2000). Pekerjaan rumahtangga yang

dilakukan dalam keluarga biasanya tidak dibayar, dikerjakan lebih banyak oleh

perempuan, hasil tidak terlihat, terjadi pengulangan dan seringkali bersambung,

tidak ada batasan waktu, tidak berharga/tidak bernilai ekonomi (Ironmonger

(34)

dilakukan oleh anggota keluarga dapat digantikan pasar jika didukung ekonomi

tanpa merubah utilitas yang dihasilkan.

Pekerjaan rumahtangga terbatas pada kegiatan yang dilakukan oleh satu

atau lebih anggota keluarga, atau dengan cara membayar orang lain yang bukan

anggota keluarga untuk menghasilkan utilitas langsung (Chadeau 1983). Gates

dan Murphy (1982) menyatakan bahwa pekerjaan rumahtangga adalah aktivitas

yang dapat memberikan kepuasan dari barang dan jasa yang dibeli di pasar, atau

aktivitas yang dilakukan oleh orang lain tanpa mengurangi utilitas dari setiap

anggota keluarga.

Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pekerjaan rumahtangga yang

dilakukan oleh, dari, dan untuk anggota keluarga dapat disubtitusi pekerjaan pasar

dengan utilitas sama. Pekerjaan rumahtangga adalah aktivitas yang menghasilkan

barang atau jasa, yang dapat dikerjakan oleh anggota keluarga, tidak dibayar,

dapat didelegasikan kepada orang lain dengan imbalan upah yang dapat

memberikan kepuasan sama bagi setiap anggotanya (Robeyns 2000).

Pekerjaan rumahtangga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

pekerjaan yang dilakukan oleh seorang anggota keluarga untuk menghasilkan

produk barang atau jasa yang akan dikonsumsi langsung. Pekerjaan tersebut

meliputi penyediaan konsumsi makanan, perawatan pakaian, perawatan rumah

seperti menyapu dan mengepel lantai, dan perawatan anak usia balita, perawatan

anak usia sekolah dan perawatan anak usia remaja.

Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa semua jenis pekerjaan

perawatan termasuk dalam pekerjaan rumahtangga. Aktivitas perawatan

khususnya anak, biasanya dilakukan bersamaan dengan tugas rumahtangga

lainnya. Pada kebanyakan keluarga, cara orang tua memperlakukan anak

khususnya dalam memberi perhatian, cinta dan kasih sayang sebagai kebutuhan

sosial psikologis kadang terabaikan, karena kebutuhan pertumbuhan fisik kadang

kala dianggap lebih penting dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak.

Berdasarkan alasan tersebut, pekerjaan perawatan anak seharusnya tidak

dapat sepenuhnya dilakukan oleh orang lain yang bukan anggota keluarga. Hal ini

karena pemenuhan kebutuhan sosial psikologis anak dan standar nilai kedua orang

(35)

disisi lain, secara intrinsik dapat memberikan nilai penghargaan yang tidak

terhingga dan sekaligus sebagai sumber kebahagiaan bagi pasangan menikah

(Robeyns 2000).

Konsep Persepsi.

Setiap orang dimanapun dalam hidup bermasyarakat memerlukan norma,

atau aturan sebagai pengarah ke hal baik dan buruk yang disepakati bersama.

Norma dapat menumbuhkan keyakinan dan/atau kesan seseorang secara

emosional untuk menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Norma menunjukkan

dimensi utama yang mendasari persepsi seseorang. Persepsi adalah hasil

pengamatan individu mengenai suatu objek atau gejala berdasar pengalaman dan

wawasan yang dimiliki (Endaryanto 1999).

Rakhmat (1998) menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang

objek atau peristiwa, hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan

informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi bukan ditentukan oleh jenis atau

bentuk stimuli, tetapi lebih pada karakteristik orang yang memberi respon

terhadap stimuli. Persepsi meliputi kognisi yang mencakup penafsiran objek,

tanda dan orang, dari sudut pengalaman dan faktor pribadi.

Persepsi didasarkan pada ciri dasar manusia pertama yang berpikir sesuai

dengan perasaan suka dan tidak suka jika melihat suatu objek. Apabila objek yang

dilihat sesuai dengan nilai yang diyakini seseorang, maka orang tersebut memiliki

kecenderungan untuk bersikap terhadap objek yang diamatinya. Meskipun

demikian, orang tidak dapat terus menerus berpedoman pada satu norma saja,

karena individu cenderung berkembang dan berubah seperti usia, pengalaman,

pendidikan, termasuk peristiwa atau lingkungan.

Pengamatan manusia terhadap objek psikologis seperti kejadian, ide atau

situasi tertentu dipengaruhi oleh cara pandang dan nilai kepribadiannya. Faktor

pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberi bentuk dan struktur terhadap

apa yang dilihat, sedang pengetahuan dan wawasan berpikir memberikan makna

terhadap objek psikologis tersebut (Endaryanto 1999). Faktor dalam diri seorang

manusia seperti bakat, minat, kemauan, perasaan, atau respon yang dibawa sejak

(36)

lingkungan sosial serta status dalam masyarakat adalah faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang terhadap suatu objek yang

diamatinya (Sears & Anne 1994).

Berdasarkan penjelasan tersebut, persepsi adalah perasaan seseorang yang

bersifat subjektif terhadap sesuatu hal yang menjadi amatannya. Perasaan

dipengaruhi oleh pengalaman hidup masa lalu, proses sosialisasi di dalam dan di

luar keluarga yang memberi corak kepribadian, pengetahuan, dan wawasan

berpikir sehingga dapat memaknai suatu objek psikologis tertentu.

Penilaian subjektif seseorang terhadap kesan baik tidaknya suatu amatan

yang sesuai norma ataupun pengetahuannya dapat menumbuhkan keyakinan dan

juga perasaan suka pada suatu amatan dan berimplikasi pada kecenderungan

individu dalam bersikap. Pada penelitian ini, pekerjaan rumahtangga sebagai

suatu amatan diharapkan cenderung disikapi positif oleh keluarga contoh di

perkotaan maupun di perdesaan.

Sebagian besar keluarga ataupun masyarakat menganggap pekerjaan

rumahtangga hanya untuk kaum perempuan. Pekerjaan rumahtangga dalam

pandangan keluarga tradisional dianggap sebagai tugas utama perempuan, bahkan

pekerjaan ini dianggap tidak pantas dilakukan oleh laki-laki karena dapat

menurunkan wibawa. Aliran feminis yang menyuarakan pergerakan kebebasan

kaum perempuan memandang pekerjaan rumahtangga sebagai simbol dari

belenggu perempuan, meskipun dalam perkembangannya aliran ini tidak dapat

bertahan lama.

Pada kasus lain, pekerjaan rumahtangga dianggap penting dan dapat

diterima secara luas sebagai gaya hidup keluarga Amerika saat ini. Hal ini

didasarkan pada pandangan masyarakat umum yang masih mengagungkan

seorang ibu, dan peran ibu rumahtangga yang telah memberi kontribusi sangat

berharga melebihi nilai dolar bagi kehidupan keluarga. Meskipun waktu yang

disumbangkan oleh satu atau lebih anggota keluarga sebagai beban keseluruhan

pekerjaan keluarga, namun tanggungjawab utama pekerjaan di rumah masih tetap

dilakukan seorang ibu. Pola ini secara persepsi tidak berubah walau ada

perubahan teknologi dan kesadaran dari aliran feminis baru (Gauger & Walker

(37)

Pada sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini, perempuan masih

bertahan dengan tugasnya sebagai orang yang bertanggungjawab penuh dalam

urusan rumahtangga, tidak terkecuali tugas membesarkan dan mendidik anak.

Berdasarkan kodratnya, suami cenderung lebih banyak berpartisipasi di sektor

publik, dan sebaliknya dengan isteri yang lebih banyak bekerja di sektor domestik

atau mengerjakan tugas rumahtangga dan perawatan anak (Becker 1981).

Kesan yang melekat tentang pekerjaan di luar rumah adalah tugas laki-laki

dan pekerjaan di dalam rumah merupakan tugas perempuan, karena stereotipi

yang berkembang kuat di masyarakat mengenai pandangan keluarga tradisonal

yang mendidik anak perempuan dan laki-laki dengan ekspektasi yang berbeda

melalui pembagian peran dan tugasnya di rumahtangga. Perempuan dipersiapkan

untuk menjadi seorang ibu/istri yang dapat mengurus rumahtangga, melayani

kebutuhan suami, membesarkan dan mendidik anak mereka.

Menurut Guhardja (1986), perempuan pada umumnya melakukan pekerjaan

rumahtangga sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar dengan jumlah jam

yang lebih besar dibanding laki-laki. Laki-laki di sisi lain dipersiapkan untuk

menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab pada semua anggota keluarga

dalam menafkahi dan melindungi istri dan anak-anaknya.

Pada masa sekarang, pekerjaan rumahtangga tidak lagi menjadi dominasi

perempuan, karena faktanya laki-laki turut terlibat dalam pekerjaan tertentu

walaupun dengan kontribusi yang tidak besar dan bervariatif. Hal ini sejalan

dengan pendapat Robeyns (2000) yang menyatakan bahwa pekerjaan

rumahtangga bersifat impersonal, yang artinya dapat dilakukan oleh siapapun

tanpa mempengaruhi substansi kualitas pekerjaannya. Pikiran atau perasaan

seseorang terhadap pekerjaan rumahtangga akan disikapi secara berbeda, sesuai

(38)

Pengambilan Keputusan dalam Keluarga berdasarkan Gender Keluarga dan Pendekatan Teori Struktural-Fungsional.

Pendekatan struktural-fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang

diterapkan dalam institusi keluarga. Keluarga mempunyai prisip-prinsip serupa

yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Keluarga dapat dilihat sebagai

salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat, yang tidak akan terlepas

dari interaksinya dengan subsistem lainnya yaitu ekonomi, politik, pendidikan dan

agama. Melalui interaksi tersebut keluarga berfungsi untuk memelihara

keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga maupun sosial masyarakat

(Megawangi 1999). Teori struktural-fungsional memandang pentingnya

kemampuan keluarga untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan hidup tetap

terjaga.

Pencapaian keseimbangan pada sistem sosial dapat tercipta dan berfungsi

jika struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi. Syarat struktural yang harus

dipenuhi untuk mempertahankan keseimbangan sistem keluarga ataupun

masyarakat menurut Levy dalam Megawangi (1999) adalah (1) diferensiasi peran

atau alokasi peran yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas

atau distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi atau distribusi

barang dan jasa antar anggota keluarga sebagai sarana untuk mencapai tujuan, (4)

alokasi politik atau distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) alokasi integrasi

dan ekspresi atau cara sosialisasi internalisasi pelestarian nilai dan perilaku pada

setiap anggota keluarga untuk memenuhi norma yang berlaku.

Berdasarkan strukturnya anggota keluarga memiliki peran masing-masing

dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari untuk mencapai tujuan bersama.

Peranan merupakan bagian dari aktivitas yang dimainkan oleh seseorang

berkaitan dengan hak dan kewajiban untuk menjalankan fungsi-fungsi keluarga

(Soekanto 1990). Vitayala (2010) menyatakan bahwa peran adalah aspek dinamis

dari status yang sudah terpola dan berada di sekitar hak dan kewajiban tertentu,

sedangkan peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat

dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk jenis

(39)

Peran gender adalah kepercayaan normatif tentang bagaimana seharusnya

penampilan seorang laki-laki atau perempuan, apa yang seharusnya dikerjakan

oleh laki-laki atau perempuan dan bagaimana keduanya berinteraksi (William &

Best 1990). Peran gender untuk perempuan dan laki-laki secara universal

dikelompokkan menjadi tiga peran pokok yakni: 1) peran reproduktif, terkait

dengan perawatan sumberdaya manusia dan tugas-tugas rumahtangga yang

penting bagi keluarga untuk mempertahankan kehidupan, 2) peran produktif,

terkait dengan pekerjaan yang menghasilkan baik barang maupun jasa untuk

dikonsumsi atau diperjualbelikan, 3) peran sosial, terkait dengan kegiatan jasa

ataupun partisipasi politik (Vitayala 2010).

Peran gender tergambar dari pekerjaan yang dipandang tepat bagi seseorang

menurut perbedaan jenis kelamin. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin

mengacu pada cara pekerjaan reproduktif, produktif dan pekerjaan sosial dibagi

antara perempuan dan laki-laki, dan bagaimana pekerjaan tersebut dinilai dan

dihargai dalam satu masyarakat atau budaya tertentu. Pembagian kerja antara

sesama anggota keluarga laki-laki dan perempuan merupakan persyaratan

struktural untuk kelangsungan hidup keluarga inti. Peran yang dibagi secara

berbeda antara laki-laki dan perempuan bukan disebabkan oleh sifat biologis,

melainkan lebih disebabkan oleh faktor sosialisasi budaya (Megawangi 1999).

Menurut Becker (1965), perbedaan gender dapat menentukan tingkat

partisipasi anggota dalam keluarga, karena dengan investasi modal manusia yang

sama perempuan memiliki keunggulan komparatif dalam pekerjaan rumahtangga

yang lebih besar daripada laki-laki, sehingga perempuan akan menggunakan

waktunya untuk pekerjaan rumahtangga dan laki-laki untuk pekerjaan mencari

nafkah. Hal ini terkait dengan adanya pemahaman tentang tugas utama perempuan

untuk mengandung, melahirkan, menyusui atau tugas lainnya yang berhubungan

dengan pengasuhan anak.

Pada konteks peran berbasis gender, peran fungsional dalam rumahtangga

dapat memunculkan arti negatif karena melakukan fungsi sebatas peran

domestik-reproduksi. Pandangan tentang perempuan seperti ini bertujuan untuk membentuk

istri yang ideal bagi keluarga. Istri secara emosional menciptakan suasana

(40)

adanya interaksi sosial antar anggota keluarga atau antar individu di luar dirinya.

Pada kondisi lain, suami berperan sebagai pelindung keluarga dan bertugas

menafkahi anggota keluarga.

Pembagian tugas pada pasangan menikah secara langsung dipengaruhi oleh

pandangan peran gender, baik tradisional ataupun modern masing-masing

pasangan (Scanzoni & Scanzoni 1981). Pandangan peran gender tradisional

membagi tugas berdasar jenis kelamin secara kaku. Laki-laki tidak menginginkan

perempuan menyamakan kepentingan dan minat diri sendiri dengan kepentingan

keluarga secara keseluruhan, sedang istri diharapkan mengakui kepentingan dan

minat suami untuk kepentingan bersama. Kekuasaan kepemimpinan dalam

keluarga berada di tangan suami. Perempuan yang berpandangan tradisional

ketika sudah menikah atau setelah menjadi ibu, merasa lebih bertanggung jawab

untuk melakukan tugas-tugas rumahtangga dan mencurahkan tenaga untuk suami

dan anak (Becker 1965).

Pandangan peran gender modern membagi tugas berdasar jenis kelamin

secara tidak kaku dan diperlakukan sejajar atau sederajat. Laki- laki mengakui

minat dan kepentingan perempuan yang sama pentingnya dengan minat laki-laki,

menghargai kepentingan pasangannya dalam setiap masalah rumahtangga dan

memutuskan masalah yang dihadapi secara bersama-sama. Perempuan yang

berpandangan modern, berusaha memusatkan perhatiannya untuk mencapai

minatnya sendiri yang tidak lebih rendah dari minat suami. Menurut Plato

(Megawangi 1999), apabila masing-masing individu mengetahui posisi dan

fungsinya, maka suatu keluarga akan berada dalam keseimbangan harmonis dan

dapat berjalan dengan baik.

Konsep Pengambilan Keputusan.

Keluarga dalam kehidupan sehari-hari seringkali dihadapkan pada masalah

pengambilan keputusan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan

kepentingan anggotanya. Pengambilan keputusan adalah proses memilih atau

menentukan beberapa kemungkinan alternatif kegiatan dalam situasi tertentu, dan

merupakan titik awal dari semua kegiatan yang akan dilakukan oleh keluarga.

(41)

kualitas hidup manusia. Keberhasilan suatu tindakan sangat ditentukan oleh

pengambilan keputusan yang dibuat (Susanti 1999).

Pola pengambilan keputusan dalam keluarga menggambarkan bagaimana

struktur pola kekuasaan dalam keluarga tersebut. Pola yang dimaksud adalah

kewenangan suami dan istri dalam mengambil keputusan. Kekuasaan dianggap

sebagai penentu dalam proses tawar menawar untuk mengambil suatu keputusan

dalam keluarga. Kekuasaan ditentukan oleh sumberdaya atau aset yang dimiliki

individu. Sajogyo (1981) menyatakan bahwa pendidikan dan proses sosialisasi,

latar belakang perkawinan, kedudukan dalam masyarakat dan faktor pewarisan

dapat mempengaruhi perempuan dalam mengambil keputusan. Pada masyarakat

yang perempuannya tidak memiliki hak waris sebagai pemilik tanah dan kekayaan

yang lain akan cenderung menjadi hak milik dalam perkawinan.

Menurut Lestari (1999), pengambilan keputusan dalam keluarga dapat

dipengaruhi oleh faktor sumberdaya yakni aset yang dimiliki individu sebelum

menikah, seperti uang, kekayaan, pendidikan, atau pendapatan. Semakin tinggi

aset yang dimiliki individu semakin kuat kekuasaannya dalam menentukan

keputusan (Thomas & Frankenberg 1999). Pengambilan keputusan dalam

keluarga tidak harus diberikan kepada satu orang anggota tertentu saja. Hal ini

dapat pula dilakukan dengan kerjasama antar anggota keluarga, dan

pembagiannya biasanya sesuai dengan tugas dari beberapa tingkatan diantara

anggota keluarga.

Pengambilan keputusan dalam keluarga terbagi lima variasi, yaitu (1) hanya

oleh istri, (2) hanya oleh suami, (3) oleh suami dan istri bersama, istri dominan,

(4) oleh suami dan istri bersama, suami dominan, dan (5) oleh suami dan istri

bersama (Sajogyo 1981). Menurut Guhardja & Hastuti (1992), terdapat tiga tipe

pengambilan keputusan dalam keluarga dilihat dari keterlibatan anggota

keluarganya, yaitu:

1) Pengambilan keputusan konsensus, yakni pengambilan keputusan secara

bersama-sama antar anggota keluarga, setiap anggota memiliki hak untuk

mengemukan pendapatnya. Keputusan yang diambil merupakan keputusan

(42)

2) Pengambilan keputusan akomodatif, yang dicirikan oleh adanya orang

yang dominan, sehingga keputusan yang diambil adalah dengan menerima

pendapat orang yang dominan tersebut.

3) Pengambilan keputusan de facto, yaitu pengambilan keputusan yang diambil secara terpaksa.

Saat ini, masih terdapat anggapan bahwa istri/ibu tidak mempunyai peranan

dalam pengambilan keputusan di dalam maupun di luar keluarga, suami/bapak

biasanya yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan meskipun ini

tidak semuanya terbukti benar. Pandangan budaya istri ikut suami dapat dilihat

sebagai salah satu faktor yang relatif cenderung memperlemah status perempuan

menurut norma yang berlaku umum, laki-laki adalah orang yang paling

menentukan dalam pengambilan keputusan (Ihromi 1999).

Menurut White (1984), dalam masyarakat perdesaan laki-laki membuat

keputusan produksi dan perempuan bertugas dalam mengontrol anggaran

rumahtangga. Hal ini sejalan dengan Gertz (1961) yang menyatakan bahwa dalam

keluarga Jawa perempuan mempunyai andil besar dalam proses pengambilan

keputusan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan.

Pengambilan keputusan hanya merupakan satu aspek dari hubungan

kekuasaan keluarga. Meskipun keputusan itu sendiri dianggap penting tidak ada

satupun orang yang berusaha untuk mengetahui siapa yang membuat keputusan,

tetapi cenderung pada siapa yang lebih berpengaruh dalam pengambilan

keputusan, siapa yang memiliki kekuasaan untuk mendelegasikan keputusan pada

pasangan dan pada penyelesaian konflik mereka, dan siapa yang akan

melaksanakan hasil keputusan yang telah disepakati sebelumnya (White 1984).

Pelaksanaan dari suatu keputusan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,

baik dari ciri individu, keluarga, lingkungan, maupun ciri tugasnya (Deacon &

Firebough 1988). Karakteristik individu seringkali dihubungkan dengan kualitas

kepribadian seseorang. Karakteristik keluarga menyangkut hubungan perbedaan

antar individu dalam keluarga, seperti sikluskehidupan keluarga, umur anak,dan

besar keluarga. Karakteristik lingkungan berkaitan dengan lingkungan makro dan

mikro, seperti lingkungan fisik, anggota keluarga, dan barang-barang yang

(43)

suatu pekerjaan, semakin rumit tugas, dan semakin besar pengawasan dan

perhatian.

Meskipun secara budaya suami diposisikan sebagai kepala keluarga, istri

mempunyai peluang sama dalam mengambil keputusan terutama untuk urusan

kegiatan dalam rumahtangga. Pada keluarga Jawa, pengambilan keputusan dalam

urusan domestik umumnya ditentukan kebanyakan oleh isteri (Mulyono &

Ardyanto 2001).

Alokasi Waktu Pekerjaan Rumahtangga Pendekatan Produksi Rumahtangga

Pendekatan produksi rumahtangga dipandang sebagai pelengkap kerangka

ekonomi mikro yang tepat untuk menganalisis alokasi waktu dalam keluarga.

Metode alokasi waktu adalah metode yang paling tepat untuk menjelaskan

berbagai aktivitas, yang paling sering untuk pekerjaan tidak dibayar dan tidak

tercatat sebagai aktivitas ekonomi yang dipublikasikan.

Waktu diantara berbagai aktivitas dialokasikan untuk pekerjaan pasar dan

pekerjaan rumah dan/atau waktu luang. Menurut Bennet (1983), waktu berguna

untuk menghasilkan 1) produksi jasa dalam keluarga seperti memasak,

membersihkan dan menata rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, 2) produksi

upah atau gaji pekerjaan pasar yang menghasilkan pendapatan, dan 3) produksi

subsisten makanan dan barang lain yang tidak dibayar dalam keluarga petani

dengan pendapatan terpisah.

Pekerjaan di rumah dan pekerjaan pasar bersubtitusi sempurna, yakni satu

kepuasan sama yang diperoleh dari mengkonsumsi barang atau jasa, baik yang

dibeli di pasar atau diproduksi di rumah. Apabila seseorang menikmati utilitas

langsung dari aktivitas produksi maka bagian dari waktu yang digunakan untuk

produksi rumah ditetapkan sebagai waktu luang (Pylkkanen 2002). Pada

umumnya dalam model produksi rumahtangga, rumahtangga memaksimalkan

utilitas masalah kendala tertentu dengan mempertimbangkan teknologi dan

sumberdaya.

Rochaeni dan Lokollo (2005) mensitir teori Becker (1965), yang

(44)

barang modal dan barang mentah, tenaga kerja dan waktu. Utilitas (kepuasan)

langsung diperoleh rumahtangga melalui konsumsi berbagai barang akhir.

Maksimisasi kepuasan dilakukan dengan mengkombinasikan input barang (Xi)

dan input waktu (Ti) dengan fungsi produksi fi untuk menghasilkan barang Zi.

Fungsi kepuasan rumahtangga pada teori ekonomi rumahtangga, yaitu:

(1) U = U (Zi, …, Zn)

Z dinotasikan untuk komoditas yang dihasilkan rumahtangga (i = 1,2, ..,n).

Menurut fungsi produksi, setiap komoditas dihasilkan sebagai berikut,

(2) Z = Zi (Xi, Thi)

Xi merupakan barang dan jasa, sedangkan Thi merupakan jumlah waktu

yang digunakan untuk memproduski barang Z. Pada dasarnya Zi adalah barang

tidak dijual, sehingga barang tersebut dinilai dengan harga bayangan produksi

yang dirumuskan sebagai berikut,

(3)

Dengan menggunakan Пi maka kendala pendapatan penuh sebagai berikut,

(4) PiXi + wThi = ПiZi

Fungsi kepuasan (1) dimaksimumkan dengan kendala pendapatan penuh

(4), maka kondisi keseimbangan terjadi bila kepuasan marjinal dari komoditas

yang berbeda sama dengan harga bayangan masing-masing komoditas tersebut.

Harga barang atau jasa, biaya opportunitas dan teknologi produksi rumahtangga

akan menentukan kombinasi barang atau jasa yang dikonsumsi dan penggunaan

waktu. Pada hal ini, preferensi rumahtangga akan mempengaruhi aktivitas

rumahtangga (Becker 1965).

Berdasarkan kajian empiris yang dilakukan oleh Rowland (1986) dalam

Pylkkanen (2002) dijelaskan bahwa alokasi waktu rumahtangga dipengaruhi oleh

pertimbangan ekonomi dan tuntutan peran di dalam atau di luar rumahtangga.

Seorang istri yang memutuskan untuk mengalokasikan waktunya di dalam

ataupun di luar rumah, akan mempertimbangkan nilai ekonomis ataupun yang

bersifat non-ekonomis pekerjaan rumahtangga.

Gronau (1977) membedakan antara waktu luang dengan waktu bekerja di

rumahtangga. Hal ini didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang

(45)

waktu luang terhadap lingkungan sosial ekonomi, sehingga fungsi kepuasan

terhadap komoditas Z merupakan gabungan kombinasi barang dan jasa serta

waktu luang (L), sebagai berikut,

(5) Z = Z (X, L)

Total barang dan jasa (X) terdiri dari barang dan jasa yang dibeli di pasar

(Xm), dan barang dan jasa yang di produksi di rumahtangga (Xh). Rumahtangga

bertindak sebagai produsen dan juga konsumen sehingga Xh dihasilkan dari

bekerja di rumah (H) dengan persamaan di bawah ini,

(6) X = Xm + Xh

(7) Xh = f (H)

Rumahtangga untuk memaksimumkan kepuasan Z, dihadapkan pada dua

kendala yakni anggaran (8) dan waktu (T), sebagai berikut,

(8) Xm = V + WN

(9) T = L + H + N

Pada persamaan (8), W merepresentasikan tingkat upah dan N merupakan

jumlah jam kerja dan V dinotasikan untuk pendapatan dari sumber lain. Pada

kendala waktu di persamaan (9), T dinotasikan untuk total waktu setiap hari yang

dialokasikan diantara tiga penggunaan: waktu rumahtangga (H), waktu pasar (N),

dan waktu luang (L). Pandangan yang sama dengan Gronau dikemukakan Zick

dan Bryant (1983) yang mengasumsikan model alokasi waktu bekerja-luang

rumahtangga, fokus perhatiannya pada waktu yang digunakan oleh seorang

anggota keluarga yang bekerja di pasar tenaga kerja. Model rumahtangga sendiri

memiliki tiga komponen gambaran, yaitu preferensi keluarga, sumberdaya

rumahtangga dan bagaimana mereka membatasi alternatif yang tersedia bagi

keluarga, dan relasi perilaku yang menggambarkan aturan dari

keputusan-keputusan yang dibuat.

Rumahtangga memperoleh kepuasan dari gabungan beberapa barang

(goods), yaitu barang dan jasa yang dibeli di pasar atau yang biasa disebut barang-barang pasar (dinotasikan dengan C), barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh

rumahtangga atau yang biasa disebut barang-barang rumah (dinotasikan dengan

G), dan waktu luang yang dimiliki individu pada keluarga dengan satu atau lebih

(46)

(dinotasikan dengan L). Preferensi rumahtangga terhadap gabungan C, G, dan L

dapat ditulis sebagai berikut,

(10) U = u (C, G, L)

Bryant mengasumsikan bahwa barang pasar dan barang rumah, C dan G,

sebagai substitusi sempurna. Hal ini digunakan untuk menyederhanakan grafik

tiga dimensi kombinasi G, C, dan L menjadi dua dimensi kombinasi sehingga

mudah dipahami. Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut,

(11) U = u (C + G, L)

Gambar 1 menunjukan ilustrasi preferensi rumahtangga terhadap barang

(C+G) dan waktu luang (L). Poin A merepresentasikan waktu luang La per

minggu dan (C+G) kuantitas barang yang menghasilkan kepuasan sejumlah U0,

yang dapat dituliskan sebagai berikut,

(12) U0 = u (C + G, L)

Gambar 1. Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu

Pada Gambar 1 terlihat garis vertikal TT yang merepresentasikan salahsatu

aspek kendala waktu. Meskipun seseorang menginginkan lebih banyak waktu

luang, tetapi hal tersebut tidak mungkin lebih besar dari waktu yang tersedia. Poin

yang terletak pada sebelah kiri TT menunjukkan kombinasi yang mungkin antara

barang dan waktu luang, sedangkan poin yang terletak pada sebelah kanan TT

menunjukan ketidakmungkinan antara barang dan waktu luang. Komponen dari

kendala waktu lebih lanjut menunjukan spesifikasi penggunaan waktu pada

rumahtangga, yang biasanya dikategorikan dalam waktu jam kerja pasar,

pekerjaan rumahtangga dan waktu luang.

Jam kerja pasar (M) yakni waktu yang digunakan individu untuk bekerja

(47)

untuk melakukan pekerjaan rumahtangga seperti memasak, mencuci baju,

perawatan rumah dan sebagainya. L dinotasikan untuk waktu yang digunakan

individu tidak untuk pekerjaan pasar maupun pekerjaan rumahtangga. Total waktu

yang tersedia (T) akan sama dengan jumlah semua kemungkinan penggunaan

waktu, sehingga kendala waktu dapat dituliskan sebagai berikut,

(13) T = M + H + L

Utilitas rumahtangga selain dipengaruhi oleh kendala waktu, juga fungsi

produksi rumahtangga. Fungsi produksi rumahtangga menspesifikasikan kendala

teknologi yang dihadapi rumahtangga dalam proses produktif. Fungsi

rumahtangga menekankan hubungan antara waktu yang digunakan individu untuk

melakukan aktivitas rumahtangga dan jumlah output yang diproduksi. Kuantitas dari output yang dihasilkan dari produksi rumahtangga, G, dapat dituliskan dalam persamaan berikut,

(14) G = g (H; X)

X merepresentasikan kuantitas dari input barang dan jasa dalam keluarga yang digabungkan dengan individu tenaga kerja, dan H menotasikan jam tenaga

kerja rumahtangga yang digunakan untuk memproduksi output rumahtangga. Semicolon yang memisahkan antara H dan X menunjukan bahwa rumahtangga

dapat mengubah jumlah waktu yang dihabiskan individu dalam pekerjaan

rumahtangga, tetapi tidak dapat mengubah jumlah input tenaga kerja yang dikombinasikan.

Gambar 2 menjelaskan bagaimana rumahtangga mengalokasikan waktunya

untuk jam kerja pasar, pekerjaan rumahtangga, dan waktu luang dapat diketahui

dari bentuk total budget line (garis anggaran) rumahtangga. Definisi total garis anggaran menunjukan kuantitas barang maksimum yang dapat diperoleh dari

setiap jam kerja dan pendapatan lain (non-labour income). Total rumahtangga garis anggaran dibuat dari potongan fungsi produksi rumahtangga dan garis

(48)

LN Leisure (L)

V/p O C+GN

MP < w/p N

MP < w/p

T Barang

C+G

Household work Goods

GR 2

GP 1

GQ 0

O 0

HQ

1 HP

2 HR

Q

P

R

Gambar 2. Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu bekerja di rumahtangga

Gambar 3 dan 4 menjelaskan bahwa rumahtangga akan memproduksi atau

membeli barang, sehingga untuk memaksimisasi kuantitas barang dapat diperoleh

dari mengkonsumsi jumlah jam kerja. Individu akan berhenti melakukan lebih

banyak perkerjaan rumahtangga pada saat marjinal produk tenaga kerja (marginal

product of labour⁄mp) lebih kecil atau sama dengan tingkat ril upah (w/p). Kondisi

ini kemudian menjadi penentu dimana individu memulai pekerjaan pasar tenaga

kerja.

(49)

Gambar 4. Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu bekerja dengan kendala anggaran

Hal ini senada dengan model Gronau (1977) yang mengemukakan bahwa

pengalokasian waktu antara pekerjaan rumah dan pekerjaan pasar ditentukan oleh

berbagai faktor yang dapat menghambat pemaksimuman. Semisal, apabila

produktivitas marjinal dalam rumah jauh di bawah rata-rata upah ril, maka orang

akan berhenti bekerja di rumah dan akan memilih pekerjaan pasar. Perubahan

pendapatan bukan upah tidak mempengaruhi pekerjaan rumah, tetapi jika upah ril

berubah orang akan berpikir untuk mengalokasikan kembali waktunya antara

pekerjaan rumah dan pekerjaan pasar. Hal ini dapat disajikan berikut: ƒי (H) = W+

untuk V, W, dan produktivitas rumah = ƒי

Pada peningkatan pendapatan bukan upah (V) dan untuk seseorang yang

bekerja memilih teknologi konsumsi barang intensif, jumlah penggunaan waktu

pekerjaan rumah tidak terpengaruh atau tidak berubah, tetapi jumlah waktu luang

(anggap bukan inferior) akan meningkat sebagai hasil pengaruh murni

pendapatan. Hal ini juga akan memberi pengaruh negatif terhadap jumlah

penggunaan waktu untuk pekerjaan pasar tanpa mempengaruhi pekerjaan di

rumah. Jika seseorang tidak bekerja akibat pendapatan bukan upah meningkat,

maka orang tersebut akan mengurangi pekerjaannya di rumah dan waktu luang

LN Leisure (L)

V/p O C+GN

MP > w/p N

MP < w/p

T Barang

(50)

meningkat, dan dengan meningkatnya komoditi output waktu konsumsi akan naik dan tidak terpengaruh terhadap pekerjaan pasar karena dia sebelumnya tidak

bekerja.

Naiknya upah ril membuat harga barang waktu lebih rendah dan ini kurang

menguntungkan untuk menghasilkan produksi rumah dan oleh karenanya

mengurangi pekerjaan rumah, sedang efeknya terhadap waktu luang tidak jelas

tergantung apakah efek pendapatan atau bukan mendominasi efek subtitusi.

Apabila penurunan pekerjaan rumah menghasilkan peningkatan waktu luang,

maka seharusnya suplai pekerjaan pasar meningkat.

Hal ini penting ditekankan, bahwa peningkatan reit upah ril mengurangi

pekerjaan rumah dan meningkatkan pekerjaan pasar dari orang yang bekerja,

namun tidak mempengaruhi pekerjaan rumah dari orang yang tidak bekerja.

Pendapatan keluarga berpengaruh negatif terhadap pekerjaan pasar dan

berpengaruh positif terhadap waktu luang namun tidak berpengaruh pada

pekerjaan di rumah.

Kehadiran anak merupakan peubah yang dapat menentukan alokasi waktu

individu terutama pada keluarga dengan anggota banyak; dengan bertambahnya

jumlah anak diharapkan waktu dapat ditransfer untuk aktivitas yang berhubungan

dengan anak. Apabila orang tersebut bekerja, maka waktu yang dialokasikan

untuk aktivitas yang berhubungan dengan anak akan dialihkan dari waktu yang

dialokasikan untuk pekerjaan pasar dan waktu luang. Ini artinya, peubah jumlah

anak memberikan pengaruh negatif terhadap penggunaan waktu pekerjaan pasar

dan waktu luang, namun apabila orang tersebut tidak bekerja dengan

bertambahnya jumlah anak dalam rumah, waktu yang dialokasikan untuk

pekerjaan rumah dan waktu luang akan berkurang.

Gronau (1977) menyatakan bahwa dengan bertambahnya jumlah anak

untuk penggunaan aktivitas lainnya akan mengurangi waktu luang seseorang,

karena anak merupakan barang intensif yang lebih baik dibanding aktivitas

lainnya. Semisal, seseorang mengerjakan empat aktivitas pekerjaan rumahtangga

sebelum melahirkan anak, dapat satu tambahan waktu luang dan pekerjaan pasar

Gambar

Gambar 2. Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu bekerja di
Gambar 4. Grafik preferensi rumahtangga terhadap barang dan waktu bekerja dengan kendala anggaran
Gambar 5. Kerangka konseptual kegiatan bekerja dalam Keluarga
Gambar 6. Kerangka operasional pekerjaan rumahtangga dalam keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur, saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas kemurahan-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan rpp pembelajaran ini. Perangkat ini dibuat dengan maksud dapat

Di samping itu, wanita hamil dengan penyakit jantung juga mempunyai risko untuk mengalami komplikasi neonatal, komplikasi yang terjadi pada bayi yang dikandungnya..

Big Book atau buku besar adalah buku bacaan yang memiliki ukuran, tulisan, dan gambar yang besar. Ukuran Big Book harus mempertimbangkan segi keterbacaan seluruh

4 I Putu Ngurah Panji Kartika Jaya dan A.A.N.B Dwirandra (2012) Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Pada Belanja Modal Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Pemoderasi

Adanya terpaan pemberitaan meledaknya tabung gas LPG di media massa akan memunculkan kecemasan ibu – ibu rumah tangga sebagai bentuk lanjut dari ketakutan yang dirasakan ibu –

1) Kegaitan belajarnya bersifat Selfdirecting – mengarahkan diri sendiri, tidak dependent. 2) Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam proses pembelajaran dijawab sendiri

• Penulisan header fungsi dengan parameter hampir sama dengan fungsi tanpa parameter, yaitu diawali dengan tipe data, lalu nama fungsi, dan diikuti dengan parameter-parameter

Note that in order for the code to compile, the FictionalCharacter class or one of its super- classes (or, in general, ancestors in the inheritance heterarchy) must contain the